Dunia penerbitan telah bergeser. Dari meja editor dan tumpukan naskah fisik, kini kita beralih ke layar gawai, di mana platform novel online menjadi raja. Jutaan pembaca bertemu dengan ribuan penulis, menciptakan ekosistem literasi yang dinamis. Namun, di balik kemudahan dan janji popularitas, tersembunyi sebuah kenyataan pahit: banyak kontrak perjanjian novel di platform online yang justru memberatkan, bahkan memiskinkan, para penulis. Ini bukan sekadar persoalan klausul hukum yang rumit, melainkan jeratan yang mengancam keberlanjutan profesi penulis itu sendiri.
Salah satu poin paling krusial yang sering kali menjadi beban adalah klausul eksklusivitas yang mencekik. Banyak platform menuntut agar penulis menyerahkan hak cipta penuh atau hak publikasi eksklusif atas karya mereka. Artinya, setelah novel diunggah di platform tersebut, penulis tidak diizinkan untuk menerbitkan bagian atau keseluruhan karyanya di tempat lain, bahkan di blog pribadi. Ironisnya, durasi eksklusivitas ini seringkali tidak terbatas atau sangat panjang, mengunci penulis dalam satu ekosistem tanpa banyak pilihan. Ini menghilangkan kesempatan penulis untuk mengeksplorasi penerbitan tradisional, mengadaptasi karyanya ke media lain (film, serial), atau bahkan sekadar mencari audiens di platform berbeda yang mungkin lebih menguntungkan.
Royalti yang Tidak Adil dan Transparansi yang Buram
Masalah lain yang tak kalah memberatkan adalah persentase royalti yang kerap tidak adil. Dibandingkan dengan persentase royalti di penerbitan konvensional yang bisa mencapai 10-15%, banyak platform online menawarkan angka yang jauh lebih rendah, bahkan untuk penulis populer. Ditambah lagi, skema penghitungan royalti seringkali buram. Penulis sulit melacak pendapatan secara transparan, atau memahami bagaimana angka-angka tersebut dihitung. Pembayaran terkadang bergantung pada "koin virtual," "langganan premium," atau model monetisasi kompleks lainnya yang menyulitkan penulis untuk memprediksi atau menuntut hak mereka secara penuh. Mereka berada dalam posisi yang sangat lemah, bergantung sepenuhnya pada data dan perhitungan dari platform yang memiliki kekuatan penuh.
Lebih jauh, tuntutan performa dan pembaruan yang agresif kerap disematkan dalam kontrak. Platform mendorong penulis untuk terus-menerus mengunggah bab baru demi menjaga engagement dan peringkat. Meski tidak selalu tercantum dalam angka spesifik, ada indikasi bahwa performa rendah atau jadwal upload yang tidak konsisten bisa berujung pada penalti, penurunan visibilitas, atau bahkan pemutusan kontrak. Hal ini menciptakan tekanan mental luar biasa, mengubah proses kreatif menjadi pekerjaan pabrik yang terburu-buru, mengorbankan kualitas demi kuantitas. Penulis dipaksa menulis tanpa jeda, tanpa ruang untuk riset mendalam atau perenungan, yang esensial untuk melahirkan karya sastra yang bermutu.
Dilema Penulis: Peluang vs. Eksploitasi
Lantas, mengapa penulis mau menandatangani kontrak semacam ini? Jawabannya adalah peluang. Bagi banyak penulis baru, platform online adalah satu-satunya pintu gerbang untuk memperkenalkan karya mereka kepada dunia tanpa harus melewati saringan penerbit konvensional yang ketat. Potensi viralitas dan kecepatan untuk mendapatkan pembaca menjadi daya tarik yang sulit ditolak, terutama di tengah minimnya pilihan lain. Namun, "peluang" ini seringkali datang dengan harga yang sangat mahal, merampas otonomi dan hak atas kekayaan intelektual mereka sendiri.
Untuk mengatasi permasalahan ini, perlu ada gerakan kolektif. Penulis harus lebih berhati-hati dalam membaca dan memahami setiap poin dalam kontrak. Komunitas penulis dapat berperan aktif dalam berbagi informasi dan pengalaman mengenai platform mana yang memberlakukan kontrak adil dan mana yang tidak. Mungkin juga dibutuhkan regulasi atau asosiasi penulis yang lebih kuat untuk melindungi hak-hak mereka di era digital ini.
Jika kita terus membiarkan kontrak-kontrak yang memberatkan ini berlanjut, kita akan menyaksikan generasi penulis yang kelelahan, kreativitas yang mandek, dan akhirnya, sastra yang miskin kualitas. Kebebasan berkreasi, transparansi, dan pembagian keuntungan yang adil harus menjadi fondasi utama dalam setiap perjanjian, agar platform online benar-benar bisa menjadi kawan bagi penulis, bukan belenggu yang memiskinkan mereka.
0 Komentar