Beberapa bulan ke belakang, berita
tentang perselingkuhan seorang mantan pejabat dengan gundiknya terkuak ke ranah
publik. Membanjiri media massa dengan tanggapan, pertentangan, dan gunjingan
yang terus ditebar. Terlalu banyak informasi yang tersebar, entah itu fakta
atau rekayasa, saling membalut, seperti benang kusut.
Mari kita coba urutkan kronologi
kejadiannya, pertama mereka berhubungan tanpa status. Lalu dari sanalah membuahkan
hasil, seorang anak yang menjadi polemik pada masa ini. Si gundik menghilang
untuk beberapa saat dari dunia luar, lalu belakangan ini muncul dengan
berkoar-koar meminta keadilan.
Pertanyaannya, apakah dalam hukum
perdata, seorang anak di luar hubungan pernikahan mendapatkan hak yang setara
dengan anak yang berstatus sah dalam pernikahan? Pertanyaan kedua, apakah hukum
syariat Islam memfasilitasi tuntutan hak pada anak di luar ikatan pernikahan.
Maka dari itu, kita harus melihat
dari sudut pandang kedua hukum tersebut untuk menganalisis masalah yang
mengalihkan fokus kita dari masalah utama di negeri ini.
Pertama, secara hukum perdata, seorang anak di
luar hubungan pernikahan bisa mendapat hak, jika bisa membuktikan hubungan
darah melalui pembuktian ilmiah sesuai Putusan MK No.46 /PUU-VIII/2010.
Maka secara hukum negara, anak di luar nikah bisa mendapat hak dari ayahnya. Si
anak bisa mendapat pengakuan, hak waris, serta perwalian dalam hukum perdata.
Sementara dalam pandangan hukum
syariat Islam, menyatakan bahwa jika seorang anak lahir di luar ikatan pernikahan
yang sah, maka semua hak dari ayahnya terputus. Tidak ada kewajiban dan hak
bagi seorang ayah, atas anak yang terlahir dari hubungan di luar nikah. Maka
dari itu secara sadar harus kita akui, bahwa anak si gundik tidak bisa menuntut
haknya kepada si ayah, meski ia memiliki hubungan biologis.
Dari kedua dasar hukum ini, kita
bisa melihat perbedaan pandangan aturan yang memaparkan tentang anak di luar
nikah. Hukum perdata masih memberi celah untuk tuntutan hak dari pihak penggugat,
atas dasar hak asasi manusia. Sedangkan hukum syariat, menyatakan bahwa seorang
anak di luar nikah, terputus hak waris, nasab, dan perwaliannya dari sang ayah.
Jika kita hanya mengutamakan hukum
perdata untuk meloloskan kasus semacam ini. Ada kekhawatiran, hubungan diluar
nikah secara masif akan dilegalkan atau dinormalisasi secara masif. Berarti
akan tercipta pola pikir baru, bahwa seorang pelacur bisa menuntut hak untuk
anak yang dilahirkan, walau tanpa ikatan yang dilegalkan oleh negara.
Hal
ini akan memicu pertanyaan krusial bagi kita: Apa bedanya ini dengan melegalkan
prostitusi? Membiarkan seorang ‘menjual diri”, mendapat untung, lalu saat
terjadi kecelakaan (seperti kehamilan), gugatan bisa dilayangkan. Hal itu akan
menjadi normal, karena hukum yang diterapkan akan menaungi hal sepele seperti
ini, para wanita bisa melacurkan diri mereka dengan bebas.
Kita bisa sepakati ini: si gundik
jelas-jelas menjual dirinya, entah itu untuk pertama kalinya atau beberapa
kali. Tidak ada perasaan cinta yang terjalin antara keduanya, semua hanya
berdasarkan materi, barter jasa dan keuntungan secara adil. Lalu, kenapa harus
ada gugatan dan blow-up ke media massa tentang kasus pribadi dan melibatkan
ruang publik secara umum?
Perlu digarisbawahi: bahwa perbuatan
si pria tidak dibenarkan secara moral dan agama. Namun secara garis besar, bisa
kita simpulkan bahwa ini adalah isu rumah tangga yang dibawa ke ruang publik.
Isu pribadi yang dibesar-beasarkan untuk menarik perhatian publik, agar
perhatian masyarakat teralihkan. Tentunya, media massa juga berkontribusi dalam
pembodohan ini, menampilkan isu receh demi menarik perhatian masyarakat.
Lalu pertanyaannya, mengapa hanya
wajah negatif yang ditampilkan di hadapan publik untuk menarik minat penonton?
Apakah tidak ada wajah-wajah positif yang bisa ditampilkan untuk menginspirasi masyarakat? Pertanyaan
lebih dalam pun tercipta, kenapa isu remeh begitu digemari oleh masyarakat?
Apakah isu tentang pertambangan ilegal, korupsi massal, kerusakan lingkungan,
ketahanan pangan, keterpurukan ekonomi rakyat, dan beberapa hal lain, tidak
semenarik permasalahan gundik yang menggugat pelanggannya?
Kasus ini sebenarnya adalah selingan
yang harusnya tidak berjilid-jilid seperti kasus sensasional lain. Sangat
remeh, sangat ringan, dan tidak perlu analisis lebih lanjut untuk menentukan
siapa yang salah dan benar. Toh, jika kita ingin menonton drama yang lebih
hebat, kenapa kita tidak mononton drama korea yang lebih menampilkan konvlik
tragis dalam alurnya? Kalau kalian bertanya alasanya, sebab sama-sama isu kecil
yang dihadirkan dalam ruang publik.
Lebih baik, sisihkan tenaga untuk
meningkatkan produktifitas demi kehidupan diri sendiri. Atau jika ingin lebih menyelami
tentang permasalahan negeri ini, sisihkan pikiran kita untuk menganalisis
permasalahan yang menjamur di negeri ini.
0 Komentar