Sepatu Kaca
Cerita ini bukan tentang Cinderella, bukan pula tentang sepatu kaca Cinderella, ini tentang cerita ku, seorang lelaki yang menyukai sepasang sepatu. Sepatu yang selalu ada di tempatnya, sepatu yang selalu mengingatkan ku pada seseorang, sepatu yang selalu ada di halaman masjid yang sama. Dan inilah kisahnya...
Namaku Amar, orang baru dalam lingkungan baru, mungkin tak terlalu baru, aku sudah mengenal lingkungan ini jauh sebelum aku berpijak di sini. Saat ini adalah awal bagiku, masuk sebuah organisasi keagamaan di kampus tempatku menimba ilmu.
Organisasi ini besar, tapi tak mempunyai banyak kader yang cukup tangguh untuk menetap di dalamnya. Mungkin karena seleksi alam, atau mungkin karena organisasi ini adalah organisasi sosial. Tapi aku melihat sesuatu yang besar dalam organisasi ini, dan aku ingin ikut andil di dalamnya. Maka dari itu aku tetap bertahan, meski berat, terlalu banyak hal merintang di depan sana.
Awal masuk ku sangat sederhana, tak banyak yang bisa ku ceritakan tentangnya. Seperti kebanyakan organisasi lain selalu ada acara pengkaderan untuk melanjutkan kepengurusan. Tahap selanjutnya hanya berisi tentang tata cara kepengurusan dan adat istiadat yang diterapkan di dalamnya. Tak ada yang menarik dari semua hal tersebut.
Hanya saja, aku selalu tertarik pada satu titik, di mana selalu ada sepatu perempuan baik. Secara fisik, aku memang tak pernah bertemu langsung dengan perempuan itu, sebab dalam organisasi ini ruangan kami terpisah, kami dipisahkan oleh sekat. Tapi aku selalu tau dia ada di sana, sebab sepatunya selalu ada di depan ruangan.
Kami memang terpisah oleh sekat, hubungan antara laki-laki dan perempuan pun sangat dijaga. Mungkin karena perintah agama, dan itulah adat yang kami terapkan untuk para jamaah dan anggota dari organisasi ini. Semua orang mengatakan aturan yang sama, dengan dalil dan dasar-dasar yang kuat pula, tapi kami menjadikannya sebagai adat kebiasaan. Sehingga bisa, sebab kami memang terbiasa melakukannya.
Tapi selayaknya seorang pria, selalu ada rasa ketertarikan pada lawan jenisnya, aku pun juga memiliki hasrat yang sama. Aku pun juga mempunyai rasa ketertarikan kepada perempuan, meski sudah dihalangi oleh sekat, tapi rasa itu tetap saja bergejolak. Aku tak menampik, aku memang menyukainya, sebab rasa suka pasti ada dalam setiap insan.
Aku menyukai bukan karena parasnya, dia memang cantik, tapi bukan itu yang membuat ku tertarik. Aku menyukai bukan karena hartanya, sebab aku tak pernah tau latar belakang keluarganya. Aku hanya tau tentang sepasang sepatunya, yang selalu ada di depan teras masjid kampus ku tercinta.
Apakah itu alasan yang lumrah untuk jatuh hati pada seorang perempuan?
Apakah rasa suka hanya untuk hal besar saja?
Sepertinya tidak, setiap orang memiliki alasannya masing-masing untuk jatuh hati, dan aku jatuh hati kepadanya. Aku jatuh hati kepadanya karena sepatunya selalu ada di depan masjid. Ya, aku tau, ini bukan kisah luar biasa sepatu Cinderella, atau kisah asmara Rama Shinta. Kisah ini adalah kisah ku, kisah dari seorang ikhwan yang jatuh hati pada seorang akhwat karena sepasang sepatu.
***
“Akh, bisa minta tolong?, ” seseorang memanggil ku dari belakang. Suaranya lembut, mengalun, layaknya perempuan pada umumnya. Aku membalikkan badan, mencari sumber suara itu berasal. Ku dapati dua sosok perempuan, dan benar dugaan ku, yang memanggil adalah Ukhti Rahma, ketua bidang keputrian dan Ukhti Zahra, orang yang sepatunya sering ku temui di depan masjid.
“Iya ukh, apa yang bisa saya bantu?” ucap ku
“Bisa settingkan microphone di aula, akhwat ada acara setelah ini” Rahma menjelaskan.
“Baik ukh,” aku menyanggupinya. Hari ini memang ada acara keputrian di aula sebelah ruang sekertariat kami. Biasanya ada beberapa ikhwan yang membantu persiapan, tapi kali ini hanya ada aku, jadi hanya aku yang membantu.
Aku bergegas menuju ruang aula, menyiapkan microphone untuk acara keputrian. Entah apa yang dilakukan oleh Ukhti Rahma dan Ukhti Zahra, mungkin mereka menyiapkan hal lain untuk acara keputrian. Ah biarkan saja, lebih baik segera ku selesaikan mensetting microphone, sebelum para peserta datang.
Berduaan dengan pesawat microphone terasa sedikit aneh bagiku. Apa mereka tak ingin membantu ku, apa mereka pikir aku bisa sendirian. Ah terserah lah, aku harus segera menyelesaikan semuanya, aku masih harus melakukan hal lain setelah ini. Ada mata kuliah penting hari ini, dan aku tak ingin melewatkannya.
Setelah semua selesai, aku mengetuk sekat diantara ruang sekertariat antara ikhwan dan akhwat, tok, tok, tok, “ukh sudah selesai, silakan digunakan.”
“Iya akh, syukron khatsir,” jawab Ukhti Rahma dari balik sekat pembatas. Aku pun pergi meninggalkan raung sekertariat, berlari ke kelas yang hampir saja terlewat. Ku percepat langkah, agar segera sampai. Berkali-kali ku lihat jam tanganku, memastikan masih ada waktu untukku berjalan ke kelas.
Kuliah berjalan lancar hari ini, aku juga tak terlambat masuk ke kelas tadi, meski dihadang beberapa masalah, tapi semua berhasil ku lewati. Rasa lelah memang sedikit terasa, bayangkan saja, semua seperti menghujam ke arah ku, semua tanggung jawab, tugas, dan masalah. Tapi aku harus kuat, tinggal beberapa semester lagi semua akan selesai, dan aku bisa pulang ke rumah dengan tenang.
Sore itu aku tak langsung pulang ke kos, aku memutuskan untuk mampir sebentar ke ruang sekertariat. Aku ingin beristirahat sebentar di sana, sekedar berbaring dan melepas lelah. Aku memang bukan pengurus penting dalam organisasi, hanya seorang anggota yang kebetulan menjadi pelengkap kepengurusan. Tapi ruang sekertariat sudah seperti rumahku sendiri, aku sering menghabiskan waktu di sana, bahkan aku sering tidur di sana, meski hanya beralas tikar tipis saja.
Memang banyak yang merasa memiliki organisasi ini, contoh saja orang-orang yang dipilih sebagai pengurus inti. Tapi untuk loyalitas sampai akhir, sepertinya jarang. Mereka mengaku, organisasi ini adalah rumah mereka, namun untuk berkunjung saja harus ada event tertentu. Mereka bilang, organisasi ini selalu ada dalam hati mereka, tapi kebanyakan malah lari entah ke mana. Mereka lebih sibuk mengurus urusan pribadi mereka masing-masing, yang jadi pengurus pun berubah ingin menguasai, bukan mengurus. Ah, cinta pada organisasi hanya menjadi omong kosong belak, semua tak patut memegang tanggung jawab yang dibebankan.
“Akh, ada titipan dari Ukhti Zahra,” aku disambut dengan pesan yang dititipkan kepada sekertaris umum oleh Zahra.
“Titipan apa akh?,” aku merasa aneh, sepertinya Ukhti Zahra tak berutang apa pun padaku, dan aku pun demikian. Dia pun tak bilang apa-apa tadi, yang lebih banyak bicara tadi bukannya Rahma.
“Tak tau, surat cinta mungkin,” ia memberikan sepucuk amplop surat yang masih tersegel rapi. Aku merasa bingung, kenapa tiba-tiba Zahra memberi ku surat, kalau sekedar ingin bilang sesuatu, tinggal mengajak ku bicara langsung. Aneh, kenapa dengan anak ini, kenapa harus dengan sepucuk surat dan segurat makna yang ia kirimkan.
Aku masih menimang-nimang surat di tanganku, saat sekertaris umum bilang, “udah akh, baca aja, mungkin surat cinta. Ciyeee, ada yang dapat surat cinta dari akhwat” godanya padaku.
“Ya kalau surat cinta, kalau surat tagihan uang kas yang belum ku bayar bagaimana? Ku buka nanti saja, di sini banyak mata-mata” sanggah ku.
“Lagi pula, mana ada surat tagihan uang kas?, aneh sekali antum ini” protesnya.
“Mungkin saja, Ukhti Zahra kan bendahara yang cukup tegas” balasku
“Suttt,” ia menekan bibirnya dengan telunjuk, lalu menujuk-nunjuk ruangan sebelah.
Spontan ku tutup mulutku rapat-rapat dengan kedua tangan, mungkin terlambat, tapi hal itu terjadi secara spontan. Lalu terucap kalimat bisanya saat ingin memastikan keadaan sebelah “memang ada akhwat?”
“Tadi sih ada, entah sekarang” ia meringis tak jelas di akhir kalimatnya.
“Hemmm, akh.., jantung ku hampir copot barusan!!” ucap ku lega setelah memastikan tidak ada siapa pun di ruang sebelah.
“Makanya kalau ngomong hati-hati, tembok di sini punya telinga” ucapnya memperingatkan.
“Biarlah akh, jika tembok di sini memiliki telinga, biar ia sampaikan rasa ku padanya” ucap ku penuh makna.
“Wishh, kata-katanya rek, terlalu dalam untuk diartikan oleh orang fakir ini” tanggapnya. “Tapi, apa benar antum suka padanya?”
“Klek...” suara pintu dibuka terdengar dari ruangan sebelah. Sekertaris umum sedikit kebingungan, apakah ada akhwat yang masuk. Lalu aku pun berinisiatif. “Akh, kantin yuk!”
Dia membalas dengan anggukan, lalu melangkah mengikutiku. Kami berjalan keluar ruangan, menuju kantin untuk bicara tentang satu atau dua hal. Kami memilih meja paling pojok untuk melanjutkan diskusi kami, mencoba menghindar dari keramaian untuk sebuah pembicaraan pribadi. Kami tak ingin orang lain mendengar pembicaraan kami, ini hanya tentang kami, dan bukan urusan orang lain.
“Baiklah, apa yang ingin antum bicarakan akh?,” ia memulai tepat setelah kami duduk.
“Akhina Ridwan yang baik, antum selalu saja tau apa yang ada dalam pikiran ana” sanjung ku padanya. “Baiklah, karena antum memaksa, akan ku ceritakan semuanya.”
“Oh” ia mengangkat kedua tangan di depan dada, “aku tak pernah memaksa seseorang akh. Tapi silakan antum ceritakan apa saja yang antum rasakan.” ia menyangkal.
Aku tersenyum mendengar kalimat itu, “oke, oke, ana mulai dari mana ya?” aku sedikit menimbag-nimbang.
“Mulai saja dari hal pertama kali antum rasakan akh, ana siap mendengar semuanya.” ucapnya.
“Oke, aku mulai dari awal, aku jatuh hati padanya...”
“Pada siapa?,” potongnya, “yang jelas!!”
“Oke,” aku tersipu malu, “aku jatuh hati pada Zahra” ucap ku.
“Sejak kapan?” terlukis tanda tanya besar di wajah sahabatku ini, raut wajah yang aneh, raut wajah yang tak pernah ia perlihatkan sebelumnya padaku.
“Sejak awal periode ini” jawabku singkat.
“Apa yang membuat antum jatuh hati pada Ukhti Zahra begitu lama?” ia ingin tau lebih jauh.
“Sepatunya,” ia menunggu ku melanjutkan kalimat. “Sepatunya yang selalu berada di depan masjid setiap pagi, siang dan sore hari.”
“Antum aneh,” tanggap Ridwan.
“Maksudnya ‘aneh’?” tanyaku penasaran oleh tanggapannya.
“Ya aneh lah akh, jatuh hati hanya karena sepasang sepatu,” jawabnya. “Tapi..., unik, jatuh hati karena sepasang sepatu.”
“Bukan sepasang sepatunya akh, tapi karena sebuah hati yang istiqomah,” tanggap ku.
“Baiklah, lalu sampai kapan?,” ia kembali menyuguhkan tanya.
“Sampai kapan, apanya?,” aku balik bertanya.
“Sampai kapan antum akan memendam rasa itu sendiri? Sebuah bunga tak akan tumbuh jika tak ditanam benihnya” jawabnya.
“Ada akh, cinta Fatimah dan Ali, yang ceritanya telah masyhur di seluruh dunia,” jawabku.
“Tapi benih cinta Fatimah dan Ali, ditumbuhkan oleh Allah akh, bukan hanya didiamkan dan dibiarkan mati,” tanggapnya.
“Bukankah mereka mencintai dalam diam, sampai setan saja tak mengetahuinya,” sanggah ku.
“Ali meminta pada Rabbnya, untuk menjaga hatinya, Fatimah pun, melakukan hal serupa. Lalu apakah hatimu dan Zahra sama seperti sucinya hati mereka?,” aku membeku oleh ucapan Ridwan. “Atau jangan-jangan antum bermaksud menuntut Zahra seperti ibunda Khadijah, yang memberanikan diri, melamar Rosulullah, meski ia seorang perempuan.” ia memojokkan ku. “Kalau memang demikian maksud antum, sudahkah antum menjadi orang yang semulia Rosulullah Muhammad ï·º?,” aku semakin bimbang dengan pernyataannya barusan.
“Aku tak merasa semulia mereka, aku pun jauh dari kata mulia. Tapi apa yang bisa ku lakukan, di satu sisi aku ingin cintaku ini jadi cinta yang suci, di sisi lain aku tak ingin kehilangan dirinya,” jawabku.
“Akh, ana ceritakan satu kisah, sebuah trilogi cerpen tentang kisah cinta seseorang bernama Sukab. Kisah ini tentang pesan cinta Sukab yang tertunda selama sepuluh tahun, karena tukang pos yang terlambat mengirimkan pada kekasihnya Alina. Tukang pos itu terlambat mengirim pesan cinta Sukab, karena terlalu nyaman berada di satu tempat, yang membuat dirinya sangat nyaman. Akhirnya, pesan cinta dari Sukab untuk pacarnya, Alina, terlambat dikirimkan sepuluh tahun lamanya. Pesan itu benar-benar terlambat, karena Alina telah memilih orang lain menjadi suaminya. Semua rangkaian cita-cita dan keinginan Sukab pun menjadi percuma, karena perasaan Sukab terlambat dibaca oleh Alina.”
Aku tau benar kisah itu, aku sudah membacanya berulang kali, aku paham beberapa maksud dalam kisah itu, tapi analisis Ridwan lebih dalam dibandingkan diriku. Aku tau benar akhir dari kisah itu, tapi kenapa Ridwan lebih paham dariku yang membacanya berulang-ulang. Ia tau gurat makna yang tak sempat ku baca, analisisnya lebih tepat, lebih dalam dari analisis ku.
“Kisah ku, hampir sama seperti kisah Sukab,” ia melanjutkan, “walaupun jaraknya tak selama itu. Aku hanya berharap tak terjadi benturan besar dua alam semesta, yang membuat Alinaku harus terasing sendirian di puncak gunung tertinggi,” aku paham maksudnya.
“Sekarang apa antum mau, kisah cinta antum seperti itu? Jika tidak, jangan buat tukang posmu itu,” Ridwan mengacungkan telunjuknya kepadaku, lebih tepatnya ke arah mulutku, “terlambat sepuluh tahun mengirimkan pesan pada Alinamu.”
Kata-kata terakhirnya membuat ku berpikir keras. Aku tau benar dia sedang terluka, sebab terlambat mengungkapkan perasaannya. Aku tau benar tentang apa yang baru saja ia alami, semuanya terjadi begitu cepat, hingga ia tak sempat mengungkapkan segalanya. Aku tau ia sedang terluka, dan aku tau ia tak bisa melupakannya. Tapi bodohnya, aku sedang mendengarkan saran percintaan dari orang yang baru gagal dalam kisahnya. Namun harus ku akui, apa yang baru Ridwan katakan ada benarnya, jangan sampai tukang pos ku terlambat sepuluh tahun.
“Lalu bagaimana, apa antum ingin membukanya sekarang?,” tanya Ridwan setelah jeda panjang.
“Apanya?,” aku masih bingung dengan pertanyaannya.
“Suratnya akh!!” jelasnya, sedikit kesal terhadap tanggapan ku.
“Oh,” aku baru sadar. “Sepertinya akan ku buka nanti, ini privasi, dan aku tak ingin mengecewakan si pengirim.” Aku tersenyum ramah di akhir kalimat ku, mencoba tersenyum seramah mungkin agar sahabatku ini mengerti tentang keadaannya.
***
Setelah kami menghabiskan banyak waktu untuk mengobrol, Ridwan dan aku memutuskan untuk pulang. Ya, aku pulang agak malam, mungkin aku pulang hampir jam sembilan malam. Badan ku rasanya seperti hancur lebur, mungkin karena kegiatan hari ini, atau mungkin karena hal lain. Pastinya, sekarang aku ingin tidur untuk mengistirahatkan badan yang terlanjur hancur ini.
Aku baru ingat, surat dari Zahra belum ku baca, tapi badan ku sudah tak bisa ku gerakkan lagi. Aku ingin terlelap saat ini, aku sudah tak tahan dengan kantuk yang menyerang, mungkin surat dari Zahra akan ku baca besok saja, aku sudah tak kuat lagi. Mungkin isi surat itu tak begitu penting, mungkin hanya berisi tentang ucapan terima kasih atau semacamnya, mungkin juga tagihan utang, seperti dugaan ku sebelumnya. Aku akan membacanya setelah badan ku lebih baik.
Isi surat dari Zahra
Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Semoga Allah Subhanahu Wata’ala meridhoi saya menulis surat ini, dan semoga Akhi Amar berada dalam keadaan baik saat membacanya.
Sebelumnya, ana ucapkan syukron khasir, antum telah sudi membaca surat dari ana. Syukron untuk semua bantuan antum siang tadi, serta ana ucapkan jazakumullah khoirul jazak atas semua perhatian yang antum berikan pada ana.
Ana tau, antum yang selalu membersihkan aula sebelum acara keputrian. Ana tau karena antum selalu ada di ruang sekertariat sebelum acara dimulai. Ana pun tau jika antum pula lah yang menaruh bingkisan bertuliskan nama ana, sebagai ucapan selamat atas seminar proposal ana. Ana tau, antum yang meletakkannya di aula pagi ini, sebelum acara kemuslimahan, sebab hanya antum yang berada di ruang sekertariat sejak pagi. Maka dari itu, ana ucapkan jazakumullah khoirul jazak untuk bingkisannya, dan semoga doa baiknya ke antum sendiri.
Akhi Amar yang baik, hanya satu pertanyaan yang masih mengganjal dalam benak ana saat ini. Kenapa antum memberikan bingkisan itu secara sembunyi-sembunyi, perasaan siapa yang antum jaga, dan apa maksud antum. Ana masih tak mengerti dengan semua ini, semoga antum berkenang menjelaskan semuanya pada ana.
Ana tau, antum sering memperhatikan ana dari jauh. Meski pun hanya sekejap, ana tau, antum selalu menatap ana, ketika ana berpapasan dengan antum. Semua hal itu selalu membuat pertanyaan besar dalam diri ana akh, dan sampai sekarang ana masih tak mendapat jawaban atas hal itu. Hampir setiap malam ana selalu memikirkan hal itu, apa maksud dari tatapan antum kepada ana.
Jika boleh ana minta pada antum, bila ada hal yang ingin antum bicarakan pada ana, silakan antum utarakan, ana dengan senang hati akan mendengarkannya. Jika itu menyangkut keburukan pada diri ana, ana akan menerimanya dengan lapang dada. Tapi jika itu berkaitan dengan kelebihan ana, semoga ana tidak tinggi hati dibuatnya.
Jujur, ana hanya ingin tau tentang arti tatapan antum pada ana, agar perasaan ana menjadi lega. Ana hanya tak ingin merasa bimbang atas apa yang ana rasakan sekarang, tidak lebih. Ana hanya meminta penjelasan dari antum, dan menjawab rasa penasaran ana tentang antum. Sebab ana tak ingin terus tersiksa perasaan berharap yang terus tumbuh tanpa sebab.
Hanya itu yang ingin ana tanyakan kepada antum. Maaf jika kehadiran surat ini sedikit mengganggu waktu antum. Semoga apa yang ana tuliskan dalam surat ini tidak menyinggung hati antum. Ana tutup surat ini dengan bacaan hamdalah, dan ana ucapkan syukron khasir telah membaca surat ini.
Wassalamualaikum Warohmah
Hormat ana
Zahrotun nisa’
***
Aku tiba-tiba terperanjat bangun tiba-tiba, entah karena apa, lalu tanpa sadar bibirku berucap “Zahra”. Ucap ku lirih, namun masih bisa ku dengar pasti, aku menyebut nama itu. Aku tertegun sejenak, ada apa dengan Zahra, kenapa aku mengucap namanya setelah kesadaran merayap dalam diriku. Kenapa dengan Zahra, apa terjadi sesuatu padanya.
Ku lihat jam dinding, yang tergantung di tempat biasanya, jarum jam menunjuk pukul setengah tiga pagi, masih sepetang ini, kenapa tiba-tiba aku bangun, padahal aku merasa sangat lelah tadi. Lalu mataku tertuju pada tas ransel yang tergeletak di lantai, yang tak sempat ku rapikan. Tas itu memang tergeletak begitu saja di sana sebelum aku terlelap.
Tapi kenapa dengan tas itu, bukankah biasanya tas itu ku biarkan tergeletak serampangan. Aku merasa ada yang aneh dengan tasku sendiri, entah ada apa dengannya, atau ada sesuatu yang tersimpan di dalamnya. Tapi entah apa itu, aku benar-benar lupa, sebaiknya aku mengambil air wudhu, mumpung aku sudah sadar.
Setelah ku dirikan Sholat, aku mengangkat tangan di depan dada, seraya mengucap doa. Hanya sebuah doa biasa, doa pada umumnya, doa dengan bahasa ku sendiri, doa dengan cara ku sendiri. Tak ada yang istimewa, hanya sebuah doa sederhana yang ku haturkan kepada Rabb pencipta alam.
ALLAHUMMA SHALLII ‘ALAA SAYYIDINAA MUHAMMADIN WA ‘ALAAI SAYYIDINA MUHAMMADIN
“Ya Allah, ya Rabb, hamba bangun di waktu sepertiga malam-Mu yang masih sunyi, bersama kantuk dan lelah yang masih menyelimuti. Hamba bangun dengan rasa malas dan kebimbangan yang hampir tak bisa terelakkan karena sebuah masalah.
Ya Allah, ya Rabb, hamba bangun di sepertiga malam-Mu yang beku, dengan perasan lupa serta salah, layaknya manusia pada umumnya. Hamba berlindung pada-Mu dari rasa lupa dan salah yang menyelimuti batin hamba. Hamba berserah kepada-Mu, tentang harapan dan keinginan yang Engkau hadirkan dalam hati hamba. Hamba meminta ketenangan hati dari apa yang menimpa diri hampa, hanya kepada Engkau ya Rabb.
Ya Rabb, pagi ini hamba bangun dengan mengingat satu nama, nama dari seorang hamba-Mu pula, yang Engkau hadirkan dalam kehidupan hamba. Nama dari seorang gadis, yang ketaatannya melebihi hamba. Nama yang terukir dalam kalam-Mu, sebagai hal yang bermakna luar biasa. Nama yang dieja dari kata zahra.
Jika nama perempuan ini yang Engkau tuliskan dalam kitab hamba, hamba memohon keteguhan hati untuk menjaganya dalam suci. Tapi jika nama perempuan ini adalah nama yang tertulis dalam kitab orang lain, maka kuatkanlah hamba menjaga kesuciannya pula.”
ALLAHUMMA SAHLLII ‘ALAA SAYYIDINAA MUHAMMADIN QAD DHAAQAT HIILATII ADRIKNI YAA ALLAH
ALLAHUMMA SHALLI SHALAATAN KAAMILATAN WA SALLIM SALAAMAN TAAMMAN ‘ALAA SAYYIDINAA MUHAMMADILLADII TANHALLU BIHIL ‘UQADU WA TANFARIJU BIHILKURABU WA TUQDHAA BIHILHAWAA-IJU WATUNALU BIHIRRAGHA-IBU WA HUSNULKHAATIMI WA YUSTASQALGHAMAAMU BI WAJHIHILKARIIMI WA ‘ALAA AALIHI WA SHAHBIHI FII KULLI LAMHATIN WA NAFASIN BI’ADADI KULLI MA’LUUMIN LAK
Sekian
#Saumer
Malang, 21 Oktober 2019
0 Komentar