Orang Grembel
Aku tak tau sebutan untuk makhluk ini, aku pun tak pernah mendengar makhluk ini ada, aku hanya tau dia berada di dekatku. Mungkin banyak orang yang tak percaya dengan ceritaku. Cerita tentang makhuk tak kasat mata yang mendiami sebuah bangunan tempat mengajar A-Quran. Tempat yang menyenandungkan ayat-ayat suci setiap harinya, ternyata bisa dihuni oleh makhluk-makhluk tak kasat mata. Memang semua tempat memiliki penghuninya, selelu ada makhluk-makhluk tak kasat mata yang mendiami satu tempat. Namun ini berbeda, bangunan ini memiliki sisi mistis yang tak diketahui oleh banyak orang.
Namaku Ridho, seorang anak rantau dari desa kecil yang ingin mengenyam pendidikan lebih tinggi. Aku memang punya kemampuan batin yang ku pelajari dari beberapa guru dan perguruan dari tempat ku berasal. Seperti kebanyakan orang yang merantau ke kota besar, aku pun harus memiliki pegangan untuk melindungi diriku dari manusia atau bangsa jin yang jahil. Tapi kemampuan itu jarang ku gunakan, sebab aku yakin, selama aku berlaku baik, semua akan baik-baik saja. Jadi kemampuan itu terkubur dalam diriku sendiri, karena memang tak pernah ada keadaan mendesak agar aku mengeluarkannya.
Namun dari semua kemampuan itu, hal yang paling sulit adalah mengendalikan mata batin yang terlanjur terbuka. Segala makhluk tak kasat mata menjadi sangat jelas terlihat, meski aku tak menginginkannya. Semua makhluk dari yang berbentuk baik, hingga yang paling buruk pernah ku temui, yang bentuknya sempurna hingga tak berupa, semua terlihat. Terkadang ada penyesalan, karena mata batin yang terlanjur dibuak, tapi apa mau dikata, semua telah terjadi. Aku hanya menjalani apa yang telah menjadi keputusanku di masa lalu.
Ceritai ini dimulai saat aku pindah dari rumah kontrakan ke TPQ tersebut. Aku ditawari oleh salah satu teman organisasi yang sudah terlebih dahulu tinggal di sana. Sebenarnya ia tak tau tentang sosok makhluk yang menghuni tempat ini, namun ia hanya pernah mendengar tentang sosok perempuan penghuni pohon mangga. Tapi ada yang bilang, sosok itu telah pergi, dan tak pernah ada lagi.
Mungkin memang benar, sosok itu telah pindah, namun tak pernah ada yang tau bahwa beberapa sosok lain juga masih tinggal di sini. Dari mata batinku aku bisa tau, beberapa sosok yang tinggal ditengah-tengah kami. Mereka tak menggangu, hanya sedikit usil padaku. Sosok-sosok itu hanya tinggal di tempat ini, seperti layaknya rumah bagi mereka. Mungkin hanya beberapa kali aku melihat sosok mereka, mencoba menunjukkan keberadaannya, untuk sekedar berkenalan.
Aku paham dengan maksut mereka, seraya ku biarkan saja mereka mengenalkan diri. Bagiku, semua makhluk, baik yang mempunyai wujud atau tidak, berhak menempati setiap sudut dunia ini. Aku hanya berucap dalam hati, “Dunai kita berbeda, namun saling berbandingan. Aku tak ingin menggangu dunia kalian, dan ku harap kalian juga tak mengganggu diriku. Ku ucapkan salam bagi kalian yang tinggal lebih dulu di tempat ini, dan ku terima salam perkenalan dari kalian.”
Satu tahun telah berlalu sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di tempat ini. Tak ada hal aneh yang ku alami semenjak aku tinggal di sini, baik saat sendiri ketika yang lain pulang ke rumah atau kita bersama. Aku tinggal dengan dua orang teman yang sama-sama sedang menempuh pendidikkan di perguruan tinggi. Semua masih aman-aman saja, seperti ketika aku pertama kali datang.
Pada jangka waktu satu tahun ini sudah banyak cerita mistis dari beberapa orang sekitar. Salah satu cerita yang ku ingat adalah cerita dari penjual nasi goreng yang jadi langgananku tiap malam. Ia pernah bertanya padaku tentang kejadian-kejadian mistis yang pernah ku alami. Aku tak hanya tersenyum menanggapi perkataan itu, seolah tak percaya dengan yang ia ucapkan.
“Mas, apa tidak sadar bahwa tempa yang mas tinggali itu cuma hamparan sawah?” tanya penjual nasi goreng padaku.
“Saya kurang tau tentang masa lalu tempat ini pak,” tanggapku ringan.
“Mas ini bagaimana, dulu tempat hanya tanah persawahan, dan tidak berpenghuni sama sekali, jarang ada yang berani melewatinya, takut ada yang ikut,” lanjut si penjual.
“Maksutnya bagaimana pak?” tanyaku mengimbangi.
“Ya ada yang ikut mas, sampai ke rumah,” ucap si penjual menegaskan. “Mas tau makam umum yang ada di sana kan?” Memang ada sebuah pemakaman umum di sekitar sini. “Sampai sekarang masih ada saja yang bertemu dengan sosok perempuan di sana,” ucapnya.
“Lalu apa hunungnnya dengan tempat saya tinggal pak?” tanyaku penasaran.
“Kabarnya, itu hanya sisa-sisa penghuni di tempat ini mas. Dulu, malah lebih banyak makhluk-makhluk lain yang tinggal di daerah sini,” jelas si penjual.
“Oh begitu, memang dulu ada makhluk-makhluk seperti apa mas,” tanyaku kembali.
“Banyak mas, cerita paling sering yang saya dengar dari orang-orang, ada sosok suara tanpa rupa yang kadang memanggil orang lewat di tempat ini. Banyak yang telah mengalami hal itu, yang paling sering ya, penjual keliling seperti saya,” ucapnya panjang lebar.
Itulah sebagaian cerita yang ku dengar dari penjual nasi goreng. Namun aku merasa bahwa cerita itu dilebih-lebihkan, sebab aku tak pernah mengalami sendiri. Mungkin ia hanya mencari topik pembicaraan disela-sela bekerja. Walalupun aku tau benar makhluk-makhluk itu ada, namun kehadiran mereka tak seagresif itu.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai janggal dengan tempat ku tinggal. Ada sosok aneh yang selalu memperhatikanku, ketika aku pulang dari kampus atau tempat lain. Aku bisa merasakan ia memperhatikanku setiap saat, namun coba ku tepis perasaan itu dan tak menggubris sama sekali. Menurutku wajar saja, jika makhluk seperti itu memperhatikan tingkah-laku manusia. Toh, semua makhluk tak kasat mata selalu tertarik dengan orang yang mempunyai kepekaan batin terhadap dunia gaib. Jadi aku hanya bertindak layaknya orang biasa, mencoba membuat diriku nyaman meski tak merasa aman.
Namun kali ini berbeda, makhluk ini tak seperti makhluk halus pada umumnya. Makhluk ini seperti tertarik dan ingin ikut bersamaku. Rupa makhluk ini tak beraturan, dengan hanya menggunakan cawet compang-campin, dan ikat kepala dari kain. Badannya penuh dengan luka seperti terbakar, mulai dari kepala hingga ujung kaki. Rambutnya gimbal, persis seperti orang gila yang tak pernah mandi, aku menyebutnya “Orang Grembel.”
Aku tak begitu memperhatikan makhluk ini dari awal, sebab ia tak ada gunanya juga bagiku. Selama ia tak mengusik ketenanganku, aku pun tak akan mengusiknya juga. Sampai pada satu saat, waktu itu aku baru pulang dari rumah, kembali ke tempat perantauan. Entah mengapa, sekembali dari rumah suasana hati ku sangat kacau, dipenuhi amarah dan rasa kecewa.
Hatiku dipenuhi olrh amarah, katakutan, serta rasa iri yang berlebihan. Semua emosi itu campur aduk, dan aku terus tenggelam di dalamnya. Saat malam tiba, aku mencoba memejamkan mata, mencoba menenangkan hati yang diselimuti emosi negatif. Namun sesaat setelah terpejam, tiba-tiba ada rasa aneh di sekitar telapak kaki. Aku merasa ada yang menjilat telapak kakiku, angin malam yang dingin menjadi lebih dingin, karena sapuan lidah penuh lendir. Aku sempat berpikir apakah ada seekor kucing yang menjilat telapak kakiku. Tapi mana mungkin ada kucing yang suka menjilat kaki orang. Mungkinkah anjing, tapi tak mungkin ada anjing yang bisa masuk. Masih dalam amarah dan rasa penasaran, ku buka mata untuk memastikan.
Setelah ku buka mata, menastikan hewan apa yang menjilat kakiku, dan aku terperanjat ketika mengetahui kalau makhluk itu yang sedang menjilat kakiku. Makhluk yang ku sebut sebagai orang grembel itu sedang menjilati telapak kakiku. Dengan tampang menyeramkannya, ia berjongkok di samping ku tidur dan menjilati telapak kakiku, sontak saja ku tendang ia karena merasa terkeju. Entah terkena wajah atau dadanya, yang jelas makhluk itu terjungkal ke belakang.
“Apa maksut mu?!” bentakku emosi.
“Aku tak bermaksut apa-apa, aku hanya ingin menenangkan hatimu yang sedang terbakar,” jawabnya sembari menahan sakit.
“”Hati ku memang sedang kalut, tapi aku tak ingin diganggu oleh mu,” tegasku.
“Aku tak punya air untuk memadamkan api dalam hatimu, yang ku punya hanya air liur yang menjijikkan ini,” ucapnya tenang.
“Tapi kau lah yang telah mengacaukan ketenangan yang coba ku bangun!” ucapku penuh amarah.
“Maaf jika aku telah mengganggu ketenangan ya coba kau bangun, aku tak bermaksut seperti itu, aku hanya berniat menenangkanmu,” ucapnya yang membuatku terdiam. “Tak baik membiarkan api dalam dada terus menyala-nyala tanpa alasan,” lanjutnya. “Baiklah, aku pamit, maaf jika niat baikku malah membuatmu terganggu,” lalu ia pun menghilang ditelan pekat malam tanpa permintaan maaf dari ku.
Aku merasa bersalah, namun semua telah terjadi begitu saja. Mungkin aku terlalu kasar, toh makhluk seperti itu juga tidak boleh diperlakukan seperti itu. Ku akui niatnya menyentuh hatiku, dan mungkin benar, aku tak bolah membiarkan hatiku terus terbakar. Aku harus tetap tenang, dan mencoba melepasakan semuanya.
Beberapa hari kemudian, makhluk ini datang lagi kepadaku. Ia duduk di sebelah ku yang sedang membaca Al-Quran. Aku hanya meliriknya sebentar, memastikan benar ia yang datang, lalu ku lanjutkan bacaanku. Ia tak mengucap sepatah kata pun, hanya dalam diam mendenarkan aku membaca.
Aku bangkit, dan meletakkan Al-Quran tersebut di lemari setelah selesai membacanya. Aku meletakkanya di tempat biasa aku letakkan, lalu bersiap untuk pergi ke kampus.
“Kalau kau berniat mengikutiku, silakan. Namun aku tak suka makhluk penggangu dan tak bisa diatur,” ucapku.
Wajah makhluk itu langsung berubah sumringah, dan bangkit mengikutiku yang terlebih dulu keluar.
Sekian
Penyair Gila
Malang, 8 Februari 2021
0 Komentar