Tabir Mimpi


Tabir Mimpi
Kenapa?, pertanyaan itu yang sampai sekarang menghantui ku, kenapa sampai sekarang aku masih terbayang wajahnya. Entah kenapa ia kembali hadir dalam mimpiku malam tadi. Mungkin bukan orang yang ku tuju, tapi sekali lagi harus ku akui, dia sekali lagi datang dalam mimpiku. Kenapa ia datang kembali?, menembus ruang mimpiku, kenapa ia hadir lagi, sepertinya tak bisa ku hilangkan bayangannya dari benakku.
Seperti masih ada sisa-sisa rasa dalam hatiku kepada dirinya yang tak pernah bisa ku genggam lagi. Aku seperti terjebak dalam lingkaran khayal yang terus terulang tanpa henti. Apa aku masih berharap bisa memilikinya, atau memang aku saja yang tak pernah bisa melepasnya. Sadarlah kawan!, dia sudah jadi milik orang lain, tak mampu tanganmu meraihnya lagi, bakar seluruh rasa yang tak pantas kau miliki ini!
Tapi aku merasa aneh dengan mimpi-mimpi itu, ada gurat pesan yang tak bisa ku tafsirkan dari setiap mimpi yang ku alami. Mungkinkah itu petunjuk atau hal semacamnya, yang menuntut ku untuk berbuat sesuatu? Atau hanya bunga tidur yang akan berlalu seiring dengan pergantian malam-malam sunyi. Tapi mimpi itu sudah datang berkali-kali, lebih dari lima kali mimpi itu datang dan menunjukkan satu wajah yang sama.
Setiap mimpi memang berbeda waktu dan tempatnya, tapi ekspresi wajahnya tetap menunjukkan hal yang sama. Ekspresi wajahnya memperlihatkan ia sedang kosong, tatapnya tak memberikan keceriaan, ia seperti hilang kesadaran dalam dirinya sendiri. Kenapa hal itu bisa terjadi?, apa yang sebenarnya ia alami?, kenapa aku harus mendapat mimpi yang sama berkali-kali? Apa dia ingin aku menolongnya?, tapi dari apa, lebih baik ku tanya pada orang yang lebih mengerti, Mbah Aan, semoga ia membantu.
***
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh.” Danu tengah berdiri di depan rumah, entah itu rumah siapa. Ia menunggu dengan was-was, khawatir jika tuan rumah tak ada di tempat. Tapi Danu tetap menunggu, dengan ransel besar di punggungnya dengan sangat sabar.
“Waalaikumussalam warohmatullahi wabaorokatuh.” setelah beberapa saat baru ada yang menjawab salamnya dari dalam rumah. “Masuk!!” perintah suara itu.
Danu pun masuk, di sana sudah ada orang tua, mungkin kisaran usia 60-70 tahun, sedang duduk di kursi menunggunya. Danu mencium tangan kakek itu dan dipersilakan untuk duduk, tak terlalu jauh hanya berjarak beberapa jengkal saja.
“Bagaimana kabarnya Mbah??” tanya Danu berbasa-basi.
“Allakhamdulillah baik, selalu dalam keadaan seperti ini” kakek ini tersenyum ringan.
Kakek ini adalah Mbah Aan, seseorang yang ingin ditemui Danu sejak beberapa hari yang lalu. Mbah Aan adalah guru ngaji Danu sejak kecil, Danu sangat dekat dengan Mbah Aan, hingga Danu menganggap Mbah Aan seperti orang tuanya sendiri. Keluarga Danu juga sangat dekat dengan Mbah Aan, sebab ayah Danu juga salah satu murid Mbah Aan.
“Mbah dari mana?, sejak tadi saya berdiri di luar, kok tidak ada orang di rumah” ucap Danu.
“Dari surau, kayak nggak pernah tau Mbah saja kamu ini, biasanya kamu juga langsung ke sana?” tanggap Mbah Aan.
“Oh iya, saya lupa Mbah” jawab Danu meringis.
“Surau sekarang sepi, anak-anak muda sudah jarang ke sana, banyak yang pergi keluar untuk cari modal hidup” ucap Mbah Aan. “Tiba-tiba Mbah merasa ada tamu di rumah, eh ternyata anak lelaki datang berkunjung, ya Mbah langsung pulang. Gimana kabar mu, Nu?, kuliahnya sudah selesai?” Tanya Mbah Aan.
“Alakhmdulillah baik Mbah, berkat doa restu dari Mbah saya baik-baik saja. Kuliahnya masih belum selesai Mbah, masih kurang tiga semester lagi, doakan saja semuanya lancar” jawab Danu.
“Lhoo!!, ini kok nggak ada suguhannya?, Mala..., Nirmala, tolong buatkan minum buat Mas Danu, nduk!,” seru Mbah Aan pada cucunya yang ada di belakang.
“Sudah Mabh, tidak perlu, malah ngerepoti” Danu coba menolak.
“Tamu kok!, ya harus dikasih suguhan tho” tegas Mbah Aan. “tidak boleh ditolak, tamu itu ibarat mayat, kalau diminta tuan rumah harus nurut,” lanjutnya.
“Iya Mbah” ucap Danu patuh.
“Ada apa kamu kemari?,” tanya Mbah Aan tentang maksud Danu, “kok nggak biasanya. Apalagi jauh-jauh dari kota, langsung mampir ke sini, nggak pulang dulu.”
“Pertama, saya mau silaturahmi ke rumah Mbah, kan saya sudah lama tidak ke sini. Terus yang kedua saya ada perlu sama Mbah” ucap Danu.
“Ya, pulang dulu ke rumah, sungkem sama ibu, baru ke sini. Kok lebih mendahulukan ke sini” Sindir Mbah Aan.
Di tengah perbincangan, seorang gadis masuk ke ruang tamu, membawa nampan berisi dua cangkir teh dan beberapa kue. Danu tahu benar siapa gadis itu, ia adalah Nirmala, cucu Mbah Aan, teman masa kecilnya. Sekarang Danu melihat Nirmala dengan cara yang berbeda, cara seorang lelaki memandang perempuan. Nirmala yang ia lihat sekarang, adalah Nirmala sebagai perempuan yang solehah, anggun, serta cantik, berbeda dengan teman masa kecilnya dulu.
“Hee, lihat apa?!” Danu terkejut, “itu Nirmala, teman masa kecil mu dulu.” ucap Mbah Aan.
“Eh, iya Mbah” Danu dibuat salah tingkah oleh Mbah Aan.
“Lalu ada keperluan apa kamu datang ke mari?, sepertinya penting?” Mbah Aan melanjutkan pembahasan awal.
“Begini Mbah, beberapa hari ini saya sering bermimpi tentang seseorang, lebih dari lima kali saya bertemu dengannya dalam mimpi. Walau mimpinya selalu berbeda, tapi dia tetap menunjukkan ekspresi wajah yang sama, tatapnya kosong. Saya curiga kalau dia di...” Danu bergenti di tengah kalimatnya, sesuatu membuatnya ragu.
“Digendam maksudmu??” sergap Mbah Aan.
“Iya Mbah” jawab Danu singkat.
“Nger, mimpi itu dibagi tiga jenisnya. Titiyoni, mimpi orang kelalelahan, banyak fikiran, serta mengidam-idamkan sesuatu. Kedua gondoyoni, mimpi yang dihadiri oleh bangsa halus, tujuannya ingin menggoda, memperdaya, menjerumuskan manusia dalam jurang kesesatan. Seolah-olah mimpi itu nyata, dekat dengan kehidupan kita, tapi itu hanya bisikan bangsa halus yang ingin memperdaya.” Mbah Aan berhenti sejenak, “ketiga puspatajem, mimpi yang diberikan oleh Sang Pencipta, sebagai petunjuk, mimpi yang dianugerahkan pada kita sebagai jalan atas keresahan yang kita alami. Kalau dalam Islam, macam-macam mimpi itu biasa disebut, mimpi sebagai bunga tidur, mimpi yang disebabkan oleh bangsa jin yang ingin menyesatkan, dan mimpi dari Allah sebagai petunjuk. Sekarang apa kamu yakin jika mimpi itu adalah petunjuk dari Sang Maha Kuasa?” Mbah Aan menjabarkan semua yang jadi keresahan Danu.
“Benar Mbah, saya merasa mimpi-mimpi itu adalah petunjuk bagi saya untuk menolong seseorang” jawab Danu tegas.
“Maksudmu menolong perempuan dalam mimpimu itu, yang kamu sendiri memiliki rasa padanya?” terka Mbah Aan.
“Benar Mbah” jawab Danu singkat.
Mbah Aan tersenyum tipis atas jawaban Danu, seperti ada yang ia tertawakan dalam diri anak muda ini. Mbah Aan seolah sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan Danu jika firasatnya benar. Dari raut wajah anak muda itu, Mbah Aan bisa membaca jika ada emosi yang meluap-luap. Maka dari itu Mbah Aan coba untuk menenangkan, ia tak ingin anak muridnya termakan oleh nafsunya sendiri.
“Lalu apa yang akan kamu lakukan jika mimpi itu benar adanya?” tanya Mbah Aan, memastikan.
“Selam masih bisa tertolong, saya akan tolong dia sebisanya Mbah” ucap Danu tanpa rasa ragu.
“Jika mimpi itu salah??” sergap Mbah Aan.
Danu hanya terdiam, ia tidak bisa menjawab, ia hanya yakin bahwa firasatnya itu benar. Danu hanya ingin meminta pendapat, pembenaran atas apa yang ia rasakan, dan setelah itu ia akan bertindak. Danu telah tersulut emosinya, ia tak bisa membedakan antara kebenaran dan khayalannya. Sehingga mimpi yang ia alami membuatnya semakin yakin bila ada yang tidak beres. Maka dari itu, Danu sudah mempersiapkan segalanya sebelum bertanya kepada Mbah Aan.
“Nger, batinmu itu sedang panas, tidak benar seorang muslim bertindak dengan hati yang menyala-nyala. Kalau kamu menyulut emosi mu, kamu harus mempunyai alasan yang tepat, dan jangan biarkan batinmu terbakar. Jangan seperti kuda liar yang hilang tali kekangnya, tidak baik, hasil yang diperoleh pun tidak baik pula.” ucap Mbah Aan menasehati Danu yang terlanjur menyala-nyala.
“Lalu pripun Mbah, apa firasat saya ini benar? Danu masih ngotot dengan firasatnya.
“Tidak ada apa pun yang terjadi, semua adalah kehendak dari Yang Maha Berkehendak, mimpimu hanya mimpi yang disusupi bangsa halus” jawab Mbah Aan.
“Jadi mimpi itu hanya gondoyoni Mbah?” Danu terkejut, ia seperti putus asa.
“Iya, hanya gondoyoni, semua mimpimu hanya mimpi yang dirasuki bangsa lelembut” tegas Mbah Aan meyakinkan Danu.
Danu merasa sedikit kecewa mendengarnya, ia merasa telah dibodohi oleh mimpinya sendiri. Apakah ini karena ia terlalu emosi menghadapi kejadian yang baru ia alami, sampai jin-jin terkutuk itu bisa merasuk dalam mimpinya. Kenapa ia bias tersulut emosi sebegitu parah, apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.
“Danu, jangan terus-terusan menyulut emosi mu, hal itu akan membuka jalan bagi para bangsa halus untuk mepengarui mu. Mereka akan lebih leluasa membisikkan keburukan-keburukan ketika amarah telah menguasai batinmu” ucap Mbah Aan.
“Lalu saya harus bagaimana Mbah?” Danu mengharap petuah dari gurunya.
“Sabar, sabar adalah satu-satunya jalan bagimu menghadapi semuanya” jawab Mbah Aan.
“Baik Mbah” Danu patuh.
“Nger... Danu, Ayahmu memberi nama Wijaya Danu, dengan harapan agar dirimu menjadi seperti panah sakti milik Adipati Karna Surya Putra, yang sentiasa tak pernah melesat dari sasarannya. Dibalik nama Wijaya Danu yang kamu emban, ayahmu menyimpan harapan agar dirimu setajam Kunta Wijayandanu. Kunta Wijayandanu adalah panah sakti yang tak pernah gagal mengejar targetnya ketika sudah dilepaskan. Ayahmu selalu berharap demikian pada dirimu, lalu sekarang apa yang menajdi sasaran mu nger?” Penjelasan tentang sejarah dibalik nama Danu diakhiri dengan pertanyaan yang lagi-lagi tak bisa langsung Danu jawab.
Danu terdiam, ia tak mampu menjawab pertanyaan sederhana dari Mbah Aan kepada dirinya. Danu tak menemukan jawaban dari pertanyaan sederhana dari Mbah Aan. Ia masih tak tau apa yang menjadi tujuannya saat ini. Rasa bimbang merasuk dalam hati, seolah ia tak dapat menentukan tujuannya sendiri.
“Nger... Danu, sebuah panah sakti pun pernah tumpul akibat selalu mengenai targetnya. Tapi bilah tumpul panah itu masih bisa diasah agar menajam kembali. Angin memang akan terus menjadi halangan yang sering sekali ditemui oleh anak panah mu. Namun selama bilah panah itu tetap tajam, serta diberi tenaga yang cukup saat dilepaskan, angin akan terbelah dengan sendirinya” pungkas Mbah Aan.
“Lalu saya harus melakukan apa untuk mempertajam bilah panah itu Mbah?,” tanya Danu.
“Diasah nger!” jawab Mbah Aan tegas. “Tanpa diasah, bilah panah yang tumpul akan semakin tumpul. Sepertinya panah mu sudah jarang diasah, atau kamu lupa cara mengasah panah itu?,” ucap Mbah Aan.
“Saya lupa cara memulainya Mbah” jawab Danu polos.
“Bukanya dulu sudah ku ajari bagaimana caranya?” sanggah Mbah Aan.
“Saya sudah jarang melakukannya, sehingga panah saya menjadi tumpul” Danu mengakui kesalahannya.
“Owalah, nger..., nger....,” Mbah Aan setengah tertawa. “Sesakti apa pun sebuah pusaka, ada sifat lemahnya. Ada kalanya pusaka itu tumpul, sehingga tidak bisa memenuhi perintah si pemilik. Namun apakah pusaka itu harus dibuang?, tidak nger, pusaka harusnya diasah lagi, agar kembali tajam seperti semula.
“Nger, meski panah sakti Kunta Wijayandanu mampu menembus topeng wojo milik Raden Gatotkaca, tapi kesaktiannya tak berlaku pada darah putih Resi Mayangkara. Maka sang pemilik harus mengasahnya kembali, menajamkan kemampauan panahnya” pungkas Mbah Aan.
“Iya Mbah” ucap Danu mengangguk patuh.
“Godaan itu selalu datang di tengah-tengah perjalananmu, tak perlu dirisaukan, luruskan kembali jalanmu, semoga kamu menemui apa yang kamu inginkan” Mbah Aan menasehati.
“Tapi kadang, saya merasa tujuan itu sudah dekat Mbah, dan kembali menjauh ketika saya kejar” sanggah Danu.
“Sepertinya batinmu masih kasar nger?, kamu belum bisa membedakan tujuan dan harapan mu sendiri” ucap Mbah Aan.
“Kadang hati saya merasa yakin jika di hadapan saya sudah ada tujuan yang saya inginkan. Tapi setelah saya menetapkan hati, semuanya hanya menjadi halusinasi saja” jawab Danu.
“Anak muda melakukan kesalahan itu wajar nger. Sudah sewajarnya ada kesalahan dalam masa belajar, kalau tidak, kapan kamu akan belajar” ucap Mbah Aan. “Tapi jangan lupa untuk memperbaikinya, itulah proses pembelajaran yang harus kamu lalui.”
Danu terus mendengar petuah-petuah dari Mbah Aan dengan hikmat. Ia meresapi setiap petuah diberikan Mbah Aan kepadanya dalam hati. Danu mencoban menimbang-nimbang, membolak-balikkan hatinya, untuk menentukan keputusan yang akan ia ambil. Danu ingin menetapkan hatinya, ia tak ingin selamanya berada dalam rasa bimbang yang mengurungnya. Tapi di sisi lain, ada tenaga besar yang menghalangi Danu untuk melangkah maju. Akhirnya, dia hanya bisa diam tanpa berbuat apa-apa.
 “Nger, endapkan dulu semua masalah mu, biarkan masalah-masalah itu mengendap ke dasarnya. Mungkin setelah itu kamu menemukan air jernih yang bisa kamu minum” Mbah Aan menyampaikan maksud pada kalimatnya.
“Baik Mbah, saya akan coba mengasah kembali batin saya yang tumpul” ucap Danu.
“Nger, tentukan fokus yang ingin kamu tuju, jangan cuma asal mengambil keputusan, hidup juga perlu perhitungan matang.” Lalu Mbah Aan kembali berujar, “jangan sampai terprosok dalam kesesatan, Adipati Karna itu orang baik, tapi karena salah mengambil keputusan ia mati di tangan adiknya sendiri.”
Danu tahu benar wiracerita Adipati Karna, yang hanya dimanfaatkan oleh para Kurawa. Meski Adipati Karna mempunyai ilmu yang tinggi, kearifan, dan sangat dermawan, tapi ia berada di pihak yang salah. Bukan karena ia orang jahat, tapi karena hasutan dan rasa tanggung jawab sebagai kesatria yang harus membela negerinya. Adipati Karna mati sebagai musuh dari kebajikan sebab utang budi yang harus ia bayar pada sahabatnya, Prabu Suyudana.
Danu mulai menentukan sikap atas saran dan pendapat dari Mbah Aan. Ia tak ingin terjerumus lebih jauh dalam lebah kenistaan sebab salah melangkah. Sekarang Danu harus tahu apa yang menjadi tujuan awalnya. Danu harus kembali bertanya pada hati kecilnya supaya mendapat petunjuk dari Yang Maha Bijaksana. Biarlah semua yang telah terjadi menjadi cermin untuk ia melihat ke dalam dirinya.
“Kalau begitu saya pamit undur diri Mbah, doakan saya agar dapat mencapai tujuan saya.” Danu berpamitan, mencium tangan Mbah Aan yang kriput untuk mencari berkah dari gurunya.
“Oh iya,” tanggap Mbah Aan,” doaku selalu yang terbaik di setiap perjalananmu, tapi jangan lupa untuk meminta restu pada ibumu juga nger, agar semua yang kamu cita-citakan tercapai.” Mbah Aan mengantar Danu keluar.
“Danu!!” seru Mbah Aan setelah beberapa Danu menjauh, “yang sudah berlalu biarlah berlalu, teruslah berjalan mengikuti waktu. Tak ada salahnya mengalir mengikuti takdir menuju Sang Maha Kuasa, yang penting kamu tetap mengalir bersamanya” itu adalah petuah terakhir dari Mbah Aan untuk kelancaran perjalanan Danu. Danu mengangguk patuh, tanda ia mengerti apa yang dimaksud oleh sang guru. Ia pun kembali berjalan, berjalan menuju rumahnya, di mana sang ibu telah menantikan kedatangan putranya.


Sekian


Saumer
Malang, 19 Sepetember 2019

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Admin numpang promo ya.. :)
    cuma di sini tempat judi online yang aman dan terpecaya di indonesia
    banyak kejutan menanti para temen sekalian
    cuma di sini agent judi online dengan proses cepat kurang dari 2 menit :)
    ayo segera bergabung di fansbetting atau add WA :+855963156245^_^
    F4ns Bett1ng agen judi online aman dan terpercaya
    Jangan ragu, menang berapa pun pasti kami proseskan..
    F4ns Bett1ng

    "JUDI ONLINE|TOGEL ONLINE|TEMBAK IKAN|CASINO|JUDI BOLA|SEMUA LENGKAP HANYA DI : WWw.F4ns Bett1ng.COM

    DAFTAR DAN BERMAIN BERSAMA 1 ID BISA MAIN SEMUA GAMES YUKK>> di add WA : +855963156245^_^

    BalasHapus