Erosi Identitas: Kemunduran Kesusastraan Indonesia di Bawah Bayang-Bayang Budaya Luar

 


Kesusastraan Indonesia, sebagai cerminan jiwa bangsa, selalu berada dalam dialog konstan dengan dunia luar. Sejak era kolonial, pengaruh sastra Eropa telah membentuk gaya dan tema. Namun, di era globalisasi yang serba cepat ini, muncul sebuah keresahan: apakah pengaruh budaya luar, terutama budaya populer Barat dan Timur, kini justru mengarah pada kemunduran kesusastraan Indonesia, mengikis identitas uniknya, dan memudarkan kedalaman naratifnya?

Kemunduran ini bukanlah berarti ketiadaan produksi. Sebaliknya, kita melihat banjirnya karya, terutama di platform digital. Namun, masalahnya terletak pada homogenisasi tema dan gaya. Budaya populer asing, dengan dominasi Hollywood, K-pop, atau serial drama, membawa serta tren naratif yang sangat spesifik: romansa klise, fantasi dengan arketipe yang itu-itu saja, atau kisah-kisah slice-of-life yang mengedepankan estetika visual. Penulis Indonesia, dalam upaya menjangkau pasar yang lebih luas atau sekadar mengikuti tren, seringkali mengadopsi formula-formula ini tanpa adaptasi yang mendalam terhadap konteks lokal. Akibatnya, banyak novel yang beredar terasa seperti terjemahan tak resmi dari cerita asing, kehilangan sentuhan Indonesia yang otentik.


Bahasa yang Tergerus dan Tema yang Dangkal

Pengaruh budaya luar juga merambah ke bahasa. Globalisasi membawa masuk istilah asing dan slang yang kian populer, terutama di kalangan generasi muda. Meskipun bahasa adalah entitas yang dinamis, penggunaan yang berlebihan dan tanpa filter dalam karya sastra dapat menggerus kekayaan diksi dan gaya bahasa Indonesia. Novel yang seharusnya menjadi laboratorium bahasa, tempat penulis mengeksplorasi nuansa dan keindahan Bahasa Indonesia, kini seringkali terasa kering, dengan dialog yang kaku atau narasi yang dipenuhi istilah asing yang tidak perlu. Ini memudarkan identitas linguistik sastra kita.

Lebih jauh, ada kecenderungan untuk mendangkalkan tema. Budaya populer asing seringkali berfokus pada hiburan instan, konflik yang sederhana, dan resolusi yang cepat. Ketika sastra Indonesia terlalu terpengaruh oleh ini, ia berisiko kehilangan kemampuannya untuk menggali isu-isu sosial, politik, atau eksistensial yang kompleks. Karya-karya yang seharusnya menjadi suara kritis terhadap realitas bangsa, kini mungkin hanya menyajikan pelarian yang dangkal, gagal memprovokasi pemikiran atau mendorong refleksi mendalam tentang kondisi masyarakat Indonesia.


Komersialisasi dan Kehilangan Orisinalitas

Komersialisasi adalah faktor lain yang tak terhindarkan. Model bisnis platform digital yang mengutamakan kuantitas dan engagement harian, seringkali didasarkan pada tren global. Ini mendorong penulis untuk memproduksi cerita dengan cepat, mengorbankan kualitas dan orisinalitas demi memenuhi tuntutan pasar yang terinspirasi dari luar. Penulis terperangkap dalam siklus produksi massal, di mana ide-ide segar dan suara-suara unik sulit berkembang karena harus bersaing dengan formula yang sudah "terbukti" laku di pasar global.

Namun, penting untuk dicatat bahwa pengaruh budaya luar tidak selalu berarti kemunduran. Sastra yang kuat adalah sastra yang mampu menyerap, mengadaptasi, dan mentransformasi pengaruh asing menjadi sesuatu yang unik dan relevan secara lokal. Masalahnya muncul ketika pengaruh tersebut menjadi hegemoni budaya, di mana sastra lokal hanya menjadi imitasi pasif, kehilangan kemampuan untuk berbicara dengan suaranya sendiri.

Untuk mencegah kemunduran yang lebih dalam, kesusastraan Indonesia harus kembali pada akarnya, tanpa menutup diri dari dunia. Penulis perlu lebih berani mengeksplorasi kekayaan budaya, sejarah, dan realitas sosial Indonesia dengan gaya yang otentik. Kritikus dan pembaca harus lebih menghargai orisinalitas dan kedalaman, bukan sekadar popularitas. Dengan begitu, sastra Indonesia dapat terus berkembang, menyerap inspirasi dari luar, tetapi tetap berdiri tegak dengan identitasnya sendiri, menjadi cerminan jiwa bangsa yang tak tergantikan.

Posting Komentar

0 Komentar