Preman
VS Pencopet
Seorang pemuda, sedang waspada mengamati sekitarnya, memastikan keadaan aman. Dalam kerumunan banyak orang dalam kereta, pengap, sesak, hampir tak bisa bergerak, pemuda ini sedang memutar otak untuk keluar. Ia iangin segera keluar, setelah selesai menjarah beberapa dompet yang ia incar. Ia tak ingin salah langkah, kesalahan kecil saja bisa membuatnya dalam masalah. Tapi dia harus segera melarikan diri, sebelum pemilik dompet tersadar, dan ia akan berakhir dengan tragis.
Tiba-tiba kereta berhenti, beberapa orang turun dari kereta secara bergiliran. Pemuda itu pun ikut turun, ia tak mau para korbannya menyadari bahwa dompetnya telah raib. Pemuda itu keluar dari kereta berjalan dengan biasa, seperti tak terjadi apa-apa. Pemuda itu berusaha menutupi perasaannya, mencoba menyembunyikan rasa gugup dalam keramaian.
Sesaat setelah berada di luar kereta api pemuda itu bertemu dengan seseorang yang sangat ia kenal. Seseorang sedang menunggunya, tepat di depan pintu kereta api yang tengah terbuka. Pemuda itu sempat terkejut, ‘”kenapa ada dia, ada kabar penting apa sampai dia yang datang,” batinnya.
Pemuda itu pun menghampiri tamunya, ia memberi isyarat untuk mengikuti langkahnya. Pembawa pesan pun menurut, ia berjalan di samping pemuda itu dan coba lebih dekat dengannya. “Bos, ada masalah,” bisiknya lirih.
“Baik, kumpulkan teman-teman. Kita diskusikan di markas,” balasnya lirih. Tamunya terlebih dulu mempercepat langkah, dan dia menghilang di balik orang-orang yang berlalu-lalang di sana.
Pemuda itu pun ikut menghilang, tak terlihat lagi di balik kerumunan orang yang berdesak-desakan di stasiun kereta. Mungkin ia menepi di suatu tempat, atau mungkin ia telah masuk ke kereta yang lain untuk mencari mangsa. Tapi yang jelas, pemuda itu telah menghilang dengan seketika, musnah tanpa bekas, tak terlihat dalam kerumunan.
***
Pada malam yang gelap dunia hanya di terangi oleh bulan yang setengahnya masih dimakan kegelapan. Di atap gedung tua, enam orang melingkar pada bara api yang dinyalakan. Mereka menunggu kedatangan seseorang, seseorang yang sudah dinantikan kehadirannya. Wajah-wajah itu mencerminkan, bahwa orang ini amatlah penting kedatangannya. Mungkin karena ada masalah, atau mungkin sebuah bencana. Mereka tak bicara apa pun sembari menunggu orang tersebut.
Lalu pemuda yang ditunggu pun tiba dari balik bayangan menuju enam orang tersebut. Pemuda itu adalah, pemuda yang pagi tadi mengambil dompet-dompet penumpang kereta, dan menghilang dalam kerumunan masa. Ternyata inilah orang yang ditunggu oleh keenam orang yang mengelilingi api unggun. Sekarang ia telah datang dan bergabung dengan mereka yang sedari tadi menunggu kedatangannya.
Pemuda itu memandang pada wajah-wajah temannya yang sangat resah. Lalu ia bertanya “Baik, ada masalah apa?” ucapnya tenang.
“Gabriel, dia mulai mengumpulkan pasukan lagi,” jawab seseorang di depannya.
“Benar yang dikatakan Levi Kak, Gabriel mulai membangun pasukan.” Seorang di samping Levi menguatkan, ia adalah orang yang memberi kabar pada si pemuda tadi pagi.
“Gabriel lagi,” ucapnya cukup tenang bagi orang yang dalam masalah. “Apa tak ada hal lain yang bisa ia lakukan?”
“Azazil, mungkin dia ingin mencoba kekuatan kita sekali lagi,” salah seorang berpendapat.
“Ku beri tahu kau satu hal Bail, Gabriel tak akan bertindak tanpa perintah dari Tuannya,” jawab pemuda itu serius.
“Jadi ini sebuah perintah untuk menghancurkan kita lagi?” yang lain seperti terkejut mendengar hal itu.
“Yap, pasti. Perintah-Nya adalah mutlak, dan sekarang kita dalam masalah,” jawab Azazil mantap.
“Ah, sial!!” pekik seseorang dari samping kanan Azazil. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” lanjutnya.
“Apa lagi Asmo, kita harus mempertahankan wilayah ini,” jawab Azazil. “Bagaimana menurut mu Satan?” ia menuju pada orang yang bersandar pada tembok.
Satan membuak mata seraya berkata. “Kita lihat kekuatan mereka, dan kita ukur kekuatan kita, pastinya. Setelah itu kita putuskan,” jawab Satan bijak.
“Kalau begitu, berapa orangmu? Tanya Azazil pada Satan.
“Mungkin sekitar tujuhpuluh orang, bahkan bisa lebih jika kau menginginkan para orang tua juga bergabung di dalamnya,” jawabnya ringan.
“Aku tak memerlukan tulang-tulang keropos dalam pertempuran ini.” ledek Azazil.
“Ayolah, ini situasi genting, dan kalian masih tak bisa serius?!!” tegas Bail yang sedikit terganggu dengan kedua rekannya.
Azazil dan Satan tertawa cekikikan, dan Azazil berkata “Tetap seperti biasanya, kau selalu saja terlalu serius.”
“Bail saudaraku, tak perlu kau cemaskan tentang Gabriel, tak perlu,” ucap Satan menenangkan.
“Tapi tolong serius lah untuk kali ini saja,” pinta Bail. “Em, tolong nasehati mereka!” pinta Bail pada seseorang bertubuh gempal di depannya.
“Ayolah teman-teman, untuk kali ini saja, serius lah kalian berdua!” ucap Em.
Azazil, Satan, Em, dan Bail adalah adalah orang yang dipersatukan oleh keadaan. Mereka sama-sama hidup di jalanan, dan di pertemukan oleh nasib yang sama. Sehingga mereka menjadi saudara, membuat sebuah kelompok sebagai rumah mereka. Mereka berempat menjadi satu dalam suka maupun duka, menjadi satu untuk mencari makan. Hingga membuat kelompok yang mereka bentuk menjadi besar, seperti sekarang. Entah ini hanya kebetulan saja, atau memang mereka sudah digaris kan untuk bertemu. Tapi, inilah mereka sekarang, menjadi kelompok besar yang patut diperhitungkan.
“Levi, berapa jumlah mereka, dan apakah Maikel ikut serta di dalamnya?” tanya Em pada orang bertubuh kurus di depan Azazil.
“Aku tak yakin tentang berapa jumlah mereka, tapi bisa ku pastikan tidak kurang dari tigaratus, Kak Em,” jawab Levi ragu. “Untuk pertanyaan selanjutnya, mungkin Mormo punya jawabannya.” Levi tertunduk lemas.
“Mor??” tatap Em tajam menusuk pada Mormo yang tertunduk pula.
“Mor, apa kau tau siapa saja, dalam pasukan Gabriel?” sergap Azazil.
“Maikel...,” jeda Mor sembari menelan ludah, “Maikel ada dalam pasukan Gabriel, termasuk dua monster kembar, dua penjaga gerbang, tangan besi. Mungkin ada yang lain juga, tapi aku tak yakin kak Az” jawab Mor.
Satan meringis mendengar hal itu “Azazil, sepertinya Gabriel serius kali ini.”
“Ya, sepertinya ada yang diincar oleh mereka. Bersiaplah!!” ucap Azazil dengan nada tinggi. Azazil pun berdiri dan lalu pergi menghilang dibalik kegelapan.
“Persiapkan anak-anak, besok kita berkumpul lagi!!” perintah Satan. Dan mereka pun berpisah, setiap orang menghilang dalam kegelapan dan pergi menemui anak buahnya.
***
Sementara itu ditempat Gabrial, ia sedang membaca buku, dalam ruang gelap yang diterangi hanya dengan lampu baca. Lampu baca itulah yang menjadi satu-satunya penerangan dalam ruang gelap tersebut. Gabriel membaca buku kesayangannya di atas sofa yang nyaman, seperti biasanya. Tiba-tiba, sosok Maikel muncul dari balik kegelapan, menghampiri Gabriel yang sedang duduk dalam cahaya remang.
“Gabriel,” sapa Maikel pada saudaranya, “bisa bicara sebentar” pintanya.
Gabriel berbalik ke arah Maikel “Oh Maik, ada apa kau ke sini saudaraku?” tanya Gabriel lembut.
Maikel mendekat, kini Maikel di depan Gabriel mendekatkan wajahnya seraya berkata lirih “Apa kau yakin dengan keputusanmu?”
“Keputusan yang mana saudaraku?” Gabriel balik bertanya.
“Jangan pura-pura tidak tau, kau tau benar siapa Az, dan kau ingin menyerangnya dengan kekuatan penuh?” ucap Maikel.
Raut wajah Gabriel berubah seketika, ia menatap tajam pada Maikel, Maik pun dibuat salah tingkah. Lalu Gabriel menurunkan pandangannya, beberapa saat ia sempat memejam, mencoba menenagkan emosinya. Semabari mata Gabriel tertuju pada bukunya ia berkata, “Maik, ku beritahu kau satu hal, aku tak pernah punya keputusan. Keputusanku hanya satu, sumpah setia ku pada Tuan,” pungkas Gabriel.
“Jadi Tuan yang memberimu perintah, dengan menurunkan sepuluh orang kepercayaannya?” sergap Maikel.
“Ya!, dan hal itu pula yang sekarang mengganggu ku. Di satu sisi aku bangga bisa mendapat kehormatan ini, tapi di sisi lain bagaimana ku hadapi Azazil, yang sangat ku hormati,” jawab Gabriel.
“Lalu, kenapa kau tak menolaknya. Semua bisa saja dicegah dengan penolakan mu kan?” sergap Maikel.
“Menolak perintah Tuan, menolaknya sama dengan bunuh diri Maik. Jika Tuan sudah mengambil keputusan, maka itu yang akan terjadi, entah itu dengan tanganku atau tangan orang lain. Bahkan bisa jadi itu dengan tanganmu sendiri,” jawab Gabriel sedikit tersenyum.
Maik menutupi mukanya dengan tangan, ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. “Lalu bagaimana dengan Az?”
“Aku yakin Azazil bisa menghadapi ku, aku yakin itu. Dia akan mampu menghadapi ku,” jawab Gabriel menenangkan.
“Gab, apa kau tak ingat bagaimana Azazil membantu kita dulu,” kenang Maikel. “Apa kau tak ingat, bagaimana kita menghadapi masalah bersama. Mengerjakan tugas yang diberikan Tuan pada kita bertiga. Tak pernah ada keraguan dalam hatiku saat itu, semua bisa kita lewati, sebab kita bersama.”
“Maik, yang terpenting dan yang harus kau ingat, itu semua hanya masa lalu. Sekarang kita hidup di zaman yang berbeda.” Gabriel berkeras hati. “Masa lalu biarlah tetap jadi masa lalu, tak perlu kau ingatkan aku tentang itu.”
“Baiklah, jika itu sudah menjadi ketetapan hatimu. Mungkin Az akan tau siapa yang dia hadapi sekarang. Tapi ingat Gab, kau tak pernah bisa menang melawan Azazil yang agung namanya, baik dulu atau pun sekarang. Kau tak pernah bisa mengalahkannya walau dengan bantuanku.” Ucap Maikel sebelum pergi.
“Aku menantikan hal itu,” bisik Gabriel lirih.
***
Hari yang ditunggu telah tiba, Em dan yang lain tengah bersiap untuk menghadapi musuh-musuhnya. Semua sedang mempersiapkan kemungkinan terburuk dari pertempuran ini. Tak ada yang tau pasti mengapa mereka bertarung, mereka hanya menuruti perintah dari para pemimpin mereka masing-masing. Tanpa tau untuk apa nyawa mereka dikorbankan, mereka tetap bersiap dengan senjata-senjata yang mereka bawa.
“Asta, apa kau tau mengapa kita harus bertempur?” dari tengah kerumunan seseorang bertanya pada temannya.
“Aku tak yakin Damb, tapi sejauh yang ku tau, pertarungan hanya untuk satu hal, kekuasaan.” Jawab Asta sembari menyembunyikan pisau di balik jaketnya.
“Apa hanya untuk sebidang tanah, kita diharuskan bertempur?” tanya Damb lagi.
“Mungkin tentang harga diri pula, kebanggaan yang harus dimiliki setiap kelompok,” Satan masuk dalam pembicaraan antara Asta dan Damb.
“Kak Satan!!” Mereka berdua terkejut.
“Mana Belph?!!!, suruh dia menemui ku atau ia akan merasakan kemarahan ku!” Satan pun pergi meninggalkan mereka.
“Jangan bicara sembarangan Damb, jika kau mau selamat,” Asta mengingatkan.
“Hai, kenapa muka kalian muram?” seseorang menepuk bahu meraka berdua.
“Belph,” jawab Asta. “Damb bicara sembarangan, hampir saja kepalaku jadi bola sepak oleh ketua kejam itu,” tambah Asta.
“Hahaha, kita hanya copet jalanan kawan, tak ada hukuman berat bagi pencuri kecil macam kita ini,” kelakar Belph ngawur.
“Iya, aku tau, tapi kau tau sendiri jika Kak Satan sudah marah, bahkan firaun saja kalah kejam,” kata Asta.
“Sudahlah, jangan diteruskan, ketujuh panglima sudah berkumpul, mungkin setelah ini kita berangkat,” ucap Damb. “Belph, kau dicari oleh Kak Satan tadi,” lanjutnya.
“Baiklah, aku ke sana. Sebelum firaun pemarah itu murka. Hahaha.” Belph pun pergi meninggalkan dua karibnya.
***
Sementara di pihak Gabriel, semua pasukan sudah bersiap, persiapan sudah selesai dan tinggal menunggu komando untuk berangkat. Persiapan di kubu Gabriel sangat terperinci, mereka sudah bersiap untuk menghadapi pasukan Azazil dengan seluruh kekuatan. Mustahil jika ini hanyalah sebuah permainan, kedua kubu sudah bersiap untuk bertempur habis-habisan. Mungkin tak akan ada yang selamat.
“Muriel, apa kau yakin dengan keputusan ini?” tanya seseorang pada teman di sebelahnya.
“Mungkin Sariel tau, semua persiapan ini sepertinya sudah menjelaskan apa yang akan terjadi.” Muriel menjawab sembari tetap memperhatikan khotbah Gabrile di depan.
“Kita hanya tukang pukul yang tak tau apa-apa, Muriel. Kita tak pernah tau untuk apa kita bertempur. Kita juga tak tau untuk siapa semua ini,” ucap Sariel lirih.
“Kita hanya bawahan Sariel, jangan kau lupakan itu. Dengar dan turuti saja semuanya,” Muriel menasehati.
“Aku lupa, orang suruhan seperti kita hanya dibuat umpan untuk perebutan wilayah saja,” tanggap Sariel.
Muriel hanya tersenyum hambar mendengar ucapan Sariel. Ia tak mampu berkomentar lebih panjang lagi, mungkin tak bisa, atau tak ingin memperluas pembahasan. Ia kembali mendengarkan khotbah Gabriel tentang keadilan dan kekuasaan. Muriel tak ingin ikut campur dengan segala hal yang ada di atas sana.
Pada saat yang sama, tiga orang sedang berbincang di belakang, mereka duduk bersila, tak mendengarkan khotbah dari Gabriel. Mungkin bosan, mungkin juga sudah muak dengan hal-hal yang selalu dibicarakan Gabriel. Kadang terlalu sering mendengar ucapan yang sama menghadirkan rasa bosan tersendiri bagi pendengarnya.
“Kham, Gabriel berkhotbah omong kosong lagi,” kata seseorang di samping Kham.
“Apa boleh buat, Gabriel sedang membangkitkan semangat anak buahnya Raz,” tanggap Kham.
“Apa kau tak bosan mendengarkanya?” tanya Raz.
“Coba tanya Ron, dia yang dari dulu mendengarkan Gabriel,” ucap Kham mengalihkan.
Ron menatap kosong pada kerumunan orang di depannya, ia seolah memikirkan sesuatu yang tidak disadari oleh teman-temannya. “Hai Raz, apa kau percaya dengan semua ucapan Gabriel?, sepertinya ia sungguh-sungguh. Tapi aku merasa ada yang aneh dengan kata-katanya. Ada rahasia dibalik rahasia dalam perkataannya,” Ron setengah bergumam.
“Haah??” Raz tak mengerti dengan perkataan Ron, begitu pula dengan Kham. Apa sebenarnya maksud Ron?
“Apa maksudmu Ron?, kami tak mengerti,” Kham coba memperjelasnya.
“Kalian berdua tau, kalau Gabriel adalah pemimpin kita, tapi apa yang dia ucapkan seolah ia bukan pemimpin kita,” ucap Ron semakin berteka-teki. “Kalian tau benar bagaimana dulu Gabriel, Maikel, dan Azazil, saat menjadi pemimpin kelompok ini. Tak ada yang berani dengan kelompok ini.”
“Jangan lupakan Beliel,” potong Raz.
“Tapi Beliel tak sehebat mereka bertiga Raz. Beliel hanya bekerja dibalik layar,” sanggah Kham.
“Jangan bicara tentang Beliel, kita tak tau dengan pasti keberadaannya sekarang,” tanggap Ron. “ Kita semua tau, kalau Beliel adalah orang pertama yang keluar dari kelompok ini. Entah karena alasan apa, mungkin karena ia menemukan hal yang ia cari di tempat lain,” Ron berhenti sejenak. “Tapi dibandingkan kepergian Belial, kepergian Azazil lebih menggemparkan. Azazil pergi dengan ancaman akan kembali dan merebut haknya kembali. Aku masih tak mengerti dengan ucapan Azazil, tapi ada sebuah rahasia dibalik itu semua.” Ron menarik nafas panjang, mengenang pertemuan terakhir dengan Azazil.
“Bagaimana kau begitu yakin jika ada rahasia dibalik ini semua Ron?” tanya Raz.
“Ini bukan masalah yakin atau tidak Raz, tapi aku seperti menemukan benang merah dari ucapan Azazil waktu itu, dan ucapan Gabriel saat ini. Ada perasaan tanya yang besar dalam hatiku pada semua kejadian ini,” Ron mengakhiri.
“Apa itu??” tanya Kham.
“Ada yang mengatur semuanya, semua telah direncanakan. Azazil dan Gabriel hanyalah sebuah boneka,” jawab Ron.
“Siapa?” Kham memburu.
Belum sempat Ron menjawab, gemuruh riuh semangat telah berkumandang, menandakan persiapan sudah selesai. Semua pasukan sudah siap berangkat ke medan pertempuran. Mereka mulai berjalan untuk menggempur tempat Azazil di sebelah sungai besar. Mereka tak gentar menghadapi musuh-musuhnya, walau alasan mengapa darah mereka harus tumpah belum jelas.
Ron, Kham, dan Raz pun ikut dalam barisan itu, mereka sudah membawa senjata mereka dan siap untuk segala yang kan terjadi. Mereka berjalan di barisan paling belakang, mungkin hanya sekedar ikut serta, atau akan mengambil bagian pula. Mereka hanya ingin melihat untuk terakhir kalinya pasukan yang digiring ke lembah kematiannya. Terkadang ada rasa kasihan dalam hati mereka, tapi apa boleh buat, ini semua perintah.
***
Gabriel disambut oleh Azazil dan pasukannya, Azazil berada paling depan sebagai pemimpin pasukan. Gabriel tersenyum melihat Azazil yang berdiri tenang menyambut kedatangannya. Gabriel menghentikan langkahnya seraya mengepalkan tangan ke atas, memberi isyarat pada pasukannya untuk berhenti. Gabriel meminta Maikel dan Azriel untuk mendekat padanya, mereka berdiskusi sejenak. Terjadi pertentangan diantara mereka, tapi Maikel dan Azriel mengalah, Gabriel pun meninggalkan mereka. Gabriel melangkah menuju Azazil, dan Azazil juga melangkah maju, menuju Gabriel.
“Gabriel...” ucap Azazil setelah sekian lama tak berjumpa.
“Azazil, bagaimana kabar mu kawan,” tanggap Gabriel dingin.
“Kabar ku baik, sebelum kau bawa seluruh pasukanmu datang ke wilayah kecil ku ini!!” Azazil sedikit menggeram di akhir kalimatnya.
“Kalau kau menyerah sekarang, aku akan tarik mundur seluruh pasukan ku,” usul Gabriel.
“Lebih baik aku mati!!” tanggap Azazil tegas.
“Hanya sedikit saran Az, kau tak mudah untuk mati, dan kau akan terus bertemu denganku. Jika tidak di pertempuran ini, mungkin di pertempuran lain hari,” jawab Gabriel bijak.
“Maka mulailah untuk menggempur ku, dan kau akan lihat seberapa kuat tekatku,” ucap Azazil dingin.
“Baiklah, kita mulai permainan ini,” gayung pun bersambut, Gabriel benar-benar ingin menggempur Azazil.
Gabriel dan Azazil saling membelakangi, berjalan kembali ke pasukan masing-masing. Tapi sebelum sampai pada pasukannya, keduanya berganti serta melirik lawannya dengan segaris senyum. Lalu mereka kembali berjalan menuju pasukannya, Azazil memperingatkan akan ada serangan dari pihak Gabriel. Sementara Gabriel memberikan perintah untuk menggempur musuh yang ada di depan mereka.
Maka pertempuran tak bisa terelakkan lagi, pertempuran pecah, mereka saling serang dengan membabi buta. Tak ada nyawa yang berharga, semua tempat dibanjiri oleh darah yang tumpah. Darah segar tumpah dari kulit-kulit yang terbelah, tersayat, dan terhantam oleh pedang atau pun senjata lain. Semua benar-benar seperti sampah, nyawa yang seharusnya dihargai kini hanya terbuang dengan percuma.
Boleh jadi memang seperti inilah kehidupan, tak pernah ada harga sebuah nyawa bagi para penguasa. Para penguasa hanya peduli dengan wilayah kekuasaan, tak pernah peduli dengan nyawa yang mereka hilangkan. Tak pantas kah sebuah nyawa damai dalam tenang berkepanjangan?, sepertinya tidak. Selalu ada nyawa yang dikorbankan untuk secuil wilayah yang tak ada artinya.
***
Terlihat Satan yang sedang berhadapan dengan beberapa orang, ia memegang tombak trisula kebanggaannya. Satan sedang dalam posisi bertahan menghadapi Ariel, Raphael, Samael, serta beberapa orang pengikutnya. Satan tak bisa berkutik, ia dikelilingi oleh beberapa orang yang kapan saja siap untuk membunuhnya. Satan mampu menahan berapa serangan, tapi ia bisa dijatuhkan oleh Raphael dan diserang secara membabi buta oleh mereka. Satan mampu bertahan beberapa saat, tapi naas, ia kalah jumlah dan harus menyerah oleh serangan bertubi-tubi dari Ariel, Raphael dan Samael.
Di sisi lain Bail sedang berhadapan dengan Zaphiel dan Maikel mereka bertarung habis-habisan. Asmo dan Em sedang menghajar Ron dan Uriel dengan bantuan dari para anak buahnya. Mormo sedang menghadapi Raziel sementara Levi beradu dengan Azriel. Semua sedang mempertahankan keyakinannya, kubu Azazil mempertahankan wilayah yang mereka huni. Sedangkan kubu Gabriel mematuhi perintah pemimpinnya. Semua memiliki alasan dibalik pertempuran hari ini, mereka hanya tidak tau kenapa mereka harus mengorbankan nyawa.
Pertempuran menghilangkan banyak nyawa, menyisakan warna merah di mana-mana. Kedua kubu bertempur habis-habisan, walau tak tau, apa yang menjadi dasar pertempuran yang mereka lakukan. Mereka pun tak pernah tau untuk apa nyawa mereka dikorbankan. Hanya beberapa orang yang mampu mempertahankan nyawa mereka. Sebagian dari mereka telah tumbang dan menjadi korban atas keganasan senjata dari lawannya.
Gabrile menarik mundur pasukannya, hal yang sama juga di lalukan oleh Azazil. Azazil berdiri di depan pasukannya cukup jauh dari Gabriel seraya berkata, “Gabriel!!” teriaknya. “Kita akhiri saja pertempuran ini dengan pertarungan kita!!” tantang Azazil dari kejauhan.
“Aku setuju!!” Gabriel menerima tantangan itu. “Pertarungan ini milik kita, tak perlu melibatkan mereka!!” lanjutnya.
“Agar tak ada lagi nyawa yang sia-sia, kita tentukan dengan kekuatan kita masing-masing!!” imbuh Azazil.
Azazil terdiam sejenak, memandang pedang tipis miliknya, mencoba berkonsentrasi agar semua dapat teratasi. Sementara Gabriel juga tengah bersiap, ia memejamkan mata sejenak, mengingat tujuannya, agar keraguannya hilang. Dan pertarungan mereka dimulai, Gabriel dan Azazil berlari menuju lawannya, dan Gabriel menyerang dahulu dengan tongkat pemukulnya.
Azazil menghindar dengan cepat, menendang rusuk Gabriel dengan telak, tapi tak cukup kuat untuk menjatuhkannya. Gabriel tetap berdiri, menatap tajam pada Azazil, lalu mengayunkan pemukulnya kembali ke arah Azazil. Azazil terus menghindar, ia tak bisa mengendalakan pedangnya untuk menahan pemukul Gabriel. Ia terus menghindar sembari mencari celah untuk membalikkan keadaan.
Sesaat kemudian, celah terbuka, pertahanan Gabriel terbuka lebar, Azazil pun balik menyerang. Azazil menyabetkan pedangnya, berulang kali pada tubuh Gabriel, hingga Gabriel terpojok. Gabriel beberapa kali bisa mengatasi serangan Azazil, tapi naas, Gabriel tak secerdik Azazil, Azazil memberi luka serius pada Gabriel.
Semua mata terpana, dengan aksi kedua pemimpin kelompok ini. Semua tak habis pikir, kedua orang yang mereka hormati, mempunyai kekuatan dan daya tempur yang luar biasa. Mereka bisa melihat kekuatan Gabriel yang luar bisa meski dipenuhi banyak luka. Sedangkan Azazil juga tak bisa diremehkan, meski badannya lebih kecil dari Gabriel, kekuatan dan daya tempurnya tak bisa diremehkan.
Pada pertarungan itu, bisa mereka lihat kekuatan Azazil yang belum pernah ditunjukkan. Demikian pula dengan Gabrile yang menujukan kekuatan yang selama ini ia sembunyikan dari pengikutnya. Keduanya saling jual beli pukulan, tapi tak pernah ada yang menyerah, pertarungan itu sungguh luar biasa, tapi juga sangat mengerikan. Tak ada yang mengalah dari mereka, mereka bertempur habis-habisan, demi membela keyakinan masing-masing.
Akhirnya Azazil bisa menguasai keadaan, ia mampu memojokkan Gabriel hingga tak dapat berbuat apa-apa. Meski Gabriel dapat menahan serangan dari Azazil, tapi Gabriel tak bisa membalasnya. Tubuh Gabriel berkali-kali terkena sabetan pedang tajam milik Azazil. Pedang tajam itu berkali-kali menari ditubuh Gabriel, menyisakan bekas luka, mengucurkan darah segar. Mungkin saat ini sudah waktunya Gabriel kalah, mungkin pasukan Gabriel harus mundur ke markas mereka. Gabriel mundurlah!, tubuhmu sudah penuh dengan luka.
Tapi Gabriel tetap bertahan, ia mempertahankan kepercayaan yang diberikan Tuan atas dirinya. Gabriel terus berjuang, terus mencoba untuk melawan, melawan sengit kekuatan Azazil hingga titik darah penghabisan. Azazil pun meladeninya, tetap pada serangan yang mematikan dan terus menari dnegan pedangnya. Azazil menyerang tanpa jeda, tanpa rasa takut, tanpa kata menyerah.
Tiba-tiba mereka terdiam dalam sisi berhadapan, saling menatap tajam, seperti ada aura saling membunuh dalam tatapnya. Lalu Azazil terganggu oleh sekelebat bayang, bayangan itu jauh di luar jangkauan mereka. Namun Azazil masih mengenali bayangan itu dengan jelas, dan Azazil pun mengerti dengan isyaratnya. Azazil hanya sangat merindukan bayangan itu, bayangan yang selalu ada dalam pikirannya.
“Gab, Beliel sudah di sini,” bisik Azazil lirih pada Gabriel.
Gabriel tersenyum puas, entah ia merasa senang atau merasa tenang, yang jelas Gabriel juga mengerti akan isyarat itu. Sekali lagi Gabriel menyerang Azazil dengan tongkatnya, tak peduli dengan luka yang diderita tak peduli dengan apa. Gabriel menyerang Azazil seperti saat pertama ia menyerangnya beberapa saat lalu, dan serangan itu mengenai kepala Azazil. Azazil tak mampu menghalaunya, lalu pukulan datang bertubi tubi, keadaan pun berbalik. Sorak-sorai dari kubu Gabriel menggema, tak terarah, membuat kubu Azazil makin ketakutan.
Azazil tak mampu lagi melawan, ia dihajar habis-habisan oleh Gabriel dan tongkat pemukulnya. Tanpa belas kasih, sosok Gabriel terus menghujam Azazil dengan pukulan. Pasukan Azazil lari tunggang-langgang melihat pemimpinnya dihajar habis-habisan. Mereka tidak peduli dengan nasib Azazil sebagai pemimpinnya, mereka hanya peduli pada dirinya sendiri. Walau Azazil sudah terkapar mereka lebih memilih pergi meninggalkannya, mungkin sebab sebuah alasan. Mungkin jika mereka memilih membantu Azazil, pasukan Gabriel juga akan ikut campur dalam pertarungan itu. Jika itu terjadi, mereka akan dibantai tanpa sisa, tapi memilih pergi tanpa membantu Azazil, sama halnya dengan mengkhianatinya.
Keadaan Azazil berbalik, ia sekarang menjadi sasaran pukul dari tongkat Gabriel. Azazil sudah tak berdaya, keadaannya lebih parah dari Gabriel, Azazil sudah hampir tumbang. Azazil sudah mulai kehilangan kesadaran, ia terjatuh ke tanah dan tak bisa menahan kesadarannya lagi. Azazil pun hilang kesadaran dipenuhi luka pukulan yang menyakitkan terkapar di tanah.
Gabriel berhenti, berbalik pada pasukannya, mengepalakan tangan ke atas menandakan kemenangan. Tanda itu disambut sorak-sorai dari pasukan Gabriel, kemenangan sudah di tangan mereka. Tapi yang tak pernah mereka tau adalah alasan sebenarnya dibalik kemenangan Gabriel pada pertarungan ini. Gabriel berjalan menuju pasukannya untuk merayakan yang mereka dapatkan.
Gabriel berjalan menuju pasukannya, ia disambut dengan sorak-sorai kemenangan oleh pasukannya. Mereka pun berjalan menuju markasnya kembali, kemenangan ini akan dirayakan dengan sangat meriah. Tapi sebelum mereka meninggalkan tempat itu, Maikel berdiri di depan Gabriel, ia menghentikan langkah Gabriel. “Gabriel, bagaimana dengan Az??”
“Sudahlah Maik,” potong Azriel. “kau tak perlu menunjukkan rasa peduli mu pada sampah itu!” Azriel mengarahkan sabitnya pada Azazil yang terkapar jauh disana.
“Azriel!!” Bentak Gabriel lantang. “Diam kau!!” Gabriel menatap Azriel dengan tatapan ingin membunuhnya. Lalu Gabriel berbisik pada Maikel “Maik percayalah, Azazil baik-baik saja. Sudah saatnya kita pulang,” pungkas Gabriel.
“Tapi..” Maikel menyanggah.
“Suttt!” cegah Gabriel. “Kita pulang, sudah saatnya pulang,” ucap Gabriel mengakhiri.
Maikel hanya bisa menurut, ia pun kembali pulang bersama Gabriel dan pasukannya. Kadang Maikel menoleh ke belakang, memastikan tubuh Azazil masih ada di tempatnya. Sementara Gabriel sudah tak peduli, ia tetap melangkah tanpa mempedulikan Azazil yang terkapar karenanya. Gabriel tetap melangkah ke depan, pandangannya tetap lurus ke depan, dan tak ada yang tau bagaimana perasaannya sekarang.
Sementara Azazil tetap terkapar di sana, menikmati luka yang diberikan musuhnya, atau bisa disebut kawan lama. Tetapi yang jelas ia sudah selesai memainkan perannya dalam pertarungan ini. Kini rintik hujan mengguyur tubuh Azazil, ribuan air yang turun dari langit membasahi tubuh Azazil. Air hujan sedang membersihkan tubuh Azazil yang berlumur darah segar. Hujan sedang membersihkan setiap noda merah dari tubuh saudaranya.
***
Azazil sedang duduk sendiri, memulihkan luka yang ia derita, mencoba berdamai dengan kesendirian. Ia kembali menekuni takdir yang telah ia jalani, jalan hidup yang membuatnya sampai ke sini. Mungkin Azazil sudah rindu dengan kedamaian hati yang dulu telah ia tinggalkan. Tapi Azazil sangat cerdas, ia mengerti dengan apa yang dibutuhkan, walau harus mengorbankan hatinya. Tak pernah ada sesal dalam hatinya saat menjalani takdir ini, semua hanya untuk kebahagiaan orang lain.
Azazil sedang menyendiri, tanpa teman, tanpa pasukan yang dibangun kemarin. Tapi Azazil tak menyalahkan mereka yang lari, baik Satan atau pun Bail. Mereka pati punya pemikiran masing-masing, kapan harus mundur, dan kapan harus maju di depan bersamanya. Walau Azazil harus maju paling depan, tak boleh sekali pun mundur meski telah ditinggalkan oleh teman-temannya.
Tiba-tiba dalam kesunyian itu, Gabriel datang, berjalan mendekat tanpa senjata atau pun pasukan. Gabriel berjalan dengan perlahan, menghampiri saudaranya, sahabat karibnya, Azazil. “Azazil saudaraku, bagaimana kabarmu kawan,” Gabriel memulai percakapan.
“Sedikit memar di sana-sini karena kau pukul tadi, mungkin ada beberapa tulangku yang patah. Tapi selebihnya aku baik-baik saja,” Azazil terkekeh di akhir kalimatnya.
“Kau tetap saja bisa mengolah kata dengan baik seperti dahulu saudaraku. Bahkan meski kau sudah tak berdaya sekali pun, kau masih bisa tersenyum,” tanggap Gabriel sambil tersenyum.
“Bagaimana denganmu saudaraku? Apa lukakmu masih terasa,” tanya Azazil.
“Seperti biasa, luka yang kau buat selalu terasa sakit. Tapi tak apa, aku sudah lebih baik,” jawab Gabriel.
“Azazil tak pernah main-main dengan luka yang dibuatnya,” kelakar Azazil.
“Ah, kesombongan mu mulai muncul Tuan Angkuh,” ledek Gabriel.
Tawa pecah diantara mereka, permusuhan diantara mereka berubah menjadi persaudaraan yang hangat. Gabriel duduk bersama Azazil, berbincang tentang segala hal yang mereka lalui, menceritakan semua pengalaman masing-masing. Tak ada satu hal yang terlewat, kadang mereka tertawa bersama, kadang juga teramat serius dengan satu permasalahan.
“Gabr, bagaimana kabar Tuan? Apakah Ia yang menyuruh mu kemari,” tanya Azazil tiba-tiba.
“Seperti biasanya, Tuan selalu baik, dan benar ia yang menyuruh ku kemari,” jawab Gabriel.
“Aku merindukan-Nya Gab, aku sangat merindukan-Nya, aku rindu berada disamping-Nya,” ucap Azazil.
“Aku juga merindukan mu saudaraku, aku merindukan kebersamaan kita dulu, saat mengabdi pada Tuan, tanpa rasa lelah,” Gabriel pun juga mengungkapkan kerinduannya.
“Oh iya, bagaimana keadaan Maikel? Apa dia baik-baik saja?” Azazil teringat dengan saudaranya yang lain.
“Maikel baik-baik saja saudaraku, tapi ia sedikit bersedih, karena tak bisa membantu mu tadi.” Jawab Gabriel.
“Ingat saudaraku, harus ada yang berkorban menjadi sisi hitam di sebelah cahaya gemilang,” kata Azazil. “Mungkin Maikel sangat bersedih atas diriku, tapi karena ia tak tau yang sebenarnya terjadi. Mungkin Azriel sangat benci padaku, tapi sekali lagi harus kau ingat, itu karena ketidak tahuannya akan perintah dari Tuan.”
“Iya saudaraku,” Gabriel setuju. “Cukup aku, kau, dan Tuan yang tau tentang apa yang sedang kau peran kan.”
“Maka dari itu, kuatkan mereka, agar mereka melawan ku sepenuh hati,” pinta Azazil.
“Pasti saudaraku, Pasti!” jawab Gabriel mantap. “Tapi bagaimana kau menghadapi semua kebencian itu saudaraku?” tanya Gabriel.
“Hanya Tuan yang tau, saudaraku.”
“Bukan tentang itu Az, aku bertanya tentang hatimu. Atau hatimu telah mati ketika berkumpul dengan para iblis jalanan itu?” tanya Gabriel sinis.
“Ah, saudaraku Gabriel, apa kau anggap kesetiaan ku pada Tuan telah hilang ketika aku berkumpul dengan mereka?” Azazil balik bertanya. “Hatiku tetap sama saudaraku. Kesetiaan ku pada Tuan lah yang membuat ku kuat hingga sekarang. Kepatuhan ku atas segala takdir-Nya yang akan menyadarkan ku dalam peran ini,” jawab Azazil. “Kau tau benar saudaraku, diriku tak pernah benar-benar memusuhi Tuan, diriku yang hina ini tak akan pernah bisa sebanding dengan-Nya” ucap Azazil. “Atau kau sendiri yang telah kehilangan hatimu, saudaraku?” pungkas Azazil.
“Astaga!, sepertinya hatiku lah yang mulai melampaui batasanya, saudaraku” Gabriel tersadar.
“Ingatlah Balya saudara kita. Meski dia bukan dari bangsa kita, tapi keteguhan hatinya lebih hebat dari kita,” kata Azazil menasehati. “Hingga ia saat ini ia sangat dekat dengan Tuan. Lalu bagaimana denganmu sendiri, saudaraku?” pungkas Azazil.
“Terima kasih saudaraku, kau telah memperingatkan diriku yang sedang lupa,” jawab Gabriel. “Saudaraku Azazil, waktu yang diberikan kepadaku telah habis, aku harus segera pulang” pungkas Gabriel mengakhiri
“Baiklah, silakan pergi saudaraku, terima kasih telah menjenguk ku. Selamat jalan, dan hati-hati,” Azazil mengucap salam perpisahan.
“Aku pamit saudaraku,” Gabriel memberi salam.
Gabriel pun melangkah pergi, menjauh dari Azazil saudaranya. Gabriel pergi tanpa menoleh ke belakang seperti biasanya.
“Gabriel!!” Suara Azazil menghentikan langkahnya. “Aku titipkan salam rinduku pada Tuan kepadamu, terima kasih telah mempercayai ku sampai saat ini. Tolong sampaikan pula, kerajaan terbesar adalah milik-Nya, aku tak pernah mampu melawan-Nya.” Gabriel hanya tersenyum menatap Azazil, lalu pergi menjauh.
Sekian.
Sismaku@
Malang, 18 Maret 2019
0 Komentar