Sastra, terutama karya-karya lama yang kaya akan kearifan lokal dan cerita turun-temurun, sejatinya adalah cermin masyarakat dan khazanah pelajaran hidup. Ia merekam norma, nilai, kepercayaan, serta perjuangan manusia di zamannya. Namun, dalam benak sebagian masyarakat, khususnya di Indonesia, sastra lama seringkali bergeser dari ranah fiksi dan simbolisme menjadi "fakta" yang diselimuti aura mistisme. Mereka cenderung mereka-reka keadaan di masa lampau yang penuh dengan hal-hal di luar nalar, bahkan sampai mengaitkannya dengan laku tertentu untuk mendapat kekuatan yang sama seperti tokoh dalam cerita. Ini adalah penyimpangan fatal dari esensi sastra, yang justru mengaburkan nilai edukasi dan reflektifnya.
Fenomena ini tidak terlepas dari kuatnya budaya lisan dan kepercayaan animisme-dinamisme yang mengakar dalam masyarakat kita. Cerita-cerita yang disampaikan dari mulut ke mulut, yang awalnya mungkin metafora atau personifikasi kekuatan alam, perlahan mengeras menjadi dogma. Ketika cerita-cerita ini kemudian dituliskan dalam bentuk sastra, seperti babad, hikayat, atau primbon, statusnya di mata sebagian orang naik menjadi "kitab suci" yang berisi petunjuk gaib. Mereka tidak lagi melihat Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu sebagai ajaran filosofis tentang kebijaksanaan dan transformasi diri, melainkan sebagai mantra sakti untuk memperoleh kesaktian.
Melampaui Makna Harfiah: Simbolisme yang Terabaikan
Kekeliruan utama terletak pada kegagalan memahami simbolisme dan metafora dalam sastra lama. Banyak tokoh, peristiwa, atau objek dalam cerita diciptakan bukan untuk menunjukkan keberadaan fisik atau kejadian literal, melainkan sebagai representasi dari gagasan, sifat manusia, atau kekuatan universal. Misalnya, tokoh sakti yang bisa terbang atau menghilang seringkali adalah personifikasi dari ilmu pengetahuan, kecepatan berpikir, atau kemampuan mengatasi rintangan. Namun, bagi mereka yang memandang sastra sebagai fakta mistis, tokoh tersebut benar-benar ada dan kekuatannya bisa ditiru melalui ritual atau tirakat tertentu.
Akibatnya, fokus beralih dari pesan moral atau filosofis menjadi obsesi pada "kekuatan" harfiah. Masyarakat tidak lagi merenungkan ajaran tentang kepemimpinan yang adil dalam kisah Ramayana, melainkan tergiur pada ajian tertentu yang dimiliki Rama atau Rahwana. Mereka tidak mengambil pelajaran tentang kebijaksanaan dalam menghadapi godaan seperti dalam kisah Dewi Sri, tetapi malah mencari "pesugihan" yang dikaitkan dengan tokoh tersebut. Sastra yang seharusnya menjadi alat untuk introspeksi dan pengembangan diri, malah dijadikan peta menuju kekuasaan instan atau jalan pintas menghadapi masalah.
Peran Sastra yang Terdegradasi: dari Cermin Menjadi Mantra
Ketika sastra lama disalahpahami sebagai mantra atau resep instan, perannya sebagai cermin masyarakat dan pelajaran hidup terdegradasi. Masyarakat kehilangan kesempatan untuk:
Memahami konteks sejarah dan budaya: Mereka tidak melihat bagaimana cerita-cerita itu merefleksikan dinamika sosial, sistem nilai, atau konflik yang dialami nenek moyang.
Mengambil nilai-nilai universal: Pesan tentang kesetiaan, pengorbanan, keadilan, atau kejahatan yang abadi dalam sastra, luput dari perhatian karena tertutup oleh aura mistis.
Melatih nalar kritis: Alih-alih menganalisis motivasi karakter atau konsekuensi tindakan, mereka justru fokus pada hal-hal irasional.
Ini adalah ironi besar. Sastra diciptakan oleh manusia untuk manusia, sebagai alat komunikasi yang melampaui waktu dan ruang, membawa kearifan dari generasi ke generasi. Ia adalah medium di mana kita bisa belajar dari kesalahan masa lalu, merayakan kebaikan, dan membayangkan masa depan. Namun, ketika ia ditarik ke dalam ranah mistisisme ekstrem, esensinya menjadi hilang, dan ia berhenti berfungsi sebagai alat pencerahan.
Tugas kita sebagai pemerhati sastra, pendidik, dan masyarakat adalah untuk meluruskan pandangan ini. Kita perlu terus-menerus mengedukasi bahwa sastra adalah hasil imajinasi dan refleksi manusia, bukan buku panduan mantra. Mempelajari sastra lama harus menjadi ajang untuk menggali kekayaan budaya, memahami kearifan lokal, dan mengambil pelajaran hidup yang relevan untuk masa kini, bukan untuk mencari kekuatan di luar nalar atau terjebak dalam reka-reka keadaan yang mengaburkan realitas. Dengan begitu, sastra dapat kembali pada khitahnya: lentera kebijaksanaan yang membimbing, bukan jimat yang menyesatkan.
0 Komentar