Catatan Penulis Bodoh



Catatan Penulis Bodoh

            Malam ini adalah malam yang baru, aku harus mampu menyelesaikan apa yang ku mulai. Aku ingin menuliskan semua isi kepalaku, akan ku ukir setiap makan, terajut dalam kata untuk ku tulis dunia. Ah dunia, dunia yang membuatku hancur tak tersisa, berkeping-keping bagai debu di pinggir samudra. Dunia, kenapa kau begitu kejam pada diri yang hina, tak sadarkah kau, kita sama-sama makhluk-Nya, Oh dunia, berapa kali lagi akan kau lukis luka, berapa kali lagi tetes air mataku tumpah. Apa kau tak bosan mendengar jeritanku yang melukis nestapa.
            Ah dunia, kau terlalu fana, ingin ku tuliskan dalam rangkai cerita. Semua tentangmu ingin ku lukis dalam gurat kata, pada kertas-kertas putih di atas meja. Tapi entah kenapa, setiap ku ingin menulis kata, diriku lemah kehilangan daya. Setiap ke coba menggores makna, tanganku kelu kehilangan kata-kata.
            Kenapa dunia, kenapa kau begitu sulit untuk ku tuliskan pada selembar kertas saja. Dirimu terlalu rumit untuk ku diskripsikan dalam guratan kata-kata. Banyak yang ingin ku tuliskan tentang dirimu yang fana. Sebaris gundah selalu ingin ku tuang dalam selembar kertas, dengan kata, dengan makna yang luar biasa. Tapi ketikan ku pegang pena, semua hilang dalam hening yang menyiksa.
            Aku ingin menuliskanmu yang fana, dengan beberapa kejadian janggal yang patut ditambahkan. Aku ingin menuliskan semuanya, tentang dirimu yang mudah berubah, dengan gores yang membekas, dengan ciri yang sama. Tapi semua hanya terbersit dalam benak, aku selalu bungkam ketika kertas dan pena ada di depan mata.
            Pernah satu saat aku tergilas kenagan asmara, memendam penuh amarah, rusak bagai karang tergerus ombak. Aku ingin menuliskannya, menyajiakan sebuah makan dari segurat tulisan. Tapi semua sia-sia, kenangan tergeletak dalam ruang hati yang hampa, tergeletak lemah lalu mati seketika. Apa yang tertulis tak sesuia dengan kehendak hatiku yang terluka, menyebar ke mana-mana, dan hanya jadi rongsokan semata.
            Lalu saat aku berada dalam satu kelas, dosen ku berkata “menulis tentang romansa hanya karya receh semata, itu cuma roman picisan. Semua orang bisa menulis kisah cinta, romansa hanya karya picisan tak berguna, tak bermakana. Kisah cinta hanya karya rendah dan semua orang bisa menulisnya.
            Pikirku, benar juga, semua orang bisa menulis kisah cinta. Semua orang mempunyai kisah cinta, dan bila mereka mau, semua kisah itu bisa ditulis tanpa makna. Lalu apa gunanya jika sebuah kisah tak menghadirkan makna, semua masalah tentang cinta bisa ditulis dan digemari oleh siapa saja, walaupun tanpa makna.
            Apa gunanya sebuah kisah cinta?, semua orang memilikinya, dan jika mereka berlomba menuliskannya, sudah berapa buku yang diterbitkan.
            Dosenku pun berkata “Jangan menulis kisah cinta yang tak bermakna, karena itu tak berguna. Tulislah kisah tentang kehidupan yang memberi kesan di dalamnya, sebagai pelajaran bagi pembaca tanpa menghilangkan fungsi hiburan sebuah karya sastra.”
            Ah, jengkel rasanya diriku, padahal kisah cinta sangat mudah untuk dituliskan. Lantas harus seperti apa kisah yang ku buat, yang menghadirkan makna, dan bersifat pengajaran? Apa ku tulis sebuah kisah tentang negara saja, menggambarkan situasi yang ada, memberi pengetahuan tentang masalah yang harus diselesaikan. Mungkin cukup menarik, mengkritik tentang pemerintah, dengan goresan kata indah. Tapi apa itu mudah, sedang aku buta akan pemerintahan, ditambah ancaman jika nanti ada yang tersinggung. Terlalu besar resiko yang akan ditimbulkan, terlalu komplek, bagiku yang tak tau tentang negeriku sendiri.
            Sepertinya harus ku singkirkan dahulu cerita ini, banyak yang terlintas tentang negeri ini dalam benakku.

            Mungkin aku akan beralih pada kisah hidupku sendiri. Akan ku tulis dari sudut pandang keyakinanku, tentang religiusitas yang selalu menarik untuk ku bahas. Ya, kisah religiussitas sepertinya layak untuk dituliskan. Kisah ini memiliki makan, dan pengajaran yang luarbiasa, serta bisa menjadi hiburan untuk pembacanya.
            Lalu apa yang harus ku tuliskan, apakah tentang penghambaan penuh pada Sang Pencipta. Mungkin juga tentang semangat beribadah pada masyarakat beberapa tahun ini. Atau tentang fenomena hijrah anak muda, fenomena hijrah yang cukup aneh, mendadak semua mempertanyakan jati diri bangsanya sendiri. Semuanya terlalu lucu, terlepas dari maksud di balik fenomena ini, entah hanya topeng atau memang kenyataan, hal itu hanya menguandang decak kagum tanpa makan.
            Sepertinya hijrah sudah menjadi salah satu budaya dikalangan anak melenial. Budaya aneh yang mereka tak tau dari mana mulanya. Mungkin jika istilah itu diambil dari perjalanan Rosululloh ï·º, sepertinya bukan tentang memperbaiki penampilan. Hijrah yang dilakukan adalah sebuah pejalanan ke tempat yang baru untuk kemaslakhatan umat. Lalu yang jadi pertanyaan, mereka berpindah dari mana, dan mau ke mana, sepertinya mereka tak pernah pergi kemanapun. Apakah yang dimaksut hijrah oleh mereka adalah tentang berpindahnya keyakinan dalam diri mereka? Lebih baik ku tulis saja sebuah perjalanan seperitual untuk menemui sang khalik.
            Bicara tentang budaya, kenapa tak ku tulis saja tentang kebudayaan dari bangsaku sendiri. Permasalahan budaya sangat menarik untuk dibahas, banyak hal yang bisa diangkat dari permasalahan budaya. Budaya itu unik, banyak hal yang terkonsep rapi, tersusun indah dalam kesatuan harmoni, penuh makan, terbungkus dalam hal-hal sederhana dari cara hidup manusia.
            Tapi ketika aku berurusan dengan budaya, berarti aku juga harus berurusan dengan pola pikir sebuah bangsa. Sepertinya, hal itu terlalu kopilikatif untuk disatukan dengan bermacam-macam pendapat dan peresepsi dari setiap pelakuknya. Cara budaya bersinggungan dengan kepercayaan akan memaksaku masuk dalam pertentangan-pertentangan aneh. Budaya dan ekonomi hanya akan menjerumuskanku dalam etika perdagangan yang bertabrakan. Jika ku tuliskan tentang budaya kekuasaan, hal itu akan menggiringku pada cara berpikir tentang politik yang berbelit-belit. Semua itu hanya tentang cara berfikir manusia yang tak pernah bisa ditebak ujung dan pangkalnya. Seluruhnya hanya mengarahkanku pada kondisi kejiwaan sebuah masyarakat.
            Lalu apa yang harus ku tuliskan dalam lembaran-lembaran kertas kosong ini, semua mengandung resiko untuk diriku sendiri. Kebudayaan manusia terlalu luas untuk dideskripsikan dalam kata-kata. Pasti akan banyak pertentangan, klarifikasi dan sangkalan-sangkalan aneh untuk sebuah pendapat semu. Lagi pula, siapa juga yang ingin dikomentari kebudayaannya, yang merasa memiliki kebudayaan pasti akan membela mati-matian, sedang yang tidak memilikinya akan menyangkal mati-matian pula karena ketidak tahuannya.
            Semua akan menjadi pertentangan panjang tanpa kesudahan. Semua akan memilih kubu, menyatukan presepsi, lalu saling menyerang satu sama lain. Tapi kenapa masalah kebudayaan ini selalu saja dipertentangkan, negara ini terjangkit virus ikut-ikutan pada kebudayaan baru yang memaksa masuk. Bangsa ini selalu berdecak kagum pada budaya yang dibawa dari luar sebagai kebudayaan baru. Padahal kebudayaan yang dibawa itu, adalah budaya usang, yang oleh bangsa pembuatnya sendiri tak pernah dihiraukan. Terlalu aneh, satu influenser, dan semua orang terjangkit virus yang sama, penyakit menular yang selalu hadir agar kebudayan lama tersingkirikan.
            Tak pernah ada kebudayaan pasti dalam bangsa ini, kebudayaan selalu berganti-ganti serta mengilas kebudayaan lain. Aku juga sadar, setaiap budaya selalu bersumber dari kekuasaan, berarti aku juga harus berurusan dengan sejarah kekuasaan pula. Tapi jika aku menuliskan tentang sejarah kekuasaan, sejarah bangsa ini terlalu rumit untuk dipelajari, setidaknya itu yang diucapkan ayah padaku. Banyak kejadian sejarah yang terlalu rumit seperti benang kusut.
            Sejarah ditulis oleh mereka yang memenangkan perebutan kekuasaan, dan mereka yang menang selalu menulis sejarah sesuai versi mereka sendiri. Jadi sepertinya memang tak pernah ada sejarah yang menjelaskan kondisi nyata tentang masyarakat bangsa ini, semua hanya tentang satu sudut pandang yang mendominasi sudut pandang lain. Selalu hanya ada satu tokoh baik dalam sejarah yang dituliskan oleh sang pemenang. Lalu bagaimana dengan hal curang yang mereka perbuat, padahal setiap perebutan takhta selalu dihiasi dengan pertumpahan darah dan siasat culas. Setiap kekuasaan selalu mempunyai sisi gelap ketika perebutan dan usaha mempertahankan kekuasaan itu sendiri.
            Itulah sedikit contoh dari kekuasaan yang berlangsung pada bangsa ini. Kekuasaan selalu membawa noda hitam yang disembunyikan dalam kebohongan. Maka dari itu, cerita sejarah selalu membawa tanda tanya besar dibalik jalan kisahnya. Setiap kisah sejarah pun, mempunyai banyak versi yang tak terhitung jumlahnya. Maka selalu ada kisah luar biasa untuk menyembunyikan noda hitam dalam kisah sejarah tersebut.
            Lagi pula siapa yang ingin berurusan dengan itu semua. Ketika tulisan ini menyinggung beberapa hal yang bersifat sensitif, pasti penulisnya yang terkena masalah. Seorang penulis selalu dituduh sebagai virus yang mempengaruhi pikiran masyarakat, yang dimaksut apa, yang diartikan malah sebaliknya. Tuduhan terkejam selalu disandangkan kepada seorang penulis sebagai tersangka utama. Padahal ketika sebauah tulisan sudah lepas dari tangan si penulis, maka makan tulisan sudah berganti sepenuhnya pada si pembaca.
            Pasti yang digunakan untuk menyerang adalah dalil SARA. Jika sudah menyangkut SARA seorang penulis selalu disudutkan tanpa ampun. Sampai sekarang pun aku tak tau fungsi sebenarnya dari SARA, sepertinya semua yang menyangkut SARA tidak boleh disinggung sama sekali. Hal yang mengandung SARA adalah hal paling sensitif untuk di sentuh oleh semua orang. Padahal segala tentang SARA adalah sesuatu yang bisa dijadikan tulisan. Menurut ku hal itu pantas untuk ditulis karena tak pernah ada kebudayaan yang sempurna.
            Lalu kenapa harus ada yang tidak terima, merasa diciderai, merasa disudutkan. Setiap budaya pasti memiliki cacat dalam bebrapa hal, dan memalui kritik, budaya tersebut bisa diperbaiki. Mereka pikir budaya mereka yang paling sempurna?, mereka pikir budaya yang sudah dibangun oleh nenek moyang bangsa tak memiliki cacat sama sekali. Sebentar, jika memang budaya itu sudah tepat, kenapa masih ada masalah dalam penerapanya? Maka dari itu, setiap budaya memerlukan kritik dan saran, jika tidak, berarti apa yang terkandung dalam SARA hanya sebuah keegoisan semata.
Cara membangun sebuah kebudayaan bangsa adalah memerikan kritik dan saran dengan tepat. Sedangkan cara memberi kritik dan saran,  salah satunya menggunakan tulisan. Lalu apa yang dipikirkan negeri ini jika kritik dan saran telah dibatasi dengan kurungan bernama SARA. Sepertinya memang tak ada yang ingin mengubah pola pikirnya, sepertinya mereka ingin terus berada dalam penjajahan pikiran. Ya silakan saja, toh doktrin itu akan selalu menimbulkan malapetaka sepanjang perjalanan bangsa ini.
Menyampaikan pendapat melalui tulisan adalah cara seorang penulis untuk menyampaikan isi hatinya. Menulis adalah cara untuk seorang penulis menyumbangkan pikiran, untuk memperbaiki kebudayaan bangsanya. Menulis bisa menjadi sarana untuk membangun, mencatat, dan memperbaiki kebudayaan itu sendiri. Lalu kenapa harus ada SARA?, toh belum tentu semua tak berguna, yang tidak patut itu hoax, bukan SARA. Seharusnya yang dihilangkan adalah berita kebohongan, bukan konten tentang SARA. Harusnya yang dihilangkan adalah berita kebohongan yang menyudutkan, bukan topik yang dibahas. Larangan itu  patut untuk penggiring opini masyarakat tentang berita yang terkesan negatif, bukan tentang tema beritanya.
Aku malah curiga, memang ada pihak tertentu yang selalu iningin mengadudomba. Mungkin dibelahan bumi lain juga terjadi hal yang sama, mengangkat tentang perbedaan,  lalu membenturkanya bersamaan. Membuat seolah hal yang mereka tabrakan sudah biasa terjadi dalam peradaban manusia. Semua hal yang mereka lakukan hanya menggiring pada situasi ekstrim agar terjadi perang. Kenapa harus perang yang mereka inginkan, bukankan damai lebih nyaman?

Astaga sudah jam berapa ini?!!,  aku terlena oleh pemikiranku sendiri, sampai-sampai tak sadar waktu telah banyak berlalu. Tiba-tiba saja sudah tengah malam, tapi belum ada yang ku tulis dalam kertas-kertas ini. Aku juga harus mempersiapkan diri untuk kelas pagi besok, sepertinya harus ku tinggalkan dulu kertas kosong ini dan tidur. Mungkin dengan tidur aku bisa menemukan hal yang ingin ku tuliskan pada tumpukan kertas ini. berharap saja ada mimpi yang memberi inspirasi pada otakku yang beku. Sudahlah, aku tidur saja, tulisanku juga tak akan selesai dalam satu malam.
***
            Aku kurang tidur malam tadi, kantuk masih terasa, dan aku masih ingin terlelap. Tapi sepertinya dosenku tak perduli, tak ada urusannya antara perkuliahan dengan kantukku. Andai saja aku diberi waktu sedikit lagi untuk terlelap, mungkin aku akan hilang sampai kuliah hari ini berakhir, hahaha.
            Dosen tuaku sedang menerangkan beberapa teori di depan. Beliau menyebutkan bermacam-macam teori dan tokoh pencetusnya. Hah.., hal membosankan dalam kuliah, selalu dipenuhi dengan banyak teori dan para pencetusnya yang tekenal. Padahal teorinya biasa saja, tak pernah ada yang luar biasa dari teori-teori para ahli sastra. Hanya rentetan kalimat yang terasa hambar dengan kesimpulan dari karya yang dimutilasi sepenuhnya.
            “Memutilasi sebuah karya sastra” salah satu dosen pernah berkata demikian kepadaku. Beliau bilang “seorang akademisi tidak pernah bisa menikmati karya sastra secara utuh, sebab mereka memotong-motong setiap bagian dari sebuah karya dan menganalisisnya satu persatu.”
            Aku sependapat, selayaknya sebuah karya akan menimbulkan sesuatu dalam jiwa manusia, jika dinikmati secara utuh. Setiap karya entah itu sebuah seni atau sains, mempunyai keindahan tersendiri dalam keutuhannya. Mungkin hal itu pula yang menghalangi sebuah karya tercipta. Terlalu takut berhadapan dengan teori yang mengklasifikasikan serta memotong-motongnya, sehingga menempatkan karya dalam sebuah kelas. Penelitian, terlalu rumit untuk seseorang yang ingin berkembang, dan aku pun termasuk orang yang terpengaruh oleh hal semacam itu, hahaha...
            Dosen tuaku melanjutkan pembahasan nya, beliau tak peduli beberapa mahasiswa telah bosan mendengarkan. Beliau hanya peduli dengan teori yang tengah dibahas, dan aku mempedulikannya. Ada satu teori yang membuatku tertarik dari sekian banyak teori yang dibahas oleh beliau. Sebuah teori yang berbeda, teori baru yang hanya dimiliki bangsaku. Teori yang cukup aneh. Walau tidak terkenal, tidak pernah digunakan, dan hanya sebagai pajangan rak buku belaka.
            Beliau berkata “Karya sastra indonesia, bukan seperti karya sastra barat. Karya sastra indonesia memiliki ruh tersendiri dalam pembuatan dan penyampaiannya. Setiap karya sastra bisa berubah menurut penuturnya, dan setiap penutur mempunyai maksud tersendiri. Karya sastra indonesia bukan tentang tokoh, alur, dan waktu, setiap karya sastra bisa ditempatkan pada situasi apapun, tergantung penuturnya. Itulah karakteristik karya sastra di indonesia.”
            Jujur, aku sangat tertarik dengan penjelasan beliau, setidaknya aku merasa cocok dengan teori yang baru saja diungkapkan oleh beliau. Mungkin setiap karya sastra bisa berubah sesuai dengan porsi yang dibutuhkan, penguanggkapan sebuah makna tergantung dari sebuah situasi meski dengan satu karya sastra yang sama. Satu karya sastra diceritakan berulang-ulang dengan efek yang berbeda pada penikmtanya. Sebuah cara pengungkapan yang memberikan penafsiran berbeda. Bermacam-macam makna dapat disamapaikan dengan satu cerita saja, menggunakan beragam penuturan. Sehingga setiap cerita memiliki keseimbangan dalam sebuah karya sastra.
            Ah, apa yang aku pikirkan, kesimpulan ku terlalu berbelit-belit dan tak bisa digunakan. Dosen ku hanya menjelaskan bagian luar dari teori terakhir yang beliau ungkapkan. Tak ada penjelasan rinci, sehingga aku bisa mengambil kesimpulan pasti. Penyebabnya adalah waktu, waktu perkuliahan yang begitu singkat hanya menghadirkan segudang tanya dalam benakku.
            Waktu yang terus berjalan, tak bisakah kau berhenti sejenak saja, untuk sekedar memuaskan rasa ingin tahu ku? Iya aku paham, engkau memang tak pernah menunggu siapa pun. Tapi kau terlalu cepat berlalu, hingga menyisakan banyak pertanyaan tentang masa lalu. Apa kau tak bisa menunggu ku hingga ku selesaikan kesibukan ku, kenapa kau harus pergi dan menyisakan penyesalan bagiku. Terlalu singkat umur ku untuk menelusuri semua tentang mu, dan aku sudah tertinggal jauh olehmu.
            Emmmm.., kenapa tak ku tulis saja tentang masa lalu, singkat umur sang waktu telah menuliskan beragam cerita yang telah ditinggalkan. Kisah-kisah kepahlawanan, kepedihan, serta perjuangan sudah sering terjadi di dalamnya. Mungkin itu bisa ku tulis dalam selembar kertasku yang masih kosong. Cerita yang tidak menyinggung, dengan sudut pandang berbeda dari diriku sendiri. Cara pandang yang tak pernah diungkapkan orang lain tentang masa lalu.
            Aku teringat sebuah filem lama, kalau tak salah  judulnya “Harimau Nusantara”. Bagaimana jika ku tulis lagi, dengan sedikit perubahan, tokoh-tokoh yang baru, alur setting, dan latar yang baru pula, tetapi dengan tema yang sama. Mungkin akan ku berikan sedikit bumbu pemanis untuk membuat efek dramanya. Mungkin akan ada sedikit perubahan pada endingnya, dan sedikit menyindir penguasa. Semoga aku tak mendapat sangsi dari aturan kepenulisan.
            Oke, akan ku selesaikan saat pulang nanti, sebab aku sedang tak membawa leptop untuk mengerjakannya. Inspirasi selalu saja datang tak tepat, ketika aku berhadapan dengan bertumpuk kertas, tak bisa ku tulis apapun di dalamnya. Tapi ketika tak ada alat untuk menulis, semua inspirasi datang seketika. Sepertinya aku harus membawa alat tulis setiap saat untuk berjaga-jaga.
           
Akhirnya kelas hari ini selesai, pada akhirnya aku keleleahan juga dengan rutinitas. Lalu kapan ku bisa menulis bukuku sendiri, sedangkan setiap hari aku hanya membaca buku orang lain. Apa tidak ada waktu luang untukku menulis, aku selalu terjerat kesibukan dan pembahasan-pembahasan buku yang dibuat orang lain. Terkurung dalam kesibukan, tuntutan, dan tekanan, hidupku penuh dengan hal-hal yang menyita waktuku.
Jika aku tak menulis, lalu bagaimana aku menyelesaikan bukuku sendiri. Jika aku tak meluangkan waktu untuk menulis, apakah mungkin tulisanku selesai. Jika aku terus terjebak dalam sibuknya rutinitas harian ku, bagaimana tulisanku akan tertulis. Semua orang memiliki titik jenuh, dan aku merasa sedang berada dalam titik jenuh ku sendiri.
Aku ingin melakukan hal lain, dan yang ku inginkan adalah menuliskan semua pikiranku. Kenapa tak ada kesempatan untukku menulis, apa hidupku akan terus terpenjara dalam bayang-bayang semu sebuah khayalan. Aku harus keluar, semua yang kurasakan adalah nyata, semua cita-citaku adalah kenyataan yang harus terwujudkan. Aku bisa merasakannya, aku tahu semua akan jadi kenyataan, yang ku butuhkan hanya tetap istiqomah.
Aku mencintai segala hal tentang menulis, aku ingin menulis dan jadi seorang penulis. Semua yang ku rasakan bukan khayalan semata, semuanya adalah kenyataan, bukan sebuah kebohongan belaka. Semuanya adalah kenyataan, semua bisa kurasakan, aku mampu keluar dari setiap khayalan, aku mempu mewujudkan dengan usaha nyata, dan Tuhan selalu mendukungnya. Semua titik kecil setiap harapan akan ku kumpulkan, dan Tuhan akan memberi balasan terbaik untuk semua usahaku.
***
            “Sena!” seseorang memangilku dari belakang, suara itu tak asing, iya itu suara Vira. Aku berbalik ke belakang, Vira berlari menghampiriku, sepertinya ada yang penting, sampai ia buru-buru menghampiriku. “Boleh minta tolong?!!”
            “Apa yang bisa ku bantu?” aku sedikit penasaran, kenapa anak ini tiba-tiba memanggilku. Tidak biasanya ia datang padaku unutk meminta bantuan, sepertinya ada keadaan genting hingga dia meminta bantuanku.
            “Aku tak mengerti tentang tugas filsafat, bisakah kau membantu ku mengerjakanya?” sudah ku duga, ia akan meminta ku membantunya dalam hal itu.
            “Bisa, tapi aku sedang tak membawa leptopku, besok saja ya” ucap ku, mencoba menolak.
            “Tak apa, kita bisa mengerjakanya di leptopku, aku membawanya sekarang” Vira memaksa.
            “Bagaimana ya,” aku menimbang-nimbang. Sebenarnya aku ingin menolaknya, karena ingin segera pulang dan menuliskan inspirasi yang dari tadi telah hadir dalam benakku.
            “Ayolah, aku mohon,” Vira semaikn mendesak.
            Sebenarnya aku ingin menolaknya, tapi aku tak menemukan alasan yang tepat. Aku pun tak bisa membuatnya menyerah, ia terus saja memaksa, aku pun menyerah kalah “baiklah”.
            “Terima kasih Sen, terima kasih banyak. Ayo kita cari tempat” Vira terlihat gembira sekali.
            Kami pun mencari tempat untuk mengerjakan tugas matakuliah filsafat. Aku menerangkan semua yang ku ketahui, dan dia yang menuliskannya. Banyak yang harus ku ulang agar Vira mengerti, sulit juga mengajari anak ini, aku harus memberikan begitu banyak analogi agar ia mengerti. Tugas filsafat memang sedikit sulit, aku pun kesulitan dalam memahami sepenuhnya. Terlalu banyak kalimat yang berbelit-belit, hingga aku harus membacanya berulang-ulang.
           
Hingga larut kami masih belum beranjak dari tempat itu, aku dan Vira masih setia di depan leptop mengerjakan tugas filsafat. Mungkin beberapa kali aku pergi, itu pun hanya untuk sholat. Vira pun demikian, ia pun pergi hanya untuk membeli makanan ringan.
            “Vir, kalau kita memaksa untuk menyelesaikan hari ini, sepertinya tidak mungkin,” ucap ku menyerah.
            “Yahhh Sen..., sebentar lagi!!” Vira memohon. “Sedikit lagi”.
            “Sedikit bagaimana??!” nada bicara ku berubah. “Ini sama saja merangkum tiga bab”.
            “Baiklah, kita pulang,” Vira menyerah, “tapi besok bantu aku lagi ya!” Aku mengangguk setuju.
***
            Aku berjalan pulang, sendirian, berteman angin malam yang melewatiku begitu saja. Aku pulang, Vira pun juga pulang, tapi jalan kami berbeda, maka dari itu aku tak berjalan bersamanya. Aku sempat berfikir tentang beberapa point dalam bab filsafat yang ku baca ulang beberapa saat lalu. Ada teori tentang cara menunjukan diri pada orang lain, mungkin semua yang ada dalam karya sastra adalah cara seorang menujukan dirinya pada masyarakat.
            Jika semua karya adalah cara seorang sastrawan menunjukan diri pada dunia, lalu apa yang coba ditujukan oleh sastrawan Indonesia. Apakah tentang kegelisahan seorang sastrawan terhadap situasi bangsanya, aku tak membicarakan mereka yang menulis asal-asalan. Di zaman ini semua orang bisa membuat tulisan, yang tak ada isinya dan hanya jadi bahan lelucon saja. Karya yang hanya separuh timbul dan kemudian tenggelam begitu saja.
            Aku terlalu banyak memikirkan sesuatu, sampai aku tak sadar sudah berada di depan pintu kamar kostku sendiri. aku masuk dengan badan sempoyongan, kelelahan karena beban berat hari ini. Sepertinya aku terlalu memikirkan banyak hal hari ini. Badanku begitu lelah, tas yang membebani pundak perlahan ku letakkan, dan aku ambruk pada kasur yang nyaman.
            Oh iya, aku teringat harus menulis, tapi badanku terlalu lelah untuk digerakkan, aku terlalu lemah di atas kasur yang nyaman. Meski pikiranku terus memaksa untuk segara menulis, tapi badanku sudah tak sanggup lagi ku gerakkan. Aku terlelap begitu saja, akibat kelelahan yang tak bisa ku jelaskan. Pukul sembilan malam menjadi saksi, hari ini aku gagal menulis lagi.
***
            Aduh, sudah jam berapa ini, apa aku tertidur semalaman. Sial, aku tak menulis apapun malam tadi, coba ku ingat lagi, aku ingin menulis apa semalam. Hal-hal sederhana tentang waktu dan sejarah, serta cara untuk menujukan diri pada dunia. Bagaimana awalnya, bagaimana konflik yang pas, dan apa yang harus ku tuliskan. Aku sama sekali tidak ingat harus memulai dari mana.
            Kenapa badanku terasa berat sekali hari ini, apa aku kurang istirahat. Sepertinya tidak, aku hampir semalaman penuh tertidur pulas, apakah itu kurang, lalu berapa lama lagi badan ini meminta diistirahatkan. Sepertinya aku terkena sindrom malas mulai menulis. Baiklah, ku buka leptopku dulu, mungkin aku bisa menulis setelah membuka leptop itu.
            Ah..!!, lama sekali ku tatap leptop ini, dan sampai sekarang tak ada yang ku tuliskan dalam draf. Untung saja hari ini tak ada kuliah, aku bisa berlama-lama dengan leptopku tercinta. Baiklah, akan ku mulai dengan hal sederhana, seperti biasanya, sebuah pertemuan antara lelaki dan perempuan, nanti pasti akan ku temuakan alurnya. Sepertinya aku melupakan sesuatu tentang perempuan, tugas, dan yang lainnya. Ah biarlah, berharap saja agar otakku bekerja untuk menulis sesuai dengan fungsinya...
Tamat

Saumer
Malang, 15 Oktober 2019

Posting Komentar

0 Komentar