Senyapnya Gemuruh Pasca-1970: Kritik atas Kebuntuan Genre dalam Sastra Kontemporer

 


Sejarah sastra seringkali digambarkan sebagai aliran sungai yang tak pernah putus, mengalirkan berbagai gaya, tema, dan genre dari masa ke masa. Namun, bagi sebagian pengamat dan peneliti, aliran sastra Indonesia selepas tahun 1970-an terasa seperti bertemu dengan sebuah kebuntuan, sebuah periode "pascaproduksi" dalam artian kemunculan genre-genre baru yang signifikan dan khas. Tentu, karya sastra terus dihasilkan, tetapi kritik atas stagnasi ini tidak bisa diabaikan, terutama ketika para peneliti sastra sendiri menghadapi kesulitan serius dalam mengelompokkan dan memahami bentang alam genre yang kian kabur.

Kebuntuan ini bukanlah berarti sastra Indonesia mati suri. Sebaliknya, yang terjadi adalah sebuah fragmentasi dan percampuran yang tak terhindarkan. Jika sebelumnya kita memiliki periodisasi yang relatif jelas—Angkatan Pujangga Baru, Angkatan '45, Angkatan '66—dengan karakteristik genre yang dominan (roman realis, puisi perjuangan, drama absurd), maka pasca-1970, lanskap sastra menjadi lebih kompleks dan sulit dipetakan. Beberapa faktor turut berkontribusi pada kebuntuan pengelompokan genre ini:


Faktor-faktor Kebuntuan Genre

  1. Pengaruh Postmodernisme dan Dekonstruksi: Arus pemikiran postmodern yang mendobrak batas-batas konvensional dan merayakan fragmentasi memiliki dampak besar. Karya sastra tidak lagi terikat pada satu bentuk atau satu genre saja. Novel bisa memiliki elemen puisi, drama, esai, bahkan laporan jurnalistik. Penulis sengaja mengaburkan garis genre sebagai bentuk eksperimentasi dan penolakan terhadap kategorisasi yang kaku. Hal ini tentu saja menyulitkan peneliti yang terbiasa dengan kerangka klasifikasi yang lebih tradisional.

  2. Ledakan Teknologi dan Media Baru: Kemunculan internet, media sosial, dan platform penerbitan mandiri (self-publishing) setelah era 1970-an secara drastis mengubah lanskap produksi dan konsumsi sastra. Batasan antara penulis profesional dan amatir menipis. Konten sastra tidak lagi hanya berbentuk novel cetak atau antologi puisi. Ada cerpen mini di Twitter, flash fiction di Instagram, hingga cerita bersambung di platform online. Masing-masing memiliki ciri khas tersendiri yang mungkin tidak sepenuhnya cocok dengan definisi genre konvensional. Bagaimana kita mengategorikan "puisi instan" atau "fiksi interaktif"?

  3. Hibridisasi Genre: Penulis modern tidak ragu untuk mencampurkan berbagai genre. Fantasi bisa bersanding dengan realisme magis, roman bisa bertemu dengan thriller politik, atau fiksi ilmiah bisa disisipi kritik sosial yang tajam. Hasilnya adalah karya-karya hybrid yang sulit ditempatkan dalam satu kotak. Seorang peneliti mungkin kesulitan memutuskan apakah sebuah novel adalah realisme sosial dengan sentuhan absurditas, ataukah absurditas yang berlatar realisme sosial. Kebingungan ini seringkali memaksa peneliti untuk menciptakan sub-genre baru yang semakin spesifik, tetapi justru kehilangan daya cakupnya.

  4. Minimnya Manifestasi Angkatan Sastra Baru: Pasca-Angkatan '66, tidak ada lagi deklarasi atau "angkatan" sastra yang secara eksplisit memperkenalkan estetika atau ideologi baru yang dominan dan memunculkan genre khas. Sastra bergerak lebih individual, dengan masing-masing penulis mencari suaranya sendiri tanpa terikat pada manifesto kolektif. Ini berarti tidak ada pola besar yang bisa diidentifikasi untuk membentuk kategori genre yang solid.


Kebuntuan Peneliti: Antara Kebutuhan Klasifikasi dan Realitas Fragmentasi

Kebuntuan ini, pada gilirannya, menimbulkan frustrasi di kalangan peneliti sastra. Mereka terbiasa dengan metode klasifikasi yang rapi, yang memungkinkan mereka menganalisis tren, perkembangan, dan pengaruh. Namun, di hadapan karya-karya pasca-1970, alat analisis mereka terasa tumpul. Mengelompokkan karya menjadi "novel realis," "puisi lirik," atau "drama absurd" menjadi semakin tidak memadai.

Beberapa peneliti mungkin tergoda untuk memaksakan kategori lama pada karya baru, yang berujung pada analisis yang dangkal dan tidak relevan. Yang lain mungkin terlalu fokus pada partikularitas setiap karya, sehingga kehilangan kemampuan untuk melihat pola atau tren yang lebih besar. Pada akhirnya, ini menghambat pemahaman kita tentang bagaimana sastra kontemporer merefleksikan masyarakat saat ini dan bagaimana ia berevolusi.

Solusinya mungkin bukan pada pencarian genre "baru" yang kaku, melainkan pada pengembangan kerangka analisis yang lebih cair dan adaptif. Peneliti perlu merangkul ambiguitas dan hibriditas, melihat sastra sebagai spektrum yang luas ketimbang deretan kategori terpisah. Fokus bisa dialihkan dari "apa genrenya" menjadi "bagaimana karya ini menggunakan elemen-elemen genre yang berbeda untuk menyampaikan pesannya." Dengan demikian, kita dapat mengapresiasi kompleksitas sastra pasca-1970, bukan sebagai periode "pascaproduksi," melainkan sebagai era eksplorasi dan percampuran yang tak terhingga, yang menuntut cara pandang dan pendekatan baru dari para penelitinya.

Posting Komentar

0 Komentar