Tiga Pemuda dengan…



Tiga Pemuda dengan…

            Dua pemuda pemuda sedang berbincang di kedai kopi langganan mereka. Mereka tengah menikmati kopi yang dipesan serta membincangkan beberapa hal tentang hari ini. Kadang tertawa dengan beberapa kejadian hari ini, dengan satai disertai dengan bumbu guyonan kecil diantara mereka. Tak terlalu serius, bahkan untuk masalah paling serius dalam hidup mereka.
Riyan dan Erik, begitulah mereka dipanggil. Dua pemuda biasa yang dipertemukan dalam jurusan yang sama saat masuk kuliah. Mereka berasal dari daerah yang berbeda, keluarga yang berbeda, tetapi lebih dekat dari saudara kandung. Mungkin kedekatan mereka karena terlahir dari rahim bernama kota perantauan, mereka menjadi manusia baru yang mampu memahami kehidupan.
“Yan, Adam mana?” tanya Erik pada Riyan, satu orang lagi yang tidak pernah absen kumpul bersama mereka. “Katanya mau ke sini?”
“Nggak tau Rik, mungkin lagi jalan sama salah satu pacarnya,” jawab Riyan enteng, “kayak nggak tau Adam aja, lelaki tampan idaman semua wanita.” Riyan tertawa remeh.
“Iya juga, pacarnya aja ada tiga, belum lagi gebetannya.” Erik menambahkan. Tawa pun pecah di antara mereka.
“Bodohnya wanita-wanita itu.” Celetuk Riyan masih dalam tawa.
“Apanya?, yang bodoh itu Adam, mau aja jadi bahan tolak ukur mereka.
“Maksudmu??” Riyan penasaran dengan pendapat Erik.
“Maksudku Adam itu bodoh, dia kok mau jadi bahan perbandingan bagi para wanita itu.” Tambah Erik menguatkan.
Riyan masih tak mengerti dengan maksud Erik, ia masih berfikir tentang maksud dari sahabatnya itu. Sementara itu, tiba-tiba Adam datang, ia menepuk bahu Riyan serta duduk di sampingnya. Setelah itu Erik menyodorkan tangan dan disambut hangat oleh Adam. Riyan pun melakukan hal yang sama, dan suasana keakraban terjalin diantara mereka.
“Dari mana Dam?, janjinya tepat waktu!, ternyata seperti biasanya.” Celetuk Riyan.
Adam menoleh ke arah Riyan. “Sorry, Winda maksa minta anter.”
“Bener kan Rik, tadi siang sama Salma, barusan sama Winda. Mungkin habis ini ada lagi yang minta anter sama dia. Dasar ojek online.” Hal itu dibalas senyum tipis oleh Erik sebelum mencecap kopinya.
“Penting main aman, selama semua nyaman, setiap keadaan jadi berkesan.” Balas Adam, diikuti gelak tawa meremehkan. “Bang, seperti biasa!!” Adam memberi isyarat pada bartender di depannya.
“Dam...Dam, nggak capek, dibuat mainan sama cewek-cewek itu?” tanggap Erik.
“Msksutmu??” tanya Adam, remeh.
Riyan juga mengajukan pertanyaan yang sama tadi. Ia tak tau apa yang dimaksud oleh Erik, tentang Adam yang dipermainkan oleh wanita-wanitanya. “Iya Rik, apa maksudmu tadi, aku masih belum sepenuhnya mengerti.”
“Kau itu dipermainkan oleh mereka Dam, entah kau sadar atau tidak? Sekarang coba ku pikir, apa ada yang suka dengan sikapmu, yang selalu mempermainkan wanita?” Erik berhenti sejenak. “Lalu jika kau sudah dicap sebagai playboy, kenapa masih banyak wanita yang mendekati mu?”
“Mungkin karena aku tampan dan menarik,” jawab Adam, angkuh.
“Setampan-tampannya orang, jika kelakuannya tidak baik, pasti akan dijauhi. Apalagi semua orang sudah tau kelakuanmu, kau pikir masih ada gadis yang mau kau bodohi?” jawab Erik.
“Buktinya, Winda, Salma, Klara, Nia, dan beberapa gadis lain, tetap mau dekat denganku,” jawab Adam lebih angkuh dari sebelumnya.
“Lalu apakah mereka tak tau tentang semua yang kau sembunyikan? Sekarang coba kau pikir lagi, beberapa dari mereka satu kelas, bahkan ada yang satu kos, apa kau pikir mereka tak curiga?”
“Rik aku udah main aman, semuanya sudah ku perhitungkan, dan selama ini tak ada masalah.” Bantah Adam.
“Apa kau yakin?” pertanyaan sederhana yang membuat Adam menjadi ragu, beberapa gambaran hadir dalam benaknya. Adam mulai sadar ada sesuatu yang janggal selama ini.
Pertanyaan itu kembali membuat Adam berfikir ulang, apa wanita-wanita yang selama ini berhubungan dengannya, tak mengetahui perihal kelakuannya itu? Adam mulai ragu, ia terdiam, mungkin yang dikatakan oleh Erik ada benarnya. Sekuat apa pun ia menyangkal, tapi harus Adam akui, ia mulai ragu dengan atas keyakinannya sendiri.
“Kenapa?, mulai ragu dengan keyakinan mu barusan?” Erik tersenym kecil di akhir kalimatnya. “Kau mulai tak yakin dengan dirimu sendiri kawan. Sekarang kau masih ingin bertanya tentang maksudku?” tegas Erik.
“Dam, wanita itu bukan makhluk yang bodoh, meski mereka lemah, seburuk apa pun wanita, ia masih mempunyai senjata yang paling kuat, yang tidak kita miliki. Mereka punya perasaan, yang mungkin lebih peka dari perasaan kita para lelaki . Mungkin perasaan bukanlah kekuatan bagi kita karena kita bertindak atas dasar akal pikiran. Sedangkan wanita, wanita lebih mendengarkan perasaannya, ia mampu merasakan hal yang ganjil walau hanya sedikit saja. Ia bisa merasakan apa yang kita sembunyikan, meski sudah kita tutup rapat.” Erik menggambarkan, dengan mengepalkan tangan kuat-kuat.
“Lalu apa maksudmu dengan, diriku yang dipermainkan oleh mereka?” tanya Adam.
  “Kalau seandainya kau diposisi mereka, bagaimana?” tanya Erik.
“Jelas aku marah lah!” jawab Adam.
“Lalu??” Erik mengejar.
“Ya, aku tau mereka akan marah padaku, tapi pertanyaannya, kenapa mereka diam, dan malah membiarkan ku?.” Kata Adam.
“Karena sejak awal bukan cintamu yang menjadi tujuan mereka.” Tegas Erik.
“Lalu apa?” Adam semakin tak mengerti.
“Kalau para wanita itu sudah tau tentang kelakuan mu dan mereka tetap diam saja, berarti mereka punya tujuan lain Dam. Misal mereka cuma ingin memperalat mu.” Kata Erik.
“Maksudmu aku jadi semacam supir atau pesuruh, begitu?!” Adam mulai emosi.
“Santai man, jangan emosi dulu,” redam Erik. “Mungkin semacam itu, atau mungkin mereka hanya menjadikan mu termometer” jawab Erik remeh.
“Apa maksudmu dengan ‘termometer’ Rik?” tanggap Adam Sinis.
“Semacam alat ukur untuk membuktikan siap yang lebih cantik diantara mereka,” jelas Erik. “Sekarang bukan zaman 80 atau 90-an, saat kesetian sangat diagungkan. Hal seperti pengkhianatan dan kebohongan sudah sangat sering kita temui di sekitar kita. Lalu apa yang kau banggakan dari keberhasilan mu mendapatkan semua wanita-wanita itu. Mungkin ketika kata ‘setia’ masih dipuja sebagai suatu yang sakral, baru kau berhasil. Tapi sekarang kata setia hanya sebagai kata pelengkap kalimat Rayan, tak lebih,” tegas Erik. “Sekarang pertanyaannya, kenapa mereka tak meninggalkan mu?”
“Mungkin karena mereka bodoh,” jawab Adam ngawur.
“Bukan karena mereka bodoh, tapi karena mereka terlalu pintar saat mempermainkan mu,” Erik berhenti sejenak, memastikan sahabat-sahabatnya mengerti. “Kau tau bagaimana seorang wanita memandang wanita lain?” dua orang di depan Erik menggeleng bersama. “Mereka selalu mempunyai persaingan, setiap wanita memiliki persaingan dengan wanita lain. Tapi bukan persaingan seperti para lelaki yang ingin mendapatkan sesuatu, persaingan itu tentang menunjukan diri mereka. Dan selamat, kau telah menjadi termometer bagi wanita-wanita mu.”
“Betul juga katamu Rik,” Adam tersadar.
“Dam, wanita sekarang sudah termakan oleh isu kesetaraan gendre. Mereka telah terhasut oleh paham feminisme, dan tak ada yang bisa membendung hal itu. Maka dari itu mereka selalu ingin menujukan dirinya setara dengan pria, ataupun dengan wanita lain,” pungkas Erik.
“Bukankah itu yang namanya emansipasi Rik??” tanya Riyan.
“Emansipasi bukan tentang kesamaan, kesetaraan, atau keberpihakan. Keadilan adalah memperoleh semuanya dengan seimbang, dan seimbang bukan tentang sama-rata. Kalau keadilan adalah semua orang mendapat hal yang sama, bagaimana seorang yang tak punya tangan, memaki jam tangan yang ia inginkan?” analogi Erik sempat membuat kedua sahabatnya bingung.
“Dengan jam yang lain lah, contoh dengan jam dinding, atau jam weker,” jawab Adam ngawur.
“Berarti bukan sama-rata namanya. Jam tangan hanya akan disebut jam tangan, ketika jam itu dipakai di pergelangan tangan,” tanggap Erik. “Jika seperti yang kau umpamakan tadi, itu memang keadilan, semua memiliki porsi masing-masing,” pungkas Erik.
“Betul juga katamu.” Adam sepakat.
“Baiklah aku setuju. Tapi bagaimana dengan masalah mu sendiri??” sergap Riyan.
“Masalah yang mana?” tanya Erik.
“Masalah mu dengan Renita lah, masalah yang mana lagi?” ungkap Riyan. “Ayolah man, kau sendiri juga punya masalah dengan Renita, pacarmu. Jangan cuma bisa menasehati orang lain, tapi kau tak bisa menyelesaikan masalah mu sendiri,” sindir Riyan.
“Loh??, memang ada apa dengan Erik dan Renita?” Adam belum tau tentang masalah Erik dan Renita.
“Renita itu selingkuh di belakang Erik, dan Erik sudah tau semuanya, tapi dia tetep memilih diam,” jelas Riyan.
“Wah Rik, mana idealisme mu yang kau banggakan tadi?” sindiran keras menampar telak pada Erik. “ Jangan-jangan kau juga orang yang setuju dengan paham feminisme,” sergap Adam.
“Apa?, kau mau alasan apa lagi?” potong Riyan sebelum Erik sempat berucap. “Apa kau juga termasuk orang dari zaman 80 atau 90-an yang menganggap kesetiaan akan melahirkan kesetiaan pula?” sambil tertawa kecil Riyan sedikit menjauh dari meja.
“Ternyata, sang motivator kita, tak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri,” celetuk Adam.
“Jujur, aku juga bingung, entah aku yang terlalu setia atau aku masih mempertahankan pendapat masa lalu,” Erik mulai mengungkap kegelisahannya. “Karena gini..”
“Ah apa lagi” potong Adam, “itu bukan kesetiaan. Itu kebodohan namanya.” Celetuk Adam.
“Yap.” Riyan menjentikan jarinya, tanda kalau setuju. “Udah banyak bukti tentang perselingkuhan Renita. Rik bukan hanya satu dua orang saja, dia menjalin hubungan dengan banyak pria. Sahabatmu ini pun pernah melihatnya. Lalu butuh bukti yang bagaimana lagi?, tentu kau juga pernah memergokinya kan?” pungkas Riyan.
“Wih hebat juga nih cewek” tanggap Adam, “serupa denganku.”
“Gimana kalau buat mu aja Dam, kan sama-sama player,” goda Riyan.
Adam tertawa ringan “boleh dicoba,” tanggap Adam. “Tapi gimana nasib sahabat kita ini, apa aku harus makan bangkai teman sendiri?” gelak tawa terdengar setelah Adam menyelesaikan kalimatnya.
Erik terdiam, mukanya masam tak karuan. Ada emosi yang tergambar dalam wajahnya, entah itu pada para sahabatnya, Renita, atau dirinya sendiri. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya, tak ada respon apa pun yang ditunjukkan pada kedua sahabatnya. Ia merasa terhakimi oleh sahabat-sahabatnya, dengan rasa bersalah, dan mungkin juga rasa malu tak tertahan.
“Ayolah man, jangan dianggap serius, kami cuma bercanda. Kami tetap sahabatmu, kami selalu ada untukmu, yang kami inginkan hanya kau sadar dengan kebodohanmu sendiri. Janganlah pasang muka seperti itu, semua hanya candaan,” Riyan berusaha mencairkan suasana.
Erik berfikir sejenak dalam diam, ia coba menelaah semua hal yang telah terjadi. Mungkin benar dirinya sebodoh itu, mungkin para sahabatnya juga benar, ia terlalu memaksakan diri sendiri. Kepala Erik dipenuhi dengan banyak kemungkinan yang hampir saja membuatnya meledak. Tapi ia hanya bisa diam dan terus diam tanpa kata.
“Aku akui, aku salah, bahkan terlalu bodoh jika dibandingkan dengan Adam,” Erik memilih setelah kebisuannya. “Tapi masalahnya kompleks Yan, semuanya terlalu rumit, dan berat untukku menjauh dari Renita.”
“Rik, masalah mu tak seberat rindu Dilan kan, tak usah dibikin pusing,” tegas Riyan. “Sekarang pikirkanlah, Renita sudah mengkhianati mu, bukti pun juga sudah sangat jelas, bahkan kau sendiri sudah tak nyaman padanya. Lalu kenapa kau masih bertahan?”
“Semuanya memang sudah jelas, aku pun sudah tak memiliki rasa padanya, tapi masalahnya keluarga Renita sudah mengenal ku, dan hanya aku satu-satunya lelaki yang dikenalkan Renita pada keluarganya,” jawab Erik.
“Terus masalahnya di mana?” tanya Adam polos.
“Masalahnya adalah, keluarga Renita sudah sangat percaya padaku, serta mereka mengharapkan aku melamar Renita.” Ungkap Erik tentang semua yang membuatnya tak bisa menentukan pilihan. “Semua sudah sampai pada tahap, antara keluarganya dan keluargaku, hal itu yang membuat ku semakin bimbang.”
“Rik, kau belum jadi suaminya kan?” tanya Riyan.
“Belum lah!” jawab Erik
“Lalu apa yang kau pusingkan?, Renita belum jadi istrimu, dan dia sudah berani berselingkuh, apalagi nanti,” gertak Riyan. “Rik, semua bukti sudah ada, semuanya!, lalu apa yang kau tunggu?”
“Tapi tak semudah itu lho Yan. Jika sudah melibatkan keluarga, masalahnya sudah berbeda lagi,” sanggah Adam.
“Apa lagi masalahnya?” sergap Riyan, “yang akan dinikahi Erik itu Renita, bukan hanya keluarganya. Percuma jika keluarga Renita sangat mendukung, tapi Renita sendiri seperti itu.” Riyan beralih pada Erik, “Rik, yang akan tinggal bersamamu itu Renita, yang akan tidur dengan mu, itu Renita. Jika yang akan menjalani semuanya adalah dirimu dan Renita, sedangkan Renita tak bisa setia, lalu bagaimana kelak?” ucap Riyan.
Erik pun angkat bicara, “memang benar. Tapi untuk memutuskan semuanya tidak semudah itu,” Sanggahnya. “Aku juga harus menjelaskan semuanya pada orangtua Renita, dan aku belum siap.”
“Kalau memang tak cocok, kenapa harus dipertahankan?, kalau sudah tak bisa dipertahankan, kenapa harus dipaksakan?” kata Riyan. “Cobalah untuk memutuskan, ambil sikap tegas!, mungkin akan ada resiko, tapi lebih baik kau putuskan sekarang dari pada nanti kau menyesal,” saran Riyan. “Tapi jangan melukai salah satunya, baik dirimu, Renita, atau pun keluarganya.”
“Tul,” tanggap Adam singkat. “Sebentar, jika bicara tentang ketegasan, kau sendiri bisa tegas atau tidak Yan?” celetuk Adam.
“Maksudmu??” tanya Riyan penasaran.
“Tentang Vina dan Manda, dua gadis yang selalu dekat denganmu, tapi tak pernah kau beri kepastian.” Adam tersenyum lebar di akhir kalimatnya.
“Kenapa aku pula yang kalian bahas?” protes Riyan.
“Semua dapat gilirannya lah, jangan cuma kami berdua. Masalah mu pula harus dibahas di tempat ini,” kata Adam.
“Tapi masalah Erik belum selesai, jangan dulu singgung masalah ku lah! Lebih baik selesaikan dulu satu masalah, baru kita bahas masalah lain!” Riyan coba mengalihkan.
“Ah, masalah ku sudah selesai kawan, sekarang tinggal masalah mu yang belum kita bahas,” sergap Erik.
“Ayolah, masalah mu belum sampai pada solusinya, lalu kenapa kau mau beralih pada masalah orang lain?” sangkal Riyan.
“Ayolah Yan, sudah selesai. Kita berdua sudah tau, bahwa kami hanyalah orang yang tertipu oleh keadaan di depan mata kami sendiri,” kata Adam. “Aku adalah orang yang merasa bisa mengendalikan semuanya, tapi ternyata aku adalah orang yang dipermainkan.”
“Sedangkan aku adalah orang bodoh yang mencoba mempertahankan kebahagiaan orang di sekitar ku melalui prinsip yang gila. Tapi tak sadar dengan luka yang aku rasakan ,” ucap Erik. “Mungkin tak akan ada solusi pasti, dari masalah ku ataupun masalah Adam,” imbuh Erik.
“Benar, tak akan ada solusi pasti dari masalah ku. Entah aku akan melepas mereka, atau memilih salah satu, Erik pun demikian. Tapi, dengan ini kita tau akan kebodohan kita sendiri. Yang jelas kita berdua telah mengakui kebodohan kita masing-masing. Sekarang, bagaimana cara mu mengakui kebodohanmu? Apa kau juga sebodoh kami dalam memandang dunia mu?” segaris senyum merekah pada akhir kalimat Adam.
“Yap, seberapa bodohnya dirimu?” imbuh Erik.
“Seberapa bodohnya diriku memandang dunia ku sendiri?” Ulangnya diikuti tawa kecil. “Seberapa bodohnya aku?, Akui lah kebodohanmu untuk menemukan kesalahan dibalik hidupmu,” pungkas Riyan.
Kedua sahabat Riyan tetap menunggunya bercerita. Mereka tetap setia menjadi saksi atas kebodohan yang akan diakuinya. “Sebenarnya aku tak sebodoh itu, tapi akan ku akui kebodohanku pada kalian, para sahabatku.”
“Jelaskan saja kebodohanmu pada kami, mungkin kami bisa mengerti,” jawab Adam menanggapi.
“Baiklah, ini tentang Aku, Vina, dan Manda. Aku dan Manda adalah teman satu Orda, karena kau satu daerah. Walaupun sampai sekarang aku tak tau pasti di mana rumah Manda. Kami sering menghabiskan waktu bersama, karena urusan organisasi, atau lebih tepatnya dijodoh-jodohkan melalui kegiatan, oleh teman-teman. Biasa lah, strategi lama yang selalu diterapkan oleh mak comblng.” Ungkap Riyan tentang hubungannya dengan Manda sampai saat ini. “Dan aku akui, Manda itu...., cantik” pungkas Riyan.
“Ciyeee....” Adam dan Erik bersorak girang.
Tatapan aneh tertuju pada Adam dan Erik dari mata Riyan. “tapi tak secantik ibuku,” sanggahnya.
“huuuu...” mereka kembali bersorak.
“Apa??, seorang anak pasti menganggap ibunya cantik kan??, walau kadang masih tergoda wanita lain.” Sergap Riyan.
“Terserah lah...” tanggap Erik. “Kalau Vina?”
“Kalau Vina..., kalian tau sendiri lah, dia teman sekelas kita. Kita sudah mengenalnya dari mulai awal kuliah, hingga tinggal menulis daftar pustaka di skripsi. Sudah itu aja, tak perlu ku perkenalkan lebih jelas, toh kalian juga sudah sangat kenal dengan Vina,” jawab Riyan acuh.
“Apa Vina tak cantik?” Adam menggoda Riyan.
“Jangan bilang cantik itu relatif, itu alasan lama, basi!” sergap Erik.
“Vina itu nggak cantik, dia itu berbeda. Ada sisi lain yang membuatnya  patut untuk diperhatikan,” jawab Adam.
“Sekarang kau pilih siapa?, Vina atau Manda?” todong Adam.
“Ayo, buktikan ketegasan yang tadi kau bilang, atau jangan-jangan kau seperti Adam?, tak puas jika hanya satu wanita?” sindir Erik.
“Oh man, aku tak punya pikiran seperti itu,” sangkal Riyan. “Tapi ku akui, berat untuk menentukannya. Maksudku, aku memang membuat mereka sebagai pilihan, maka dari itu aku tak mampu memilih satu diantara mereka.”
“Memang apa yang membuat mu ragu pada mereka?” Tanya Adam.
“Mungkin karena pertemanan ku dengan mereka,” jawab Riyan.
“Bukankah saat kita sudah nyaman pada seorang perempuan, kita bisa mengungkapkan isi hati kita dengan leluasa ya?” celetuk Adam.
“Sayangnya tak sesimple itu,” jawab Riyan. “Ada beberapa hal yang harus ku pikirkan sebelum mengambil keputusan, dan hal itu saja sudah membingungkan ku.”
“Sebentar,” Erik menghentikan, “maksudmu bagaimana? Semua masih samar bagiku, kau masih bingung antara memilih atau tidak. Berarti bukan Vina atau Manda yang membuat mu bimbang sebagai pilihan. Lalu apa masalah mu?” Erik coba menelaah masalah Riyan.
“Yap, masalahnya bukan siapa yang akan ku pilih, tapi apakah mereka pantas ku jadikan pilihan,” jawab Riyan.
“Sombong sekali dirimu!!” celetuk Erik.
“Masalahnya bukan sombong atau tidak, ini masalah ku sebagai pribadi,” sanggah Riyan.
“Oke, terus??” Erik mengejar.
“Maksudku, apakah aku pantas menjadikan mereka sebagai pilihan. Mereka sangat baik, bahkan terlalu baik, maksudku adalah, apa aku pantas memilih mereka,” jawab Riyan.
“Kau benar-benar serius dengan mereka?” tanya Erik mendalam.
“Ya, aku benar-benar serius. Siapa pun yang akan ku pilih, aku akan sangat serius bersamanya,” tegas Riyan. “Makanya aku bimbang untuk menjadikan mereka sebagai pilihan ku. Jangankan untuk menentukan pilihan, untuk melakukan sholat istikhorok saja aku masih tak bisa. Apakah aku harus mengistikhoroki sholat istikhorok itu sendiri? Ah, aku tak sebodoh itu lah,” celetuk Riyan sambil tertawa ringan.
“Berarti masalah mu bukan memilih antara mereka?, masalah mu hanya seberapa yakin kah dirimu untuk menentukan langkah selanjutnya?” ucap Erik menyimpulkan.
“dan aku masih tak mengerti apa yang kalian bicarakan,” ucap Adam polos.
“Dari tadi ke mana saja lelaki tampan??” ejek Riyan.
“Maksudku gini,” Adam berhenti sejenak, “apa yang ada dalam hidupmu adalah pilihan bagimu. Kau berhak untuk menentukan pilihan, seburuk apa pun kemungkinan yang akan terjadi nanti. Yang harus kau lakukan adalah memilih, tidak ada yang lain. Lakukan hal yang menurut mu penting, dengan memilih, kau bisa menentukan sikap mu. Jika kau terus menghindar dari pilihan ini, akibatnya akan semakin rumit,” pungkas Adam.
“Aku masih benar-benar ragu dengan diriku sendiri, terlebih lagi apakah dia bisa menerima kehidupan ku. Sejauh yang ku tau dia terlibat masalah dengan beberapa orang. Dan beberapa orang lain sangat membencinya,” kata Riyan.
“Siapa?” tanya Erik.
“Manda” jawabnya.
“Lalu Vina??” tanya Adam.
“Karena tak terlalu banyak yang mengenal Vina, aku masih ragu dengannya. Memang kita sudah mengenalnya sangat lama, tapi bayak yang disembunyikan oleh Vina. Contoh saja, ia adalah orang yang cukup gila hormat dan selalu ingin tampil sebagai yang terbaik,” jawab Riyan.
“Itu orang, atau bendera sih? Bendera pusaka aja, tak pernah minta penghormatan lho,” potong Adam.
“Becanda aja luh, serius ni!!” tegur Erik. “Berarti kau masih belum mengenal Manda secara utuh? Coba saja kau masuk ke kehidupannya, bertanya pada teman-teman dekatnya, dan kenali dia dengan cara mu sendiri,” saran Erik.
“Sedangkan Vina, jangan tanya tentangnya pada orang lain, apalagi pada tukang bakso langganannya, sudah pasti nama Vina akan semakin cantik,” kata Adam sambil tersenyum tak jelas.
“Apaan sih Dam!!,” potong Erik datar, “tapi benar juga coba kau kenali lagi Vina lebih dekat,” imbuhnya.
“Aku setuju, tapi kembali lagi ke dirimu sendiri, yakinkan dirimu dahulu, semua tergantung keputusanmu sendiri,” saran Adam.
“Tumben omongan mu bener Dam?” ejek Erik.
“Kau saja yang tak tau bagaimana cara ku berfikir kawan,” balas Adam. “Jelasnya, kita sudah sama-sama tau kebodohan masing-masing dari diri kita. Ada beberapa hal di dunia ini, yang belum kita tau karena tertutup dari pandangan kita sendiri. Jadi lebih baik kita menjadi orang bodoh yang lari dari pengetahuan, dan mungkin pengetahuan berbahaya bagi diri kita. Walaupun kita akan dikenal sebagai orang dungu oleh orang lain, tapi itu lebuh baik daripada kita tau sesuatu yang akan menjadikan kita terluka.” Pungkas Adam mengakhiri pembicaraan bersama kedua sahabatnya.
Sekian
Sismaku@
Malang, 20 Februari 2019

Posting Komentar

0 Komentar