Dia Kekasihku

 


 

Dia Kekasihku

Cerita ini dimulai sejak aku ke kelas IX, namaku Ratih, gadis yang cukup populer di lingkungan sekolah. Sorang gadis cantik, dan banyak dikagumi oleh para siswa di sekolah. Mengkin mereka tergila-gila padaku, bahkan banyak yang memperubutkan perhatianku, dengan cara konyol mereka. Dan aku suka diperlakukan seperti itu.

Tapi semua berubah sejak dia masuk dalam kehidupanku. Dia, Anggara, anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di tempatku. Ia masuk ke sekoleh dan sekaligus masuk ke dalam kehidupanku. anak seperti itu harusnya bersekolah di SLB, di sana ia akan menemukan banyak teman yang sama anehnya, seperti dirinya. Tapi ia malah mesuk ke sekolah anak nromal, dan merusak seluruh hidupku.

Aku tau ia anak berkebutuhan khusus, mentalnya seperti anak kecil berumur lima sampai tujuh tahun. Aku kasihan melihatnya, tapi karena tingkahnya, aku sangat jengkel terhapa kelakuannya padaku. Karenanya, aku terus diganggu oleh teman-temanku, mereka menganggap aku pacaran dengannya, atau apalah itu. Hay!! Bukan salahku jika ia suka padaku, namun yang harus kaian tau, aku tak pernah suka pada anak aneh sepertinya. Come on gril, aku masih normal, dan aku menyukai pria normal pula.

Anggara itu cacat mental, walaupun fisiknya sudah seperti orang normal pada umumnya, namun mentalnya tak ubahnya anak SD. Apa mungkin anak seperti itu merasakan jatuh cinta. Sedangkan antara kiri dan kanan saja ia tak mampu membedakan. Secara hasrat, memang dia sudah pantas merasakan jatuh cinta, namun pola pikirnya itu, bukan pola pikir orang normal. Jadi apa mungkin ia bisa merasakan ketertarikan pada lawan jenis.

 

Tiba-tiba handphon ku berbunyi, di layar terlihat nama Ajeng, sahabatku di sekolah. Kenapa anak ini, tiba-tiba saja menghubungiku malam-malam.

“Lama banget ngangkat telfon, lagi mikirin Anggara ya??

Udah nggak ngucap salam, tiba-tiba nuduh tanpa bukti, dasar! Gumamku dalam hati geram.

“Ngawur!!” jawabku ketus. “Kenapa??”

“Mau curhat,” jawab Ajeng.

“Curhat apa?” jawabku datar.

Rino,” iri aku mendengar sahabat ku itu, ia punya pacar yang ganteng, normal, dan ramah. Tidak seperti Anggara.

“Kenapa Rino,” tanyaku.

“Nggak tau, ia tiba-tiba berubah, seperti sedang menjauh dariku, kadang malah tak peduli dengan diriku,” jawab Ajeng.

“Maksut kamu gimana?” tanyaku memperjelas.

“Intinya, Rino udah berubah, aku nggak ngerasin rasa sayangnya keadaku,” ucap Ajeng.

“Mungkin, itu perasaan kamu aja Jeng,” ucapku mencoba menenangkan.

“Tapi Rino udah beda, aku merasa ia mulai menjauh dariku,” tegas Ajeng.

Malam itu ku habiskan mendengarkan curhataan Ajeng tentang Rino, yang mulai menjauh darinya. Ternyata hubungan Ajeng dan Rino tak seindah yang ku bayangkan selama ini. Ada permasalahan serius diantara meraka, meski dari luar, hubunagn mereka terlihat baik-baik saja, namun dari dalam ada konflik yang mereka hadapi. Ternyata wajah yang tampan dan mental yang normal, tak membuat Rino menjadi orang yang luar biasa.

Apakah Anggara seperti itu pula, gumamku dalam hati. Apa dia juga seperti Rino dan lelaki pada umumnya, yang bisa berubah setelah waktu berjalan. Kenapa aku malah jadi teringat Anggara, Orang cacat mental seperti dia, apa punya keinginan yang sama, seperti lelaki lain. Kenapa aku malah semakin jauh memikirkan tentang perasaannya, memangnya dia siapa, mencoba mengenalnya saja aku tak pernah.

Lebih baik aku tidur, memiirkan Anggara tak akan memberiku apa-apa. Faktanya dia anak cacat mental, yang memiliki tubuh seorang remaja pada umumnya, namun mentalnya sepeti anak-anak.

***

Hari ini sangat membosankan, sangat-sangat membosankan, semuanya menyebalkan. Mulai dari pelajarannya, guru yang tiba-tiba memberi tugas rumah, dan teman sekelasku yang jahilnya luar biasa. Walaupun sekolah sudah berakhir, tapi rasa kesal tentang kejadian hari ini masih ada.

Aku pulang paling akhir, berjalan di lorong sekolah yang sepi, sendiri, dan masih memendam kesal dalam hati. Suasana hatiku sedang tidak baik, terlalu banyak masalah hari ini. Aku terlalu muram untuk sebuah hari yang cerah seperti saat ini.

Aku hampir mencapai gerbang sekolah, tapi langkahku terhenti ketika melihat seorang anak berlarian di lapangan sekolah. Aneh, ada seorang anak SMA, berlarian seperti anak kecl, jingkrak-jingkrak, sendirian, seperti seorang anak kecil mengejar sesuatu. Lamat-lamat ku perhatikan, Anggara, tidak salah lagi, dan anak yang sedang berlarian itu adalah Anggara.

Tak heran jika ia sedang berlarian seperti anak kecil, memang mentalnya seperti itu. Anggara, sedang apa kau ini, apa yang kau pikirkan sampai kau berlarian seperti anak kecil. Apa yang kau kejar, kenapa sampai sebegitu bahagianya kau dengan apa yang sedang kau buru. Oh, kupu-kupu, kau sedang mengejar kupu-kupu cantik itu. Apa ku bisa menagkapnya, dengan cara mu itu, kupu-kupu itu akan semakin tinggi terbang menjauh jika kau tak segera menangkapnya.

Anggara, Anggara, tubuh yang sudah dewasa itu, seperti tak berguna untukmu. Kau terus berlarian tanpa henti, hanya untuk mengejar seekor kupu-kupu indah itu? Apa kau tak merasa percuma, dengan tenaga yang kau miliki. Kau ini, sungguh tak mengerti arti sebuah kedewasaan.

Tapi dia lucu juga, mengejar kupu-kupu, kesana-kemari, seperti anak-anak. Betapa polosnya dirimu, seolah ia tak punya beban dan masalah yang harus dipikirkan. Apa dia tak lelah, terkurung dalam tubuh dewasanya, meski jiwa kecilnya menginginkan untuk keluar. Dalam hati aku ingin bertanya padanya, “Anggara bagaimana perasaanmu ketika mengejar kupu-kupu cantik itu? Apa kau senang? Apa kau merasa bahagia? Apa itu yang membuatmu selalu menjadi anak-anak?”

Anggara, begitu polosnya dirmu, hngga yang kau tau hanya mengejar kupu-kupu cantik itu.

Aku masih terdiam dalam lamunan, melihat Anggara menkmati kebahagiannya. Kebahagiaan seorang bocah, anak kecil yang tak tau apa-apa, dalam tubuh orang dewasa. Anggara mash berlarian, mengejar kupu-kupu menawan yang terbang kesana-kemari. Anggara tak sempat melihat ke arahku, ia terlalu kagum dengan kupu-kupu nan elok itu. Anggara, adik kelasku, pengagumku, kini sedang mengejar seekor kupu-kupu cantik itu.

 

Tiba-tiba, Anggara berhenti mengejar kupu-kupu cantik itu, ia berbalik ke arahku seraya melambaikan tangan. Aku terkejut, apakah Anggara menyadari kehadiranku, apa ia tau, aku memperhatikannya sejak tadi. Aku pun langsung berpaling muka, dan pegi berlalu, mencoba mengubur rasa malu yang ku rasa. Ku percepat langkahku, agar Anggara tak bisa mengejarku, dan aku pun keluar dari gerbang sekolah seketika itu juga.

Aku setengah berlari, mencoba menghindar sebisaku, agar Anaggara tak dapat menyusul. Tapi apakah ia tau, aku sempat memerhatiannya, apakah ia menyadari hal itu. Aku tak tau pasti, tapi yang jelas ia sudah menatapku, dan karena tatapan itu, perasaanku semakin tak karuan.

Baru kali ini aku merasa deg-degan setelah Anggara melambaikan tangan ke arah ku. Seharusnya aku bisa saja, tak seharusnya aku merasa seperti ini. Ini bukan aku, perasaan ini bukan diriku. Tapi kenapa hati ku jadi tak karuan, wajahku memanas, sepertinya wajahku memerah, tapi kenapa. Bukan masalah penting seharusnya, namun kenapa seperti ada getaran dalam dada ini ketika melihat Anggara. Tapi aku tidak boleh memiliki rasa untuknya, tidak akan, dan tidak pernah.

Tapi aneh juga, apa yang Anggara lakukan tadi benar-benar aneh. Ia terus saja mengejar kupu-kupu cantik itu, padahal kupu-kupu itu tak akan hinggap di tangannya. Anggara seperti anak kecil yang bermain kejar-kejaran dengan kupu-kupu, namun ia tak merasa lelah, padahal jika orang dewasa yang melakukan hal seperti itu, ia akan mudah menyerah.

***

“Ratih!!” panggil seseorang dari kejauhan.

“Hy Yo, belum pulang?” balasku pada Dio, temanku yang baru saja menyapa.

“Belum, tadi masih ngobrol sama teman-teman, sekalian nunggu Anggara. Tapi entah kenapa sampai sekarang ia belum muncul juga,” jawab Dio merasa heran.

“Anggara?? Kenapa kamu repot-repot menunggu dia di sini?” tanyaku lebih heran darinya.

“Ya nemenin dia pulang lah, kalau bukan aku siapa lagi, memang ada yang mau jemput,” jawab Dio santai.

“Apa hubunganmu dengan Anggara, Yo?” tanyaku penasaran.

“Anggara itu, adikku, sudah sewajarnya aku menjaganya,” jawab Dio tanpa ragu.

“Tapi aku tak pernah melihat kalian bersama saat di sekolah,” ucapku.

“Apa kakak-beradik itu harus selalu bersama?” tanya Dio. “Malah biasanya kakak-beradik, apa lagi sesama cowok, malah kebanyakan nggak akur.”

“Oh, gitu,” tanggapku hambar. “Yo, maaf sebeumnya, tapi apa kamu nggak risih atau keganggu gitu, punya adik seperti Anggara,” ucapku kikuk, takut Dio tersinggung.

“Maksutmu??” tanya Dio, yang membuatku sedikit takut.

“Dengan keadaan Anggara seperti itu, apa kamu..” aku tak bisa melanjutkan kalimatku.

“Oh aku mengerti,” Dio tersenyum menaggapiku. “Tapi kalau bukan aku, siapa lagi yang menjaganya,” jawab Dio tak mengubah kalimat yang sebelumnya.

“Memang,” lanjut Dio, “kadang Anggara begitu menjengkelkan, kadang ia juga seperti memiliki dunianya sendiri, yang tak dimengerti oleh orang lain. Tapi dia tetap adikku, satu-satunya saudaraku, dan sudah kewajibanku menjaganya,” Dio tersenyun diakhir kalimatnya.

“Kadang aku juga jengkel dengan kelakuannya,” ucap Dio kemudian. “Bukan karena dia selalu mendapat apa yang diinginkannya, api karena aku tak sespesial dia,” Dio tersenyum masam. “Anggara itu anak yang istimewa, dia cerdas, lebih cerdas dariku, bisa mengingat setiap hal dengan tepat secara detail. Hal itu yang paling membuatku iri ada Anggara.”

Dalam hati aku tak percaya, anak normal seperti Dio, punya rasa iri pada Anggara yang upnormal. Maksutku, memang, Dio adalah kakak Anggara, dia pasti lebih tau bagaimana keseharian Anggara ketika di rumah. Tapi Anggara itu anak berkebutuhan khusus, dan semua cerita Dio seperti omong kosong belaka.

“Pasti kamua menganggapku aneh, tapi itulah kenyataannya. Anggara memang terlahir sebagai anak cacat mental, tapi kecerdasannya mampu mengalahkan orang dengan otak yang normal,” ucap Dio meyakinkan.

“Aku tidak berkata seperti itu lho, tapi ku akui, terbakannya nyaris benar,” sanggahku membela diri.

“Kadang, anak seperti Anggara diberi kemampuan khusus oleh Tuhan, dan untuk menyembunyikan kelebihan itu, Tuhan menciptakanya sebagai orang aneh. Tapi itulah cara kerja Tuhan, anak-anak seperti Anggara, diberi ruang khusus mengelurakan kecerdasannya,” ucap Dio, “mengerti maksutku?!” lanjutnya menegaskan.

“Ya, aku mengerti, dan itulah letak keadilan Tuhan bagi semua ciptaannya,” Dio tersenyum menanggapi perkataanku.

“Kadang, kecerdasan diluar batas seerti yang dimiliki Anggara, tidak pernah kita sadari sebagai orang yang mengaku normal,” celetuk Dio.

***

“Keee... Ka... Kak Dio!!” Suara Anggara terdengar dari belakang, dari suaranya terdengan Anggara sedang merasa kesal. “Ke.. Kenapa Kak Dio menggangu pacarku?!!” Anggara meracu lagi tentang aku dan dia.

“Pacarmu yang mana? Apa kamu punya pacar?” tanggap Dio santai.

“Itu,” Anggara menunjuk ke arahku. “Kak Ratih, dia pacarku! Dan jangan coba-coba ganggu dia!” Dio menatapku dengan tatapan aneh penuh tanda tanya.

“Sejak kapan?” Dio berkata lirih kepadaku.

“Aku tak tau, dia sendiri yang merasa, jika aku adalah pacarnya,” sanggahku.

Dio mengusap wajahnya dengan kedua tangan, seolah tak percaya dengan kenyataan ini.

“Sejak kapan Ratih jadi pacaramu, Ngga?” tanya Dio sekali lagi.

“Se... se.. sejak dulu!”

“Iya sejak kapan, yang jelas dong!” tanya Dio tegas.

“Sejak, masuk sekolah, dari mulai Kak Ratih me..., me..., mengambil  coklat dariku,” ucap Anggara. “Kata teman-teman, kalau cewek mengambil coklat milik cowok, artinya jadian,” lanjut Aanggara.

“Apa kamu bilang, tentang perasaanmu ke Ratih?”

“Tidak”

“Lalu bagaimana Ratih menerima perasaanmu?” tanya Dio seolah membuat teka-teki.

“Kak Ratih mengambil coklatku,” ulang Anggara masih keras kepela.

“Kamu ingat Tih?” Dio berbalik bertanya kepada ku.

“Aku tak ingat,” sembari mengelengkan kepalaku.

“Dulu, wak.. waktu kakak mengambi coklatku di kantin, saat aku ingin kembali ke kelas, tanggal 5 september 2019, sepuluh hari sebelum kepala sekolah digantikan, dua puluh hari setelah pemilihan ketua Osis. Satu hari sebeum Kak Mita dan Kak Radit jadian, sebelas hari setelah tim sepak bola kalah dari SMA Taruna.” Wow! Aku sangat terkejut dengan pemaparan tentang diriku yang mengambil coklat dari Anggara. Anggara begitu detail menyebutkan setiap kejadian yang telah dan belum terjadi, saat aku mengambil coklatnya. Semua yang ia katakan sangat tepat, semuanya, setiap detail kejadiannya, termasuk aku yang mengambil coklat miliknya.

“Tih, Ratih!!” Dio menatap ke arahku yang masih tercengan oleh pemaparan Anggara. “Apa itu benar?” tanya Dio memastikan.

“Ya memang seperti itu kejadiannya, tapi bukan seperti itu maksutku,” jawabku sepontan. “Ayolah yo, aku hanya ingin menggodan Anggara waktu itu,” Dio menatap sinis padaku, “seperti anak-anak lain yang mempermainkanya, dan entah kenapa aku ingin mengambil coklatnya waktu itu.” Dio terus saja menatapku dengan tatap mata yang semakin tajam, bercampur kemarahan dan rasa kecewa.

“Jangan jelaskan padaku nona, jelaskan pada orang yang kau permainkan,” ucap Dio yang melihat raut wajahku yang sedikit mengiba.

“Bukan seperti itu Yo.., ah sudahlah,” ucapku pasrah. “Angga, aku tak pernah menerima cintamu, waktu itu aku hanya berniat menggodamu saja,” lanjutku.

“Apa ma.., maksut Kak Ratih? Anggara ta..tak mengerti,” tanggap Aanggara masih tergagap.

“Jadi waktu itu, aku hanya ingin menjahilimu,” ucapku perlahan. “Aku tak pernah bermaksut untuk menerima cintamu, ataupun membalasnya. Aku hanya ingin coklat yang kau punya,” jelasku, berharap Anggara mengerti apa yang ku maksutkan.

“Tapi kata teman-teman...”

“Iya, tapi bukan itu yang ku maksutkan,” sergahku sebelum Anggara melanjutkan kalimatnya. “Semuanya berbeda, antara apa yang ku maksutkan dan yang dimaksut teman-temanmu berbeda, dalam kontek yang berbeda pula,” tegasku.

“Be... ber.. berarti Kak Ratih yang bohong,” Aku tak menduga, Anggara bisa berkata seperti itu. “Kak Ratih hanya... pemberi halapan palsu, berpura-pura peduli, namun hanya... mempermainkanku. Kak Ratih memang tak menyadarinya, bahkan mungkin, aku yang terlalu berharap. Tapi sedikit saja harapan, bisa membuat manusia berharap berlebihan. Kak Ratih, memang tak akan mengerti, sebab Kak Ratih hanya peduli dengan harapan Kak Ratih sendiri.” Kata-kata Anggara benar-benar menusuk hatiku. Aku tak bisa berkata-kata lagi, mulutku membisu, hatiku tertunduk malu.

“Kak Di.. Dio, ayo pulang!” Anggara memendam kemarahan dalam kata-katanya.

Aku menatap Dio, yang hanya mengangkat bahu seraya melirik kecil ke arah Anggara. Lalu mereka pun pergi, meninggalkanku yang masih mematung dalam sepi. Mereka melewatiku begitu saja, seolah aku tak ada disana. Dio sama sekali melirik ke arahku, begitu pula Anggara, mereka tak peduli sama sekali terhadapku. Mereka terus berjalan seolah tak pernah terjadi apa-apa.

 

“Kak Dio, gendong!!” ucap Anggara.

“Udeah gede minta gendong, jalan sendiri!” tolak Dio.

“Heee kak, aku kan baru putus, hiburlah aku sedikit,” Anggar merengek seperti anak kecil.

“Makanya, kalau nggak siap patah hati, jangan jatuh cinta,” sergah Dio.

“Tapi... tapi,”

Sebelum Anggara melanjutkan kalimatnya, Dio menawarkan punggungnya, “Ya udah, ayo naik, tapi cuma sampai depan gang ya,” ucap Dio meloloskan keinginan adiknya.

“Yeee!!!” Anggara bersorak kegirangan.

 

Ratih yang melihat hal itu jadi tersentuh jiwanya, entah kenapa, tiba-tiba ia merasa senang dengan tingkah kakak-beradik ini. Dio yang begitu sabar mengahadapi sikap adiknya, dan Anggara yang begitu manja pada kakaknya, seolah menghadirkan perasaan tersendiri dalam hati Ratih.

***

Hari berganti, semua masih tetap sama seperti biasanya. Ada murid yang dihukum berdiri di tengah lapangan karena ketahuan merokok pada saat jam sekolah. Deretan murid-murid menuju ke kantin, sebab jam istirahat tengah berlangsung. Murid-murid yang masih berkutat dengan buku-buku diruang perpustakaan, geng cowok yang berkumpul di depan kelas sedang berbincang serta mengomentari penampilan gurunya. Siswa penyendiri yang terasing di pojok sekolah, serta beberapa gadis pengoda, sedang menjilat.

Aku sedang berjalan sendirian, tak seorang menemaniku melewati koridor sekolah. Aku berhenti sejenak, ketika melihat Anggara sedang dibuly oleh beberapa siswa kelas satu, terintimidasi oleh teman satu angkatannya sendiri.

Aku tak tak tahan melihat hal itu, “Pergi kalian! Jangan ganggu Angga, apa kalian tidak punya kerjaan lain selain mengganggunya!!”

“Apa hubungannya denganmu, toh Anggara bukan siapa-siapamu!” sergah salah seorang dari mereka.

“Anggara adalah pacarku, jadi jangan ganggu dia! Atau kalian ingin aku adukan kepada Paul dan Roni,” gretakku.

Mendengar nama dua sahabatku, para anak kelas satu itu gemetar ketakutan. Siapa yang tak tau tentang Paul dan Roni, dua orang siswa yang ditakuti di sekolah, dan kebetulan mereka adalah sahabatku sejak kecil. Jadi siapapun yang menggangguku, akan berhadapan dengan mereka. Anak kelas satu itu pun berhenti dan meninggalkan Anggara.

“Angga, kamu nggak papa kan?” ucapku.

“Angga baik-baik saja,” jawabnya acuh.

“Masih marah sama aku?” Aku mendekati Anggara seraya duduk di sampingnya.

“Kenapa Angga harus marah, Kak Ratih kan bukan siapa-siapa Angga,” ucapnya ketus. “Kenapa kakak bilang, aku pacar kakak, Kak Ratih pasti bohong lagi,” lanjutnya kesal.

“Nggak, aku nggak bohong, kamu aja yang merasa seperti itu,” ucapku membantah perkataan Anggara.

“Kak Ratih pasti bohong lagi!!” Bentak Anggara seraya pergi meninggalkanku.

Aku coba mengejar Anggara yang berusaha berlari menjauh. Seolah ia tak merasa capek, ia terus berlari menjauh dariku. “Angga, tunggu!!” seruku, namun Anggara tak mau mendengarkan. “Dengar dulu,” Anggara tak menghiraukanku meski nafasku sudah hampir habis untuk mengejarnya. “Oke, jika Angga masih marah sama kakak,” ucapku sembari berjalan. Kakak minta maaf, tapi tolong dengarkan dulu penjelasan Kak Ratih,” aku memohon.

 

Dari jauh, Dio memperhatikan Ratih dan adiknya, ia hanya terdiam di sana, Dio tak tahan sebenarnya, tapi ia tak tau harus berbuat apa. Dio tak mau ikut campur dalam permasalahan pribadi antara Ratih dan Anggara.

“Hai,” seorang gadis menepuk pundakku, “ngapain?”

“Itu,” Dio menunjuk ke arah Ratih dan Anggara.

“Biarkan mereka menyelesaikan permasalahan mereka sendiri, meski Anggara saudaramu, tapi dia juga punya privasinya sendiri,” ucapnya.

“Lalu aku harus bagaimana Man? Anggara itu..”

“Sutt,” sergap Manda dengan telunjuknya yang menempel di bibirku, “percayalah pada Anggara.”

“Baiklah,” ucap Dio menyerah.

“Sekarang, pacarmu ini sedang butuh bantuanmu di perpus,” ucap Manda.

“Jadi,” godaku seolah tak mengerti.

“Jadi, bantu aku sekarang,” ucap Manda, sembari mendorong Dio ke arah perpustakaan.

Manda dan aku berjalan menuju perpustakaan dengan sedikit canda tawa mengiringi langkah mereka. Sesekali aku melirik ke arah Anggara dan Ratih, Ratih masih berusaha meminta maaf pada Anggara. Tapi kini Anggara mau mendengarkannya. Dan suasana sekolah tetap seperti biasanya, berjalan dan berlalu seperti seharusnya.

 

Sekian.

Saumur#

Malang, 26 Desember 2019

Posting Komentar

0 Komentar