Platform novel online ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, ia membuka gerbang bagi ribuan kisah untuk tersebar, memberikan kesempatan yang tak pernah ada sebelumnya bagi penulis. Di sisi lain, ia juga menciptakan labirin monoton, di mana novel-novel terlahir dengan genre, jalan cerita, dan isi konten yang hampir serupa. Lebih parah lagi, fenomena ini diperparah oleh tuntutan manajemen platform yang memaksa penulis memproduksi cerita setiap hari dengan peraturan ketat, berujung pada karya yang kering dan hampa.
Kita patut bertanya, mengapa demikian? Jawabannya terletak pada algoritma dan model bisnis yang diterapkan platform. Demi mempertahankan engagement pembaca dan mengamankan keuntungan, platform secara tak langsung mendorong homogenisasi konten. Genre-genre tertentu, seperti romansa fantasi, CEO billionaire, atau kisah transmigrasi, mendominasi trending topic. Ini memicu penulis, terutama yang baru, untuk mengekor tren tersebut. Mereka merasa harus menulis cerita dengan formula yang sudah terbukti laris, daripada berani bereksperimen dengan ide orisinal. Akibatnya, yang kita temukan adalah ribuan cerita dengan premis identik, karakter template, dan konflik yang bisa ditebak.
Ketika Kejar Tayang Membunuh Jiwa
Masalah ini diperparah oleh tuntutan "kejar tayang" yang tak manusiawi. Banyak kontrak penulis mengharuskan mereka mengunggah bab baru setiap hari, atau bahkan beberapa kali dalam sehari, demi menjaga ranking dan visibilitas. Tekanan ini secara fatal merusak proses kreatif. Menulis novel, apalagi yang berkualitas, membutuhkan waktu untuk perenungan, riset mendalam, pengembangan karakter yang berlapis, dan penyusunan alur yang kokoh. Bagaimana mungkin seorang penulis bisa menciptakan kedalaman itu jika setiap harinya ia diburu tenggat waktu seperti buruh pabrik?
Hasilnya bisa ditebak: karya-karya yang kering, serampangan, dan tanpa jiwa. Ide-ide yang awalnya mungkin brilian, terpaksa dicacah-cacah dan direnggangkan hingga tak berbentuk. Karakter yang seharusnya berkembang, tetap statis atau bahkan inkonsisten karena penulis tidak punya waktu untuk membangunnya secara organik. Deskripsi latar belakang dan suasana menjadi minim, digantikan oleh dialog-dialog klise dan konflik yang dibuat-buat hanya untuk memancing cliffhanger di akhir bab. Plot hole bertebaran di mana-mana, dan keindahan bahasa, yang merupakan esensi sastra, lenyap digantikan oleh narasi yang terburu-buru dan bare-bones.
Pembaca yang Terbiasa dengan "Fast Food" Literasi
Fenomena ini juga menciptakan dilema bagi pembaca. Mereka terbiasa dengan "makanan cepat saji" literasi: cerita yang bisa dikonsumsi dengan cepat, tanpa perlu banyak berpikir atau merenung. Otak pembaca dilatih untuk mengharapkan gratifikasi instan, dan ketika bertemu dengan novel yang membutuhkan kesabaran dan interpretasi, mereka mungkin mudah bosan atau meninggalkannya. Ini menciptakan lingkaran setan: platform mendorong homogenitas, penulis terpaksa menulis monoton, dan pembaca terbiasa dengan yang monoton.
Kita perlu menghentikan putaran ini. Platform harus berani meninjau ulang model bisnis mereka, beralih dari sekadar kuantitas menuju kualitas. Ini bisa berarti menawarkan kontrak yang lebih adil, memberikan waktu lebih bagi penulis untuk berkreasi, dan mengembangkan algoritma yang mengapresiasi orisinalitas dan kedalaman narasi, bukan hanya engagement harian.
Sebagai pembaca, kita juga punya kekuatan. Dengan memilih untuk membaca dan mendukung novel-novel yang menawarkan kesegaran ide, kedalaman karakter, dan kekayaan bahasa, kita bisa menunjukkan bahwa ada pasar untuk kualitas. Penulis juga harus punya keberanian untuk keluar dari zona nyaman, menolak tuntutan yang tak masuk akal, dan kembali pada esensi menulis: menciptakan cerita yang beresonansi, bukan sekadar memenuhi target harian. Karena, jika tidak, kita akan terus-menerus terjebak dalam labirin monoton, di mana kreativitas mati, dan novel-novel hanya menjadi tumpukan kata-kata kering tanpa makna.
0 Komentar