Bahasa yang Diterima dan Sastra yang Terbelenggu: Sebuah Kritik terhadap Hegemoni Lingua Franca

Bahasa adalah medium utama sastra, namun ia bukanlah kanvas yang netral. Sebaliknya, ia adalah sebuah entitas yang hidup, yang terus-menerus dibentuk oleh penerimaan sosial, hegemoni kultural, dan dinamika kekuasaan. Kritik sastra perlu menyoroti bagaimana penerimaan bahasa—terutama penerimaan terhadap bahasa yang dominan atau dianggap "standar"—secara langsung memengaruhi, dan dalam banyak kasus, membelenggu sebuah karya sastra. Proses ini tidak hanya membatasi kreativitas, tetapi juga meminggirkan kekayaan ekspresi yang ada di luar batas-batas yang disepakati.

Hegemoni Bahasa dan Batasan Kreativitas

Dalam masyarakat, terdapat hierarki bahasa. Bahasa "standar" atau lingua franca, seringkali dikaitkan dengan pendidikan formal, kelas sosial atas, dan media massa, dipandang lebih prestisius. Di sisi lain, bahasa daerah, dialek, atau bahkan bahasa pasar, dianggap lebih rendah, kurang "puitis" atau tidak layak untuk dijadikan medium sastra yang serius. Hegemoni ini menciptakan sebuah belenggu psikologis bagi penulis. Mereka mungkin merasa tertekan untuk menulis hanya dalam bahasa standar, mengabaikan kekayaan idiom, metafora, dan gaya bertutur yang hanya ada dalam bahasa non-standar mereka.

Konsekuensinya, karya sastra yang muncul cenderung homogen, dengan suara yang seragam dan kurang orisinal. Sebuah novel yang ditulis dalam bahasa standar mungkin gagal menangkap keaslian dialog karakter yang sebenarnya berbicara dalam dialek tertentu. Puisi yang memaksa dirinya untuk patuh pada kaidah-kaidah bahasa formal mungkin kehilangan spontanitas dan energi emosional yang ada dalam bahasa yang lebih lisan. Penerimaan bahasa menjadi semacam filter yang secara tidak sadar menyaring ekspresi kreatif, hanya menyisakan apa yang dianggap "layak" oleh norma sosial yang berlaku.


Hilangnya Representasi dan Keadilan Lingual

Kritik ini semakin relevan dalam konteks multikultural. Ketika bahasa dominan menjadi satu-satunya medium yang diterima secara luas, maka suara-suara dari kelompok minoritas atau pinggiran sosial akan terbungkam. Sastra, yang seharusnya menjadi ruang untuk merepresentasikan keragaman pengalaman manusia, gagal memenuhi fungsinya karena tidak ada bahasa yang tersedia untuk menceritakan kisah-kisah tersebut dengan otentik. Penulis dari latar belakang yang berbeda terpaksa menggunakan bahasa yang bukan miliknya, yang membuat narasi mereka terasa asing atau kurang meyakinkan.

Ini bukan hanya masalah estetika, melainkan juga masalah keadilan lingual. Kesusastraan dari sebuah bangsa tidak akan pernah menjadi utuh jika ia hanya merefleksikan satu jenis bahasa dan satu jenis pengalaman. Dengan meminggirkan bahasa-bahasa lain, kita secara tidak langsung juga meminggirkan budaya, sejarah, dan identitas yang melekat pada bahasa tersebut. Sastra menjadi monopoli dari kelompok tertentu, gagal menjadi milik kolektif yang mencerminkan kekayaan bangsa secara keseluruhan.


Jalan Keluar: Pemberontakan Bahasa dan Eksperimentasi

Namun, ada harapan. Sejarah sastra menunjukkan bahwa setiap kali bahasa menjadi terlalu statis dan membelenggu, selalu ada penulis-penulis yang berani memberontak. Mereka menolak untuk patuh pada kaidah, mencampuradukkan dialek, menciptakan istilah baru, atau menggunakan bahasa lisan untuk menantang otoritas bahasa tulis. Karya-karya yang berani ini—seringkali diawali dengan penolakan atau kritik—justru menjadi tonggak sejarah yang membuka jalan bagi ekspresi kreatif yang lebih luas.

Pada akhirnya, penerimaan bahasa adalah sebuah konstruk sosial yang harus terus-menerus dipertanyakan oleh sastra itu sendiri. Sebuah karya sastra yang hebat bukanlah karya yang sekadar menggunakan bahasa dengan baik, melainkan karya yang mampu menggunakan bahasa untuk meruntuhkan tembok, memperluas batas, dan merangkul keragaman. Sastra yang sehat adalah sastra yang tidak takut untuk menggunakan bahasa dalam segala bentuknya, dari yang paling formal hingga yang paling lisan, karena hanya dengan begitu, ia bisa benar-benar menjadi cermin yang jujur bagi peradaban kita.

Posting Komentar

0 Komentar