Di masa yang cukup sulit, bertempat
di negeri antah brantah bergelar pewaris panji gitih getah. Para cantrik merasa
terzalimi, ketika sang empu mengangkat tongkat kayu. Sedangkan para penyihir
dengan cerita bualannya dipercaya, hingga dicucup telapak kakinya, di puja
bekas makanannya, dan di tinggikan makamnya.
Ironisnya, mereka dijadikan alat,
diperas, dirampaas hartanya, bahkan anak dan istrinya. Para pemuja yang kolot,
meyakini bahwa, mengikuti para dukun bisa membuat mereka menuju surga.
Mengikuti mereka, meneyerahkan jiwanya, hingga mengabdi sebagai budak, di adu
dengan budak lain dari kelompok sama, namun bergelar para pendogeng ulung.
Negeri ini benar-benar hancur, oleh
para pembual ulung yang mencoba memperoleh pengaruh. Menasbihkan pada nama
besar, seseorang di masa lalu, membuat mereka menancapkan pengaruh yang
menyimpang dari tatanan alam. Mudah mencuci otak dari rakyat, menyuarakan
perang, namun duduk sembari menenggak minuman dibalik layer.
Pertanyaannya, apa mereka terlalu
pintar, atau rakyatnya yang terlalu bodoh? Jawabannya jelas, rakyat lebih
mengutamakan fanatisme dibanding penerapan logika. Ironisnya, cacat nalar ini
dibudidayakan dan dipelihara, tumbuh subur layaknya rumput di musim penghujan.
Nalar yang cacat ini juga dipertahankan agar rakyat mudah diperdaya. Kalian tau
pelakunya, jelas, para tikus yang tak ingin jatahnya dikurangi.
Lalu pertanyaan selanjutnya, penalaran macam
apa yang tumbuh di masyarakat? Masyarakat terbiasa dengan sistem berpikir yang tidak
utuh. Menggagalkan penalaran yang baik, dan akhirnya beralih pada fanatisme
mutlak.
Semua
orang tau, bahwa fanatisme adalah salah satu cacat nalar yang paling utama. dari
seluruh cacat nalar, fanatisme adalah cacat nalar yang sulit disembuhkan.
Fanatisme hanya akan kalah dengan fakta, namun jika fakta dipelintir sedikit
saja, maka gagal-lah penalaran itu.
Bagaimana
mereka (para TIKUS kotor itu), menanamkan cacat berpikir diseluruh
sektor kehidupan masyarakat. Metode paling lama, dan paling usang yang para
tikus itu terapkan adalah menjajah dari sisi pendidikan. Pendidikan yang
menjadi tonggak perlawanan bangsa pada akhir penjajahan, kini di menjadi alat
bagi mereka untuk menghancurkan peradapan sendiri.
Pendidikan
menjadi salah sektor paling seksi, dan digemari oleh para tikus ini. Selain
dapat membodohi bangsa, uang yang diraup cukup banyak, tanpa ada audit lebih
lanjut, Ada mafia yang bermain di belakang layar, ada sistem yang mendukung
mereka untuk memonopoli, ada pengusaha yang jadi pihak pencuci uang. Ekosistem
benar-benar mendukung untuk para bajingan ini memanen padi.
Mari
kita bernalar sejenak, pendidikan masih tergolong kebutuhan paling mahal untuk
seseorang. Itu sebabnya, banyak negara maju tak ingin memiliki anak sebab beban
akan bertambah dengan hadirnya buah hati. Jepang, Rusia, dan beberapa negara
yang menganut faham ini, banyak rakyatnya yang tidak atau menunda pernikahan.
Sebab mereka memikirkan beban meterial dan non material yang akan mereka
tanggung jika memiliku keluarga.
Para
penduduk dengan budaya seperti ini lebih menekakan pada kalkulasi seluruh
kebutuhan hidup, minimal tiga kepala dalam satu rumah tangga. Dari kalkulasi
tersebut, biaya pendidikan yang layak, akan menghabiskan separuh dari harta yang
mereka kumpulkan. Dengan beban seberat ini, maka, bagaimana ada logika yang
diterapkan untuk membuat pendidikan gratis bagi sebuah negara.
Dengan
dasar dari kebudayaan cara berpikir dari beberapa negara maju ini, pendidikan
gratis tidak bisa diwujudkan secara menyeluruh. Lalu kenapa negara ini
menerapkan pendidikan gratis? Yang paling mungkin sebagai alternatif untuk
menekan biaya itu dengan membuat sekolah bergantung dengan bantuan dari negara,
tanpa boleh mematok iuran pendidikan.
Para
tikus itu sedang menanam ketergantungan, sebuah cara untuk mengontorl semua
ruang gerak dari sekolah. Setiap sekolah harus sesuai dengan standar, kurikulum
yang diatur dan membodohkan (sudah teruji dengan merosotanya tingkat kecerdasan
anak setiap tahun). Dan mafia buku, para pemasok buku yang meminta jatah proyek
untuk buku bahan ajar sekolah. Selain
itu, masih banyak lagi penyelewengan dana pendidikan oleh para tikus-tikus di
jajaran teratas.
Lalu, apa yang tersisa untuk para guru? Ya
hanya sisa-sisa untuk menjalankan operasional sekolah selama enam bulan. Dibagi
untuk beberapa guru dalam satu sekolah yang sudah berdedikasi dalam dunia
pendidikan. Oleh karena itu, banyak guru yang menjalani dua pekerjaan
sekaligus, bahkan pekerjaan paling nista bisa mereka lakukan.
Sebab
para guru tidak mendapat kesejahteraan yang layak, dipaksa untuk menyusun
pembelajaran saat perut mereka tak terisi. Dan masih saja dihujat, dipersekusi,
dijarah, seolah para guru adalah sapi perah. Mungkin keadaan lebih baik bagi
para guru yang mendapat bayaran dari negara, meski tidak sepenuhnya cukup.
Namun, bagaimana dengan mereka yang hanya dibayar dengan kata ‘sabar’ dan
ikhlas’?
Lalu
datang para calon tikus yang ingin mendapat perhatian. Mereka mengatakan, atas
nama keadilan nama guru diangkat untuk mendapat hak yang layak. Atas nama
kemanusiaan, nama guru dijadikan umpan untuk menarik bantuan. Atas profesionalitas,
kami, para guru, harus mengantri hingga ujung usia, hanya untuk diakui sebagai
abdi negara.
Lalu,
para bajingan itu berkata, ‘kamu akan usahakan untuk tahun depan, agar semua
dapat kesejahteraan yang sama. Bajingan-bajingan tak beradap, berlindung
dalam jubah agama, menggunakan kata sabar, ikhlas, dan jihad, untuk mengelabui
para tenaga pendidik. Manipulasi, pekerjaan yang bersifat fisik dibalas dengan
bayaran batin dan janji tentang surga. Sebenarnya, mereka ini mengaku sebagai
Tuhan atau apa, beraninya mereka mengklaim sesuatu yang tidak mereka punya.
Sekarang, pergerakan para tikus ini sudah sangat dibatasi dengan keputusan pemimpin negeri ini, menggunakan setrategi, efisiansi anggaran.tikusnya tercekik. Mereka meronta, namun, ironisnya, yang paling tercekik tetaplah para guru, sebab bayarannya tidak turun. Kita butuh langkah yang lebih berani, untuk menghancurkan ekosistem yang membuat para tikus itu tetap hidup. Sebab, jika lubang bagi para tikus itu tetap menganga, dan para penjaganya tetap bersikap acuh, siapa lagi yang akan peduli pada panji getih getah yang kita banggakan.
0 Komentar