Platform novel online awalnya digadang-gadang sebagai utopia bagi para penulis. Sebuah ruang demokratis di mana ide-ide bisa mengalir bebas, menemukan pembaca, dan bahkan menghasilkan pundi-pundi rupiah. Namun, janji manis itu kian hari terasa pahit. Banyak penulis kini menemukan diri mereka terjebak dalam lingkaran eksploitasi ide, di mana kreativitas mereka diperas habis-habisan oleh tuntutan platform, berujung pada penderitaan batin dan, yang paling menyedihkan, lahirnya karya-karya yang kosong tanpa jiwa.
Ini bukan lagi sekadar persoalan target upload harian yang mencekik, seperti yang sering kita dengar. Ini adalah fenomena yang lebih dalam: pemerasan ide secara sistematis. Ketika sebuah cerita mulai populer, platform—atau dalam beberapa kasus, bahkan agensi yang berafiliasi dengan platform—akan mendorong penulis untuk terus-menerus memperpanjang cerita, mengeksploitasi setiap kemungkinan plot dan karakter hingga batasnya. Mereka didikte untuk menciptakan spin-off, sekuel yang tak perlu, atau bahkan mengubah arah cerita demi mempertahankan engagement dan keuntungan.
Kreativitas yang Dipasung Kontrak
Bayangkan seorang penulis, dengan ide cemerlang yang telah ia inkubasi selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Ia menuangkan segenap hati dan pikirannya, merangkai kata demi kata, membangun dunia yang kaya, dan karakter yang bernyawa. Namun, begitu cerita itu mencapai popularitas di platform, kebebasan berekspresi itu sirna. Kontrak-kontrak eksklusif yang mengikat, ditambah dengan tekanan algoritmik dan target monetisasi, mengubah narasi menjadi komoditas semata.
Penulis tidak lagi menulis karena dorongan artistik, melainkan karena kewajiban. Ide-ide awal yang murni dan bersemangat perlahan terkikis, digantikan oleh plot-plot repetitif dan pengembangan karakter yang dipaksakan. Mereka harus menambahkan bab demi bab, bahkan ketika cerita sebenarnya sudah menemukan konklusi yang pas. Setiap cliffhanger yang dibuat, setiap konflik yang direkayasa, bukan lagi demi kekuatan naratif, melainkan demi menunda akhir, demi memperpanjang umur monetisasi.
Penderitaan Batin dan Jiwa yang Hampa
Penderitaan yang dialami penulis dalam situasi ini tak terhingga. Mereka menyaksikan ide orisinal mereka dicacah-cacah, direnggangkan hingga tak berbentuk. Kebanggaan terhadap karya yang mereka bangun dengan susah payah berubah menjadi rasa muak. Proses menulis, yang seharusnya menjadi pelarian dan ekspresi diri, kini menjadi beban yang menyesakkan. Banyak penulis mengalami kelelahan mental parah, writer's block yang persisten, hingga depresi. Mereka merasa seperti robot yang diprogram untuk memproduksi kata, tanpa koneksi emosional sedikit pun dengan apa yang mereka tulis.
Akhirnya, yang lahir dari tekanan ini adalah karya-karya yang kosong. Novel-novel yang tebalnya ribuan bab, namun miskin substansi. Karakter-karakter yang awalnya kuat, kini menjadi karikatur diri mereka sendiri. Konflik yang seharusnya menguras emosi, kini terasa hambar dan dipaksakan. Pembaca mungkin mendapatkan "hiburan" instan, tetapi mereka kehilangan kesempatan untuk berinteraksi dengan sastra yang autentik, yang lahir dari kedalaman hati dan pikiran seorang kreator. Mereka disajikan makanan cepat saji yang mengenyangkan sesaat, tapi tak memiliki nutrisi.
Kapan Jeritan Ini Didengar?
Melihat fenomena ini, kita harus bertanya: Kapan kita akan mengakui betapa kejamnya sistem ini terhadap seniman? Platform online, yang seharusnya menjadi fasilitator, telah menjelma menjadi algojo yang membunuh jiwa kreativitas demi keuntungan finansial. Kita sebagai pembaca juga punya peran. Dengan terus-menerus menuntut kuantitas, kita secara tidak langsung turut berkontribusi pada pemerasan ini.
Sudah saatnya kita menuntut model bisnis yang lebih etis dari platform, yang menghargai proses kreatif dan kesejahteraan penulis. Sudah saatnya kita sebagai pembaca mencari dan mendukung karya-karya yang lahir dari hati, bukan dari tuntutan algoritma. Karena, jika tidak, kita akan terus-menerus disuguhi karya-karya yang hampa, dan yang lebih tragis, kita akan kehilangan suara-suara autentik dari para penulis yang kini tersiksa dalam kesunyian, diperas idenya hingga tak bersisa.
0 Komentar