Novel bertema isekai, sebuah genre yang sangat populer di platform daring, seringkali mengikuti formula yang sama: protagonis yang biasa-biasa saja di dunia nyata tiba-tiba mati atau dipindahkan ke dunia fantasi lain (isekai). Di sana, ia memiliki kekuatan luar biasa, harem yang mengaguminya, atau takdir agung yang menantinya. Dari sudut pandang psikologi sastra, fenomena ini tidak sekadar tren naratif; ia adalah sebuah jendela ke dalam pikiran dan keresahan psikologis para pengarangnya. Novel isekai, dengan segala kemeriahannya, adalah manifestasi dari fantasi pelarian yang mendalam, sebuah cermin bagi penulis yang memproyeksikan hasrat, kegelisahan, dan ketidakpuasan mereka terhadap dunia nyata.
Dunia Nyata sebagai Penjara dan Keinginan untuk Keluar
Kritik utama dimulai dari premis dasar isekai: ketidakbahagiaan protagonis di dunia nyata. Protagonis sering digambarkan sebagai individu yang gagal, kesepian, atau terpinggirkan. Mereka mungkin seorang "hikikomori" (pengurung diri) yang kecanduan game, seorang pekerja kantoran yang kelelahan dan tidak dihargai, atau seorang siswa yang menjadi korban perundungan. Kematian atau perpindahan mereka ke dunia lain adalah sebuah simbolisme psikologis yang kuat: itu adalah tindakan penghancuran diri atau penolakan total terhadap realitas yang menyakitkan.
Dari sudut pandang pengarang, penciptaan protagonis yang lemah di dunia nyata adalah sebuah proyeksi dari rasa rendah diri atau ketidakpuasan diri. Dunia nyata dianggap sebagai "penjara" yang tidak adil. Oleh karena itu, fantasi isekai menjadi sebuah pelarian mental yang menciptakan ruang di mana penulis dapat menaklukkan ketidakmampuan dan kegagalannya sendiri secara simbolis. Pikiran pengarang secara tak sadar mencari kompensasi ekstrem atas kekosongan yang mereka rasakan.
Kekuatan Tak Terbatas sebagai Kompensasi Psikologis
Di dunia isekai, sang protagonis mendadak menjadi sosok yang luar biasa. Ia memiliki kekuatan sihir tak terbatas, keterampilan yang tak tertandingi, atau pengetahuan dari dunia asalnya yang membuatnya selangkah lebih maju dari orang lain. Fenomena ini adalah kompensasi psikologis yang telanjang. Jika di dunia nyata pengarang merasa tidak berdaya atau tidak dihargai, maka di dunia isekai ia menciptakan diri idealnya, sebuah alter ego yang mampu mengendalikan takdir dan memperoleh pengakuan dari semua pihak.
Karakter-karakter pendukung yang selalu mengagumi, melindungi, atau bahkan jatuh cinta pada protagonis—terutama trope harem yang dominan—juga dapat ditafsirkan sebagai proyeksi dari hasrat pengakuan dan validasi yang tidak terpenuhi. Di dunia isekai, protagonis tidak pernah menghadapi penolakan atau keraguan; ia selalu benar, selalu dicintai. Ini mencerminkan kerentanan pengarang terhadap kritik dan kebutuhan psikologis untuk merasa diterima secara universal, sebuah kondisi yang jarang ada di dunia nyata.
Pelarian yang Menghambat Pertumbuhan Jiwa
Pada akhirnya, novel isekai, dengan segala kemeriahannya, justru menyoroti kegagalan untuk menghadapi realitas. Kisah isekai adalah sebuah narasi yang menawarkan jalan pintas: alih-alih berjuang dan berkembang dalam dunia nyata yang sulit, protagonis (dan pengarangnya) memilih untuk melarikan diri ke dunia yang lebih mudah. Tidak ada pertumbuhan karakter yang sesungguhnya karena kekuatan datang secara instan. Tidak ada perjuangan internal yang mendalam karena semua masalah diselesaikan dengan kekuatan luar biasa.
Ini berbeda dengan sastra fantasi klasik yang mengharuskan protagonis untuk berkembang, menghadapi kegagalan, dan menjadi pahlawan melalui usaha keras. Isekai modern, dalam banyak kasus, mengabaikan proses transformasi jiwa ini, menawarkan kepuasan instan yang semu. Ia adalah sebuah fantasi yang pasif, di mana segalanya diberikan, bukan diraih.
Dari sudut pandang psikologi sastra, novel isekai adalah sebuah gejala dari keresahan kolektif yang dialami oleh banyak orang—perasaan tidak dihargai, tidak berdaya, dan putus asa terhadap realitas yang menindas. Namun, alih-alih menjadi cermin yang menantang kita untuk menghadapi masalah tersebut, genre ini justru menyediakan ilusi pelarian yang nyaman, sebuah surga fiksi yang, jika tidak disikapi secara kritis, hanya akan memperdalam jurang antara harapan dan kenyataan.
0 Komentar