Bait-Bait Syair Rindu


Bait-Bait Syair Rindu
            Saat itu, saat aku, saat diriku, saat nafasku, saat hatiku, saat hidupku, kosong tak berbentuk. Ketika semua masalah menghantui, datang tak diundang, menembus masuk dalam celah yang terbuka. Aku tak begitu paham sebabnya, ada sebuah celah kosong dalam hati ini, seolah aku hanya sebuah jasat. Entah kenapa, tapi semua terasa sia-sia.
            Pencarian, apa yang ku cari? Di mana aku harus mencari?, apa yang kurang dari diri ini? Jika ku ingat kembali, aku telah menyerahkan diri pada sang Ilahi. Setiap waktu ku sebut nama Sang Pencipta tanpa jeda. Penghambaan mutlak pada Sang Kuasa, pada setiap jengkal kehidupan. Pasrah akan kehendak-Nya, bukan hanya sebagai khotbah mimbar belaka.
            Tapi aku masih merasa kurang akan ibadahku, aku merasa, penghambaan pada-Nya masih kurang sempurna. Aku tak begitu mengerti apa sebabnya, yang jelas ruang kosong itu tak bisa ku isi dengan dzikir belaka. Lalu apa?, apa yang kurang dari penghambaan ku pada Sang Kuasa. Apa yang kurang dari kecintaanku pada Sang Maha Cinta. apa ruang kosong itu tentang cinta, cinta pada makhluk bernama manusia, hal yang memang tak pernah ku pedulikan hari ini, cinta pada wanita.
            Aku memang tak berniat membina cinta dengan seorang wanita untuk sekarang. Cinta pada Rabb, tanpa sadar akan memaksa menyakiti wanitaku kelak. Mungkin ini jalan para sufi, sebuah jalan untuk memberikan seluruh cintanya pada Sang Maha Cinta. Sebuah jalan yang dilalui oleh para sufi agar Sang Pencipta tak cemburu dengan ciptaannya. Hingga hanya ada Rabb dalam hati para sufi, berdasar pada pengabdian dan kepasrahan semata.
            Tapi aku bukan seorang sufi, bukan orang suci yang dicintai. Aku hanya seorang makhluk yang ingin menjadi hamba Rabb-ku.
            Aku masih merasakan cinta pada dunia, mencintai makhluk ciptaan dari sang pencipta. Aku masih mencintai berbagai keindahan yang terhampar di alam dunia ciptaan-Nya. Meski dunia itu fana, meski dunia hanya permainan belaka, namun cintaku pada ciptaan-Nya masih ada. Cintaku bukan semacam cinta buta pujangga sakit jiwa di atas sana, kegilaan ku lebih waras dari pada sakit jiwa mereka terhadap emas dan perak. Cintaku pada daun hijau yang tumbuh berdasar pada  Sang Pencipta, cintaku pada dunia hanya selembut embun pagi ketika matahari masih ingin sembunyi.
            Tapi cinta itu masih menyisakan celah dalam sanubariku, sebuah celah yang tak ku mengerti. Kenapa dadaku masih ada celah menganga, apakah masih kurang cinta yang tercipta dalam dada. Kenapa cinta ini masih saja tak cukup menutup celah itu, lalu apa yang kurang dari cintaku pada Rabb-ku. Celah itu tetap saja tak terisi, tetap berlubang dalam sanubari, tetap tak bisa ku tutupi.
            Tanda tanya besar saat terngiyang dalam benakku yang miskin. Aku tak tau apa yang kurang, hingga diriku terus saja tersiksa dalam rasa keingin tahuan. Rasa dalam kehampaan, hampa dalam perasaan tanya, semua hanya menambah kegelisahan percuma, dan aku semakin bodoh dibuatnya. Betapa sebuah pengetahuan semakin menambah keingin tahuan yang lainnya, hingga aku merasa seperti sebuah debu jalanan.
            Langkah pun terhenti, pada sebuah masjid, sebuah masjid di lingkungan kampus tempatku merajut mimpi. Masjid ini adalah rumah, rumah Rabb-ku di dunia fana, tempat orang berkeluh kesah, tentang dunia yang hina. Mungkin aku bisa berkeluh kesah pula di sana, mungkin aku bisa mengadu, tentang perasaan ini pada Rabb-ku. Jika tak bisa, setidaknya aku telah mencoba, mengetuk pintu Ares dari dunia yang hina.
            Petang telah berganti, adzan isya telah berkumandang di telinga ini, waktu magrib telah lama meninggalkan diri. Malam ini aku ingin menghadap Rabb-ku Yang Maha Suci dengan segenggam rindu ini. Rindu, sebuah rindu akan pertemuan, hanya berjarak antara waktu magrib dan isya, namun hatiku telah merindu begitu dalam. Rindu, perasaan berkecamuk dalam dada, setelah perpisahan di akhir sujudku kala magrib menjelang.
            Ku ucap seluruh keluh kesah dalam sujudku, ku rangkai setiap kalimat bagai untaian bunga nan syahdu. Bagai untaian bunga melati yang harum, semoga seperti itu pula rangkaian kata-kataku. Teruntai setiap kata, menuai sebaris makan, dalam sujudku yang hina, hanya kepada Rabb-ku semata. Sang Maha Penguasa, dengarkanlah pinta dari hambamu, dari hamba yang berkutat dalam duka, dalam sujud yang tak sempurna.
            Lantunan doa dari imam mengakhiri shalat jamah malam ini, aku beranjak ke belang, mencari tempat dalam kesunyian. Mungkin dengan kesunyian aku bisa berfikir lebih jernih, hanya ada aku dan Rabb-ku yang selalu hadir dalam ruang sunyi itu. Dalam kesunyian itu aku berharap, Rabb membimbing ku pada keesaan yang abadi. Di balik keramaian dunia, di balik gemerlap dunia fana.
            Malam ini adalah malam jumat, malam di mana semua orang mencoba lebih dekat kepada Sang Pencipta. Malam jumat, malam yang mustajab untuk memanjatkan doa, seakan tak ada sekat antara mereka pengabdi sejati dengan Sang Pencipta. Rinduku terpuaskan kepada Rabb pencipta alam, penghambaan penuh ku haturkan pada Sang Pencipta alam semesta.
            Pada malam ini pula semua orang berlomba-lomba, memperbaiki hubungannya dengan Tuhannya. Entah karena ingin menjadi hamba yang taat, atau hanya menjadi penggugur kewajiban semata. Tapi Rabb tak pernah butuh alasan diterimanya sebuah penghambaan, sebuah keinginan untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Semua makhluk diterima tanpa pengecualian, bahkan mendekatnya para setan laknat, yang selalu membuat kesalahan.
            Tiba-tiba sekelompok orang masuk tanpa diundang, merak membawa rebana lengkap dengan peralatan lainnya. Sebagian membawa jajanan khas adat ketimuran, layaknya sedang merayakan pesta besar. Semua datang dengan wajah rupawan, menghadirkan senyum terbaik dari masing-masing diri mereka. Saling mengucap salam, bertegur-sapa, layaknya dunia bukan lagi tempat yang fana.
            Aku masih terdiam, terpaku kaku di tempat yang sama, membeku dalam sunyi yang tak bernama. Heran, perasaan itu yang ku rasakan, aku tak mengenal suasana ini sebelumnya, ada apa sebenarnya, apa yang mereka rayakan. Aku masih dalam kebingungan, ketika kitab maulid mulai dilantunkan dan tabuhan rebana mengiringi qosidah yang dibaca.
            Syair kerinduan terlantun indah, rangkaian kata mencipta makna, seketika itu aku larut di dalamnya. Syair kerinduan kepada kekasih seluruh alam, pembawa risalah kenabian, pemberi syafaat akhir zaman. Syair rindu kepada sang nabi, syair rindu kepada rosul terakhir, syair untuk pujaan hati, Muhammad bin Abdullah. Syair yang terlalu indah, sampai tak bisa ku terjemahkan dalam kata.
            Syair rindu yang sama, seperti syair rinduku pada Sang Pencipta. Rindu yang serupa, tak ada beda, dua kerinduan yang serupa, bertautan, tak terpisahkan. Rinduku dan rindu mereka itu sama, syair pujangga yang merindu akan kedamaian. Rindu yang tak pernah terbahasakan, meski banyak syair yang telah terciptakan. Syair kecintaan, menyatu dalam dua, beriringan tak terpisahkan
            Aku baru tersadar, malam ini tanggal 12 Robiul Awal. Malam di mana ibunda Aminah mendapat anugerah besar, malam kelahiran kecintaan seluruh alam. Malam ini adalah malam kelahirannya, malam kelahiran penyebab seluruh alam tercipta. Malam di mana Nur Muhammad turun ke dunia fana, malam kelahiran baginda nabi besar Muhammad ï·º, malam kelahiran pujaan hatiku ke dunia.
            Lamat-lamat ku ikuti, syair kerinduan pada baginda, lirih ku ucap kerinduan, padanya Rosulullah ï·º. Bergetar hati ini mengucap syair rindu kepada Baginda Rosulullah ï·º, aku tak kuasa rindu ini sungguh menyiksa. Aku merasakan kerinduan yang teramat dalam, ketika syair terus saja dilantunkan. Budaya perayaan kelahiran nabi Muhammad ï·º, selalu menambah rindu akan pertemuan.
            Seseorang memandang ke arah ku dalam kesunyian, seseorang telah mengetahui kerinduan ku. Perlahan ia bangkit dari tempat duduknya, lalu berjalan menuju ke tempat ku duduk. Ia yang sedari tadi memperhatikan ku mengucap syair kerinduan diam-diam, kini datang menghampiri ku. “Assalamualakikum warohmatullahhi wabarokatuh saudaraku.”
            “Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh” jawabku.
            “Kenapa engkau tak bergabung bersama kami saudaraku?, jika kerinduanmu sama dengan kerinduan kami?,” tanyanya lembut.
            “Aku belum sempat menghadirkan pada sang nabi, seperti dirimu saudaraku,” jawabku.
            “Bukankah seluruh alam merasakan kerinduan yang sama  pada sang nabi saudaraku, hanya saja mereka mengucap rindu dengan cara yang berbeda,” tanggapnya.
            “Aku hanya tak mampu mengucap syair-syair rindu pada sang nabi seperti mu saudaraku,” ucap ku.
            “Bergabung lah bersama kami saudaraku, kita lantunkan syair-syair cinta padanya yang kita rindukan bersama,” Ajaknya lembut. “ikutlah bersamaku, kita lantunkan syair penuh kerinduan untuk baginda.”
            “Bolehkah aku melantunkan syair rinduku pula saudaraku?” tanyaku.
            “Tentu saja,” ucapnya antusias, “lantunkan syair rindu mu bersama kami, hadirkan Rosulullah bersama kita di sini.”
            Ia melangkah membawa ku duduk di majelis cinta, dengan para pecinta Rosulullah, duduk bersama para perindu nabi. Tenang, mengalun perlahan, itu yang ku rasakan, semuanya tampak begitu menikmati kerinduan. Hatiku bergetar ketika lantunan cinta disenandungkan. Rindu dan kerinduan yang teramat sangat, dihaturkan kepada Rosulullah Muhammad. Kerinduan yang menggetarkan setiap jengkal dunia, di mana para pencinta mengucap salam.
            Aku hanya bagian kecil dari dunia, yang turut serta mengucap syair-syair cinta pada junjungan seluruh dunia, rosul pujaan jiwa.
            Dalam sanubari mengalir rasa cinta yang tak pernah ku rasakan sebelumnya. Syair-syair cinta terucap begitu saja, terlantun indah bersama rindu yang membara. Rindu terucap, terukir indah, dalam sanubari hampa. Aku menemukannya, aku tenggelam dalam samudera cinta penuh kerinduan.
            Betapa ini sungguh indah, samudera cinta tiada tara, terhampar begitu luas menenggelamkan ku ke dasar kedamaian. Cinta, setitik celah yang dahulu terasa, menyebabkan kehampaan dalam dada, kini telah terisi oleh cinta yang merekah sempurna, layaknya bunga melati. Kini, hati yang dahulu terdampar pada sunyi, telah dialiri cinta pada sang nabi, hingga hati ini tak lagi merasa sepi, batin yang dahulu mati kini telah hidup kembali.
            Aku mabuk dalam rindu pada baginda nabi Muhammad ï·º. Rindu yang masuk seperti candu, membuai diri. Aku terlelap dalam cinta sang nabi, rindu terus  mengalir tanpa henti, membuat ku melayang bagai tak ada beban dalam dunia ini. Ya rosul, jika boleh aku meminta, hadir lah untuk mengobati rindu kami.
            Lantunan syair silih berganti, qasidah-qasidah rindu kepada Rosulullah menggema malam ini. Para penyair rindu silih berganti melantunkan syair tanpa henti. Rindu dan kerinduan, semua tenggelam dalam lantunan syair rindu para penyair rindu nabi.
            Betapa indah suasana ini, damai, tenang, dalam kerinduan pada sang pujaan hati. Sholawat dan salam terucap silih berganti pada Baginda Muhammad kekasih hati. Semua terangkum dalam bait-bait syair rindu dari para penyair. Rindu pun semakin bergejolak dalam diri ini.
            Dalam suasana penuh kerinduan ini, apakah Rosulullah akan hadir di tempat ini. menyaksikan kerinduan yang berapi-api, apakah baginda berkenang untuk hadir dalam majelis ini. dalam majelis rindu ini, apakah sang pujaan hati akan turut hadir, mengobati rasa rindu kami.
            Lalu seseorang melambai ke arah ku, meminta ku duduk di sampingnya. Sedikit keraguan, namun ku paksa langkah kaki menghampirinya. Kini aku berada di barisan paling depan dalam majelis ini, bersanding dengan para pelantun qasidah, berada di depan pemukul rebana. Saat itu aku sangat bersyukur bisa berkumpul bersama mereka, melantunkan syair-syair rindu pada sang nabi, dalam majelis cinta ini.
            Para pelantun qasidah semakin terhanyut dalam syair rindu yang mereka lantunkan. Syair-syair rindu makin riuh dilantunkan, menghanyutkan, memberi kesan, menggetarkan jiwa. Rasa rindu pun semakin tumbuh dan semakin tumbuh dalam dada, seiring dengan lantunan-lantunan syair yang tak ada hentinya. Semua terpatri indah, hanya untuk sang baginda.
            Lalu qasidah cinta terhenti, semua menatap ke arah ku, menunggu ku untuk mengucap syair rindu. Ada harap dari tatap itu, tatap harap untuk melantunkan syair rinduku. Tatap harap yang meminta ku untuk melantunkan syair rindu pada nabi Muhammad ï·º.
            Aku sedikit ragu, lidahku kelu, ucap tak dapat ku rangkai dalam syair-syair rindu. Bukan ku tak bisa bersyair lagu, rinduku sama seperti para penyair rindu, tapi ragu terus menyelimuti batinku, aku ragu untuk merangkai syair rindu pada nabiku.
            Namun semua itu menghilang, kalah dengan kerinduan yang mendalam dan harap dari para penyair rindu. Tatap itu dapat melenyapkan ragu yang menyelimuti kalbu. Para penyair rindu seperti berucap padaku melalui tatap itu, “Hilangkan keraguan itu saudaraku, engkau sama seperti kami, pelantun syair rindu kepada nabi. Berteriaklah!, lantunkan debar rindu mu kepada baginda nabi.”
            Keraguan pun menyerah, ia terhempas begitu saja oleh debar cinta yang merekah indah. Perlahan ku lantunkan, perlahan ku senandungkan qasidah-qasidah kerinduan. Perlahan ku ungkapkan, seluruh kerinduan pada baginda nabi akhir zaman, melalui  qasidahku yang sederhana. Rindu ini pun merekah lebih sempurna, terlantun indah dalam syair-syair qasidah yang ku baca. Debar cinta tak bisa terbendung dalam dada, semua berontak keluar, mengalir  melalui qasidah yang terlantun begitu saja. Ku lepaskan semua kerinduan, pada peringatan kelahiran nabi akhir zaman.
            Dalam hati ku rangkai syair ku sendiri, di tengah qasidah yang ku baca.
“Wahai jasad mulia seorang nabi akhir zaman, bangunlah, terimalah salamku yang sederhana. Terimalah salam dari umatmu yang papa, terlena dalam kefanaan dunia.
Wahai rosul  kecintaan seluruh alam, pemberi syafaat pada hari pembalasan. Engkau bagai penerang dalam kegelapan, engkau adalah pemungkas dari kerinduan ku yang tak terpuaskan.
Wahai nabi seluruh alam, rinduku berat, tak tertahan. Engkau adalah pelengkap celah kecil hati ini yang direnggut kerinduan.”
“Wahai kecintaan, alam ini merindukan mu dalam tangis yang menenggelamkan. Seluruh alam bersedih saat engkau terbaring di atas ranjang. Alam dan aku menangis sesenggukan, ketika maut menjemput engkau secara perlahan. Rindu ini tak bisa terbayarkan, sebab penawar telah pergi dari dunia ku.
Dunia memang fana, terlalu hina untuk engkau tinggal di dalamnya.”
            Aku semakin lantang melantunkan qasidah-qasidah rindu, berharap baginda nabi bisa mendengarnya.
“Duhai penawar rindu, rinduku tak lengkap pada Rabb-ku, jika aku tak pula merindukan mu. Wahai kecintaan seluruh alam, seluruh makhluk bersholawat menghaturkan rindu padamu.”
            Air mataku mengalir tak terbendung lagi.
“Ya, Muhammad ibni Abdillah, debar rindu padamu hanya bisa ku ucap dalam syairku. Ungkapan cinta tak bisa ku sampaikan dalam pertemuaan. Engkau telah tinggal jauh di masa lalu, sedang jasad hina ini tinggal di akhir zaman yang kaku. Betapa pertemuan itu ingin ku rengkuh, betapa ingin  hatiku mengecup tanganmu. Rindu, hanya kata itu yang mewakili kecintaan ku.”
            Tiba-tiba harum kasturi, semerbak memenuhi ruangan masjid ini.
“Ya Rosulullah, debar rindu ini tak tertahan. Rasa cintaku bergemuruh dalam dada, mendamba sebuah pertemuan denganmu baginda. Betapa hatiku hancur berkeping-keping sekarang, aku menahan kerinduan yang berontak ingin terpuaskan.
Aku hanya bisa bersyair sederhana, untuk mengungkap kecintaan yang luar biasa. Kata-kataku, hanya kata-kata sederhana, untuk menggambarkan perjalananmu yang luar biasa.”
            Harum kasturi semakin bertambah, dan aku lantunkan qasidah terakhir dariku.



Penyair Gila
Malang 9 November 2019

Posting Komentar

0 Komentar