Bermalam
Pernahkah kalian bermalam di tempat yang tak dihuni oleh manusia. Sebuah tempat wisata, yang asat siang sangat ramai pengunjung, namun ketika malam tiba tak ada satu manusia pun tinggal di sana. Tempat itu tak ditutup pada malam hari, namun tak pernah aa yang berani tidur di sana. Tak ada yang berani tinggal di sana, meski itu pedagang yang mencari uang di sana.
Temat wisata ini seperti sebuah pulau kecil, terpisah dengan pulau jawa bagian selatan. Ada sebuah selat kecil, yang menghubungkan antara pulau jawa denga pulau kecil tersebut. Di dalamnya terdapat sebuah kolam renang yang menjadi pusat dari pariwisata, yang mungkin sudah berumur seratus tahun lebih. Pemandian gaya lama seperti kolam-kolam yang ada pada kraton Jogja atau Solo. Ada pula beberapa bangunan tak utuh, peninggalan belanda yang sudah tak terawat lagi. Ada pula, sebuah petilasan, entah petilasan siapa, aku tak begitu paham. Namun yang lebih menyeramkan, tempat itu masih rimbun dengan pepohonan serta para kera liar.
Namaku Mahesa, seorang yang pernah bermian di tempat itu bersama kawan-kawan ku. Kejadian ini ku alami ketika jaman hal-hal gaib dan penelusuran supranatural sedang marak-maraknya. Kalian pasti pernah mengalaminya, karena hal-hal seperti itu di dukung oleh acara televisi yang menampilkan hal-hal kesurupan penelusuran malam hari. Kalainan pasti pernah mengalaminya, ketika para anak kecil tiba-tiba bertingkah seolah sedang kesurupan. Di masa itu, aku dan kawan-kawanku memulai cerita ini.
Hari itu kami sepakat untuk berkumpul di rumah salah satu teman, yang rumahnya tak jauh dari tempat wisata tersebut. Sebelumnya, kami telah berjanji untuk menghabiskan malam di pulau tersebut, serta menjajal kemampauan yang telah kami pelajari. Memang ada beberapa orang yang mempunyai kemampuan lebih, termasuk diriku. Kami sedang melakukan pertaruhan dengan beberapa orang untuk menjajal kemampuan kami.
Mulai dari rumah temanku itu, kami bertujuh, mulai berangkat menuju tempat wisata tersebut. Kami berangkat setelah isya, jadi kami kami berangkat pada malam hari. Semula kami berangkat memakai sepeda motor, lalu setelah samapai di pelabuhan, kami beranjak menuju pulau itu dengan menggunkan perahu kecil.
Perjalanan cukup lancar, mengingat beberapa kali kami ganti kendaran sampai ke pulau tersebut. Bagi kami yang mempunyai kemampuan lebih, perjalanan ini adalah perjalanan yang menantang. Tapi bagi mereka yang tak punya kemampuan supranatural, perjalanan ini hanya sebuah wisata malam biasa. Aku tak menyalahkan mereka, jika mereka yang tak memiliki kemampuan bertindak seperti orang yang tak tau apa-apa. Tapi karena mereka sangat berisik sejak perjalanan di mulai, sampai tiba di pulau itu pun mereka tetap berisik. Aku sangat terganggu dengan ocehan mereka, karena ocehan mereka para penghuni pulau ini merasa tak nyaman.
Dalam perjalanan ke tempat yang kami tuju, aku selalu mendapat gangguan berupa makhluk-makhluk yang menampakkan muka seolah tidak suka. Kami mengandalkan senter dari handphon masing-masing untuk menerangi jalan, tapi hanya aku yang merasakan suasana mencekam. Lampu sentar dari handphon tak cukup untuk mengusir gelap yang menyelimuti. Hingga aku terjatuh karena sesuatu yang mengganjal kaiku, sampai membuat kuku kakiku hampir lepas.
Aku yang menjerit kesakitan membuat yang lain berhenti dan menghampiriku, mereka mengarahkan senter untuk melihat keadan kakiku yang kukunya hampir lepas. Lalu Risa, salah satu temanku, mengambil P3K sederhana untuk membalut luka. Risa membersihkan kotoran yang menempel pada kakiku, lalu membalut lukannya dengan plester penutup luka.
“Gapapa kan Sa, bisa jalan?” tanya Risa padaku.
“Makanya, kalau jalan itu pakek mata, udah tau keadaan gelap kayak gini, masih meleng aja,” celetuk Bowo.
“Udah deh, nggak usah makin memperkeruh suasana!” sanggah Risa.
“Biar Mahesa, gua yang bopong,” usul Abi.
Kami pun melanjutkan perjalanan, dengan Abi yang membantuku berjalan.
“Makannya, buang pikiran negatif lu, biar nggak diganggu,” bisik Abi saat membopongku.
“Salah siapa coba, udah gua bilang, kita berempat aja yang berangkat, tempat ini masih wingit,” tanggapku.
Abi hanya tersenyum tipis, “apa?”
“Bentuknya nggak terlihat, gua cuma liat kaki,” tanggapku.
“Baiklah, hati-hati, mereka mulai terganggu,” ucap Abi memperingatkan.
“Peringatkan juga Radit dan Pandu,” tanggapku.
***
Kamipun sampai di tempat pemandian yang menjadi objek wisata, merupakan spot yang paling diminati. Suasana pemandian itu sangat sunyi, lain dengan siang hari, saat banyak pengunjung. Radit mengawasi keadaan sekitar, ia berkeliling dari sudut satu ke sudut yang lain. Lalu Radit mulai bicara, “kita akan tidur di sini!”
“Jangan di sini lah, lebih baik kita tidur di dekat kolam aja, di sana lebih nyaman, di sana lebih terang,” protes Bowo.
“Kalau lu mau tidur di sana, silakan. Tapi yang lain tidur di sini,” ucap Radit tegas.
“Siapa lu, merintah kita, berasa bos banget,” sergah Bowo.
“Udah gini aja, yang mau tidur di dekat kolam, silakan tidur di sana, dan yang tidur di sini, silakan di sini,” ucap Pandu menengahi.
“Oke, Ris, Mit, lu tidur di deket kolam kan?” tanya Bowo.
“Ih ogah, mending gua di sini aja,” jawab Mitha.
“Lu Ris?” Bowo beralih ke Risa.
“Maaf Wo, karena Mitha di sini, gua tidur di sini aja,” jawab Risa
“Ya udah, gua tidur di sana sendiri aja!” celetuk Bowo kesal.
Bowo un memisahkan diri dari kawan-kawannya. Ia tak tau bahaya apa yang akan terjadi padanya.
“Dasar anak badung, susah banget dibilangin,” ucapku lirih.
“Biarin aja, nanti juga kena batunya,” ucap Abi sembari berbisik.
Setelah itu, kemi mulai menggelar alas untuk tempat tidur. Sebenarnya kami membawa tanda untuk tidur, tapi karena bowo memisahkan diri, akhirnya kami mengalah. Hanya satu tenda yang tersisa dan sudah digunakan oleh Mitha dan Risa. Sementara aku, Radit, Abi, dan Pandu, hanya menggunakan alas dan selimut untuk tidur.
Malam itu, kami tak bisa menyalahkan api unggun untuk meghanggatkan badan, sebab ranting kayu di sana basah. Radit pun meminta kami untuk menyalakan lilin yang kami bawa dari rumah untuk penerangan. Radit meminta kami untuk meletakkan lilin di empat sudut. Pandu membawa dua lilin dan berhasil menyalakannya di sudut yang ditentukan. Abi pun juga sudah menyalakan lilin yang ia bawa di sudut yang lain. Lalu saat giliranku menyalakan lilin, di sudut paling barat sesuai arahan Radit.
Saat aku coba menyalakan lilin itu, korek api ku tak bisa dinyalakan, namun ku paksa korek api itu sampai menyala dari beberapa kali percobaan. Tapi ketika ku nyalakan lilin di tanganku, tiba-tiba lilin itu mati dengan sendirinya. Mungkin karena angin, pikirkan demikian. Ku coba lagi menyalakannya, dan lilin itu menyela. Lalu ku teteskan lilin cair yang menetes, agar lilinnya bisa berdiri.
Setelah itu aku berbalik untuk berkumpul lagi bersama teman-temanku. Namun baru dua langkah, lilin itu kembali mati, “angin” dugaku. Aku pun coba untuk menyalakan kembali, namun setiap kali aku akan pergi, lilin itu padam kembali. Aku berpikir sangat keras, apakah ini karena angin, ah masa bodo, aku nyalakan lagi dan entah itu percobaan yang keberapa. Saat lilin itu sudah menyala, aku tak lantas pergi, ku perhatikan dengan seksama apa yang sebenarnya terjadi.
Betapa terkejutnya aku, tiba-tiba tiga wajah anak kecil muncul dari bayang-bayang, dan langsung berhadapan dengan wajahku. Wajah mereka pucat pasih, tatapan kosong, dengan ekspresi menyeramkan, membuatku terpelanting ke belakang karena terkejut. Jantungku berdegup kencang, seakan ingin meloncat dari tubuhku, aku terduduk sementara tiga makhluk itu tetap menatapku. Nafasku sengal, tak beraturan, sebab penampakan tiga sosok tersebut.
Semua orang yang ada, terkejut karena melihat diriku yang tiba-tiba jatuh. Radit berjalan menuju ke arah ku, khawatir, “Nggak papa lu?”
“Hampir mati gua, karena ketakutan,” jawabku ketus.
“Sepertinya elu yang diincer,” ucap Radit sembari membantuku berdiri, “Bi, nyalain lilin yang di sini!” perntah Radit pada Abi.
Abi pun berjalan ke arah kami, untuk menyalakan lilin. “Berapa?” bisiknya ketika berpapasan dengan kami.
“Tiga,” jawabku singkat.
“Istirahat gih, biar kaki lu baikkan,” saran Abi.
Aku dipapah oleh Radit ke tempat anak-anak yang lain berkumpul. Radit tak bicara apapun saat memapahku, seakan sudah mengetahui semuanya. Ia hanya diam dan membantuku untuk berjalan karena kakiku yang semakin parah. Sesampainya di tempat yang lain berkumpul, aku diberondong pertanyaan-pertanyaan dari Risa, Mitha, dan Pandu. “Lu kenapa Sa, cuma luka kecil kayak gitu aja sampai dipapah,” sindir Pandu.
“Iya Sa, lu kenapa, sampai pucet gitu mukannya,” imbuh Mitha.
“Apa sih kalian!” sergap Risa. “Kamu nggak papa kan Sa, masih sakit lukanya?”
“Nggak, gak papa,” jawabku singkat, menutupi kejadian tadi.
Malam itu kami bercengkarama hingga larut malam, membahas berbagai hal dengan suasana keakraban. Mitha dan Pandu, duduk berdampingan, karena mereka sepasang kekasih. Dia samping Mitha, ada Risa, ia yang lembut tak benyak bicara, dan selalu tersenyum menanggapi candaan ku dan Abi. Sementara Radit tetap diam, entah apa yang sudang ada dalam benaknya, ia tak berkata-kata sama sekali.
Rasa kantuk pun datang pada kami, Risa dan Mitha pamit untuk masuk ke tenda. Mereka sudah tak tahan dengan rasa kantuk, ingin segera mengistirahatkan badan. Kami berempat pun tidur di luar, karena hanya ada satu tenda. Kami berempat pun istirahat hanya beralasan matras dan hanya memakai selimut.
***
Dalam hutan, Bowo berlari dengan tergesa-gesa, Bowo terengah-engah, terus berlari seakan-akan ia sedang berlari dari kematian. Bowo menerobos berbagai tanaman semak, menyibaknya, tersungkur, hingga hampir terbentur batu besar. Tubuh Bowo terkapar di atas tanah, tak bisa bergerak karena kelelahan. Keringat dingin bercucuran karena rasa takut yang memuncak. Lalu muncul sesosok siluman ular raksasa, bagian tubuh sampai kepala berwujud manusis, sedang sisanya berwujud ular, menghampiri Bowo seraya melilitnya.
Lilitan silumar itu serasa meremukkan tulang-tulang Bowo. Bowo serasa mau mati karena ular siluman tersebut. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa, bahkan untuk berteriak saja suaranya tak mau keluar. Bowo sangat tersiksa, tak bisa bernafas, seluruh dunia di sekitarnya menjadi gelap, seolah maut menjemputnya.
Lalu Bowo terbangun dari tidurnya, dengan nafas terengah-engah, ia memulihkan kesadaran. Ia coba mencerna apa yang baru saja di dalamnya, sebuah mimpi menyeramkan tentang siluman ular. Berulang kali ia bermimpi tentang kejadian yang sama, mimpi tentang manusia ular yang mau membunuhnya. Hal itu terasa begitu nyata bagi Bowo, dan akhirnya ia pergi ke tempat Radit dan yang lain untuk meminta perlindungan.
Bowo lari tunggang-langgan dari tendannya menuju tempat Radit dan kawan-kawannya. Dengan nafas tersengal-sengal, ia behenti di depan Radit dan lainnya yang masih terjaga.
“Kenapa lu?” tanya Pandu penasaran.
“Nggak papa,” Bowo mengelak, ia tak menceritakan apa yang ia alami.
“Dibilangin nggak percaya, sekarang kena batunya sendiri,” bisik Abi kepadaku.
“Namanya juga anak keras kepala, biar saja ia menerima ganjaran dari ulahnya sendiri,” balasku.
“Tidur aja disini Wo,” ucap Radit pada Bowo yang masih ketakutan.
“Oke, makasih Dit, dan maaf tadi gua sempat nolak ajakan lu,” ucap Bowo.
“Santai aja Wo,” ucap Pandu.
“Berani aja nggak cukup kan,” sindirku.
“Sa, tolong jangan perkeruh suasana,” sergah Radit.
“Oke, oke, gua diam,” tanggapku.
Bowo pun tidur di dekat kami, sementara tanda yang ia pakai, ditinggal begitu saja di dekat kolam dalam keadaan kosong. Tak ada yang berani memindahkan tenda itu, aku dan yang lain seperti sepakat untuk tidak menyetuhnya malam ini. Radit yang memiliki kemampuan di atas kami pun enggan untuk menatap tenda tersebut. Sebab tenda itu telah di selimuti aura gaib yang cukup pekat, hingga aku pun merasa tak nyaman dibuatnya.
“Kesombongan yang tak didasari kemampuan yang cukup,” celetuk Radit tiba-tiba.
“Apa sih Dit, udah lah, orangnya juga udah tidur,” ucap Pandu.
“Tapi kan lucu Pan,” timpal Abi.
“Ya lebih baik dia lah, dari pada orang yang tau tapi tetap terluka,” ucap Radit.
“Gua hanya kenak sial, itu pun gara-gara kelakuan dia,” sanggahku.
“Uuu, kasihan,” ucap Pandu mengejek.
“Udah, udah, jangan memperkeruh suasana,” ucap Abi mengulang perkataan Pandu. “Lalu bagaimana sekarang, kita lanjutkan?” imbuhnya.
“Sepertinya tidak mungkin. Kondisinya tidak memungkinkan,” tanggap Radit.
“Lalu rencana kita?” tanya Pandu.
“Batal,” jawab Radit.
“Berarti kita mengaku kalah,” tanggapku.
“Apa boleh buat, kita tak bisa melanjutkannya dengan keadaan seperti ini,” jawab Radit.
“Oke, kita tidur saja kalau memang begitu keadaannya,” celetuk Abi.
“Kalian duluan, aku masih ada urusan,” ucap Radit.
Kami pun tidur lebih dulu, meninggalkan Radit yang ingin terjaga lebih lama. Aku pun terlelap, wealau hanya beralas yang dibawa serta jaket tebal dan selimut. Dingin malam tak mengganggu tidur kami, walau suasana mistis tetap saja mencekam. Semua orang tertidur, kecuali Radit yang entah kenapa ingin tetap terjaga. Mungkin ia sedang memasang pagar gaib atau semacamnya, hanya Radit yang tau. Radit melakukan itu untuk melindungi kami, sebab suasana tempat itu sudah tidak terkendali.
Malam berjalan dengan suasana yang makin mencekam, meninggalkan kesan mistis bagi kami yang sensitif. Aku terbangun pada dini hari, entah jam berapa itu, namun aku terbangun karena nyeri yang ku rasa pada luka di kakiku. Semula aku tahan rasa sakit itu, namun semakin ku tahan rasa sakit itu makin menjadi-jadi. Kenapa denga luka ini, apa mungkin plesternya terbuka, pikurku menduga-duga. Akhirnya aku membuka mata, sekedar ingin memeriksanya.
Saat ku buka mata, betapa terkejutnya aku melihat sosok perempuan berambut panjang, mengenakan gaun putih, terbaring di sebelahku. “Sial!” pekikku dalam hati, kenapa harus aku yang melihatnya, dan kenapa aku harus tidur paling ujung. Meski makhluk itu hanya berbaring di sana, namun tetap saja merinding. Aku tak bis bangkit dari tidurku, dan aku hanya bisa terdiam sembari menahan rasa sakit. Lidahku kelu tak bisa teriak, dan keadaan makin sangat mencekam.
Aku mulai tersadar ketika Abi menepuk punggungku, seraya berkata lirih, “Pejamkan mata lu! Tenang aja, Radit udah memasang pagar gaib di sekitar kita.”
Tanpa pikir panjang langsung ku tutup mata sesuai perintah Abi. Mungkin memang benar, Radit telah memasang pagar gaib, dan makhluk itu berada di luar garis batas. Aku saja yang terlalu sial karena tidur di dekat garis pembatas itu.
***
Keesokan paginya kami berkemas untuk pulang, tak ada protes dari Bowo atau pun yang lain. Mereka menurut saja pada saran Radit untuk cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Kami pulang melewati jalan setapak yang tadi malam. Betapa terkejutnya kami, ketika kami tau jalan yang kami lewati tadi malam merupakan jalan yang bersebelahan dengan kuburan kramat. Tak ada yang menyadari hal itu, bahkan Radit pun tak mengetahuinya.
Setahu ku memang ada beberapa kuburan keramat di tempat ini, pekuburan milik orang-orang yang dianggap sesepuh tempat ini. Tapi aku tak menyangka, jika kami akan melewaati pekuburan itu, tadi malam. Mungkin ini yang membuat hatiku tak tenang, mungkin ini pula yang membuatku jatuh tadi malam. Kami tak menghormati seseorang yang tengah beristirahat, tak mengucap salam, dan malah membuat keributan.
Setelah melewati jalan setapak, lalu menyebrang dengan perahu kecil, kami pun langsung menuju ke tempat teman kami, orang yang tidak ikut dalam acara ini, Tirta. Sesampainya di rumah Tirta, kami disambut dan disuguhi air minum serta camilan. Tirta tak ikut, karena ia tau benar bagaimana kondisi pulau itu, ia tersenyum tipis, melihat luka di kakiku yang kukunya hampir lepas.
“Dapat oleh-oleh,” celetuk Tirta padaku.
“Ya, gara-gara ulah mereka,” tanggapku ketus.
“Jangan salahkan orang lain, kalian sendiri yang cari masalah,” tanggap Tirta.
Tirta mempersilakan kami duduk dan beristirahat sejenak sebelum pulang. Aku, Abi, Radit, dan Tirta, duduk di ruang tamu. Sedangkan Pandu dan Bowo beristirahat di ruang tengah, Risa dan Mitha berada di salah satu kamar. Aku, Abi, dan Radit, sedang terlibat pembicaraan seputar apa yang terjadi tadi malam kepada Tirta.
“Jadi gimana, lu, lu pada dapat yang di cari?” tanya Tirta mengawali.
“Gagal total,” ucap Radit putus asa, “malah ada yang hampir tak bisa kembali,” imbuhnya,
“Gua udah bilang, tempat itu masih rawan, kalian masih aja nekat,” sergah Tirta ringan.
“Bukan gitu Tir, kalau misal nggak ada yang pengganggu, pasti bakal lancar,” sergahku.
“Ada atau tidak ada pengacau yang kalian maksut, tetap kalian yang salah, begok,” ucap Tirta.
“Memang sih, masih terlalu berbahaya, penunggunya, kuat semua,” ucap Radit.
“Oh jadi kalian sengaja mengunjungi tempat itu untuk bermain-main,” seloroh Risa yang entah sejak kapan berada di ruang tamu.
“Sebentar Ris, apa maksutmu?” tanya Tirta.
“Maksutku, yang tadi kalian bicarakan. Bowo hampir mati tadi malam, Mitha dan aku tak bisa tidur semalaman karena terus mendengar suara-suara aneh. Semua makhluk yang ku lihat seolah menaruh rasa benci, karena kita masuk ke daerah mereka, dan kalian cuma menganggap ini sebuah permainan!” bentak Risa penuh emosi.
“Tunggu Ris, jangan buru-buru menyimpulkan, dan bagaimana lu bisa tau semuanya?” tanya Tirta.
“Gua tau semuanya, karena gua juga bisa melihat mereka,” tegas Risa.
“Oh kita punya anak indihome di sini,” celetuk Abi.
“Indigo!” sahutku.
“Oh udah ganti?” tanya Abi.
“Dari dulu,” sergapku.
“Oke, sorry,” ucap Abi sembari membuat kode dengan tangannya.
“Shut!!” sergap Radit meminta aku dan Abi diam. “Becanda aja! Oke gini Ris, pertama aku tak pernah mengajak kalian, lu, Mitha, sama Bowo, untuk ikut bersama kami. Kedua, gua udah berusaha melindungi kalian sebisa mungkin, walau pun itu bukan tanggung jawab gua, dan lu tau siapa yang rese’. Ketiga, gua juga nggak tinggal diam saat Bowo hampir mati,” jelas Radit.
“Tapi lihat sekarang apa yang terjadi, gara-gara sesuatu yang lu anggap permainan ini, Bowo hampir di bawa ke alam mereka, dan Mitha, lu tau apa yang terjadi sama dia sekarang, dia ditempelin sama makhluk dari tempat itu!” ucap Risa marah.
“Coba tenang dulu Ris, semua ada solusinya,” ucap Tirta menenagkan.
“Tadi kayaknya Mitha nggak papa deh, apa dia nggak salah lihat,” bisik Abi padaku.
“Apa lu bilang! Nggak papa, liat tuh di kamar!” bentak Risa emosi.
“Ya sorry, gua kan gak tau,” jawab Abi merasa bodoh.
“Udah, malah tengkar,” bentak Radit.
“Mitha di mana sekarang?” tanya Tirta.
“Di kamar,” ucap Risa.
“Dit, ikut gua, lu juga Ris,” ucap Tirta.
“Elu sih, becanda mulu,” celetukku setelah mereka pergi.
“Kan gua nggak tau, si nona bend indi itu, tiba-tiba langsung marah-marah nggak jelas gitu,” jawab Abi.
“Indigo Bi!” ucapku membenarkan, “mau gimana lagi lagi, Mitha itu sahabat Risa, pasti dia khawatir kalau sahabatnya dalam masalah,” imbuhku.
“Siapa suruh nona indi..”
“go!!” sergapku cepat.
“Iya nona indigo sama teman-temannya ikut. Bukan tanggung jawab kita kalau terjadi apa-apa,” sanggah Abi.
“Ini kenapa sih, lu pada ribut-ribut mulu dari tadi, ganggu aja, orang lagi tidur juga,” seloroh Pandu menghampiri kami di ruang tamu.
“Gini Ndu, kita disalahin sama nona indomi,”
“INDIGO begok!!” ucap ku emosi karena Abi terus saja salah bicara.
“Iya indigo,” ulang Abi. “Intinya dia menyalahkan kita karena membuat teman-temannya dalam bahaya,” jelas Abi.
“Jadi gini Pan, Ris tadi marah-marah karena kita bawa mereka ketempat itu, Bowo hampir mati dan Mitha ketempelan makhluk dari tempat itu,” imbuhku menjelaskan.
“Apa, Mitha ketempelan!!” ucap Pandu terkejut. “Memang gua yang memberi tahu mereka tentang rencana kita, tapi gua tak pernah mengajak mereka, serta gua juga udah memperingatkan mereka agar menjaga sikap kalau ingin ikut,” ucap Pandu mengaku.
“Nah, sekarang kita tau pelakunya,” celetuk Abi.
“Lu gila ya Pan!” sergapku. “Tempat ini bahaya banget bahkan untuk kita sendiri, dan lu masih nekat ngajak mereka,” ucapku menahan geram.
“Ya maaf,” Pandu menyesali perbuatannya, “tapi Mitha yang maksa buat ikut, dan gua nggak tau kalau dia bawa temen,” ujar Pandu berdalih.
“Apapun alasan lu, itu salah,” tegasku, “dan lihat sekarang hasilnya.”
“Oke gua salah, sekarang dimana Mitha?” tanya Pandu khawatir.
“Tu di kamar, udah ditangani Radit sama Tirta,” jawabku. Langsung saja Pandu bergegas menuju kamar di mana Mitha berada.
“Hu... dasar bucin,” celetuk Abi.
“Ya pasti lah, pacarnya dalam bahaya, kalau pacar gua dalam bahaya gua juga akan sekawatir itu,” ucapku.
“Hemm, sama aja, bucin,” timpal Abi.
Sekian
Penyair Gila
Malang, 12 Maret 2020
0 Komentar