Malam di Ngayogyokarto
Berapa hari telah berlalu sejak akad nikah Bara dan Hilda. Hari besar telah mereka lewati, dan sekarang adalah saat, “aku dan kamu, menjadi kita,” iya seperti itu kira-kira kata mereka, setidaknya sampai sekarang.
Kehidupan baru mulai dijalani oleh keduannya dari awalnya tidak tau, menjadi tau, yang tidak mengerti menjadi mengerti. Awal kehidupan rumah-tangga yang indah, yang masih terbalut rasa malu-malu, masih ada rasa sungkan untuk menunjukan karakter aslinya.
Selayaknya kehidupan rumah-tangga yang baru, ada hal-hal mengejutkan yang ditemukan oleh keduannya. Mereka pun mulai menyesuaikan diri dengan satu samalain, mulai terbiasa dengan kehadiran sosok baru ketika bangun tidur. Mulai bercerita tentang kehidupan masa lalu sebelum menikah, dan menerimanya. Kehidupan baru mereka telah dimulai, rumah tangga yang baru dibangun, membutuhkan pondasi yang kokoh agar tak mudah runtuh.
Fase ini adalah tahap saling mengenal antara Bara dan Hilda, tentang sifat asli keduanya. Mereka mulai mengenal kebiasaan-kebiasaan buruk dari keduanya, menerimanya dan coba saling meyesuaikan. Dengan saing mengenal, hubungan mereka menjadii harmonis, atau setidaknya mereka saling mengetahui sisi baik dan buruk dari pasangannya.
Malam itu, Bara baru pulang bersama mertuanya, dari rumah seorang teman. Bara diajak oleh ayah mertuanya ke rumah salah satu sahabat karibnya. Hilda tidak ikut, ayahnya hanya mengajak Bara, untuk berkenalan dengan sahabatnya tersebut. Setelah pulang, Bara pun masuk ke kamar, ia mendapati istrinya di tempat tidur, sedang asik dengan gedget kesayangannya.
“Lho, kamu siapa?” dengan memasang muka seperti orang linglung, Bara menggoda istrinya.
“Hah?!!” Hilda heran dengan sikap yang ditunjukan Bara.
“Kamu kok bisa ada disisni?” Bara masih dengan raut wajah yang sama, tetap menggoda istrinya.
“Ini kamarku Mas!” ucap Hilada tegas, mengetahui sang suami sedang menjahilinya.
“Oh iya,” ucap Bara sembari cekikikan sembari berjalan menuju tempat tidur.
Saat Bara sudah sampai di tempat tidur, Hilda bergelayut manja di lengan Bara seraya bertanya, “dari mana?”
“Diajak Ayah kerumah sahabatnya,” jawab Bara singkat, seraya membuka hendphon miliknya.
“Oh,” Hida mengangguk paham. “Tapi aku kok nggak diajak?” imbuhnya.
“Tak tau, mungkin kamu bukan anaknya,” ucap Bara sembarangan.
“Kamu tuh, yang bukan anaknya ayah,” sanggah Hilda ketus.
“Aku kan anak mentunya,” ucap Bara tak mau kalah.
“Kalau kamu nggak nikah sama aku, kamu nggak akan jadi anak mantu ayah,” sanggah Hida.
“Oh iya ya, lupa,” ucap Bara dengan ekpresi bodohnya, yang dibalas dengan tatapan sinis Hilda. “Becanda dek,” tanggap Bara mencairkan suasana.
Hilda mencubit lengan Bara dengan kuat karena merasa jengkel, Bara mengaduh namun tak membalas. “Tadi ke rumah siapa?” tanya Hilda lagi.
“Nggak tau, nggak kenal,” jawab Bara remeh.
“Ya kenalan dong mas!” balas Hilda jengkel dengan jawaban suaminya. “Maksutku, pasti kan dikenalkan sama ayah, namanya siapa, hubungannya sama ayah apa, kan gitu!”
“Oh gitu, memang ayah punya hubungan lain, selain sama ibu?” celetuk Bara makin ngawur.
“Bukan hubungan itu maksutnya,” Hilda semakin jengkel dengan ucapan suaminya. “Ah.., mas nyebelin ah,” Hilda melepaskan tangan Bara dan sedikit menjauh.
“Iya, iya, maaf,” ucap Bara sembari menaruh kepalanya ke pundak Hilda. “Jangan marah gitu lah, aku kan cuma becanda.”
“Terserah!!” Hida mengucapkan kata yang menjadi senjata para perempuan.
“Kok marah gitu seh??” ucap Bara manja.
“Abisnya, mas nyebelin banget, tinggal jawab aja susah,” tangga Hilda ketus.
Bara hanya tertawa, ia seperti merasa tak bersalah sudah membuat istrinya marah. Hilda tetap dengan raut wajah ketus, ketika Bara mencoba untuk meminta maaf. Sembari bersandar di pundak Hilda, Bara terus memohon maaf.
“Dek, jangan marah dong, oke deh aku mau nurutin semua permintaan kamu, asal janga marah lagi ya,” Bara merayu
“Janji!” ucap Hilda memastikan.
“Iya janji,” tegas Bara.
“Oke,” tanggap Hilda. “Aku pengen liburan, ke Jogja,” ucap Hilda.
“Jogja? Nagapain,” tanggap Bara.
“Kan tadi udah janji, mau nurutin semua permintaanku. Lagi pula kita kan belum bulan madu mas, kenapa nggak sekalian kita bulan madu di Jogja aja,” sergap Hilda.
“Ya, gapapa sih, tapi kenapa harus Jogja?” tanya Bara.
“Pengen aja ke sana,” Hilda tersenyum canggung diakhir kalimatnya.
“Oke, sabtu ini?” tanya Bara.
“Ya,” jawab Hilda antusias.
Mereka pun melanjutkan dengan obrolan-obrolan ringan tentang masa lalu dan masa depan yang mereka cita-citakan. Suasana kamar menjadi sunyi-sepi, setelah mereka terlelap dalam tidur. Malam pun larut, hingga fajar kembali datang, memulai kembali hari yang baru. Malam itu memang pekat, namun satu yang dijanjikan sang waktu dalam perjalalnannya, sang surya akan selalu hadir dengan sinarnya.
***
Hari yang ditunggu telah tiba, Bara dan Hilda berangkat menggunakan kereta menuju kota Jogja pada malam hari. Bara tak banyak bicara, ia menikmati setiap inci perjalanan dengan memperhatikan pemandangan sekitar. Sementara Hilda sibuk sendiri, ia terus memeriksa ulang setiap barang bawaannya. Hilda terus saja memastikan seluruh barang bawaannya tidak ada yang terlupa.
“Mas, tadi aku udah masukin handuk kecilku ke dalam tas kan?” tanya Hilda.
“Udah,” jawab Bara singkat.
“Pembersih wajah juga kan?” tanyanya lagi.
“Udah,” tanggap Bara masih dengan nada yang sama.
“Obat-obatan?” sekali lagi Hilda bertanya.
“Udah semua,” jawab Bara dengan nada sedikit tinggi, “yang belum kamu masukin itu, ketenangan dalam hatimu. Dari tadi kok ribet aja,” ucap Bara sedikit jengkel.
“Heheh,” Hilda tertawa canggung, “takut ada yang lupa mas.”
“Kamu ini ya, nikmatin perjalalannya sedikit gitu lho. Kalau kamu terus khawatir sama apa yang kamu bawa, apa gunanya perjalanan ini?” ucap Bara.
“Ya kan cuma memastikan, semuanya udah lengkap apa belum,” sergah Hilda.
“Terus, kalau nggak lengkap, apa kamu mau kembali lagi, dan mengulang perjalanan dari awal, nggak bisa kan,” sergap Bara.
“Ya nggak gitu juga mas,” sangkal Hilda. “Terus aku harus gimana?”
“Ya udahlah, nikmatin aja perjalanannya, kalau memang ada yang kurang, itu urusan nanti,” ucap Bara.
“Oke boss,” jawag Hilda singkat.
Bara dan hilda mulai menikmati perjalanan mereka, saling berkomentar tentang yang mereka lihat seraya meinta pendapat. Perjalanan yang sangat panjang, berjam-jam dilalui, menikmati pemandangan sawah yang terhampar hijau, serta deretan rumah tertata rapi. Indah, pemandangan yang cukup menyita perhatian Bara dan Hilda. Walaupun sempat terfikir oleh Bara, apakah hamparan sawah ini akan musnah suatu saat? Tapi hal itu mungkin saja terjadi, kalau para petani tidak memiliki anak lagi. Apa yang tidak mungkin di dunia ini, semua hal mungkin saja terjadi tanpa sebab yang pasti. Yang tidak mungin adalah ketidak mungkinan itu sendiri kan?
Waktu telah berjalan sangat lama, Bara dan Hilda hampir tiba di tujuan mereka. Stasiun Yogyakarta menjadi saksi, akhir perjalanan mereka dari rumah ke Jogja. Bara mematung di depan stasiun Jogja, ia baru sja sampai di tempat yang selama ini terngiyang-ngiyang di benaknya. Bara baru saja mengenang sebuah perjalanan, perjalanan yang telah lama ditinggalkan. Kota ini, Ngayogyokarto, sebuah kota penuh kenangan, walau hanya sesaat.
“Mas, ayo!” tegur Hilda saat Bara masih teringat masa lalu.
“Iya, sebentar,” jawan Bara.
Bara dan Hilda memulai perjalanan, mereka menyusuri kota Jogja, melihat betapa indahnya pesona Jogja, dengan budaya dan keunikannya. Mulai dari stasiun Jogja, mereka berjalan menuju Malioboro, mereka tiba terlalu pagi, sehingga kios yang buka hanya sedikit. Pagi yang cukup sejuk, Sinar mentari masih malu-malu menunjukan pesonanya. Bara dan Hilda berjalan menyusuri Malioboro yang masih sepi pengunjung.
Bara mulai teringat kembali dimana untuk pertamakalinya, ia berjalan di trotoar Jln. Malioboro. Bara kembali teringat dengan kenangan masa lalu, masa dimana ia berjalan dengan teman seperjuangan. Di kota Jogja, kenangan itu masih tersimpan rapi, terkenang dalam lubuk hati. Langkah, demi langkah, terkenang dalam benaknya, Bara masih mengingat jelas perjalan itu. Sebuah perjalanan tak sengaja, dengan persiapan ala kadarnya, berkeliling Jogja dalam satu malam.
“Mas, ke kraton yuk!” pinta Hilda.
“Memang ada apa di kraton?” tanya Bara.
“Banyak mas, kita bisa lihat suasana kraton, cara abdi dalem bekerja, kalau beruntung kita bisa ketemu dengan sultan, dan yang lain,” jelas Hilda.
“Mendig ke Taman Sari,” usul Bara.
“Iya, itu nanti, kita ke kraton dulu yang lebih deket.
“Baiklah, kalau itu mau kamu,” ucap Bara menyetujui usul Hilda.
“Kita naik apa?” tanya Hilda.
“Jalan kaki,” jawab Bara sembari berjalan.
“Tapi kan jauh Mas,” protes Hilda.
“Katanya mau ke kraton, deket kok dari sisi, ayo!!” ucap Bara.
Hilda pun menurut dengan perintah Bara, mereka berjalan dari Jln. Malioboro sampai ke kraton Jogja. Bara dan Hilda berjalan mulai dari Jln. Malioboro, melewati pasar Beringin Harjo, hingga kilometer nol Yogyakarta. Disini, Bara teringat satu hal, kenangan tentang Jogja di malam itu, gemerlap lampu di kilometer nol Jogja yang selalu membuat Bara ingin kembali ke masa itu.
Bara sempat terdiam sejenak, mengenang semuanya untuk beberapa saat, lalu kembali berjalan. Bara menggenggam tangan Hilda, menuntunya, kembali menelusuri jaan menuju kraton Jogja. Sesekali, Bara melirik wajah istrinya, lalu kembali melihat ke depan sembari tersenyum penuh arti. Hal itu dilakukan Bara berulang-ulang, hingga Hilda dibuat jenuh dengan tatapan itu.
“Kenapa sih? Kalau mau ngomong, ngomong aja, nggak usah senyum-senyum kayak gitu,” gerutu Hilda.
“Aku tak bisa bilang apa-apa, aku cuma pengen senyum aja,” jawab Bara.
“Aneh,” ucap Hilda ketus.
Bara tertawa mendengar ucapan Hilda. “Lalu, kenapa kamu mau menikah dengan orang aneh seperti ku?”
“Karena kamu berbeda, kamu punya ideologi yang sangat menarik dalam menjalani hidup, dan aku tertarik dengan itu,” jawab Hilda.
“dan keanehan yang kamu maksut ada di dalamnya,” lanjut Bara.
Hilda tersipu dengan ucapaan Bara, ia tersenyum sendiri karena ucapan Bara. Mereka terus berjalan ke selatan, menuju Kraton Ageng Yogyakarta. Bara dan Hilda menyusuri trotoar, menikmati pemandangan megah dari arsitektur kota Jogja. Gaya tata kota yang sungguh menawan, memikat hati, dan membuat mereka nyaman berada di sana. Gaya arsitektur yang luar biasa, sistim tata kota yang membuat hati menjadi tenang.
“Mas, capek,” keluh Hilda ditengah perjalanan.
“Terus?” ucap Bara acuh.
Hilda melepas genggaman tangan Bara dengan satu sentakan, lelu mencari bangku untuk duduk. Wajah Hilda terlihat sangat kesal mendapati suaminya, tak menanggapi keluhannya. Raut wajah Hilda jadi cemburu, menunjukkan ketidak-sukaan pada sikap Bara yang acuh. Bara pun sedikit kesal, karena Hilda tak mengatakan apapun, namun tiba-tiba ia tersenyum, lalu berjalan meninggalkan Hilda.
Hilda yang melihat itu malah semakin emosi, ia sangat kesal, ia merasa Bara benar-benar orang yang tak punya perasaan. Dalam hati, Hilda sangat kesal, sepertinya ia selah memilih suami, orang yang ia nikahi benar-benar orang egois. Hilda tak habis pikir, kenapa ia bisa jatuh cinta pada orang seperti Bara. Hilda benar-benar tak habis pikir dengan semua yang ia alami, sampai ia bisa jatuh hati pada suaminya sekarang.
Tiba-tiba Bara datang, membawa sebotol minuman dingin, lantas menyodorkan pada Hilda. “Kalau mau sesuatu, bilang, nggak usah ngambek kayak gitu,” ucap Bara. “Aku nggak bisa baca hati kamu, aku cuma tau kebiasaan kamu, bukan apa yang ada dalam hati kamu,” lantas Bara duduk di samping Hilda.
“Berarti kamu belum mengenalku sepenuhnya,” ucap Hida. “Pekalah sedikit! Wanita itu nggak bisa mengungkapkan semuannya,” ucap Hilda lalu meneguk minuman yang diberikan Bara.
“Takaran sedikit yang kamu ucap, dan apa yang ada dalam benakmu, itu berbeda nona,” sangkal Bara. “Aku tak bisa menafsirkan seluruh perasaanmu dek, aku yakin dukun pun tak bisa membaca hati istrinya sendiri,” lanjut Bara.
“Ya udah, aku capek, aku mau berhenti sebentar,” tegas Hilda.
“Istirahat serjenak itu nggak dilarang kok, tapi jangan lupa untuk memulai lagi,” ucap Bara.
Hilda tak menjawab, ia menyandarkan kepalanya ke bahu Bara. “Kalau udah selesai istirahat, bilang ya, kita jalan lagi sama-sama,” ucap Bara yang lantas dibalas anggukan oleh Hilda.
Setelah rasa cepeknya hilang, Hilda bangkit dari tempat duduk dan mengajak Bara berjalan kembali. Bara kembali menggenggam tangan Hilda, lantas berjalan senyusuri jalanan kota Jogja. Kini berjalan beriringan menuju Kraton Ageng Jogja, bersama, menuju tujuan mereka.
Akhirnya, Bara dan Hilda sampai di Kraton Ageng Jogjakarta, keindahan dan kemegahan krtaon masih tetap sama seperti dahulu. Bara dan Hilda berkeliling di pandu oleh toregaet bersama rombongan lainnya. Mereka melihat-milihat tempat singgasana sultan, dan beberapa ruangan inti dari Kraton Jogja. Ciri khas dari Kraton Jogja masih terasa sangat kental, ornamen-ornamennya pun masih sama. Bara dan Hilda masih dibuat takjub walau berapa kalipun melihatnya.
Setelah tore seesai, Bara dan Hilda melanjutkan perjalanan mereka. Kini mereka akan menuju ke tempat selanjutnya. “Mas, jalan lagi?” tanya Hilda.
“Iya,” jawab Bara singkat.
“Capek,” keluh Hilda, tak mau lagi berjalan.
“Kalau capek ya istirahat dulu tho, aku akan jalan sendiri,” ucap Bara.
“Dasar! Nggak pernah bisa ditentang,” gerutu Hilda, yang dibalas Bara dengan senyuman.
Bara kembali berjalan, dan Hilda, mau tidak mau harus mengikutinya, walau sedikit menggerutu disepanjang jalan. Hilda tetap memaksakan langkahnya untuk berjalan. Lama mereka berjalan hingga sampai di Taman Sari. Menurut catatan sejarah, Taman Sari adalah pemandian bagi para putri dan kerabat kesultanan. Pada jaman itu, tempat ini hanya diperuntuhkan untuk keluarga raja dan para tamu kesultanan. Pemandangan luar biasa, bisa dilihat dari tata letak bangunan Taman Sari, yang ditata begitu indah. Kemegahan tempat itu, hingga sekarang masih terasa, masih sama seperti kemegahan dimasa lalu.
Puas berkeliling, Hilda dan Bara pun meninggalkan Taman Sari. Tak terasa, senja telah menjelma, Hilda dan Bara memutuskan untuk istirahat di sebuah warung pinggir jalan. Sembari melepas lelah, Bara dan Hilda memesan makanan untuk mengisi tenaga.
“Mas, abis ini kita kemana lagi?” tanya Hilda sembari menyantap makanannya.
Bara menimbang-nimbang tujuan selanjutnya, lalu ia menawarkan pada Hilda, “kamu mau ke Tugu Jogja atau ke Alun-alun Kidul?”
“Jauh semua mas,” keluh Hilda.
“Aku hanya memintamu untuk memilih, bukan mengeluhkannya,” ucap Bara.
“Ya udah, Alun-alun Kidul aja, Tugu Jogja harus kembali lagi,” gerutu Hida.
“Oke, bentar ya, aku pesan Grebcar dulu,” ucap Bara sembari mengambil hendphonnya.
“Kenapa nggak dari tadi?!!” protes Hilda.
“Tadi kan masih makan,” jawab Bara.
“Maksutnya, kenapa nggak dari tadi pagi!! Kan nggak perlu capek-capek jalan kaki dari stasiun Jogja samapai kemari, Mas!” Hilda mengeluakan semua unek-unek dalam hatinya.
Bara hanya membalas dengan senyum kecil di wajahnya, ia tak berkomentar atas protes Hilda. Hilda yang dibuat kesal dari tadi pagi, semakin kesal dengan tingkah Bara. Bara yang tau itu, tak peduli sama sekali, ia malah asik memakan makanannya hingga tak tersisa.
“Udah yuk, berangkat, greb-nya udah sampai,” ajak Bara.
“heem,” jawab Hilda acuh karena masih dongkol pada Bara. Ia berkali-kali menolak genggaman tangan atau rangkulan dari Bara saat menuju mobil.
Bara hanya tersenyum melihat istrinya merajuk, ia tak berkomentar. Dalam perjalanan Hilda masih merasa sangat jengkel pada Bara, ia tak mau bicara atau sekedar menatap Bara. Sepertinya, Bara benar-benar membuat Hilda sangat jengkel padannya kali ini. Sesampainya di Alun-alun Kidul sikap Hilda tak berubah sama sekali, ia tetap acuh pada Bara. Tapi Bara tak peduli dengan hal itu, ia membiarkan Hilda tenggelam dengan perasan jengkelnya terlebih dahulu. Bara lebih asik menikmati permainan mitos Beringin Kembar, Alun-alun Kidul. Bara beberapa kali mencoba dan selalu gagal ditempat yang sama. Sementara Hilda, hanya mencoba tiga kali dan tak mau melakukan lagi.
Hilda duduk di tepi lapangan Alun-alun Kidul, dengan perasaan jengkel, marah, campur aduk menjadi satu. Sempat terpikir olehya, pertanyaan yang terlintas tadi siang, “kenapa aku bisa jatuh cinta pada orang ini?” Tapi sama, Hilda tak bisa menemukan jawaban dari pertanyaannya sendiri. Sampai Hilda menyimpulkan, dia adalah orang bodoh yang atas nama cinta menikah dengan orang aneh seperti Bara. Hilda masih merasa sangat jengkel, ia tak bisa membohongi perasaannya, ia benar-benar jengkel pada Bara, namun ia juga sangat mencintainya.
Bara yang sedang sibuk dengan dunianya sendiri, sampai tak sadar istrinya pergi dari sisinya. Bara memandang sekeliling, mencari kemana kekasih hatinya pergi, sampai ia temukan sosok Hilda sedang duduk di pinggir Alun-alun Kidul. Tatap mata Bara tak lepas dari sang belahan jiwa, yang masih acuh pada dirinya. Bara sadar jika Hilda sedang marah padanya, ia sangat paham jika istrinya sedang merajuk. Bara pun berjalan mendekati Hilda, mencoba menghampiri perempuannya yang sedang merajuk itu. Bara memeluknya, menghadirkan kehangatan, menyalurkan rasa kasih-sayang pada istri tercintanya. Semula Hilda sedikit meronta, mencoba menepis rasa kasih dari Bara, namun ia tak kuasa, Hilda sadar, ia menginginkannya.
“Kenapa?” tanya Bara lembut.
“Masih tanya kenapa, dasar nggak peka,” ucap Hilda ketus.
“Oke, aku memang orang yang tak peka, bahkan pada istriku sendiri, aku tak pernah peka. Tapi, orang tak peka ini, butuh penjelasan dari seorang yang ia cintai,” ucap Bara lembut.
“Kamu itu lho, dari tadi main sendiri, sibuk dengan duniamu sendiri, nggak inget punya istri apa!” sindir Hilda.
“Oh,” ucap Bara mulai mengerti dengan protes Hilda.
“Oh,” ulang Hilda dengan nada ketus.
“Maaf, mungkin aku terlalu terbawa suasana Jogja, dan membuatmu merasa diacuhkan,” ucap Bara. “Aku hanya mengenang masalalu bersama para sahabat-sahabatku, sampai aku tak sadar, yang datang bersamaku sekarang, bukan lagi mereka.”
“Makannya, jangan hidup di masa lalu, yang kamu hadapi itu masa sekarang, bukan angan-angan tentang masa lalum mu itu. Seindah apapun masa lalu itu, hanya angan-angan belaka, dan tidak mungkin diwujudkan lagi pada masa sekarang!” tegas Hilda.
“Iya, maaf, aku yang salah, masa lalu memang seharusnya untukku kenang saja,” ucap Bara penuh penyesalan.
“Dek, tau kenapa aku jatuh hati pada Jogja?” ucap Bara sembari mengeratkan pelukan pada Hilda.
“Karena masa lalumu di Jogja, yang entah dengan siapa kamu menjalaninya,” jawab Hilda dengan nada cemburu.
“Tidak,” sanggah Bara.
“Bodo,” ucap Hilda tak peduli.
“Jogja itu indah, arsitektur tata kotanya sungguh menawan,” ujar Bara sendiri.
“Semua orang juga tau tentang itu,” potong Hilda.
“Maka dari itu, cara terbaik untuk menikmati itu dengan berjalan kaki menyusurinya,” ucap Bara.
“Tapi nggak seluruh Jogja harus dinikmati dengan jalan kaki kan mas!” sanggah Hilda.
“Ya memang,” ucap Bara sembari mengecup pipi Hilda. “Tapi aku hanya ingin menikmati kota Jogja dengan jalan kaki, menikmati keindahannya tanpa terburu-buru berpindah tempat, perlahan tapi pasti,” ucap Bara.
“Ini kita sedang bahas apa sih, Jogja, atau yang lain,” sergap Hida.
“Perjalanannya Dek,” ucap Bara. “Perjalanannya,” ulang Bara meyakinkan.
“Aneh,” tanggap Hilda.
“Kok aneh,” tanya Bara pada Hilda.
“Ya aneh, Mas Bara itu orang teraneh yang pernah ku kenal. Orang paling menyebalkan, orang yang sama sekali tak peka, orang bodo, begok, tolol,” Hilda menumpahkan seluruh amarahnya.
Bara sekali lagi mencium pipi istrinya dengan gemas, ia cium pipi Hilda bergantian dari pipi sebelah kiri lalu pindah ke sebelah kanan.
“Iih, apaan sih, geli tau!” protes Hilda.
“Tapi suka kan?!” goda Bara
“Nggak!!” tampik Hilda.
“Oke, aku memang orang yang aneh, menyebalkan dan nggak peka. Tapi aku mohon satu hal, tetaplah di sampingku, walau aku tak sesuai dengan harapanmu. Karena aku membutuhkan mu. Terkadang dalam perjalanan, kita harus berhenti sejenak, istirahat, memulihkan tenaga. Tapi jangan diam, ucap lah sesuatu, agar aku tau isi hatimu, aku hanya membaca sikapmu, bukan menafsirkan isi hatimu. Jadi aku butuh kamu untuk membicarakan semuanya,” ucap Bara yang membuat hati Hida kembali tersentuh.
“Oke, aku bisa melakukannya, tapi dengan syarat ingatkan aku juga ketika aku lupa,” timpal Hilda.
“Pasti,” ucap Bara.
“Oh iya dek, aku lupa sesuatu,” ucap Bara setelah jeda.
“Apa?” Hida dibuat penasaran oleh Bara.
“Kita kan belum cari tempat untuk menginap, aku lupa buat cari homestay untuk kita menginap malam ini,” ucap Bara.
“Yahhhh, Mas Bara..” keluh Hilda. “Lalu kita tidur dimana malam ini,.”
“Ya, nggak tau,” ucap Bara.
“Ya udah, kita jalan-jalan keliling Jogja aja sekalian,” ucap Hilda putus asa.
“Yakin??” tanya Bara.
“Iya,” ucap Hida sedikit merajuk.
Selesai
Saumer#
Malang, 22 Mei 2020
0 Komentar