Bidak Catur Sang Raja


Bidak Catur Sang Raja

Hari ini kepalaku sedikit pening, semua penuh kekalutan, sebuah mimpi buruk tercipta tanpa sebab. Entah lah, hidupku tak pernah sekacau ini, semua menjadi sangat kacau diakhir sebuah usaha. Otakku dipaksa berputar 380 derajat, agar bisa keluar dari kurungan masalah ini.

Kepalaku sakit dibuatnya, leher tegang karena beban yang menumpuk, aku tak tenang, dan jadi uring-uringan. Entah apa yang ku rasakan, tapi yang jelas, semua karena nasib organisasiku yang ada diujung tanduk.

Aku yang merasa sudah berjuang mati-matian untuk mempertahankannya, tak dianggap sama sekali. Mereka yang memiliki kuasa untuk memilih orang-orang dalam masalah kepengurusan, bertindak sesuka hati, tanpa pertimbangan yang matang. Menurutku, yang mengisi kepengurusan, benar-benar orang yang tidak layak, tanpa kemampuan, dan orang-orang yang tidak patut dijadikan pengurus. Sedangkan aku yang hanya melakukan kesalahan kecil, disingkirkan begitu saja tanpa dimintai pendapat. Aku merasa dibuang, tak diindahkan sama sekali oleh mereka. Sekarang aku hanya bisa melihat, bagai mana organisasiku hancur ditangan orang-orang busuk yang pernah ku kenal.

Walau aku tau kebenaran, aku akan tetap bungkam. Aku hanya bisa menyaksikan bagai mana kehancuran itu terjadi di depan mata. Meski cintaku amat besar pada tempat itu, aku tak dapat melakukan apa-apa. Biarlah aku hanya akan nyenyak di tempat tidurku, tanpa bisa berbuat menggulurkan tangan untuk membantu, karena telah terbelenggu.

***

Aku duduk di teras rumah, mencoba mencari suasana baru, sekaligus menghilangkan rasa penat yang ada dalam dada. Entah ada hasilnya atau tidak, aku hanya ingin mencoba segala cara yang bisa ku lakukan, untuk merasa tenang. Mungkin tak semua cara ku lakukan, hanya beberapa cara yang pernahku tau saja, yang ku coba. Tak ada salahnya kan? Setiap orang memiliki cara masing-masing untuk membuat dirinya tenang.

Tiba-tiba, ayah datang dari dalam rumah, dengan menenteng papan catur kesayangannya. Ayahku memang gemar bermain catur, entah apa yang spesial dari permainan itu, aku pun tak tau. Dan sebenarnya, diantara kami sekeluarga, hanya ayah yang memainkan permainan tersebut. Aku dan dua saudaraku tak pernah menemani ayah bermain catur sama sekali.

“Tam, temani ayah main catur yuk!” ucap ayah memintaku.

“Malas aha Yah, main sama Om aja lah,” sanggah ku menolak.

“Ayo lah!” paksa Ayah, “sekali saja, kalau kamu tak suka kamu boleh berhenti,” bujuk Ayah.

“Memang tak ada orang lain yang bisa menemani Ayah main catur?” tanyaku, masih berusaha menolak.

“Tak ada nak, semua orang sedang sibuk dengan urusannya masin-masing,” ucap Ayah meyakinkan.

“Baiklah, tapi sekali saja ya, kalau Tama tak suka, Tama berhenti,” ucapku menyanggupi.

“Oke, satu kali saja,” ulang Ayah.

Ayah pun menata papan catur di atas meja, mengeluarkan pion-pion catur dari tempatnya, dan mulai permainan. Ayah memilih pion berwarna hitam, sedangkan aku memilih yang berwarna putih. Walau aku tak mahir dalam permainan ini, tapi aku tau pion ku yang harus berjalan terlebih dahulu. Aku memulai dengan strategi sederhan, mencoba menjalankan satu pion dan membuak satu barisan.

Aku hanya tau tentang beberapa hal tentang permainan ini, beberapa peraturan, dan dua sampai tiga strategi untuk mengalahkan lawan. Mungkin tak banyak yang ku kuasai, namun jika untuk menyerang dan bertahan, aku bisa sedikit.

Satu pion putih di depan raja, ku gerakan dua langkah ke depan, dan melihat apa yang akan dilakukan oleh Ayah. Agak lama Ayah berpikir untuk menjalanka pion, dan beliau mengerakan dua bidak pion di depan benteng di sisi kiri dan peluncur di sisi kanan. Baiklah, ini masih awal dan ayah sudah menggerakakan dua bidak sekaligus, mungkin strategi atau hanya iseng. Aku tak tau rencana apa yang sedang disusun oleh ayah, namun strategiku harus terus berjalan. Aku menggerakkan bidak ratu secara menyamping, menempatkannya di depan poin yang tadi telah dijalankan oleh ayah. Lalu ayah meliriku dengan tanya, seolah berucap apa kau yakin melakukan itu?

Apa yang salah dengan langkah yang ku ambil? Tanyaku dalam hati, sepertinya ayah sudah tau rencana apa yang akan kulakukan. Mungkin ayah sudah tau strategi apa yang aku mainkan, mungkin beliau sudah bisa membaca gerak-gerikku. Ya, aku tau, ini langkah standar yang selalu dilakukan oleh banyak orang, strategi pasaran yang dilakukan oleh banyak pemain pemula. Ini langkah simple yang bisa dilakukan oleh anak-anak, cara cepat untuk memenangkan pertempuran tanpa melibatkan banyak korban. Tapi apa yang salah, aku hanya ingin segera menyelesaikan permainan, dari awal permainan ini tak membuatku tertarik, aku hanya terpaksa melakukannya.

“Jangan membuat langkah sederhana hanya untuk mengakhiri sebuah permasalhan Tam. Jika cara mu itu berhasil, tak ada kebanggaan di dalamnya, dan jika kamu gagal pun, kamu akan mudah menyerah,” ucap ayah semabari menggrakkan pion di depan raja.

Aku tak begitu memperhatikan ucapan ayah, bagiku menang tetaplah menang, sesingkat apapu prosesnya. Aku tetap melanjutkan strategi yang ku susun, menggerakkan bidak mentri menuju garis pertahanan ayah. Sementara ayah menggerakan pion di depan bidak mentri ku. Aku membuka beberapa serangan, mencoba meneliti kelemahan dari pertahanan yang ayah buat, dan coba menyerangnya. Beberapa kali ku tempatkan bidak-bidak untuk memnacing ayah, namun, ayah tetap melanjutkan strateginya, ia tak bergeming dengan umpan-umpan yang ku berikan. Aku tak habis pikir, kenapa ayah tetap tak memakan bidak yang ku berikan, seolah ayah menyimpan satu hal besar untuk dilakukan di saat-saaa terakhir.

 

Bakilah, jika ayah memang tak mau memakan pionku, maka aku yang akan memakan bidak miliknya. Aku memakan bidak mentri milik ayah, agar beliau kehilangan salah satu senjata mematikannya. Namun aku salah, ketika akan ku gerakkan bidak kuda ku, ternyata mentri Ayah sudah dijaga oleh pion kecil di samingnya, dan ku tarik mundur kuda milikku ke sarangnya.

Ayah tersenyum puas, karena aku ketakutan dengan gretakannya, lalu mengarahkan pion lain maju satu kotak. Aku pun mulai berpikir lebih jauh, ku jalankan bidak ratu secara horisontal, tepat mengarah pada bidak pion yang ada di depan bidak raja ayah. Sekarang kita lihat, bagaimana ayah mengatasi permainanku.

 

Ayah menjalankan bidak-bidak pionnya, mengesar dan menjalankan bidak lain seperti kuda dan mentri. Aku pun juga menjalankan bidak-bidak yang ku percaya, memcoba membuat perangkap, namun tak pernah berhasil menghentikan serangan ayah. Semua malah berbalik kepadaku, semua jebakan yang ku buat malah menjebak bidak-bidak ku sendiri dalam kematian. Apa sebenarnya yang dipikirkan ayah, hingga aku tak sadar bahwa ia menempatkan beberapa jebakan dalam jebakanku.

 

Aku tak bisa berbuat apa-apa, rajaku terkurung dalam perangkap yang tak bisa membuat dirinya bergerak. Semua pion tak bisa bergerak, hampir separuh pasukan sudah tumbang, mungki tinggal berapa pion, ratu, dan rajaku yang tersisa. Anehnya, langkah ku mati bukan karena bidak-bidak beras milik ayah, namun karena pion-pion kecil yang menjebak dengan kepungan.

“Kenapa Tam?” tanya ayah, ketika melihat ekspresi wajahku.

“Aneh,” jawabku sepontan. “Ayah hanya menggerakkan pion-pion kecil dalam posisi yang tak wajar, tak ada pergerakakan besar dari bidak besar milik ayah yang mengancam raja ku. Tapi pion-pion kecil ini lah yang menyeretku dalam kekalahan.”

“Tak ada yang aneh Tam, semua pion ini tak ada artinya jika tak memiliki dukungan dari bidak-bidak besar seperti mentri dan ratu,” ucap ayah. “Kamu tau kenapa bidak raja hanya bisa berjalan satu langkah?” tanya Ayah.

“Karena bidak raja harus dibatasi kekuatannya,” tanggapku tak yakin.

“Bukan,” jawab ayah, “tapi karena di seorang raja,” tanggapnya.

“Maksutnya?” tanyaku penasaran.

“Jika ia seorang raja, maka bukan dia yang berjalan sempurna, tapi kekuasaannya yang berjalan di atas papan catur,” jelasnya.

“Maksutnya, bukankah semua bidak yang berjalan di papan catur ada untuk melindungi raja dari serangan musuh?” Tanyaku.

“Jika itu yang seharusnya terjadi, maka permainan ini hanya soal serangan dan pertahanan jitu. Hanya sebuah cara untuk menjadikan satu bidak menjadi penguasa, namun kenyataannya tidak seperti itu Tam. Semua kemenangan yang dieroleh, selalu diberikan kepada sang raja sebagai lambang kebanggaan seorang raja. Semua kemenangan yang diperolah sang raja pun, tidak melibatkan langkah berarti darinya. Permainan ini bukan hanya untuk melindungi satu orang atau membuat seseorang menjadi pahlwan. Permainan ini dimaksutkan untuk membuat satu kelompok menang,” ucap ayah menjelaskan.

“Aku masih tak mengerti,” ucap ku yang masih tak sempurna menerima penjelasan ayah.

“Baikah, coba pikirkan jika permainan ini hanya tentang melindungi seorang raja, kenapa dua kubu saling menyerang?” tanya ayah.

“Karena pertahanan paling kuat adalah dengan menyerang lawan,” jawabku masih ragu.

“Mungkin iya,” ucap ayah, “tapi apa tidak ada niat mereka untuk menundukan lawan,” celetuk ayah memberi pandangan baru.

“Ku pikir juga begitu,” ucapku setuju.

“Maka dari itu, mereka menyerang untuk mendapat kemenangan,” ucap ayah semakin sulit dipahamai.

“Maksutnya,” aku kembali tak mengerti.

“Ya setiap kelompok ingin menang dari kelompok yang lain,” ucap ayah.

“Semua orang juga tahu tentang hal itu yah,” ucapku keasl.

“Nah kemenangan itu butuh strategi serta langkah yang tepat. Setiap bidak catur mempunyai peran masing-masing, dan satu bidak membutuhkan dukungan dari bidak lain,” ucap ayah.

“Aku masih kurang paham dengan yang ayah bicarakan,” ucapku.

“Kekuasaan sang raja bukan hanya tergantung kekuatan yang ia miliki, kekuasaan yang ada di tangannya, atau banyak hal tentang dirinya. Tetapi, kekuasaan sang raja terdapat pada caranya membuat satu biak catur mempunyai posisi yang sangat menakutkan bagi lawan. Menjadikan satu hal kecil mempunyai nilai sangat berbahaya dimata lawan mereka. Semua tergantung posisi, dan siapa yang mendukung dari belakang.”

“Jadi maksut ayah, harus ada orang lain yang mendukung kita dari belakan agar kita ditakuti oleh musuh?” tanya ku.

“Mungkin,” jawab ayah singkat dan menghadirkan keraguan.

“Lalu ayah juga menyuruhku menjadi seorang penjilat, seperti mereka yang ku benci dalam organisasi?” tanyaku sepontan.

Ayah hanya tersenyum menanggapi pertanyaanku. Sebenarnya aku tak paham, beliau yang mengajariku untuk tidak menjadi orang yang bermuka dua, berdiri di atas ideologi yang ku pegang. Tetapi kini beliau sendiri yang menyarankan diriku untuk menjadi seorang penjilat, memasang muka manis untuk sebuah jabatan. Aku tak menduga, beliau sendiri yang menginginkanku untuk melakukan hal yang selama ini ia larang. Apa karena jaman yang telah berubah, ketika kejujuran tak lagi dipandang sebagai emas. Apa sekarang hanya omongan manis yang dihargai sebagai sebuah dukungan, dan bukan sebuah kritik yang membangun. Tak ada kah sebuah harga bagi kritik pembangunan, di jaman yang katanya moderen ini.

Apa aku tak seharusnya hidup di jaman ini, apa aku seharusnya hidup di masa lalu dengan semua sikap kepaahlawanan dan kejujuran yang dijunjung tinggi. Apa pemikiranku terlalu kolot, dan tak mengikuti perkembangan jaman. Ya aku tau, semua tetang diriku hanyalah masa lalu, tak berkembang dan masuk dalam kebohongan jaman. Kebohongan jaman hanya membuatku semakin muak, dengan semua hal di sekitarnya.

Tapi itu pun salah, aku pun tak akan bisa bertahan jika terus menentang kebohongan yang lambat laun menjadi kepercayaan. Semua sikap yang ku tunjukkan, hanya akan membawaku pada kekalahan. Ya aku sadar, sama seperti permainan catur ini, aku dikalahkan dengan cara paling aneh dan tak terpikirkan. Tersingkir, benar sekali, bidak-bidak yang ku percaya akan tersingkir satu per satu, karena sebuah siasat. Lalu semua itu hanya akan menyisakan satu raja, yang teraing karena dikepung oleh bayak musuh yang mempunyai dukungan kuat, tanpa ada yang bisa menolongnya.

Dan sekali lagi aku harus mengakui, diriku kalah dalam permainan strategi yang sama. Mungkin karena aku bodoh, tak berkembang dan tak melihat kemungkinan-kemungkinan, yang bisa membahayakanku di akhir cerita. Atau mungkin karena bidak-bidak yang menyerah kalah pada tekanan-tekanan yang terus saja meremas otak mereka. Terlalu lemah mental mereka, aku yang mempunyai ideologi kuat, tak bisa menguatkan mereka untuk selalu ada disampingku. Akhirnya pun, aku tertinggal sendiri, melawan kepungan bidak-bidak musuh yang tak dapat ku bendung lagi.

 

“Sudah paham sekarang?” tanya ayah penuh tanda tanya.

Lalu dengan mantap ku jawab, “Iya, aku paham!”

Ayah pun masuk, meninggalkan ku di teras rumah dengan perenungan yang menyita fungsi otakku.

Sekian

Saumer#

Malang, 23 Juli 2020

Posting Komentar

0 Komentar