Pengadilan Tertinggi


Pengadilan Tertinggi

           Suatu masa, ditempat yang jauh di sana, dunia antah berantah yang hanya menyisakan terik matahari belaka. Hidup seorang gembala, gembala kambing yang tak punya apa-apa, hanya berharap sedikit susu untuk dirinya saja. Kadang ia gembalakan kambing dengan benar, kadang ia juga berbuat kesalahan. Kadang ia bisa mengendalikan kambingnya dengan benar, kadang kambingnya lepas dari ikatan merusak pekarangan orang.
“Apa ini kesalahanku?” katanya mencoba membela diri. Apa benar ini salahnya, seorang gembala dengan kekhilafannya. Tentu seorang gembala punya titik luput yang tak ia sangka, tangannya hanya dua begitu pula jumlah kakinya. Ia pun hanya punya dua mata, yang kadang tertutup kadang terbuka pula. Lalu jika ia memiliki kelemahan, apa luput masih tak bisa dimaafkan?
Tentu, sebuah kesalahan tetaplah kesalahan, jika sebuah beban telah disanggupi berarti sudah sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya. Baik secara sadar atau pun tidak, si penggembala harus menggembalakan kambingnya dengan penuh tanggung jawab. Meski yang merusak pekarangan adalah kambingnya, si penggembala lah yang harus menanggung kesalahannya.
Sekarang si penggembala harus bertanggung jawab atas perbuatan kambing-kambingnya. Si penggembala harus menghadapi pengadilan untuk dirinya, dari Mata Hakim Agung. Sebab Pemilik pekarangan meminta pertanggungjawaban dari masalah ini, dan masalah ini sudah dilaporkan pada Pengadilan Tinggi. Si penggembala harus menerimanya, menerima semua dakwaan, menerima tuduhan dari kesalahan tiga kambing yang merusak hidupnya.
Si penggembala tak tau harus berbuat apa. Ia tak bisa lari dari pengadilan Hakim Agung yang telah memanggilnya. Ia harus terima dengan keputusan yang menjadikannya tersangka utama dalam kasus ini. Tapi tidakkah cara untuk meringankan hukumannya, setidaknya apa ia tak bisa lepas dari siksaan sipir penjara.
Si penggembala mulai berfikir, siapakah yang bisa menolongnya dari masalah yang tengah membelenggu. Ia tak bisa berfikir dengan tenang, ia tak bisa berfikir dengan waras, dan dia hampir gila. Lalu teringat olehnya Kakek Tunggal, orang paling tua di daerah tersebut. Ia pun mulai melangkah menuju rumah Kakek Tunggal, berharap Kakek Tunggal dapat menolongnya.
***
“Assalamualaikaum warohmatullahi wabarokatuh,” si penggembala mengucap salam pada Kakek Tunggal, seorang tua yang tengah duduk di depan rumah. “Kek boleh saya bicara sebentar.”
“Waalikumsalam warohmah,” jawab Kakek Tunggal hikmat. “Mari sini duduk dulu nak, coba ceritakan padaku masalah yang sedang kau hadapi.”
“Begini kek, tiga kambing yang saya gembalakan merusak pekarangan orang, dan Pemiliknya menuntut saya di Pengadilan,” kata si penggembala.
“Lalu mengapa kau datang ke sini nak?” tanya Kakek Tunggal.
“Saya ingin minta bantuan kakek, agar meminta pada Hakim Agung meringankan hukuman saya,” jawab si penggembala.
“Jadi kamu ingin meminta bantuan kakek untuk menghadapi Pengadilan Tertinggi Hakim Agung?” si penggembala mengangguk ringan. “Sebelum aku mengiyakan permintaanmu, aku mau menceritakan satu hal. Aku juga pernah melakukan kesalahan, aku juga terkena hukuman oleh Hakim Agung. Mungkin saat itu aku dimaafkan dan diampuni. Tapi untuk kali ini tidak, aku tak bisa membantu mu, kedua putra ku juga melakukan kesalahan yang sama. Maaf nak, kakek tak bisa membantu mu” pungkas Kakek Tunggal.
“Lalu saya harus meminta bantuan kepada siapa kek??” tanya si penggembala mengiba.
“Temui lah Andreas, mungkin ia bisa membantu mu,” saran Kakek Tunggal.
“Baiklah kek, saya akan menemui Kakek Andreas” ucap si penggembala menurut. “Saya mohindiri. Assalamualaikum warahmuatullahi wabarokatuh.”
“Waalaikum salam warohmah.” Balas Kakek Tunggal.
Si penggembala mulai melangkah, menjauh dari rumah Kakek Tunggal yang tak memberinya solusi. Ia berniat untuk menemui Kakek Andreas yang entah di mana tinggalnya. Entah ia sudah ditelan bumi, atau berkelana di atas mega-mega yang berarakan. Tak ada satu petunjuk tentang Kakek Andreas, mungkin dia telah meninggalkan daerah dan juga keluarganya.
Kekalutan terpancar dari raut muka si penggembala, harus kemanakah ia meminta pertolongan, siapa yang bisa membantunya sekarang. Di manakah Andreas yang sedang ia cari, apakah ia memang ada, lalu kenapa ia tak bisa menemukannya. Jika Andreas tidak ada, siapa lagi yang harus ia minta bantuan. Semua asumsi itu membuat si penggembala sakit kepala, serasa matahari membakar isi kepalanya. Panas dari matahari membuat otaknya mendidih seketika.
Dalam kekalutan itu, si penggembala mendapati seorang tua yang berjanggut putih. Janggutnya memanjang hingga sampai pusar, rambutnya juga memanjang hingga bahu dan berwarna putih pula. Sang tua berdiri di sebelah bahtera raksasa yang sudah siap berlayar, mungkin ia akan berlayar dan sedang menunggu penumpangnya. Tanpa pikir panjang si penggembala mendekati kakek tua itu, mungkin ia adalah Kakek Andreas yang selama ini ia cari.
“Permisi Kek, apakah anda yang bernama Kakek Andreas?” Tanya si penggembala.
Dengan tersenyum sang tua menjawab. “Bukan nak, aku Norman, Andreas adalah kakek buyut ku.”
“Ah, tak apa,” pikir si penggembala, “bila tak bisa bertemu dengan kakek Andreas, mungkin keturunannya bisa membantu ku.”
“Kek, apakah kakek bisa membantu saya? tanya si penggembala.
“Bila ku bisa, akan ku bantu semampu ku. Tapi maaf nak, si tua Norman juga memiliki masalah yang tak bisa ia selesaikan sendiri.” Jawabnya. “Si tua Norman ini sedang menunggu putranya, putra satu-satunya, putra kesayangan Norman yang tersesat di gunung-gunung tinggi sebelah sana,” Kakek Norman menangis tersedu-sedu. “Dia anakku, anakku satu-satunya, anak si tua Norman yang telah lapuk dimakan usia, anak kesayanganku,” ratap Kakek Norman. Tangisnya semakin menjadi, airmatanya tumpah membasahi pipi dan jangutnya yang putih.
Si penggembala tak dapat berbuat apa-apa, ia tak bisa ikut menangis, ataupun mencari putra Norman yang tersesat. Akhirnya si penggembala meninggalkan si tua Norman yang makin menjadi tangisnya. Si penggembala pun melangkahkan kaki melanjutkan perjalanannya.
***
Dalam perjalanan ini si penggembala dilanda gundah, ia belum menemukan orang yang bisa menolongnya untuk menghadapi pengadilan. Entah apa yang harus ia lakukan, apa ia harus melarikan diri dari pengadilan, tapi ke mana ia harus melarikan diri. Mungkinkah ada tempat yang dapat menyembunyikannya. Apa di dunia ini ada bangunan megah yang bisa menjadi tempat persembunyian untuk selama-lamanya. Andai saja ada unta betina yang bisa diperas setiap pagi susunya.
Lalu si penggembala tersadar dari khayalannya, tak mungkin ada tempat yang bisa menyembunyikannya dari Hakim Agung. Tak ada yang luput dari kejaran Hakim Agung, tak pernah ada. Semua yang ia pikirkan hanya khayalan semu dalam dunia. Tak pernah ada kepastian yang dirangkai oleh khayalan-khayalan semu di dunia ini.
Saat ia menyingkirkan semua khayalan itu, si penggembala melihat seseorang. Lelaki itu tak terlalu tua, ia juga tak terlalu muda. Si penggembala melihat lelaki itu sedang berdiri di depan reruntuhan sebuah kota yang sudah tak berbentuk lagi. Entah terkena apa, mungkin gempa atau gunung meletus, mungkin pula keduanya, yang pasti kota itu luluh lantak tak tersisa. Si penggembala pun menghampirinya, mungkin sekedar menyapa, atau mungkin bisa meminta bantuan pula.
“Assalamualaikum.” Sapanya pada lelaki yang sedang memandang kota yang telah luluh lantak diamuk kuasa alam.
“Waalaikumsalam.” Jawab orang itu.
“Apakah yang terjadi pada kota ini Tuan?” tanya si penggembala.
“Kota ini telah hancur oleh sebuah bencana,” jawabnya singkat.
“Kalau boleh tau, bencana apa yang melanda kota ini?, hingga kota ini luluh lantak tak bersisa,” si penggembala ingin tau lebih jelas.
“Kota ini telah dilaknat karena kebiadaban penduduknya. Kota yang sangat indah ini telah diluluhlantakkan dengan gelombang dahsyat dari tanah yang tak suka dengan kebiadaban penghuninya. Mungkin gunung di sebelah sana juga merasakan hal yang serupa, hingga memuntahkan batu-batu besar yang menghancurkan rumah-rumah penduduk. Kota ini telah musnah, hilang dari peradaban sebagai kota terkutuk, karena bencana yang dahsyat. Padahal kota ini, dulunya adalah pusat dari peradaban, kota dengan karya serta dan ilmu pengetahuan, kota yang makmur serta berkecukupan. Sekarang kota ini telah musnah, hilang ditelan bencana mengerikan.” Lelaki itu bercerita, seolah ia benar-benar merasakan bencana yang terjadi.
“Lalu bagaimana Tuan bisa selamat?” tanya si penggembala penasaran.
“Mungkin karena izin Tuhan, lewat berita yang disampaikan oleh saudaraku,” jawab lelaki itu masih dengan nada yang sama.
Lalu si penggembala berfikir, mungkin saudara orang ini bisa membantunya. Si penggembala menimbang-nimbang dalam hatinya, jika lelaki ini bisa selamat dari bencana maha dasyat yang menimpa kotanya, mungkin ia pun bisa selamat pula dari Pengadilan. “Tuan, di manakah saudara Tuan itu?, saya ingin menemuinya.”
“Kau ikuti saja jalan lurus ini, dan kau akan bertemu dengannya. Saudaraku bernama Abraham,” jawab lelaki itu.
“Terima kasih Tuan, Assalamualaikum” tanpa pikir panjang si penggembala pergi. Cepat langkahnya tak terhentikan, ia merasa akan menemukan sesuatu yang selama ini ia cari. Meski belum bertemu dengan nyatanya, ia tetap berjalan lurus seperti yang ditunjukkan oleh lelaki tadi. Tak ada keraguan dalam hatinya, ia yakin kali ini akan berjumpa dengan harapannya.
Hingga di dalam jalan yang lurus itu si penggembala berjumpa dengan seorang pria. Apakah itu Tuan Abraham, atau orang lain yang hanya akan dilewati. Ah, apakah yang ia pikirkan, tak perlu banyak berfikir dalam masalah ini, lalukan semampunya dan kebenaran akan datang mengikutinya.
“Assalamualaikum, apakah benar Tuan yang bernama Abraham?” tanya si penggembala, sopan.
“Waalaikumsalam,” pria itu menyambut tamunya dengan antusias. “Benar, saya Abraham, mari masuk ke rumah kecil saya.” Lelaki itu mengajak si penggembala ke dalam rumah sederhananya. “Silakan duduk penggembala, istirahatlah, kau telah melewati perjalanan yang cukup jauh hingga ke tempat ini.”
“Tuan saya tidak butuh tempat untuk istirahat, saya juga tidak ada waktu untuk merebahkan badan saya. Saya hanya butuh pertolongan tuan kali ini. Sudikah Tuan membantu saya mengatasi masalah yang tengah membelenggu tangan ini,” kata si penggembala.
Lalu Tuan Abraham menjawab “Penggembala yang arif, dirimu itu lelah, tubuhmu penat oleh perjalanan yang melelahkan. Marilah istirahat sejenak saja, minumlah air ini untuk menghilangkan dahaga.” Tuan Abraham menyodorkan secangkir air. “Jika aku mempunyai hidangan yang lebih dari ini, akan ku suguhkan untukmu. Jika ada putra yang bisa ku sembelih pun, akan ku sembelih untuk ku hidangkan padamu. Tapi aku tak punya apa-apa, aku hanya punya air ini untuk menghilangkan dahaga mu.”
“Tak perlu engkau lakukan itu Tuan, air ini pun sudah lebih dari cukup untukku. Sebenarnya kedatangan saya ke sini hanya untuk meminta bantuan dari dari Tuan atas masalah yang saya hadapi.” Keluh si penggembala.
“Cukup, tak perlu kau teruskan lagi penggembala arif. Aku sudah tau benar apa masalah mu” sergap Tuan Abraham. “Tapi maaf, hanya air ini yang bisa ku berikan, aku tak memiliki kuasa untuk membantu permasalahan mu” jawabnya.
Si penggembala merasa kecewa, kembali ia tak menemui solusi atas masalahnya. “Baiklah Tuan, maaf telah membuat anda turut campur dalam masalah saya” si penggembala menandaskan air minum yang disuguhkan. Sebelum pamit, si penggembala miminta saran kepada Tuan Abraham. “Tuan, sudikah Tuan memberi saya petunjuk, harus ke mana langkah kaki ini untuk meminta bantuan.”
“Arah yang harus kau tempuh adalah, arah yang sama seperti arah yang ditunjukkan oleh saudaraku. Tetaplah pada jalan itu, dan dirimu akan menemui jalan keluar dari masalah mu,” jawab Tuan Abraham.
***
Si penggembala pun pamit, lalu berjalan menuju arah yang telah ditunjukkan oleh Tuan Abraham. Si penggembala tetap berjalan lurus seperti yang telah dipesankan oleh Tuan Abraham. Ia percaya jalan lurus ini, kan membawa pada tujuannya. Ia tak peduli dengan jalan lain yang ditempuh oleh orang-orang yang berpapasan dengannya. Si penggembala meyakini akan jalan yang telah ditunjukkan oleh Tuan Abraham dan beberapa orang sebelumnya, meski terkadang ia harus berpapasan dengan orang yang berlawanan arah dengannya.
Hingga ia sampai di sebuah pasar dengan berbagai macam orang dengan bermacam latar belakang. Ia sempat ragu memasuki pasar itu, tapi keraguan itu hilang saat ia melihat seorang kakek buta yang duduk di depan pasar. Ia pun mendekat, menghampiri kakek buat, sekedar bertanya serta menghilangkan keraguannya.
Assalamualaikum Tuan, beloh saya tau nama pasar ini?” si penggembala mengawali.
“Waalaikusalam, ini pasar malam nak.” Kakek buat itu menjawab lirih.
“Tapi ini saiang Tuan.” Si penggembala mendebat.
“Tapi pasar ini bernama pasar malam nak, sebab cahaya mataku telah diambil oleh malam yang menyedihkan. Seluruh hidupku telah dipasung oleh malam-malam dengan lolongan serigala....”
Penggembala pun pergi, ia tak ingin lagi mendengar keluh si kakek buta. Ia tak ingin merasakan kesedihan yang dialami kakek buta, sebab ia tak menginginkannya. Si penggembala terus berjalan, menyusuri pasar, mencoba mencari orang yang bisa dimintai tolong. Beberapa orang istimewa sempat ia jumpai. Ada seorang lelaki tampan bertubuh kekar dan sangat gagah, tapi si penggembala tak yakin orang ini dapat membantunya, sebab ia di penjara. Ia juga bertemu dengan seorang lelaki kekar yang lain, berpenampilan tegas serta membawa tongkat.
Si penggembala mendekati orang yang membawa tongkat itu, tapi sayang ia dihadang berpuluh ular yang mengelilingi tempat lelaki itu berdiri. Ia tak berani berdiri lebih dekat lagi, sebab ular-ular itu adalah jenis ular yang ganas. Si penggembala hanya mampu mendekat sebatas sepuluh langkah, dari lelaki tersebut. “Tuan, dapatkah  anda membantu saya?!!” si penggembala berseru di luar kerumunan ular.
Lelaki itu pun menjawab, “Maaf penggembala, aku juga dihadapkan dengan masalah!!”
“Kalau para ular ini yang menjadi masalah mu, aku bisa menyingkirkannya Tuan!!” Kata si penggembala dengan nada yang sama.
“Bukan penggembala, para ular ini bukan masalah ku. Masalah ku adalah kedua saudaraku yang terus berseteru, dan aku tak bisa mendamaikan!” Jawab lelaki itu. “Padahal mereka adalah titipan dari kakek buyut ku, mereka adalah titipan yang harus ku jaga keturunannya. Tapi aku tak bisa mendamaikan mereka, maka ku kurung diriku sendiri dalam kerumunan ular-ular ini.” Ratapnya, putus asa.
“Biaklah Tuan, maaf telah mengganggu penebusan mu.” Si penggembala melangkah pergi dengan rasa kecewa.
***
Sekali lagi si penggembala harus merasa kecewa, ia tak menemukan orang yang bisa menolongnya. Ia kembali menyusuri jalan, mencoba mencari jalan untuk keluar dari masalahnya. Lalu ia mendapati seorang lelaki dengan jubah dan perhiasan yang luar biasa indah. Perhiasan itu adalah perhiasan seorang raja, yang tak mungkin dimiliki rakyat biasa. Si penggembala pun mencoba meminta bantuan “Tuan, sudikah Tuan membantu saya.”
“Maaf penggembala, mungkin aku terlihat seperti orang yang berkuasa. Tapi semua yang ku miliki hanya sebuah titipan, aku bukan orang hebat seperti yang engkau pikirkan. Maka dari itu , aku tak bisa membantu permasalahan mu, sebab diriku tak memiliki kuasa. Aku minta maaf, ku tolak permintaanmu sebelum kau berharap padaku lebih jauh,” tolak lelaki tersebut.
“Baiklah Tuan, aku pamit, Assalamualaikum.” Si penggembala pamit.
Hampir putus asa si gembala mencari bantuan. Mungkin memang tak ada jalan untuknya menyelesaikan masalah, mungkin tak ada jalan untuknya, mungkin dia yang benar-benar bersalah. Meski kambing-kambing gembalaannya lah yang berbuat, tapi dialah yang berkuasa, maka dialah yang bertanggung jawab. Mungkin dialah yang sengaja membiarkan kambing-kambing itu lepas, dan merusak pekarangan tetangganya. Mungkin tuduhan itu benar, ia memang bersalah, dan ia harus siap menghadapi semuanya.
***
Tiba-tiba ada dua orang lelaki tampan yang mendekatinya, mungkin tak terlalu tampan seperti lelaki yang terkurung tadi, tapi memang cukup tampan. Si penggembala tak tau, ia sedang duduk di atas tanah serta menundukkan kepalanya. Si penggembala sedang memandang tanah di bawahnya, dan merenungi nasib yang tak bisa terelakkan. Hingga ia sadar ada dua orang di depannya, sebab matahari tertutup oleh badan kedua lelaki itu dan tak sampai pada si penggembala.
Si penggembala hanya terdiam, memandang ke atas, memandangi dua orang lelaki tampan yang mengenakan baju serba putih. Sekilas mereka mirip, mungkin bisa dikatakan kembar, tapi masih ada garis tegas yang membedakan kedua lelaki ini. Jadi, kemungkinan mereka hanyalah saudara jauh yang kebetulan mempunyai umur serta perawakan yang sama.
“Wahai penggembala yang arif, kenapa engkau seperti orang papa yang putus asa?” salah satu dari lelaki itu bertanya lembut.
“Bagaimana ku tak putus asa, semua orang yang ku temui tak bisa membantu ku.” Ungkap si penggembala bernada pilu.
“Apa masalah yang membantu mu sampai begini, wahai penggembala yang arif.” Lelaki yang lain bertanya pula.
“Kambing gembalaan ku merusak pekarangan orang lain, dan aku diminta mempertanggung jawabkannya di depan Hakim Agung.” Masih dengan nada yang sama.
“Maaf penggembala, kami memang tak bisa menyelesaikan masalah mu,” kata lelaki pertama. “Tapi coba dengarkan nasehat kami. Ketika kau sudah berusaha tetapi berhasil, ingatlah pertolongan akan selalu datang dari arah mana saja. Asal kau tetap berjalan di jalan yang lurus seperti yang telah kau lakukan sebelumnya.” dan mereka pun pergi meninggalkan si penggembala.
Si penggembala hanya duduk terdiam, ia tak mengerti dengan maksud dari dua lelaki itu. Mungkin karena terlalu penat, atau sudah tak memiliki kesadaran dirinya sendiri. Memang sudah saatnya dia menyerah, dan mungkin saatnya untuk pulang dan beristirahat. Mungkin karena putus asa, atau karena tak ada jalan keluar dari permasalahannya, ah penggembala, sudah saatnya kau menyerah.
Tapi sebelum sempat kakinya melangkah pulang, tiba-tiba dari sudut pasar ada seorang yang memanggilnya. “Penggembala...!!, tunggu!” teriaknya dari kejauhan. “Bisa kah kau kemari sejenak??!!” pinta lelaki itu.
Si penggembala pun menghampiri lelaki di sudut pasar tersebut. Ia mendekat, lebih mendekat untuk memastikan siapa orang yang menghentikan langkahnya menuju rumah. Ia mendapati seorang lelaki yang cukup muda, mungkin seumuran dengannya, sedang bersama perempuan yang lebih tua darinya. Ia terpaku sejenak menatap wajah sang pemuda ini, ada desir halus masuk dalam hati dan kedamaian pun tercipta. “Assalamualaika,” ucap si penggembala.
“Waalaika ya penggembala arif, apa kau ingin menjual kambing-kambing mu padaku?” tanya pemuda itu. “Aku ingin membelinya, berapa pun harganya akan ku bayar.”
“Sebenarnya aku tidak ingin menjual kambing-kambing ku, karena mereka sangat buruk dan tak layak untuk dijual kepada anda Tuan. Terlebih lagi kambing-kambing itu sedang menjerat ku dalam masalah. Singkatnya kambing yang ku gembalakan tidak lah patut untuk dijual,” jawab si penggembala.
“Aku ingin membeli kambing-kambing itu meski tak baik rupanya.” Pemuda itu tetap kukuh ingin membeli kambing-kambing si penggembala.
“Tapi aku tidak membawa kambing-kambing itu sekarang, dan kambing-kambing itu bukan milikku sendiri.” Kata si penggembala.
“Pulanglah!, ambil kambing-kambing itu, dan jual lah padaku. Bilang pada pemiliknya aku yang membeli kambing-kambing itu, dan aku membelinya dengan masalah-masalah yang ditimbulkan. Kambing-kambing itu menjadi tanggung jawabku seutuhnya,” kata sang Pemuda.
“Tapi...”
“Tidak ada tapi,  semua kambing mu, ku beli, termasuk kambing berbulu putih bersih milikmu,” ucap sang Pemuda meyakinkan.
“Baiklah Taun, jika itu yang engkau inginkan, ku pasrahkan semuanya kepadamu.” Hati si penggembala gembira karena telah terbebas dari Pengadilan Hakim Agung. Ia pun pulang untuk mengambil kambing-kambingnya untuk dijual pada pemuda itu.
“Penggembala, tetaplah pada jalan yang lurus saat kau datang kemari lagi!” pesan sang Pemuda pada penggembala.
Si penggembala mengangguk patuh, ia berjalan dengan hati penuh suka cita, karena kambingnya akan dibeli dengan semua masalah yang ditimbulkan. Perasaannya lega, karena ia tak perlu menghadapi hukuman dari Hakim Agung walaupun ia harus kehilangan kambing putih kesayangannya. Tetapi ia tetap mengambil semua kambing itu, berbicara pada pemiliknya dan berjalan di jalan yang lurus menuju sang Pemuda yang akan membeli kambing-kambingnya.
Sekian

Sismaku@
Malang, 1 Maret 2019

Posting Komentar

0 Komentar