Tuah Sebuah Pusaka
Mungkin tak banyak yang percaya dengan hal-hal ghaib atau hal-hal yang berbau supranatural. Semua orang lebih percaya pada hal-hal yang bersifat merial, sesuatu yang bersifat fisik, mempunayi wujud, dan mampu ditangkap oleh panca indra. Hal-hal ghaib hanya dibuat sebagai candaan, sebuah cerita lama yang tak boleh dipercaya, serta dianggap sebagai kesyirikan. Terlebih lagi jika berhubungan dengan barang-barang pusaka, seperti keris dan tombak, semua orang pasti akan menghujat, menyimpan barang-barang tersebut sama dengan kesyirikan.
Banyak orang yang berkata, “benda-benda pusaka seperti keris dan tombak, tidaklah memiliki tuah apapun, menyimpannya sama saja menodai keimanan”. Kalimat yang sangat mendoktrin, mengritik sebuah kebudayaan untuk membinasakan satu golongan. Dengan kata-kata manis, mengatasnamakan agama, untuk maksut tertentu. Membuat semua orang percaya, bahwa menyimpan benda-benda keramat dan mempercayainya dilarang oleh agama.
Namun tidak denganku, aku Ridho, cucu dari seorang ulama, pengasuh pondok pesantren yang cukup terkenal di kota kami. Kakek ku adalah seorang ulama yang cukup disegani oleh masyarakat, orang yang cukup mahir dalam bidang agama, dan banyak melahirkan pendakwah-pendakwah ulung, diantaranya ayahku sendiri. Tapi, meskipun kakek adalah seorang ulama, pemuka agama, beliau memiliki sebuah benda pusaka, sebilah keris berjuluk Bayu Biru. Namun, aku tak akan bercerita tentang kegunaan, kekuatan, atau bentuknya, cerita ini tentang tuah yang merusak kehidupan keluargaku.
Aku besar di desa yang cukup tentram, jauh dari hiruk-pikuk kota yang penuh dengan gemerlap cahaya. Desa yang damai, tanpa pengaruh pemikiran ekstrim dan gagasan pemberontakan. Masyarakat desa yang ramah, tanpa politikus-politikus kurangajar seperti Sengkuni. Waktu aku kecil, hampir semua orang di desa menaruh hormat kepada keluarga besarku. Pesantren yang diasuh oleh kakekku pun memiliki banyak santri yang menimba ilmu agama di sana. Kebanyakan dari mereka berasal dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat, namun ada juga yang berasal dari luar Pulau Jawa.
Ketika aku berumur tujuh tahun, pesanetern kakek masih memiliki banyak santri. Kumandang adzan masih setia di lima waktunya, kajian kitab kuning selalu terdengaar pada pagi dan petang, cahaya pengetahuan islam masih ada di desa kecil kami. Walau kakek sudah lama tiada, bahkan sebelum aku lahir beliau telah pergi meninggalkan dunia, namun warisannya tetep dijaga oleh anak-anak serta murid-muridnya. Tak ada warisan yang lebih mulia dibabdingkan warisan kakekku, warisan para ambiya, warisan ilmu agama islam.
Namun semua berubah beberapa tahun setelahnya, ketika aku berumur sepuluh tahun, pesanteren kakek ku tiba-tiba muai sepi. Banyak santri yang pulang ke kampung halamanya, tak ada yang tau pasti kenapa pondok menjadi sepi, semua seperti mimpi, terjadi tiba-tiba tanpa pertanda apa-apa. Aku merasa cahaya ilahiyah telah meninggalkan tempat tinggalku, tak ada lagi kajian kitab kuning di waktu pagi dan petang. Semua hilang dengan begitu cepatnya, dan aku yang masih tak tau apa-apa, hanya bisa melihat diambang pintu tanpa penjelasan apapun.
Seseorang pernah berkata, kakek sendiri yang menghalangi para santri untuk kembali ke pondok. Namun aku tak mengerti apa maksut dari semua itu, mungkin karena usiaku yang masih kecil, atau aku yang belum paham tenang hal itu. Yang jelas ada energi ghaib yang menghalangi kediamanku hingga tak ada siapaun yang berniat untuk menimba ilmu di pesantern yang telah didirikan oleh kakek sendiri. Semua memeng aneh, tak mausuk akal, namun itu lah yang terjadi, terkadang ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan oleh logika, dan hal itu nyaa adanya.
Seiring bertambahnya usia, aku mulai menyadari apa yang sebenarnya terjadi dalam kehidupanku. Semua dimulai dari kehidupan seiap anak dan cucu dari kakek yang mulai memburuk. Ada hal-hal yang membuat nama baik keluarga kakek yang mulai ternoda dengan kelakuan anak serta cucu-cucunya. Satu persatu nama mereka tercoreng dengan kesalahan yang dibuat sendiri. Hal itu pun menimpa keluargaku, sama seperti yang lian, entah mereka tahu atau tidak penyebab dari semua ini.
Semakin aku beranjak dewasa, rahasia dibalik hancurnya nama keluarga kakek perlahan mulai terungkap. Seperti air yang keruh, jika didiamkan air akan jernih kembali, perlahan tanah yang membuat keruh akan turun ke bawah. Rahasia yang disemuykan pun mulai terbuaka sedikit demi sedikit sesuai dengan kemampuanku yang bertambah. Aku pun mulai sadar, apa yang harus ku lakukan, dan apa tanggung jawabku.
Semua mulai terbuka ketika seorang kakak sepupuku datang kepada ayah, menanyakan tentang apa yang terjadi pada dirinya. Ia bertanya kepada ayah, “Paman, kenapa aku sulit sekali mendapatkan jodoh.”
“Kenapa kau tak tanyakan itu pada bapakmu?” jawab ayah seolah menghindar.
“Aku tak mempunyai keberanian untuk bertanya pada bapak” jawabnya putus asa. “Mungkin paman bisa membantuku.”
“Baiklah, apa yang kau butuhkan?” tanya ayahku.
“Mungkin paman bisa memberiku nasehat atau apapun itu untuk membantu masalahku?”
“Apa yang bisa ku bantu Salman, semua terjadi pada keluarga ini bukan hal yang bisa diselesaikan dengan mudah” ucap ayahku mengawali cerita kelam itu.
“Maksut paman?” kak Salman masih tak mengerti.
“Semua yang terjadi di keluarga ini adalah kesalahan, sebuah kesalahan yang dibuat oleh seseorang, hingga semua anggota keluarga terkena imbasnya” ayah berhenti sejenak, terlihat ragu untuk menceritakan. “Kau tau sendiri siapa kakek mu?, bagaimana ia berjuang membesaran nama pondok dan bagai mana penghormatan masyarakat kepadanya, namun semua itu sirna seketika.”
“Lihatlah pesantren ini, atau kau bisa liaht kondisi keluargamu sendiri. Berapa banyak musibah yang terjadi pada keluargamu?” ayah berhenti sejenak. “Bagimana semua ini terjadi? Padahal tak ada alasan pasti kenapa keluarga kita teritimpa musibah yang terus silih berganti.”
“Apakah ini karena kesalahan kita sendiri, atau kesalahan seseorang yang berimbas pada semua keturuna kakek mu?” lanjut ayah. “Anak-anakku pun tak bersalah, tapi mereka harus merasakan imbas dari perbuatan orang yang tak bertanggungjawab” pungkasnya.
“Aku masih tak mengerti maksut paman, kenapa paman tidak langsung pada intinya saja?” ucap kak Salman tak sabar.
“Pusaka kekekmu dijual, aku tak akan mengatakan siapa orang yang berani menjaualnya, yang pasti semua musibah ini disebabkan oleh hal itu” jawab ayah singkat.
“Lalu apa yang harus ku lakukan untuk menghentikan semua musibah ini paman?” tanya kak Salman.
“Kembalikan pusaka itu pada tempatnya, hanya itu saran yang bisa paman berikan,” pungkas ayah mengakhiri pembicaraan itu.
Misteri tentang kejadian yang selama ini menimpa keluargaku mulai terbuka satu demi satu di depan mata. Dari sini, titik awal aku mulai mencari siapa yang berani menjaul pusaka peninggalan kakek. Aku tak berani bertanya kepada ayah, dan ku pikir itu sia-sia saja, sebab ayah saja tak memberi tau Kak Salman, apalagi diriku. Aku mulai mencari informasi tentang keris itu, mulai dari teman dekat ayah yang kemungkinan tau, sampai kepada saudara sepupu seperti Kak Salaman dan yang lainnya.
Namun usaha itu sia-sia, semua yang ku mintai keterangan tak pernah tau siapa yang telah menjual pusaka penginggalan kakek. Aku mulai geram dibuatnya, hanya karena satu kesalahan satu orang, seluruh keluarga terkena bencana. Rasanaya aku ingin memukul orang yang berani melakukan hal ini untuk membuatnya jera. Namun aku tak tau siapa orang yang ku tuju, mencarinya seperti meraba dalam gelap, dan mustahil menemukannya tanpa petunjuk apapun. Jika aku tiba-tiba menuduh seseorang, akan timbul masalah lain yang lebih besar. Aku tak mungkin menuduh orang tanpa bukti yang jelas, dan barang bukti pun sudah lama hilang.
Sebenarnya aku memeiliki beberapa asumsi tentang siapa orang yang menjual pusaka itu, namuan aku tak berani menuduhnya. Asumsi tak akan bisa menjadi bukti untuk menuduh orang melakukan kejahatan, menuduh dengan asumsi semata, hanya akan membuat diriku terlibat masalah yang lebih rumit. Aku tak mau mengambil resiko, hidupku sudah penuh dengan masalah, aku tak mau menambah daftarnya.
Sampai pada satu saat aku bermimpi, dalam mimpi itu, aku berada di salah satu kamar pondok. Aku berada dalam kondisi sadar dan tak sadar, dalam kamar itu taka ada yang berubah, kondisinya masih baik, seperti ketikan masih ditinggali. Padahal kamar itu sudah tak ditinggali, keadaannya pun harusnya sudah rusak dan tak bisa dipakai. Tapi kenapa kamar ini tetap sama, apa ini sebuah kenangan, sebuah gambaran masalalu karena aku terlalu rindu. Tapi ini terlalu nyata untuk sebuah kenangan, hal ini terlalu aneh untukku.
Masih dalam kebimbanganku, aku mulai duduk bersila, memejamkan mata, untuk mengheningkan cipta. Aku mencoba memfokuskan pikiranku untuk mendapat petunjuk tentang keberadaanku sekarang. Lalu sebuah cahaya meyilaukan datang dari arah depan, membuatku yang terpejam, merasa tak nyaman. Dari cahaya itu terdengar suara “Belum saatnya kau kemari Nger. Bagunlah!, aku akan menemuimu ketika kau sudah siap.” Lalu aku terbangun dari tidur, di luar masih gelap, ini artinya malam masih berlangsung.
Waktu berlalu sedemikian cepat, mimpi itu pun mulai terlupakan bersama tujuanku mencari pusaka peninggalan kakek. Aku mulai fokus dengan hal lain, aku merasa, mungkin pusaka itu bukan takdirku. Bukan aku yang harus melanjutkan perjuang kakek dan ayah, mungkin orang lain yang akan menemukannya. Bisa saja itu saudaraku atau saudara sepupuku yang lebih pantas untuk melanjutkan semuanya. Aku belum pantas, aku tak sealim saudar-saudaraku yang lain.
Akhirnya ku putuskan untuk pergi dari rumah, merantau ke luar daerah untuk bekerja sekaligus mengunpulakan uang untuk melanjutkan pendidikan. Aku tak berharap apapun lagi, semua sudah ku tinggalkan, biar mereka yang memiliki ambisi untuk menguasi warisan kakek yang menang. Aku tak ingin memperebutkan apa yang bukan menjadi hakku, aku hanya ingin hidup tenang dari perebutan itu.
Aku melangkah keluar dari rumah menuju daerah utara, mungkin di tanah itu aku akan menumakan ketenangan. Bekerja sembari mngumpulkan uang untuk melanjutkan pendidikan tidak semudah yang ku banyangkan. Banyak rintangan dan halangan yang terus saja membayang-bayangiku samapi rasanya aku tak kuasa menahannya. Sepertinya betul, tuah dari pusaka itu memang merata, solah jalan yang ku lalui sangat sulit untuk ditempuh. Semua usahaku seperti percuma, selalu saja ada hal yang menghalangi langkahku, solah ada bongkahan batu yang sangat besar sebagai penghalangnya.
Tanpa sadar aku telah mengingat kembali tentang pusaka itu, pusaka yang sangat menjengkelkan, merenggut semua dariku, merampas kebahagiaan keluargaku. Kutuk yang selalu membayang-bayangi, membuatku selalu membencinya setiapa saat. Aku benar-benar membaencinya, samapi kata-kata tak bisa menggambarkan rasa benciku terhadap pusaka itu. Mengapa semua terjadi kepada keluargaku, keluargaku tak pernah berurusan dengannya bahkan kami tak menikmati sedikitpun hasil darimu. Namun mengapa kami ikut tersert dalam lingkaran kutukmu, bayang-bayang kesedihan selalu hadir dalam kehiduan keluargaku.
Setiap melam ku hiasi dengan renungan-renungan tentang pusaka itu, apakah tuah itu benar-benar mempengaruhi seluruh kehidupanku. Renungan-renungan yag terus berlangsung hingga aku tak sadar, setiap tenggah malam aku berada dalam renungan yang tak pernah menemukan jawaban. Bukan aku yang memuali semua ini, aku hanya terkena imbas dari apa yang diperbuat oleh orang lain. Semua hanya tentang pembalasa bagi mereka yang tak bisa menjaga wasiat. Lalu kenapa harus aku yang menanggung semua, hingga aku terlempar ke daerah yang tak pernah ku kenal.
Sudah sewajarnya jika aku mendendam, dengan keadaan, saudara, dan semua yang berhubungan dengan pusaka itu. Semua berawal dari sebuah pusaka, dan hanya bisa berakhir dengan pusaka itu sendiri. Lalu kenapa harus aku, kenapa semua beban seolah bertumpuk di pundakku, tak adakah yang bisa membantu, atau setidaknya mendengar keluh kesahku. Hati ini sudah mulai lelah dengan semua cobaan serta tanggungjawab, namun kehidupan terus berjalan tanpa menungguku.
Aku sungguh lelah, sangat lelah, seoalah kaki ini tak mampu melangkah, jiwaku sudah tumbang dalam kehidupan. Aku tak habis pikir, kenapa aku terus berakhir dengan cara yang seprti ini. Sampai aku pun terlelap, tidur dengan pikiran yang masih tak karuan.
“Apa yang kau pikirkan??” sebuah suara menggema di telingaku.
“Aku hanya muak,” jawabku kesal.
“Baiklah, tapi apa kau menyerah?”
“Terlalu awal untuk menyerah,” jawabku lagi.
“Masih penasaran denganku?” tanyanya lagi.
“Tidak, aku tak ingin lagi mengejar itu,” ucapku.
“Kenapa?”
“Kau yang membuat seluruh kehidupanku dan keluargaku hancur, kami tak pernah mengusikmu, tapi hidup ku hancur karenamu,” jawabku penuh emosi.
“Baiklah, aku akui itu, tapi apa kau yakin, tak pernah terlibat,” ucapnya.
“Aku yakin itu,” jawabku.
“Lalu kenapa kau tak menghalaingi kejadian itu,” celetuknya.
Aku tertegun dengan kalimat itu, maksutku semua memang bukan salahku, tapi aku pun juga terlibat dalam hal itu. Mungkin benar, tanpa sadar aku pun ikut andil dalam kesalahan itu, secara tidak sadar, secara tidak sengaja.
#saumer
Malang 12 Juli 2021
0 Komentar