Dunia sastra, yang seharusnya menjadi ruang eksplorasi tanpa batas, kini seringkali terasa seperti labirin yang sempit dan berulang. Di tengah banjirnya produksi, terutama di platform digital, sebuah fenomena berbahaya mulai merajalela: kejenuhan pembaca pada sastra yang terlalu monoton. Kejenuhan ini bukan sekadar preferensi pribadi, melainkan sebuah kritik tajam terhadap stagnasi kreatif yang gagal memenuhi janji sastra sebagai sumber pencerahan dan petualangan.
Kejenuhan ini bermula dari dominasi klise yang mengakar kuat. Alih-alih menyajikan ide-ide segar, banyak karya sastra modern terjebak dalam formula yang aman dan berulang. Kisah romansa yang selalu melibatkan tokoh kaya raya dengan si sederhana, narasi fantasi yang mengandalkan arketipe pahlawan yang itu-itu saja, atau plot drama keluarga dengan konflik yang dapat ditebak dari bab pertama—semua ini menciptakan sebuah "pabrik cerita" yang memproduksi salinan-salinan yang nyaris identik. Pembaca yang cerdas dan haus akan tantangan intelektual, akhirnya merasa lelah. Mereka tidak lagi menemukan kejutan, tidak ada lagi ketegangan yang mendebarkan, dan tidak ada lagi karakter yang mampu memprovokasi pemikiran.
Hilangnya Kedalaman dan Keintiman
Salah satu dampak terburuk dari monoton ini adalah hilangnya kedalaman dan keintiman antara karya dan pembaca. Sastra yang baik seharusnya mampu berbicara kepada jiwa, memvalidasi pengalaman, dan memperluas cakrawala empati. Namun, ketika cerita-cerita yang disajikan begitu dangkal dan karakter-karakter terasa datar, koneksi emosional itu pun menguap. Pembaca tidak dapat berinvestasi secara emosional dalam perjalanan tokoh, karena mereka tahu bahwa ending-nya sudah pasti bahagia atau tragis dengan cara yang paling klise. Mereka tidak lagi merasakan sakit atau sukacita, melainkan hanya mengamati sebuah pertunjukan yang sudah mereka tonton ribuan kali.
Selain itu, monoton dalam sastra juga mencerminkan kecenderungan penulis untuk menghindari risiko. Di tengah tuntutan pasar yang mendikte "apa yang laku," penulis seringkali merasa enggan untuk bereksperimen dengan genre baru, struktur naratif yang unik, atau karakter yang kontroversial. Mereka memilih jalan yang aman, mengikuti tren yang sudah terbukti populer. Ini menciptakan lingkaran setan: pasar menuntut klise, penulis memproduksi klise, dan pembaca, meskipun merasa jenuh, terus mengonsumsi karena tidak ada pilihan lain. Kreativitas menjadi korban utama dari siklus ini.
Sastra sebagai Pelarian yang Gagal
Bagi banyak pembaca, sastra adalah bentuk pelarian (escapism) yang sehat. Ia adalah pintu gerbang menuju dunia lain yang lebih menarik, lebih kompleks, atau lebih indah dari dunia nyata. Namun, ketika sastra yang ditawarkan hanya merupakan variasi dari satu cerita yang sama, pelarian ini menjadi gagal. Pembaca tidak merasa benar-benar dibawa pergi ke tempat yang baru, melainkan hanya dipindahkan dari satu ruangan yang familiar ke ruangan lain yang sama familiernya. Kejenuhan inilah yang akhirnya mendorong mereka untuk meninggalkan sastra, beralih ke media lain seperti serial televisi, film, atau permainan video yang menawarkan narasi yang lebih dinamis dan tak terduga.
Maka, kejenuhan pembaca bukanlah masalah sepele. Ini adalah sinyal bahwa sastra, dalam beberapa aspek, telah berhenti berkembang. Untuk kembali memikat, sastra harus berani keluar dari labirin klise. Penulis harus memiliki keberanian untuk menjadi perintis, menciptakan narasi yang jujur dan otentik, bahkan jika itu berarti menantang ekspektasi pasar. Platform dan penerbit harus mendukung keberagaman dan kualitas, bukan sekadar kuantitas. Dan pembaca, dengan kesadaran penuh, harus memilih dan mengapresiasi karya-karya yang unik. Hanya dengan begitu, sastra dapat kembali pada fungsinya yang sejati: sebagai sungai yang abadi, yang terus mengalirkan kejutan, keindahan, dan makna ke dalam hidup kita.
0 Komentar