Sekat Pemisah
Bersama dengan matahari yang mulai meninggi di puncak siang, Farhan berjalan bersama sahabatnya, Indra, menuju sekertariat Rohis Masjid Al-Muhajir. Seperti biasanya, mereka bersiap untuk melakukan sholat dzuhur lalu beristirahat di ruang sekertariat Rohis. Ruang sekertariat sudah seperti rumah mereka yang bisa digunakan untuk istirahat dan hal lain sebagainya.
Di tengah jalan meraka bertemu dengan Fatma dan Risma, Fatma adalah mahasiswa tingkat akhir, sekaligus teman Farhan dan Indara di Rohis. Sementara Risma teman sekelas Indar dan anggota Rohis pula. Farhan dan Indra mempersilakan mereka untuk berjalan terlebih dahulu. Tetapi Fatama menolak, dan mempersilakan Farhan berjalan di depan. Memang tak ada pembicaraan dari meraka, meraka hanya memberi isyarat dari mata dan tangan. Tapi yang menjengkelkan adalah, Risma dan Indra tersenym geli dengan tingkah kedua seniornya.
Farhan melangkah terlebih dahulu, sementara Fatma mengerutkan wajah, seolah tak suka dengan tingkah Farhan. Bagi mereka berdua, bertegur sapa dengan lawan jenis merupakan hal tabu, dan sangat terlarang. Maka dari itu dalam Rohis tak pernah ada pembicaraan pribadi antara laki-laki dan perempuan. Farhan dan Fatma adalah orang yang masih menjaga peraturan tak tertulis dibanding adik-adik tingkat meraka.
Setelah jam oprasional kampus tutup, Farhan dan Indar pulang ke kotarkan mereka. Mereka memutuskan untuk pulang ke kontrakan karena sudah tak ada lagi urusan di kampus. Mereka bergantian mandi, ketika yang lain mandi, yang lain menyiapkan makanan untuk buka puasa. Rumah ini di tempati oleh empat orang, Farhan, Indara, Doni si mahasiswa kadaluarsa, dan Hendra.
Setelah makanan siap, meraka pun buka bersama, di ruang tamu dengan sendau gurau tentang kegiatan kuliah. Ruang tamu tersebut bagaikan jantung rumah kontrakan ini, karena disana lah seluruh kegiatan mulai dari makan hingga mengerjakan tugas dilakukan.
Selesai makan, Farhan dan Doni duduk sembari mencerna makanan, dan menunggu waktu isya. Hendar bersiap-siap untuk pergi dengan pakaian rapi layaknya hendak kencan, dan Indra pergi ke kamar memeriksa kembali tugas yang diberikan oleh dosennya.
“Gimana kabar Fatma, Han?” tanya Doni membuka pembicaraan.
“Maksutnya gimana?” balas Farhan.
“Maksutnya, Fatma bagaimana kabarnya, baik-baik saja atau tidak?” ulang Doni.
“Mana ku tahu,” tanggap Farhan acuh, “bicara saja tidak pernah.”
“Kalau bicara memang tidak pernah, tapi kalau pakek bahasa isyarat sering,” sergah Indar saat bergabung bersama meraka di ruang tamu.
“Hai!!” sergap Farhan, “yang tidak berkepentingan diharap diam,” imbuhnya.
“Han, kalau kamu memang ada rasa pada Fatma, utarakan saja, daripada nyesel nanti,” ucap Doni menasehati.
“Farhan mana berani, dia kan pengecut, jangankan bicara, menatap mata Kak Fatma aja tak pernah,” timpal Indra.
Farhan hanya terdiam, ia merasa di pojokkan oleh kedua sahabatnya. Memang ia tak berani bicara pada Fatma, tapi bukan karena ia takut, namun peraturan tak tertulis dikalangan anak Rohis yang menyebabkannya. Doni dan Indra pun tahu benar akan peraturan itu, namun mereka mengacuhkannya. Semua anak Rohis tau tentang hukum menjaga pandangan, dan larangan mendekati zina, maka dari itu tidak lah pantas anak Rohis memiliki hubungan tanpa ikatan halal. Tapi sedikit sekali anak Rohis yang menaati peraturan itu, dan Farhan sedang berusaha melakukan itu.
Malam itu, Farhan hanya terdiam, ia tak ingin melanjutkan perdebatan yang percuma, walau akhirnya ia yang terus dipojokkan oleh kawan-kawannya. Tapi Farhan tetap bungkam dalam diamnya, dan tak ingin menjawab.
***
Satu waktu di bulan ramadhan yang penuh berkah, Farhan dan kawan-kawannya mengadakan bakti sosial. Meraka membagikan takjil bagi para pengendara dan anak-anak jalanan di tepi jalan raya. Acara berjalan lancar, dan semua makanan habis dibagikan.
Farhan tersenym puas karena kegiatan itu berjalan dengan lancar. Ia melihat senyuman dari para anak jalanan serta beberapa tuna wisma yang mendapat nasi kotak. Ia puas bisa melihat senyum yang terpancar para orang-orang yang tak mengkhawatirkan saat buka puasa nanti. Senyuman itu yang membuat Farhan bahagia, senyum itu yang membuat hatinya tersenyum pula. Walau ia sedikit terganggu dengan beberapa hal yang ia lihat, contohnya Indra dan Risma yang begitu dekat, serta beberapa anggota Rohis yang melakukan hal serupa.
Farhan hanya bisa melihat dari jauh, ia tak mampu mengambil tindakan, Farhan mengelus dada, mencoba mentolerir hal itu. Ia tak ingin hatinya berprasangka, walau jelas-jelas yang dilakukan meraka, salah. Tapi tak ada gunanya bertengkar hanya karna sebuah ayat. Lalu ia terpaku melihat Fatma, gadis itu sedang tersenyum melihat kegembiraan dari anak-anak jalanan yang menerima nasi kotak darinya. Fatma tersenyum manis, sangat manis, berbeda dari sebelum-sebelumnya.
Sesaat kemudian, Fatma puas dengan kekagumannya, dan mengalihkan pandangan. Kedua mata Farhan dan Fatma saling bertemu, Fatma menatap Farhan, begitu pula sebaliknya. Kedua mata itu saling bertemu dalam dunia tatap yang tak terbahasakan. Senyum mulai tergambar, merekah indah pada kedua insan ini. Entah, senyum itu digambarkan oleh bibir mereka, atau hati mereka, yang pasti mereka tersenyum, melukis kisah dalam diam masing-masing.
“Han, ayo pulang,” Indra menepuk bahu Farhan yang masih dalam lamunan.
“Oh ayo,” ucap Farhan tersadar.
Mereka pun berjalan meninggalkan tempat itu, menuju motor milik Farhan yang terparkir agak jauh. Farhan dan Indar berjalan berdampingan, Farhan yang masih terngiyang senyum Fatma, tak menghirakan Indra yang terus bicara tanpa henti.
“Han, sabtu ini ada acara?” tanya Indra membuyarkan lamunan Farhan.
“Apa??” tanggap Farhan tak fokus.
“Sabtu ini kamu ada acara?” ulang Indra
“Sepertinya tidak,” jawab Farhan setelah menimbang-nimbang.
“Aku ada acara bukber, kamu mau ikut?” tanya Indra lebih lanjut.
“Boleh, dimana?” tanggap Farhan.
“Tempat makan sekitar kampus,” jawab Indra.
“Oke, sabtu sore,” ucap Farhan menyanggupi.
***
Sabtu sore jam setengah lima, Farhan dan Indra berangkat dari kontrakna menuju tempat makan samping kampus. Janji yang telah dibuat tempo hari, tentang buka bersama dengan kawan Indra. Sebenarnya Farhan tak tau, siap teman yang diajak Indar buka bersama, ia hanya tak enak hati, menolak ajakan sahabatnya. Farhan hanya datang untuk menemani Indar, tak lebih.
Singkat cerita, sampailah mereka di tempat makan yang sudah terkenal murah dikalangan mahasiswa. Farhan dan Indra berjalan menyusuri tempat itu untuk mencari tempat duduk. Tida-tiba Farhan terkejut dengan kehadiran Fatma di tempat itu, mungkinkah ini yang dimaksut Indar dengan buka bersama. Tapi ia tepis perasaan itu, dan menganggapnya hanya kebetulan belaka.
Indara melambai ke arah Risma yang duduk di sebelah Fatma, ia pun mengajak Farhan untuk menghampiri mereka. Farhan sempat menolak ajakan Indra, tapi dengan sedikit paksaan akhirnya ia mau. Meski Farhan bersedia duduk dengan mereka, namun ia tetap diam, persis yang dilakukan oleh Fatma di depannya. Indra dan Risma tak merasakan tatapan aneh dari keduanya, mereka tetap asik mengobrol dan bercanda sembari menunggu waktu buka.
Akhirya, waktu yang ditunggu telah tiba, empat orang itu pun berdoa dan menyantap makanan yang telah tersedia di menja. Tak sepetah kata pun keluar dari mulut Farhan, entah ia marah atau bagaimana. Fatma pun melakukan hal yang sama, ia tidak mau bicara, hanya sesekali menjawab sentilan dari Risma dengan nada datar. Farhan terus membungkam mlutnya, walau Indra berkali-kali mengajaknya bicara. Farhan terus diam, dan kediaman itu diketahui oleh Fatma sebagai tanda kemarahan atas ajakan adik tingkatnya. Farhan hanya berpikir tentang satu hal yang mengganggu, bagaimana keadaan ini akan dijelaskan.
Karena farhan tidak menemukan jawaban di otaknya, untuk situasi ini, maka ia pun mulai bertanya.
“Maaf sebelumnya, ini sebenarnya acara apa?” Farhan berbicara dengan nada serius.
“Ya bukber, memang kelihatannya seperti acara apa?” jawab Indra remeh.
“Serius Ndar!” Sergap Farhan, “disini ada Mbak Fatma, ada Risma, ada aku dan kau, maksutnya apa?”
“Ya kalau cuma ada aku sama kau yang bukber, kenapa harus jauh-jauh ke mari, kita kan bisa buka di kontrakan,” Indra tertawa canggun diakhir kalimat.
“Udah jujur aja, kau tak bisa bohong padaku,” sergah Farhan.
“Ris, bantu jawab dong, ini kan rencana kita,” ucap Indra beralih ke Risma.
“Jadi gini kak,” Risma coba menjawab. “Aku sama Indra memang punya rencana buka bersama, namun kalu cuma berdua kan gak enak.”
“Kalau berdua, bukan buka bersama, tapi buka berdua namanya,” ucap Fatma ketus mengetahui niat Risma. “Ris, jujur sama aku, apa sebenarnya maksutmu?”
Risma dan Indra tak bisa menjawab, karena merasa bersalah dengan kelakuan mereka yang melibatkan Farhan dan Fatma dalam urusan pribadi mereka. Mereka berdua gugup ditodong pertanyaaan dari Fatma dan Farhan, mereka tak tau harus berkata apa pada kedua seniornya itu. Risma hanya terdiam membeku dihujam tatapan menghakimi oleh Fatma, sementara Indra tak sanggup mengungkapkan maksutnya pada Farhan. Indar dan Risma sama-sama sedang merangkai kata untuk menjelaskan tentang maksut mereka.
“Mbak Fatma, aku ingin minta maaf atas situasi ini,” ucap Indra seteah jeda yang sangat lama. “Han, aku juga minta maaf padamu karena tak memberitahu maksutku yang sebenarnya. Sebenarnya, kami memeng memiliki rencana buka bersama, tapi cuma kami berdua saja. “Tapi kalian tau sendiri bagaimana sikap para senior yang lain jika tau tentang hubungan kami. Maka dari itu kami mengajak kalian berdua ikut.”
“Lalu, jika kalian mengajak kami, kami akan mengizinkan!” sergap Fatma ketus.
“Kak Fatma kan baik,” ucap Risma dengan nada menja.
“Tapi Ris, yang kalian lakukan ini salah, dan aku tak bisa mentolerir hal ini,” sanggah Fatma tak menerima alasan.
“Kami nggak ngapa-ngapain kok, dan Indra juga punya niat serius sama aku,” ucap Risma membela diri.
“Kalian itu masih kecil, belum pantes ke arah situ,” sergah Fatma.
“Lalu bagaiman dengan Bang Doni dan Kak Nita, apa karena dia sudah jadi senior, lalu mereka bebas memiliki hubungan?” protes Indra.
“Kak Rara juga,” imbuh Risma, “dan jangan bilang Kak Fat nggak WA-an sama lagi ketua Rohis, Bang Hamdan,” sergap Risma ketus.
“Masalah itu beda Ris, aku dan ketua itu satu kelas, jadi nggak mungkin kalau kita nggak chat-an,” sanggah Fatma.
“Menurutku sama saja,” celetuk Risma acuh, dan Fatma tak sanggup menjawab.
“Oh, jadi semua yang kalian lakukan ini untuk berlindung dari peraturan,” potong Farhan menengahi.
“Maksutnya?” ucap Fatma keheranan.
“Mbak, mereka mengajak kita sebagai tameng, jika mereka terkena masalah oleh para senior, atau kemungkinan terburuk “disidang”. Maka kita juga akan terseret dalam masalah itu, Ukhti Fatma,” jelas Farhan.
“Astaga, jadi karena itu kamu mengajakku Ris!” ucap Fatma emosi.
Risma ragu untuk menjawab, “bu..., bukan seperti itu,” jawab Risma.
“Alah!! Bohong,” ucap Fatma.
“Ndra bantuin lah, ini kan rencanamu,” Risma beralih ke Indra.
“Oke, kita sederhanakan saja masalah ini,” ucap Farhan sebelum Indra berkata yang tidak-tidak. “Kita terlanjur terbawa dalam masalah mereka Mbak, dan kita tak bisa menghindar lagi.”
“Apa maksutmu Han?” tanya Fatma. “Apa kamu ingin aku menutup mulut tentang hal ini,” ucap Fatma curiga.
“Apa boleh buat, kita terlanjur ikut dalam masalah mereka. Jika kita laporkan pun, kita juga yang akan terkena imbasnya,” ucap Farhan.
“Tapi, Han..” Fatma coba untuk menyanggah.
“Sudahlah ukh, kita memaksa pun, hasilnya tak akan baik,” potong Farhan. “Tapi, bukan berarti aku membenarkan tindakan kalian,” Farhan beralih ke Indra dan Risma. “Perbuatan kalian ini tetap salah, mencoba mengakali peraturan dan hukum itu bukan tindakan yang baik. Jika kalian melakukan hal ini lagi, aku dan Fatma, tidak akan membantu,” pungkas Farhan mengakhiri perdebatan, Fatma pun sudah pasrah.
“Sekarang, mari kita sholat magrib dulu, lalu pulang,” ucap Farhan mengakhiri. Mereka pun menuruti saran Farhan, tak ada yang protes. Walaupun sebenarnya Fatma masih tak bisa terima dengan apa yang dilakukan Indra dan Risma. Masih banyak hal yang ingin diungkap oleh Fatma, namun apa boleh buat, semua sudah berlalu, Fatma berharap kedua adik juniornya bisa bersikap dewasa.
***
“Kak Fat,” ucap Risma manja, ketika berjalan pulang dengan Fatma, “maaf, jangan cuma diem kayak gini dong,” Risma berusaha merayu Fatma agar kemarahannya mereda.
“Kamu tau nggak, apa yang kalian lakukan itu salah, dan kamu menyeret kami berdua pula dalam masalahmu, aku dan Farhan,” sergap Fatma. “Oke, aku mengaku salah karena memberi contoh buruk pada kalian! Tapi jangan mencontoh hal buruk yang kami, para seniormu, lakukan. Jadikan hal itu pelajaran agar kalian bisa lebih dewasa. Aku sudah berusaha yang terbaik dek, namun aku juga manusia, masih lekat dengan salah dan lupa,” Fatma mengungkapkan kekesalannya.
“Maaf kak, namun aku suka sama Indra, dan dia juga berjanji mau serius denganku,” Risma masih membela diri.
“Oke, apa buktinya?!” Sergah Fatma, “dengan mengajakmu dalam hubungan yang tidak jelas ini!” sanggahnya.
Risma terdiam, tak bisa menjawab cercaan Fatma, “Kamu nggak bisa jawab kan?” ucap Fatma.
“Sebenarnya, kami sudah lama berhubungan, tapi aku sama Indra sembunyikan karena peraturan itu, dan kami sama-sama serius menjalani ini semua,” ungkap Risma.
“Jika Indra memang serius denganmu, apa dia berani ke rumahmu dan meminta ijin pada orang tuam?” tanya Fatma ketus.
“Indra memnag belum menemui orang tuaku, tapi aku yakin dia akan melakukan itu nanti,” jawab Risma meyakinkan.
Ucapan Risma hanya dibalas senyum kecut olah Fatma.
“Tapi sebenarnya, buka bersama tadi bukan hanya tentang aku dan Indra,” ucap Risma.
“Oh ya,” tanggap Fatma remeh. “Tadi kamu belum menjelaskan hal itu,” sergap Fatma.
“Sebenarnya, buka bersama tadi bukan hanya kami, tapi juga untuk menjodohkan kalian,” jawab Risma.
“Kalian,” ulang Fatma, “aku tak mengerti maksutmu,” Fatma bingung.
“Ya kalian, Kak Fat sama Kak Farhan,” ucap Risma polos.
“Aku, Farhan??” Fatma merasa aneh dengan yang diucapkan Risma. “Maksutmu bagaimana sih Ris?”
“Kami berusaha menjodohkan kalian,” ulang Risma.
“Apa??” Fatma terkejut, “jangan becanda deh Ris,” ucap Fatma masih tak percaya. “Farhan kan..” Fatma tak bisa melanjutkan kalimatnya.
“Ya udah kalau nggak percaya,” sergap Risma. “Kak Farhan kan suka sama Kak Fat, dan jangan bilang Kak Fat nggak ada rasa sama Kak Farhan, keliatan lagi dari gelagat kalian, cuma kalian aja yang jaim, sok peduli sama peraturan konyol itu!” ucap Risma sembari berjalan mendahului Fatma.
***
Tak ada sepetah kata pun keluar dari mulut Farhan sepanjang jalan pulan menuju kontrakan. Meski Indra berkali-kali minta maaf, Farhan tetap acuh dan tidak mempedulikan sama sekali.
“Han ayolah, maaf, iya yang tadi itu emang keterlaluan, tapi semua itu demi kau juga,” ucap Indra sesampainya di kontrakan.
“Han!!” ucap Indra lantang, “aku tau kau marah, tapi maksutku baik,” ucap Indra membela diri.
“Aku tau maksutmu, aku yang ngajarin kamu tentang semua trik itu. Antarkan saja aku ke rumah Fatma hari raya besok, itu aja sudah cukup, tak perlu susah payah kayak gini,” ucap Farhan mengakhiri.
“Maksutmu??” Indra dibuat bingung sekaligus terkejut oleh ucapan Farhan barusan.
Farhan masuk ke rumah, ia tak mempedulikan Indra yang masih diselimuti oleh tanda tanya. Farhan masuk ke kamarnya, dan ia tak keluar sampai waktu isya tiba.
Sekian
Saumer#
Malang, 24 Maret 2020
1 Komentar
Lacbet | Online Casino | LACBET
BalasHapusGet up to 카지노 100% up to €130 at Lacbet. The Casino boasts a huge selection 카지노사이트 of slots. Over 1000 games matchpoint and the best bonuses.