Merapal Mantra
Waktu menunju pukul sepulah malam, aku masih terbaring di tempat tidur yang nyaman. Malam ini, seperti ada yang janggal, hingga bulu kudukku tak henti meremang. Malam jumat keliwon, sepertinya selalu ada misteri dibalik kedatangannya. Siapa yang datang, hatiku tak henti bertanya sepanjang malam.
Masih dalam tanda tanya besar, bagaimana malam ini datang membawa kengerian. Aku masih tak mengerti, bagaimana malam ini akan beralu, berlalunaya malam in akan sama seperti malam jumat keliwon yang lalu. Selalu saja, dan akan sealu saja membawa rasa penasaran yang mendalam.
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar kos ku, siapa malam-malam begini bertamu ke kamar, apakah tetangga kos, atau makhluk lain tak kasat mata yang tiba. Aku bangkit dari trmpat tidur, menuju pintu dan membukanya. Setelah ku buka, terlihat sesosok wanta tua, denegan busana lusuh, wajah yang pucat dan rambut yang acak-acakan. Ia menunduk di hadapanku, seolah ada yang ingin disampaikan, namun masih menunggu waktu.
“Cari siapa nek?” tanyaku sopan.
“Cari kembang kamboja,” ucanya dingin.
Aku terkejut mendengar hal itu, semua orang tau perlambang bunga kamboja. Sebagai orang jawa, tentu aku paham dengan perlambang dari bunga kamboja. Tapi aku memilih diam, memeprsilakan nenek itu masuk ke kamar. Aku menduga, ada yang ingin ia sampaikan kepadaku.
“Maaf ya den, saya datang dengan pakian lusuh,” ucap nenak itu mengawali, “sebab apa yang akan saya sampaikan berkaitan dengan penampilan saya.”
“Siapa nek,” sergapku terus terang.
“Temanmu,” ucapnya dingin.
“Nia,” tanggapku menyebut satu nama yang sedari tadi terngiyang-ngiyang dalam benak.
Nenek itu hanya mengulas senyum, seolah firasatku benar, “lalu dengan siapa saya bicara?”
“Aden pasti kenal saya,” ucapnya.
“Oh begitu,” aku pun tersadar dengan siapa aku bicara sekarang.
“Saya pamit pulang den, dan hati-hati di luar sedang banyak kereta kuda,” uapnya memperingatkan. Sosok itu pun lenyap dari hadapanku.
Aku berjalan menuju jendela, hanya ingin memuaskan rasa ingin tahu ku yang tak henti mengelitik hati, tak lebih. Kusingkap tirai yang menutupi jendela kamar, dan benar saja, ada rombongan kereta kuda yang berjajar di depan rumah pemilik kos. Kereta itu di dominasi kelambu berwarna hijau, dengan kuda putih yang menarik kereta. Bisa ku tebak, rombongan ini berasal dari mana, namun yang masih mengganjal, kenapa harus rumah ini. Aku merasa tak pernah punya hubungan dengan kraton pantai selatan.
Sebentar, apa hubungannya semua ini dengan Nia, kenapa nenek tadi membicarakan Nia. Sepertinya aku harus mencari tahu sendiri, apakah Nia ada kaitannya dengan semua ini. Baiklah, untuk malam ini saja, untuk satu masalah ini saja, akau akan menggunakan ilmu yang sudah lama sekalli ku pendam. Hanya untuk saat ini, karena ini tentang Nia.
Aku duduk bersila di atas kasur, memejamkan mata, menghimpun konsentrasi sebanyak yang ku bisa. Lamat-lamat, ku tembus dimensi gaib, aku meraga-sukma, lalu menuju keluar kamar. Sekedar ingin tahu apa yang terjadi, sekadar ingin memastikan pasukan laut kidul tidak macam-macam di tempat ini. Aku berdiri di depan pintu kamar, memperhatikan pasukan yang sedang berjajar menunggu sesuatu. Aku hanya memperhatikan meraka dari kejauhan, seraya tak ingin mencampuri urusan kraton laut selatan.
Tak lama setelah itu, beberapa makhluk seram keluar dari rumah, membawa sukma pemilik kos yang ku sewa. Aku baru mengerti sekarang, kenapa prilaku pemilik kos terasa janggal akhir-akhir ini, ternyata ada perjanjian yang harus ia tebus malam ini.
Seorang perempuan keluar paling akhir dari rumah pemilik kos, ia menggunakan busana khas laut selatan, dengan warna hijau tua dan perhiasan emas. Tapi dia bukan ratu pantai selatan, aku yakin itu, mungkin dia hanya seorang perdana mentri atau panglima dari se-bragoda pasukan. Sepertinya ia hanya bertugas untuk menjemput sukma dari yang membuat perjanjian.
Tanpa aku sadari, sosok permpuan itu berhenti, seperti menyadari kalau akau sedang memperhatikan mereka. Apa dia sadar dengan keadiranku, itu hal yang cukup mudah dilakukannya, mengingat dia adalah seorang panglima di kerjaan laut selatan. Meski aku sudah menyembunyikan hawa keberadaanku, sepertinya itu tak cukup berarti di hadapannya.
Dia menatap ke arahku, menundukan kepala sebagai tanda hormat, hal yang sama dilakukan oleh pasukannya yang sedari tadi tak menyadari kehadiranku. Aku pun membalas salam hormat mereka, seraya melihat sukam pemilik kos meronta, mencoba mengiba kepadaku ingin dilepaskan.
Aku hanya diam melihat hal itu, tak ada niat untuk ikut campur dengan urusan kraton laut kidul. Lalu beberapa makhluk seram, dengan sigap membelenggu sukma pemilik kos secara paksa. Sukma itu di arak bersama para pengawal dan makhluk-makhluk menyeramkan, di belakang kereta kuda. Entah akan dibawa kemana sukam itu, mungkin ke hadapan ratu pantai selatan, atau gunung merapi. Aku hanya berharap sukma itu selamat dari kebinasaan.
Setelah arak-arakan itu pergi, aku kembali ke dalam jasat-wadaku. Aku menyadari, ada sesuatu yang janggal setelah kejadian itu. Senyuman dari panglima kraton laut kidul seperti memiiki arti tersendiri, namun aku tak tau apa itu. Aku tak tau dengan pasti, apa sebenarnya maksut dari senyuman tadi. Akhirnya, aku pun tidur dengan sejuta tanya, tentang arti senyuman itu.
***
Bulan telah kembali ke tempatnya, berganti dengan matahari yang mulai terbit dari balik cakrawala. Aku bangun bersama matahari, lalu bersiap pergi untuk menuntaskan urusan di kampus. Mungkin tak ada kelas di jumat pagi ini, tapi ada hal yang harus ku pastikan.
Aku berjalan dari kos menuju kampus. Hari ini sunyi sendu, seperti kebanyakan hari jumat yang nyaman. Sendu, seperti langit ingin menangis di hadapanku. Entah apa yang ku rasa, udara begitu lembab seraya membuatku ingin terlelap.
Aku sampai di depan gerbang kampus, dan suasana tetap seperti biasanya. Tapi ada yang aneh sekaran, tiba-tiba seekor naga besar menghadangku di depan gerbang. Aku pura-pura tak melihat, biarlah, mungkin ia hanya ingin menakutiku saja.
“Hai bocah, pulang!! Tanah ini tak patut untukmu,” apakah ia sedang bericara denganku atau kepada makhluk kecil yang sedari tadi ingin masuk sebelum diriku. Aku sudah empat tahun hidup di sini, dia pun telah mengenal diriku dengan baik, lalu kenapa sekarang seolah ia mengusirku.
“Kenapa aku harus pergi, aku tak pernah menggangumu,” dalam batin ku coba untuk berbicara dengannya.
“Iya aku tau, tapi ini bukan urusanmu lagi, aku tau kau kesini untuk melakukan sesuatu, dan sesuatu itu berhubungan dengan teman perempuan mu. Kau tidak akan bisa menyelamatkannya, sebab ia telah terikat dengan penguasa alam lain,” ucapnya.
“Celaka!!” pekik ku dalam hati. Aku tersadar dengan apa yang tengah terjadi. Bergegas aku, berlari menerjang naga yang mengalangi jalanku.
Naga itu coba menyerangku, aku pun menghindar dan terus maju mencari tempat yang aman. Aku terus berlari, menghindari kejaran sang naga, lalu bersembunyi di celah tangga. Beberapa pegawai sempat terheran-heran melihatku, mungkin mereka pikir aku sedang berlari dari kejaran satpam, tapi kenyataannya lebih parah.
Aku mengendap-endap, dari sis kiri ke sisi kanan, mencoba menghindari dari tatapan sang naga. Sulit memang, tapi aku berusaha terus bersembunyi, agar luput dari kejaran sang naga. Bersembunyi, menghindar, masuk ke celah sempit, tetap berada di jalur yang sama untuk mencapai tujuan.
Sekarang, aku sedang bersembunyi di sebuah ruangan, entah ruangan apa itu, yang jelas masih disekitar gedung A. Ruangan itu sempit, lebih seperti gudang penyimpanan alat-alat, letaknya di sekitar tangga.
“Kenapa Den?” sesosok makhluk mengejutkanku dari arah belakang.
“Huh, paman, jantungku hampir copot karena kaget!” Sesosok makhlum menyerupai manusia berpakaian putih, layaknya resi pada jaman majapahit. Aku kenal dengan sosok ini, ia adalah salah satu abdi yang telah mengikuti keluargaku sejak lama. Kalau tidak salah, dia adalah salah satu bangsa jin kakek yang bertugas menjaga gerbang rumah. Tapi semenjak aku pergi dari rumah, ia mengikutiku kemanapun. Jika aku betanya kenapa mengikutiku, dia selalu menjawab,“Keturunan seorang adipati tidak boleh dibiarkan berkelana sendiri.”
Aku hanya tertawa mendengar hal itu, adipati mana yang dimaksut, dari mulai Kerajaan Medang hingga Kasepuha Kartasura, aku tak pernah mendapati nama leluhurku menjadi seorang adipati. Aku hanya orang biasa, orang dusun yang tak pernah tau leluhurnya seperti apa. Ayah hanya seorang ulama desa begitu pula kakek, dilingkungan rumah kami. Tapi mereka bukan ulama besar seperti mereka yang sedang viral dengan fatwa-fatwanya.
“Kesulitan menghadapi Taksaka?” paman menyadarkanku dari lamunan.
“Begitulah,” jawabku singkat.
“Nini Runting sudah memperingatkan, jangan ikut campur, bahaya. Tapi den bagus tetap saja sembrono,” paman mengingatkan peringatan nenek tua tadi malam.
“Tapi ini masalah temanku, Nia!” sanggahku.
“Teman atau orang yang disayang diam-diam?”
“Terserahlah!” tampikku mencoba menghindar, sembari tetap mengawasi keadaan sekitar. Aku tak mau menanggapi tuduhan-tuduhan itu, lebih baik aku fokus untuk meloloskan diri dari kejaran sang naga. Aku harus segera ke tempat Nia untuk memastikan keadaanya.
Mungkin aku haru menggunakann cara itu, ilmu terlarang untuk menaklukan para naga. Namun efeknya akan berdampak dapa makhluk lain, dan aku pun tak tau akan seperti apa dampaknya nanti. Sementara itu aku masih tak tau dimana Nia berada, walau ada firasat yang mengatakan bahwa dia ada di gudang.
Aku berpikir kembali untuk berhadapan langsung dengan Naga Taksaka, mungkin dengan mantra itu, aku bisa mengalahakannya. Tak ada cara lain kau harus mengambil resiko untuk melumpuhkan naga itu.
“Den, jangan gegabah,” ucap paman menghalangi niatku, sepertinya ia tau apa yang akan ku lakukan. “Biar paman yang menghadapi Taksaka,” apa ini kesetiaan seorang abdi? Terbesit tanya di benaku tentang hal itu. Jaman dimana kesetiaan dipegang teguh sudah sangat lama berlalu, namun paman masih mempertahankan hal itu. Mungkinkan karena ia makhluk dari masa lalu, atau karena kesetiaannya pada keluarga ku, aku mulai merasa bersalah karena melibatkannya dalam hal ini.
Setelah paman berhadapan dengan Taksaa, aku mencari celah untuk menuju gudang. Beberapa ruangan sudah ku lewati, aku sudah jauh meninggalkan paman di belakang. Sampai pada satu persimpangan ada bebrapa makhluk kerdil berjaga di sana. Aku pun mengambil jalan lain, mencoba untuk menghindar sebisa mungkin, namun naas, ada dua makhluk besar seperti raksasa yang juga menjaga jalan yang ku ambil.
Suasana lorong itu redup ramai, namun yang bisa melihat makhluk itu hanya aku seorang. Aku kembali memutar otak, bagaimana cara melewati dua penjaga tersebut. Aku sempat berpikir, mungkin saja semua sudah direncanakan, ada makhluk yang ingin menjebakku dengan menempatkan beberapa penjaga dan menjadikan Nia sebagai sandara. Tapi apa maksutnya, kenapa harus aku, dan apa hubungannya denganku, apa makhluk itu tau, kalau aku akan ikut campur jika terkait dengan Nia.
Tiba-tiba seorang teman menyapaku, “Arya,” ia menepuk pundakku dari belakang, “ngapain kamu di sini?”
“Hai Dan, enggak ada, cuma mau ke sana,” ucapku menghindar dari pertanyaan Danu.
“Bareng yok, aku mau ke prodi, mau bimbingan,” ajak Danu.
“Oke,” tanpa basa-basi aku langsung mengiyakan tawaranya.
Kami pun berjalan bersama, aku tau ini bukan arah gudang, tapi kau harus menghindari makhluk-makhluk itu. Aku bisa mencari jalan lain untuk menuju ke gudang, yang jelas aku tak boleh tertangkap sekarang.
Di depan ruang prodi aku berpisah dengan Danu, ia masuk ke ruang prodi dan aku berjalan keluar gedung. Sial, aku harus bagamana sekarang, makhluk seperti Taksaka pasti sudah disebar untuk menjaga tempat ini. Apa yang sebenarnya dilakukan oleh Nia, sampai semua makhluk ini keluar dari sarangnya. Sepertinya aku perlu tempat untuk berpikir, mungkin aku harus ke masjid untuk menyusun rencana.
***
Oke, pertanyaan besaer yang saat ini sedang tergiang dalam benakku adalah, apa yang sebenarnya dilakukan oleh Nia, samapi akibatnya seperti ini. Aku masih tak mengeri sampai sekarang.
Tiba-tiba sesosok makhluk wanita berjubah putih menghampiriku seraya berkata, “Aden kan sudah saya peringatkan, jangan ikut campur, tapi aden masih saja nekat.”
Aku mengenalinya, Ni Runting, penjaga keluarga ku yang lain, “Ini menyangkut hidup Nia, aku tak bisa berdiam diri Bi,” ucapku.
“Teman aden sendiri yang memulai, maka biarkan ia selesaikan sendiri,” ucapnya acuh.
“Sebenarnya, apa yang dilakukan Nia, sampai jadi seperti ini, Bi?”
“Bibi tidak bisa menjelaskan, bibi hanya bisa memberikan selendang hijau ini untuk aden, sebagai bekal. Selebihnya tanyakan pada anak itu langsung, bibi hanya bisa membantu sampai sini,” aku menerima selendang pemberian Ni Runting. Lalu sosok itu pun menghilang dari pandangan mataku. Ni Runting selalu saja menuruti permintaanku, seperti memenuhi permintaan anaknya sendiri.
Aku pun bergegas keluar, selendang hijau yang dieri oleh Ni Runtig, ku taruh dalam tas dan menuju gudang. Aku berlari secepat mungkin, agar tidak terlambat, sesampai di depan pintu gudang, aku membukannya, ruangan itu gelap dan mengganggu penglihatanku.
“Arya Wiraraja, bagaimana kabarmu?” suara misterius terdengar dari kegelapan. Aku sedikit bingung, namaku memang Arya, tapi bukan Arya Wiraraja yang ia dimaksut. Aku pun tak kenal nama itu, aneh, siapa sosok itu, yang jelas dia bukan manusia.
Tanpa aba-aba makhluk ini menyerang ku dengan pedang yang ia pegang. Serangan, demi serangan dilancarkan, bergantian antara sabetan dan cakaran. Sabetan pedang dan serangan bertubi-tubi itu berhasil ku hindari. Aku terus menghindar, tanpa sedikit niat untuk menyerang balik. Sedikit ku perhatikan sosok makhluk ini, bentuknya tidak karuan, makhluk ini bertanduk ditengah kepalanya, sementara rambut putihnya menutup sebagian wajah, dan gigi runcing yang menonjol keluar.
“Sial!!” pekikku dalam hati, aku harus menghadapi bangsa jin di tempat ini. Kenapa harus sekarang dan di tempat yang tak ada jalan keluar, sepertinya aku harus memanggil Puraga, sekali lagi. Aku tak sanggup terus menahan makhluk ini, sementara Nia sudah tidak punya waktu lagi. Aku harus memanggilnya lagi, sesuatu yang pernah ku tolak untuk mengikuti diriku. Aku coba untuk memanggilnya dengan memusatkan konsentarasi penuh.
Belum sempat konsentrasiku terpusat, cahaya menyilaukan menghampiriku, menabrak makhluk yang sejak tadi menyerangku. Cahaya itu perlahan mulai berubah menjadi sosok perempuan, dan aku mengenal sosok ini. Dia adalah panglima kraton laut kidul tadi malam. Aku heran, kenapa dia tiba-tiba datang kemari?
“Menyingkirlah Raden! Hamba yang akan menghadapinya,” ucapnya melirik kepadaku.
“Siapa kau, dan kenapa kamu mau membantuku?” tanyaku.
“Tak penting, siapa hamba, namun seorang keturunan Lamajang, tidak boleh dibiarkan sendiri,” aku semakin dibuat bingung dengan ucapnya barusan.
Makhluk itu pun mencoba untuk menyerang kembali, namun dengan sigap, panglima itu menghalau serangan. Merekapun bertempur habis-habisan, saling menyerang tanpa membuka celah. Benturan demi benturan terjadi, mereka saling beradu ilmu kesaktian. Sementara kedua makhluk itu bertarung, aku melangkah, menjauh dari pertarungan, untuk kembali mencari Nia.
***
Aku masuk ke sebuah ruangan di samping kanan, suasananya, mencekam, gelap dan pengap. Di ruangan itu, aku mendapati Nia, sedang duduk bersila, membelakangiku. Ada sesajen di sana, lengkap dengan kembang setaman dan dupa yang masih menyala. Apa maksutnya semua ini, aku bergegas menghampiri Nia, untuk menghentikan semuanya.
“Nia!!, Nia!!” panggilku setengah berteriak, namun tak ada respon dari Nia, tatap matanya kosong walau suduh ku panggil berulang kali. Aku tak bisa menemukan Nia dalam sorot matanya, sepertinya dia telah berpisah dari raganya sendiri.
Lalu aku teringat dengan selendang hijau pemberian Ni Runting, mungkin ini saat yang tepat untu menggunakannya, pikirku. Segera ku keluarkan selendang dari dalam tas, dan ku balut tubuh Nia dengan selendang itu. Ku usap wajahnya dengan tangan, mencoba mengembalikan kesadarannya melalui rapal mantar sebisaku.
“Nia!!” aku merasa kesadarannya mulai kembali.
“Arya, hiks...hiks...hiks,” ucapnya lemah sesengukan. Ia langsung memeluk tubuhku, seperti seddang meminta perlindungan dalam pelukanku. Nia menangis sendu, seperti ada yang membuatnya sangat takut.
“Kenapa?” tanyaku berharap ada jawaban, namun tangisnya tak berhenti. “Nia, jelaskan padaku apa yang tengah terjadi, kalau kamu tetap menangis seperti ini aku tak bisa membantumu.”
“Aku tak... tak sengaja me.. merapal mantra jahat,” ucapnya terbata-bata, masih sesenggukan.
“Apa maksutmu?” tanyaku memperjelas.
“Aku menemukan sebuah buku kuno berisi mantra ilmu hitam, yang pernah ku ceritakan padamu kan. Aku merapal mantra itu untuk menyakiti seseorang, yang telah merenggut kesucianku. Aku tak tau harus berbuat apa lagi, dan hanya cara itu yang terlintas dalam benakku, waktu itu,” jelas Nia.
Aku tersentak mendengar penuturan Nia, ia sudah tak perawan dan menggunakan ilmu hitam untuk membalaskan dendamnya. Lalu apa yang selama ini aku lakukan hanya sia-sia. Aku menghadapi semua kesulitan untuk menemukan Dia, namun kenyataan yang ku terima, sungguh pahit. Kenapa semua terjadi padaku, dan kenapa harus Nia yang menanggung semua ini. Apakah ini adil untuk Nia, ia tak bersalah, ia hanya korban dari binatang bejat itu.
“Sebentar, mantara apa yang kamu rapal?” tanyaku sesaat setelah aku sadar masalah yang ada di depan mata.
“Aku merapal mantar kembang bhatang sajodo,” ucap Nia. Nama mantra yang sangat berbahaya hingga membuatku merinding seketika. Kenapa kamu harus menggunakan mantara itu, kenapa kamu harus berurusan dengan mantra itu, Nia. Jadi ini sebabnya, para makhluk buas itu menguasai kampus.
“Kamu sadar, betapa bahayanya mantra itu!!” aku terbawa emosi saat mendengar Nia mengucapkan nama mantra yang ia gunakan. Aku tau, Nia sangat ketakutan, tapi aku juga tak bisa menahan amarahku.
“Aku tak tau harus berbuat apa lagi, tolong aku Ar!!” ucap Nia memelas.
Tiba-tiba ada suara tak berwujud mengema dalam ruangan itu, “yang berhutang, harus melunasi. Berani berhutang harus siap untuk membayar kapan saja ditagih.”
Suara itu jelas terdengar oleh kami, aku berusaha memeluk Nia dengan erat, setelah itu pusaran hitam melahap kami berdua. Semua berubah menjadi kegelapan yang mencekam, sampai aku tak mengenali siapa diriku sendiri. Semua berubah menjadi hitam, hanya karena aku ingin menyelamatkan orang yang ku sayang.
Sekian
Saumer#
Malang, 11 Maret 2020
0 Komentar