IPA x IPS


 

 

IPA x IPS

Sebuah persaingan sengit yang terus terjadi, layaknya dendam kusumat yang tak pernah berhenti. Sebuah prediakat sosial yang terus dipegang oleh dua kelompok. Sebuah jukukan yang sampai saat ini tersemat pada setiap orang. IPA dan IPS.

Setiap orang pasti pernah merasakan masa SMA. Pada masa SMA, setiap anak diwajibkan memilih satu jurusan, menjadi anak IPA atau anak IPS. Sebenarnya ada jursan lain, yang tidak kalah dari kedua jurusan ini, seperti jurusan bahasa, jerusan agama dan seterusnya. Tapi tak pernah ada konflik sebesar jurusan IPA dan IPS. Mereka akan ber-titel anak IPA dan anak IPS selama hidupnya. Konflik yang sudah lama sekali, tak tau bagaimana awalnya, dan akan seperti apa akhirnya. Konflik anak IPA dan IPS, konflik yang sudah merata di seluruh negeri ini.

Jurusan IPA dan IPS menjadi pangkat, identitas, serta tolek ukur bagi para lulusannya. Sebuah tanda yang tak bisa dihilangkan meski mereka sudah menjadi bagian dalam masyarakat. Anak IPA yang tekenal rajin, patuh, pintar dan sopan. Sedangkan anak IPS memiliki pamor sebagai anak malas, santai, brutal, urakan, dan tak punya kemauan belajar.

Julukan itu selalu disematkan pada mereka yang terlanjur memilih jurusan. Tapi, apakah itu semua benar adanya, menilai semua dari permukaannya saja. Sepertinya tak semua anak IPS adalah anak malas, dan tak semua anak IPA adalah anak bererestasi. Kisah ini munggkin tak sepenuhya mewakili, namun semoga menjadi pengetahuan tentang konflik yang terjadi di kedua jurusan ini.

***

“Fatih!!” seseorang memanggilnya dari kejahuahan sebelum Fatih berbelok ke arah sekolah.

“Kenapa Mar,” Fatih menjawab dengan nada datar.

“Tunggu,” Amar berlari secepat yang ia bisa. “Setidaknya, jika kau telat, telatlah bersamku,” Amar meringis tak jelas.

“Aku tak mau telat bego,” umpat Fatih kesal.

Fatih dan Amar telah bersahabat sejak mereka kecil, mereka pun sangat akrab, meski sekarang tak sekelas. Kini meraka kelas dua SMA, namun mereka berbeda jurusan, Fatih jurusan IPS, dan Amar jurusan IPA. Walaupun meperka berbeda jurusan, hubungan mereka tetap akrab, merka tetap bersahabat seperti pada umumnya, saling mendukung, tanpa ada persaingan seperti siswa lain.

 

“Fatih lagi,” seorang guru menegur Fatih dengan nada sindirin. “Amar, jika kamu tak ingin terlambat, jangan berangkat bersama Fatih. Lihat, semua siswa sudah masuk ke dalam kelas, mungkin gurumu sudah memulai pelajarnya.”

“Baik Pak,” ujar Amar pada guru piket.

Sebenarnya aku sedikit jengkel dengan guru ini, Amar yang datang telat, dan aku yang disalahkan. Aku anak IPS, jadi selalu dicap buruk, padahal banyak anak IPA yang lebih buruk kelakuannya dari pada diriku. Kenapa Anak IPS yang selalu dicap sebagai anak bandel. Apa karena anak IPS selalu menunjukan kesalahan, dari pada anak IPA yang bandelnya secara sembunyi-sembunyi.

“Kami permisi Pak,” sergah Amar, sebelum aku sempat mengucapkan ketidak puasanku pada guru itu.

***

Pelajaran di jam pertama sudah usai, kini jam istirahat telah tiba, aku mengemas buku catatan ke dalam tas, seperti bisanya. Aku baru saja selesai dengan pelajaran ekonomi, aku sedang berfikir, apakah ekonomi serumit itu. Aku masih merasa bertanya-tanya tentang hal itu, tanda tanya tipis yang terngiyang-ngiyang. Mungkinkah ekonomi serumit itu, setiap sektor daganng harus serinci dan sedetail itu. Tapi bukankah itu teori-teori luar negeri, dan menurutku akan aneh jika diterapkan di negeri ini. Jika sebuah teori diterapkan pada negeri berbeda, apakah itu masih relevan, sedangkan permasalahan setiap negara sangat berbeda.

 

“Tih!!” panggil Rio dari ambnag pintu kelas, “kantin yuk!!” ajaknya.

“Duluan aja, aku nanti nyusul,” jawabku

“Nunggu siapa, nungguin Dina ya??” goda Rio.

Terlihat wajah Dina memrah karena candaan Rio padaku, ia tak mengatakan apaun, gadis itu hanya tertunduk malu di tempatnya duduk. “Apaan sih, udah pergi sana!” bentakku.

 

Ketika Rio ingin pergi ke kantin, ia berpapasan dengan Amar yang berjalan menuju ke arah kelas kami. “Ngapai anak IPA ke sini?” ucap Rio sinis.

“Memang kenapa, apa ada larangan anak IPA tidak boleh lewat sini?” sergah Amar dengan nada tengilnya.

“Wah nyolot ni anak,” Rio emosinya terpencing.

Aku bergegas menghampiri Rio dan yang lainnya, mencoba melerai sebisa ku, “Yo udah!! Nggak usah diladenen.”

“Awas ya,” ucap Rio samembari mencungkan jari pada Amar.

“Apa!!” bentak Amar tak mau kalah.

“Udah!!” pekikku, Rio pun berjalan menuju kantin, seraya meninggalkan kami.

 

“Mar, bisa nggak, nggak cari masalah gitu!” ucapku setelah Rio cukup jauh.

“Dia yang mulai duluan! Dia pikir, sekolah ini milik bapaknya apa,” sanggah Amar. “Seenaknya ngatur-ngatur,” imbuhnya.

“Nggak usah diladenin, biar nggak ribut,” tanggapku.

“Nggak bisa lah, emang anak IPS doang yang bisa..”

“Cukup Mar!! Aku juga anak IPS,” sergapku.

“Baiklah, maaf,” jawab Amar.

“Ada apa ku ke sini?” tanyaku.

“Ada olimpiade matematika, aku ditunjuk sebagai sekolah,” ucap Amar.

“Lalu apa hubungannya denganku?” sergapku.

“Dewan guru, memintaku untuk mencari anggota,” jelasnya.

“Lalu kau ingin aku ikut?” tanyaku.

“Ya, menurutku kau pantas untuk ikut,” jawab Amar.

“Apa kau sudah tanya pada dewan guru?” tanyaku lebih lanjut.

“Belum, aku belum meminta persetujuan mereka,” tanggap Amar.

“Sebaiknya jangan,” sergapku. “Kau hanya akan membuang-buang waktu untuk meyakinkan mereka,” cegahku.

“Ayolah Tih, aku tau kau mampu, hanya saja tak ada yang menganggapmu,” bujuk Amar. “Ini saatnya kamu buktikan pada mereka.”

“Kau tau bagaimana cap yang diberikan mereka pada anak IPS, pada ku. Lalu kau masih nekat mengajakku?” sanggahku ketus.

“Tih, ini bisa jadi pembuktian pada dewan guru, jurusan IPS tak seburuk itu,” ucap Amar masih bersikeras membujukku.

“Berapa lama waktu persiapannya?” tanyaku.

“Dua bulan,” tanggap Amar.

”Aku mau ada seleski, bukan hanya untuku, tapi untuk semua siswa. Maka itu baru adil,” jawabku. “Jika banyak anak IPS yang mampu melewati itu, baru aku ikut,” pungkasku, sebagai syarat agar aku tidak perlu ikut.

Mulanya Amar keberatan dengan syarat yang ku ajukan, tapi ia manimbang-nimbang kembali, dan ia pun setuju dengan syarat yang ku ajukan.

***

            Kesesokan harinya, setelah pelajaran usai, wali kelas ku memberi pengumuman tentang seleksi olimpiade matematika. Wali kelasku menunjuk ku, Dina dan Rio sabagai wakil dari kelas kami. Aku sedikit terkejut, sepertinya Amar benar-benar menepati ucapannya. Tapi kenapa harus aku, masih bnayak anak pandai di jurusan IPS. Namun, baiklah, karena Amar sudah menepati ucapannya, maka aku juga harus menepati janjiku.

            Aku, Dina, dan Rio sepakat membahas semua ini setelah sekolah selesai. Kami sepakat berkumpul di rumah Dina untuk mempersiapkan diri dengan soal-soal latihan. Sebenarnya Dina dan Rio merasa aneh dengan semua ini. Mereka menganggap ini terlalu tiba-tiba, sebab anak IPS tidak pernah dilibatkan olimpiade matematika sebelumnya.

 

            Setelah selesai sekolah, kami berkumpul di rumah Dina, aku pun telah meninta ijin pada orang tua ku akan terlambat pulang. Di rumah Dina kami tengah membahas soal-soal yang kemungkinan keluar dalam seleksi olimpiade matematika.

           

           “Tih, kamu ngerasa ada yang aneh nggak?” ucap Dina ditengah-tengah kesibukan kami mengerjakan soal-soal.

            “Iya Tih, sepertinya ada yang aneh dengan semua ini,” timpal Rio sependapat.

            “Aneh apanya? Aku tak mengerti maksut kalian,” tanggapku sembari mengerjakan soal-soal.

            “Ya aneh aja, tiba-tiba ada seleksi dari dewan guru untuk olimpiade matematika, dan yang lebih aneh, anak IPS diikut sertakan,” ucap Dina. “Biasanya kan langsung menunjuk anak IPA untuk mewakili sekolah.”

            “Sudahlah, mengkin ini saatnya anak IPS unjuk kemampuan, jadi berusahalah semaksimal mungkin,” jawabku ringan.

            “Iya, tapi waspada itu penting Tih, bisa saja para dewan guru hanya ingin mempermalukan kita,”sanggah Dina.

            “Kemana perginya keyakinan Dinaku ini? Apa dia sudah tidak yakin dengan kemampuannya sendiri?” sindiriku. “Sudahlah, jangan menerka-nerka terlalu jauh. Tidak mungkin dewan guru punya pemikiran seperti itu,” imbuhku.

            “Bukan begitu, tapi..” Dina tak melanjutkan kalimatnya.

            “Jika kamu merasa ragu dengan kemampuanmu sendiri, bagaimana kamu akan menunjukan kemampuanmu pada orang lain,” ucapku.

            “Bukan aku tak yakin dengan kemampaunku, tapi, terkadang ada hal yang berada di luar pengetahuan kita, Tih,” Dina mendebat.

            “Lalu apa itu, apa yang bisa para dewan guru lakukan pada kita, para muridnya?” tanyaku.

            “Misalnya, mereka hanya ingin menguji kemampuan kita,” jawab Dina.

            “Jadi anggap saja ini sebuah ujian, janggan membantah, dan lakukan yang terbaik,” jawabku sepele.

            “Baiklah, anggap saja ini ujian, hanya sebuah ujian,” ucap Dina kembali pada soal-soal yang dibahas.

            “Yap, anggap saja ini cuma ujian,” ulangku. Lalu kami berali kepada Rio yang sejak tadi diam memperhatikan kami dengan tatapan aneh. Rio menatap ke arah kami dengan raut wajah penuh tanya, seolah kami telah melakukan hal yang tak wajar. Tatapan itu terus saja mengarah pada kami, seolah ada yang salah atas diri kami berdua. Tatap itu pula yang membuat kami salah tingkah di depan Rio, “Kenapa Yo, ada yang salah?” tanyaku.

            “Eeemm.... Dinaku,” Rio mengulang kalimatku dengan nada aneh.

            Sontak aku dan Dina merasa kikiuk, mendengar Rio mengulang panggilan itu. Aku tak tau harus berkata apa, tak ada bantahan dan snaggahan. Sedangkan Dina hanya tersipu malu mendengan ucapan Rio, wajahnya merah merona, seolah ada yang salah pada dirinya. Kami berdua dibuat salah tingkah dengan ucapan Rio.

            “Maksutku tadi...” aku coba menanggapi.

            “Dinaku??” ulang Rio sembari menatap penuh arti ke arahku.

            “Maksut Fatih tadi...” Dina mencoba meluruskan kesalahpahaman ini.

            “Dinaku!!” Rio memnadang Dina seolah sedang meyakinkannya.

            Kami dibuat tak bisa berkata apa-apa, oleh satu kata yang terus diulang-ulang oleh Rio. Rio terus mengucapnya dengan penuh makna dan kesan yang berbeda-beda. Seloh telah terjadi sesuatu pada aku dan Dina, yang dijelaskan hanya dengan satu kata itu. “Dinaku,” Rio mengulang lagi, kali ini ia tak menatap kami berdua, tapi seolah ia menerawang jauh dalam dunia makna.

            “Baiklah, sepertinya kita sedanng diuji oleh para dewan guru, jadi kita anggap saja ini sebagai ujian. Tak perlu ada yang dikhawatirkan, sebab tak akan terjadi apa-apa,” Rio beralih pada kesimpulan tentang perdebatan aku dan Dina, sebelumnya. “Walau ada yang sedikit mengganjal di sini, tapi lebih baik kita fokus pada seleksi saja,” entah apa yang dimaksut Rio pada kalimat terakhirnya

            Lalu Rio menatap aneh ke arahku, dengan tatapan penuh makna, diluar pemikiranku. Aku menetapnya sinis, seolah membantah semua asumsi dari dirinya terhadapku. Ia tersenyum tipis, menanggapi tatapku yang mengintimidasi, seolah menampik semua sangkalan dariku. Sementara dina, hanya terdiam, tersipu malu dengan hal yang dikatakan Rio lewat tatapannya.

           

            “Yo, kalau kamu tak berniat ikut olimpiade ini, pulang saja!” sergap Dina, yang mulai tidak nyaman dengan tingkah Rio.

            “Iya Dinaku,” goda Rio.

            “Yo, cukup, ayolah fokus sebentar saja!” sergahku tegas.

            “Iya Fatihku,” Rio masih saja menggoda kami berdua.

            Sore itu, aku dan Dina dibuat mati kutu oleh Rio, kami tidak bisa membantah perkataan Rio. Rio seperi sudah memegang kartu As kami, ia sudah mendapat senjata pamungkas untuk membuat kami bertekuk lutut di hadapannya. Aku dan Dina kalah hari ini, di depan Rio dan kuasanya atas kami. “Sial!!!” umpatku dalam hati

***

            Sementara dilain tempat, Amar bersama Mira dan Kesya sedang berkumpul di rumah Kesya untuk membahas soal-soal yang akan muncul. Mereka juga menjadi satu kelompok untuk seleksi olimpiade yang diadakan sekolah. Mira dan Kesya sedikit jengkel dengan keputusan para dewan guru, mereka tak terima dengan adanya seleksi dari sekolah untuk menentukan siapa yang maju dalam olimpiade matematika.

            “Kenapa harus ada seleksi untuk olimpiade tahun ini, bisanya juga langsung anak IPA yang ditunjuk untuk mewakili sekolah,” ucap Mira di tenga-tengah acara belaar kelompok mereka. Mira seperti tak terima, dan ia merasa sangat jengkel dengan hal itu.

            “Iya Mir, apa tak cukup anak IPA saja yang mewakili sekolah? Bisanya juga seperti itu, dari tahun ke-tahun, dari jaman kakak tingkat kita dulu, anak IPA yang selalu jadi perwakilan sekolah,” ucap Kesya sependapat.

            “Lalu apa itu adil?” celetuk Amar saat ia tengah mengerjakan soal-soal.

            “Adil lah, anak IPA selalu tampil dengan banyak prestasi di bidang akademik. Maka sudah sewajarnya, jika anak IPA harus dinomer satukan,” jawab Kesya angkuh.

            “Lalu anak dari jurusan lain tak boleh mencoba menunjukan kemampuannya dalam olimpiade matematika?” sindir Amar.

           “Menurut ku, semua punya porsinya masing-masing, jika tentang lomba olehraga kita serahkan pada anak IPS. Jika tentang organisasi dan kegiatan kita serahkan pada anak PAI, dan jika tentang pablik spiking, LKTI, dan karya tulis kita serahkan pada anak Bahasa, adil kan,” ucap Mira menegaskan.

            “Kenapa harus seperti itu, seolah semua sudah tersusun dalam sitem yang baku, apa tidak ada kesempatan untuk menunukan kemampuan mereka,” sanggah Amar.

            “Iya lah, hal itu kan sudah menjadi budaya yang turun-temurn dari kakak tingkat kita, dan sepertinya, seluruh sekolah di negara ini menerapkan hal yang sama,” ucap Mira.

            “Kalau begitu, kenapa kita tidak merubah tradisi aneh ini?” Usul Amar, “atau karena kamu takut bersaing dengan anak dari jurusan lain?” sindir Amar.

            Mira terdiam, ia membisu tak dapat menjawab pertanyaan Amar. Sepertinya memang ada yang membuat Mira merasa takut pada seleksi olimpiade nanti. Entah apa yang membutanya takut, tapi Mira seperti mencoba menyembunyikan rasa takutnya. Tapi Amar mampu membaca semua itu, dari gelagat yang ditunjukan Mira.

            “Apa benar Mir, kamu takut pada seseorang, di seleksi olimpiade nanti?” bisik Kesya lirih.

            “Sudah jelas Key, Mira takut mengahadapi seseorang di seleksi nanti,” sergap Amar.

            “Siapa Mir? Tanya Kesya masih berbisik, “Kansa atau Dimas?”

            Mira hanya terdiam menghadapi cecaran pertanyaan dari kedua sahabatnya. Amar tersenyum sinis melihat Mira dalam diam. Sepertinya Amar sudah tau siapa orang yang ditakuti Mira. Ia hanya tak bisa mampu mengucap nama itu di depan Amar.

 

            “Oke, aku pergi dulu, kita cukupkan pembahasan tentang soal-soal kali ini,” ucap Amar setelah jeda. “Silakan kalian lanjutkan obrolan kalian tanpaku. Mungkin dengan begitu, Mira bisa lebih leluasa bercerita dengan mu, Key.” Amar melangkah pergi, diiringi tetap sinis Mira yang mengikuti sampai ia keluar dari rumah Kesya.

           

            “Udah Mir, Amar udah pergi, sekarang ceritakan padaku,” todong Kesya.

            “Apa yang dikatakan Amar memang benar, aku memang sedikit khawatir tentang seseorang yang akan ikut seleksi,” ungkap Mira.

            “Siapa?” tanya Kesya.

            “Fatih,” jawab Mira singkat.

            “Hah, Fatih??” Kesya terkejut dengan seseorang yang disebutkan Mira. “Memanag Fatih bisa apa Mir, selama ini dia malah jadi langganan guru BP,” ucap Kesya mengingat kembali orang yang disebutkan Mira.

            “Kamu tak kenal siapa Fatih, Key, jika ada orang yang bisa mengalahkan Amar, Fatih-lah orangnya,” ucap Mira.

            “Memang dia sepintar itu?” tanya Kesya memastikan.

            “Kamu hanya tak pernah berhadapan langsung dengannya, maka dari itu kamu tak percaya,” jawab Mira.

            Kesya terdiam, ia tak dapat berkomentar lagi setelah Mira mengatakan itu. Ia berpikir, jika yang dikatakan Mira benar adanya, berarti Fatih memang secerdas itu. Tapi masih ada tanda tanya besear dari Kesya, siapa sebenarnya Fatih, dan kenapa dua orang tercerdas di kelasnya samapi mengakuinya. Apa yang sebenarnya dimiliki Fatih, mungkinkah ia secerdas itu? Tanda tanya besar mulai menyelimuti Kesya saat ini

***

            Hari ujian seleksi olimpiade tiba, semua perwakilan kelas berkumpul dalam satu ruangan. Hanya anak kelas sebelas yang mengikuti seleksi kali ini. Dari kelas IPA I, Mira, Amar, dan Kesya, IPA II, Mayang, Toni, dan Sam, IPA III, Kansa, Dimas, dan Reno. Dari kelas Bahasa I Rangga, Danu, dan Mada, Bahasa II, Mita, Mira, dan Riyan, Bahasa III, Lana, Ruri, Reni.

            Sementara dari Kelas IPS I, Manda, Intan, dan Nila. IPS II, Juna, Rachel, dan Maryam. IPS III, Dina, Fatih, dan Rio. Dari Kelas PAI I, Satya, Murni, dan Danang, PAI II, Riko, Luna, dan Hilda. PAI III, Aisaya, Suni, dan Damar. Semua berkumpul dalam satu ruangan, menunggu seleksi dimulai.

            Ketika beberapa dewan guru masuk, acara seleksi olimpiade matematika pun dimulai. Awalnya Rio sedikit gugup, karena yang dihadapai, anak-anak pilihan yang teruji kemampuannya. Ditambah lagi ia was-was, mungkinkah ia bisa lolos dalam seleksi ini. Sedangkan ia tau, betapa sulitnya menghadapi para peserta lain.

            Fatih yang melihat Rio, langsung sadar kekhawatiran yang dihadapi sahabatnya tersebut. “Percaya aja sama kemampuanmu Yo, semua akan baik-baik saja,” ucap Fatih mencoba menenangkan.

            “Suasananya terlalu tegang Tih, penuh dengan aura persaingan,” ucap Rio.

            “Kau takut, kalau takut, mudur aja Rioku,” sindir Dina remeh.

            “Enggak lah!! Siapa juga yang takut,” Rio mengelak.

            Dina memayunkan bibir bawahnya, tanda ia tak percaya dengan ucapan Rio. Mungkin mereka sama-sama gugup menghadapi seleksi olimpiiade yang baru pertama kali dilaksanakan. Baik Rio atau pun Dina, belum pernah menghadapi suasana persaingan seperti ini. Tapi Dina lebh tenang, ia lebih percaya diri untuk melewati semuanya.

            Fatih menatap ke arah Amar, ia seperti mengirim pesan tersembunyi melalui sorot matanya. Amar pun melihat Fatih, seraya menerima pesan yang dikirimkan olehnya, lalu membalas dengan sebuah senyuman. Fatih terdiam, ia tak bisa lagi meyakinkan Amar dengan caranya. Fatih menyerah, tatap kecewa tertuju kepada Amar.

            Seleksi pun dimulai. Tahap pertama, para siswa diberi soal yang harus dikerjakan. Mira dan Kesya mulai mengerjakan soal-soal yang telah ada di depan mereka secara kelompok. Mereka menghitung dengan cermat, agar tak ada kesalahan dalam menjawab semua soal. Tetapi, tiba-tiba Fatih mengangkat tangan, membuat semua orang memandang ke arahnya, Fatih dan kelomponya sudah selesai mengerjakan semua soal dari tahap awal.

            Kesya masih berpikir bahwa Fatih tak secerdas yang dikatakan Mira, ia menduga bahwa Fatih asal-asalan dalam menjawab soal-soal tersebut. Kesya tau kalau Fatih yang menggumpulkan pertama kali, namun tak mungkin ada yang bisa mengejakan soal secepat itu. Namun tidak dengan Mira, ia tau benar kemampuan Fatih, Mira pun menyerah, Fatih adalah orang yang sama seperti dulu. Sedangkan Amar, tersenyum melihat Fatih mengangkat tangan, tanda selesai mengerjakan semua soal.

            Seorang guru mendekat ke arah Fatih, mengambil kertas soal dan memberikan kepada juri yang bertugas sebaga korektor dari seleks ini. Setelah itubanyak anak lain yang mengaangkat tangan, tanda sudah selesai mengerjakan soal-soal yang diberikan.

            Tahap selanjutnya adalah sesi tanya-jawab, seorang guru memberikan pertanyaan yang harus dijawab langsung oleh peserta. Jika seorang menjawab dengan salah, soal itu akan hangus dan diganti dengan pertanyaan lain. Berapa kali Amar mampu menjawab dengan cepat, dan mendapat nilai sempurna. Tetapi ia tak terlalu senang, sebab Fatih tak menjawab soal-soal mudah itu.

            Tahap ke-dua dari sesi ini berlanjut dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih sulit, kali ini poin digandakan menjadi dua kali lipat. Amar dan Mira mampu menjawab beberapa pertanyaan dari dewan guru di awal sesi. Peserta yang lain jga dapat menjawab satu atau dua pertanyaan yang dengan benar. Namun di akhir sesi ini, Fatih terus menjawab pertanyaan dengan benar, walau kadang jawabanya salah.

            Beberapa dewan guru tampak kebingungan dengan tindakan Fatih, sedangkan peserta lain dibuat jengkel karena tak bisa menjawab. Ada bebrapa pertanyaan mudah yang sengaja dihanguskan Fatih agar orang lain tidak bisa menjawab, ia sengaja menjawab salah, agar pertanyaan beralih ke pertanyaan selanjutnya. Fatih terus menjawab sesaat setelah pertanyaan dilontarkan, jika jawabnya benar itu tidak masalah, namun jika salah, itu yang membuat peserta lain jengkel.

            Akhirnya sesi ini selesai, dan dengan berakhirnya tahap ini, selesai pula seleksi olimpiade matematika. Tak ada yang tau pasti siapa yang memeperoleh poin lebih banyak. Karena Fatih sedikit mengacaukan tahap kedua. Para dewan guru pun dibuat kebingungan, dan meraka akan mengumumkan hasil seleksi dua minggu setelah ini.

            “Luar biasa,” ucap Amar saat menghapiri Fatih dan teman-temannya.

            “Terlalu dini, kau berbangga hati,” tanggap Fatih remeh.

            “Tapi harus ku akui, caramu tadi memeng hebat,” ucap Amar memuji.

            “Hanya orang berpengalaman, yang bisa melakukan itu,” ucap Fatuih angkuh.

            “dan kau melakukannya,” sergah Mira sembari menatap sinis pada Fatih. Fatih tak mau ambil pusing dengan tatapn Mira yang seolah mengintimidasinya. Ia meninggalkan Amar dan Mira tanpa sepatah katapun terucap.

***

            Fatih keluar dari ruang guru. Sepertinya ia baru saja bertemu salah seorang guru untuk membicarakan beberapa hal. Kini Fatih berjalan menuju kelasnya, dengan wajah tenang ia tak menghiraukan tatapan sinis yang tertuju padanya. Amar yang berpapasan dengannya, menatap curiga, sepertinya Fatih melakukan sesuatu diluar bayangannya.

 ***

 

            Hari in adalah hari pengumuman siapa yang akan maju ke olimpiade matematika. Seorang guru menempelkan kertas berisi daftar nama yang lolos dalam seleksi dua minggu lalu. Semua siswa berbonding-bondong mellihat hasil pengumuman, siapa yang akan maju mewakili sekolah mereka. Mira dan Dina juga melihat pengumuman itu, nama mereka tercantum dalam daftar, hal itu makin membuat meraka besar kepala. Rio dan Dina mencoba melihat daftar tersebut, tapi tak ada nama mereka di dalamnya. Mereka hanya menemukan nama Fatih yang yang tercoret dari daftar.

            Dina dan Rio bingung, kenapa nama Fatih dicoret dari daftra tersebut, pertanyaan itu terus terngiang dan menimbulkan pertanyaan baru yang lebih membingungkan. Akhiryan mereka menyerah, lalu kembali ke kelas untuk menemui Fatih dan membicarakan hal ini.

 

            Sesampainya di kelas, Dina dan Rio melihat Fatih sedang duduk di tempatnya sangat tenang. Fatih terlihat tak peduli dengan pengumuman yan terpasang di mading, dan tak ingin ikut mengantri untuk melihat. Dina pun menghampirinya, seraya memulai pembicaraan. “Tih, namamu tertera di papan mading, tap entah kenapa namamu dicoret dari daftar.” Fatih hanya tersenyum tipis menanggapi hal itu.

            “Iya Tih, kamu lolos untuk mewakili sekolah dalam olimpiade itu, namun didiskualisasi,” sambung Rio menambanhkan.

            “Apa jangan-jangan...” ucap Dina yang ter potong karena kedatangan Amar.

            “Fatih!!!” bentaknya tanpa ragu.

            Dengan tenang Fatih menjawab, “Aku melakukan sesuai kesepakatan,” tandasnya.

Sekian

Saumer#

Malang, 6 November 2019


Posting Komentar

0 Komentar