Hegemoni dan Sastra: Suara yang Dibungkam dalam Belenggu Kekuasaan


Sastra, seringkali dipandang sebagai entitas seni yang bebas, sesungguhnya berada dalam hubungan yang tegang dan kompleks dengan hegemoni. Hegemoni, dalam konteks sosial dan politik, adalah dominasi tidak langsung dari satu kelompok terhadap kelompok lain melalui persetujuan sukarela, di mana ideologi kelompok dominan menjadi norma yang dianggap "wajar" oleh seluruh masyarakat. Kritik sastra yang tajam harus melihat bahwa sastra selalu terancam dibungkam karena potensinya untuk membongkar dan menantang hegemoni tersebut. Sastra menjadi target utama karena ia adalah alat paling ampuh untuk membentuk kesadaran, ingatan, dan imajinasi kolektif.

Sastra sebagai Pembongkar Hegemoni

Sastra adalah medium yang unik dalam kemampuannya untuk membongkar hegemoni. Hegemoni beroperasi dengan menormalkan ketidaksetaraan, membuat struktur kekuasaan tampak alami dan tak terhindarkan. Sastra, dengan narasi dan karakternya, dapat menunjukkan betapa tidak alaminya struktur tersebut. Seorang penulis dapat menciptakan tokoh dari kelas bawah yang menceritakan penderitaannya, sehingga menantang narasi dominan yang menganggap kemiskinan sebagai takdir. Ia dapat menggunakan metafora untuk mengkritik kebijakan yang menindas, atau menggunakan fantasi untuk membayangkan dunia yang lebih adil.

Inilah mengapa sastra berbahaya bagi kekuasaan. Sastra tidak hanya menyuarakan ketidakpuasan; ia juga memberikan bahasa, simbol, dan alur cerita bagi orang-orang untuk memahami ketidakpuasan mereka sendiri. Ia mengubah ketidakbahagiaan pribadi menjadi kesadaran kolektif. Ketika masyarakat mulai membaca dan berbagi karya-karya semacam itu, mereka mulai melihat celah dalam hegemoni, menyadari bahwa dunia dapat diubah. Kekuatan sastra terletak pada kemampuannya untuk mengubah perspektif dari pasif menjadi kritis.


Tiga Belenggu Pembungkaman Sastra

Pembungkaman sastra, baik yang halus maupun terang-terangan, terjadi melalui tiga belenggu utama:

  1. Pembungkaman oleh Sosial Budaya: Ini adalah bentuk hegemoni yang paling halus dan efektif. Masyarakat, melalui norma-norma, nilai, dan tabu yang diinternalisasi, secara tidak sadar membatasi apa yang boleh dan tidak boleh ditulis. Karya yang membahas seksualitas secara terbuka, mempertanyakan dogma agama, atau mengkritik tradisi yang dianggap sakral, sering kali dicap "tidak bermoral" atau "provokatif". Pembungkaman ini tidak datang dari tangan pemerintah, melainkan dari tekanan kolektif, yang membuat penulis merasa terintimidasi atau memilih untuk menyensor diri sendiri demi diterima oleh lingkungannya. Ini adalah pembungkaman melalui pembentukan selera dan moralitas publik.

  2. Pembungkaman oleh Hukum: Ini adalah bentuk pembungkaman yang lebih formal dan terang-terangan. Pemerintah atau lembaga hukum menggunakan undang-undang untuk membatasi kebebasan berekspresi. Undang-undang tentang makar, penistaan agama, atau ujaran kebencian seringkali disalahgunakan untuk membungkam penulis yang karyanya dianggap mengancam stabilitas atau otoritas. Penulis dapat diintimidasi, karyanya ditarik dari peredaran, atau bahkan dipenjara. Belenggu hukum adalah cara kekuasaan untuk menegaskan bahwa batas-batas narasi tidak boleh dilanggar, dengan sanksi yang jelas dan brutal.

  3. Pembungkaman oleh Pemerintah: Ini adalah bentuk pembungkaman yang paling langsung dan otoriter. Di bawah rezim totaliter, sastra menjadi target sensor ketat. Pemerintah menentukan apa yang boleh diterbitkan, subjek apa yang boleh dibahas, dan ideologi apa yang harus diusung. Sastra diubah menjadi alat propaganda untuk memperkuat hegemoni kekuasaan. Penulis yang menolak tunduk akan dicoret dari daftar, diasingkan, atau bahkan dihilangkan. Ini adalah upaya untuk sepenuhnya mengendalikan narasi kolektif, mematikan imajinasi kritis, dan menggantinya dengan narasi tunggal yang didukung oleh negara.

Pada akhirnya, hubungan antara hegemoni dan sastra adalah sebuah pertarungan abadi. Hegemoni berusaha untuk membelenggu sastra, mengubahnya menjadi pelayan kekuasaan atau sekadar hiburan yang tak berbahaya. Sementara itu, sastra, dalam esensinya, adalah semangat yang memberontak. Ia selalu mencari celah untuk menyuarakan kebenaran, untuk mengingatkan kita pada kemanusiaan kita yang terkikis, dan untuk membayangkan kemungkinan-kemungkinan lain. Inilah alasan mengapa sastra selalu dibungkam; karena ia memiliki kekuatan yang paling berbahaya bagi kekuasaan: kekuatan untuk menginspirasi orang untuk berpikir, merasa, dan pada akhirnya, bertindak.

Posting Komentar

0 Komentar