Seventeen, adalah usia di mana semua anak remaja ingin diakui dalam masyarakat. Dimana anak itu ingin segala yang dalam hatinya terwujud dalam kehidupan nyata, serta tercapai dengan manis, Tapi banyak jugs yang menempuh jalan tak baik. Meski setiap usaha mereka pasti ingin hasil yang terbaik untuk dirinya. Apa yang di ingini pasti akan diperjungkan.
Tapi berbeda dengan seorang anak, dia tak mau memperjuangkan apa pun yang dia mau dan lebih memilih diam, serta menurut pada orang tuanya. Dia tak mau terlibat masalah apa pun, hanya ingin tenang dalam setiap langkah hidupnya, Dia begitu santai dalam hidupnya.
Sampai ia jatuh cinta, memang dia sudah banyak jatuh cinta, tapi yang satu ini berbeda, Seseorang yang ia cintai tak lain adalah adik kelasnya di sekolah menengah pertama dulu. Tapi dia tak berani tuk nyatakan cintanya, awal kisah dimulai saat sebelum liburan kenaikan kelas tiba.
Saat itu hubungan gadis yang ia cintai telah berakhir, dia coba mendekati si gadis untuk tau, bagaimana perasaan si gadis. Tapi sebelum ditanyakan, sudah ada orang yang bersama si gadis, menemani setiap langkah, dan berikan si gadis kasih sayang.
Belum sempat ia ungkapkan maksudnya, anak itu pergi berlalu tanpa hasil apa-apa. Dia menangis dalam hati, ia memendam sakit perih dalam hati, tanpa orang di sekitarnya, tanpa siapa, tanpa orang yang tau bahwa ia sedang berada dalam kekalutan. Di setiap malam ia yang sakit hatinya, di setiap malam yang penuh dengan kesedihan, ia merenung, tanpa tau harus berbuat apa. Apa yang harus ia lakukan setelah ini, pikirkannya hanya tertuju pada cara untuk melupakan gadis cantik yang selalu ada dalam ingatan.
Satu saat anak itu berfikir tuk pergi, meninggalkan kenangan, membawa luka bersamanya, berharap sembuh dari luka hatinya. Tapi orangtuanya tak mengizinkan, ia tak boleh pergi jauh dari rumah, ia boleh keluar setelah lulus sekolah. Dan itu sangat mempengaruhi batinnya, dia kan tersiksa dalam lembaran history hidup yang menyakitkan, tersiksa dengan semua hal yang terulang dalam kenangan.
Kadang ia bertanya, pada yang memberinya kehidupan. Dengan sebuah alunan kata, "oh Sang Pencipta kehidupan, bila ini yang terbaik untuk ku, akan ku menjalani sampai engkau kabulkan permohonan ku." Sepenggal pertama. "Pencipta ku, aku memohon kepada-Mu, jagalah orang yang ku sayang dari segala mara bahaya, permudah dia tuk mengapai cita-citanya, berikan suatu yang terbaik untuknya. Tolonglah aku, Hamba-Mu yang selalu mengecewakan-Mu, Hamba yang penuh dosa, hamba-Mu yang lemah di hadapan dunia. amin......" ucapnya dalam doa.
Dia yang tak bisa berbuat apa-apa, dia yang terus dihantui rasa sakit, dia yang terhampar sendiri. Sekarang yang bisa ia lakukan hanya menunggu, menunggu, dan menunggu, selama ia keinginannya belum terwujud.
Seperti orang yang tak punya tujuan hidup, setiap hari ia hanya tersiksa dengan perasaannya sendiri. Seperti guru menguji siswanya, Tuhan pun demikian, Tuhan menguji keteguhannya dengan menarik-ulur perasaannya pada gadis pujaan.
Seperti orang yang tak punya tujuan hidup, setiap hari ia hanya tersiksa dengan perasaannya sendiri. Seperti guru menguji siswanya, Tuhan pun demikian, Tuhan menguji keteguhannya dengan menarik-ulur perasaannya pada gadis pujaan.
Ia tak mengerti harus bagaimana menghadapi semunya. Setiap dekat dengan gadis pujaan, jantungnya tak henti berdebar kencang, seolah tak ada gadis lain yang menarik hatinya. Ia tak tau harus berbuat apa, dia hanya pasrah, dia selalu menghindar, walaupun hatinya menolak. Dan kalian tau, betapa tersiksanya menghindar dari orang yang benar-benar kalian sayang, hal itu lebih menyiksa dari hukuman apa pun.
Suatu hari ia yakinkan hatinya untuk ungkapkan perasaannya sekali lagi, perasaan yang terus menyiksanya, perasaan yang tak dapat dibendung. Kepada gadis pujaan, dengan seluruh keberanian yang ia punya, ia ungkapkan segala isi hatinya, sekali lagi. Berharap kali ini perasaannya akan terbalas, berharap rasanya akan sampai pada sang gadis pujaan. Mungkin bisa dibilang kebodohan, mengulang pertanyaan yang sama dengan hasil yang sama. Tapi tak bisa ia pungkiri, rasa yang ia pendam sudah tak terbendung lagi, tak dapat tertahan lagi.
Dengan harap tinggi ia ungkapkan perasaannya "Dek selama ini, aku masih memendam sebuah rasa, yang dahulu pernah ku ungkapkan padamu, aku tak bisa menghapusnya, rasa ini tetap ada dan selalu ada dalam lubuk hati yang terdalam. Berat memang memendamnya sendiri, dan sangat berat tuk ucapkan sayang kepadamu kamu. Begitu susah payah hati ini mengumpulkan keberanian untuk menemui mu kembali."
Sang gadis menjawab. "Iya." hanya satu kata, dan tak lebih
Ia kembali berkata. "Apakah cuma kata ‘iya’ jawabanmu??” ia menunggu jawaban lain. “Baiklah, ku ulang pertanyaan 10 bulan lalu, apakah kamu mau jadi pacar ku ?" debar hati tak berhenti ketika ia menyelesaikan kalimatnya. Ia di ambang batas antara bahagia dan gundah. Hatinya terus bertanya ‘sudah benarkah yang aku lakukan?’.
Sang gadis menjawab "Maaf kak, aku masih nggak mau pacaran dulu. Aku masih trauma dengan yang kemarin."
Kembali ia terluka, mungkin bukan dengan kata yang sama. Tapi rasanya tak berubah. Dan keikhlasan harus kembali harus ia tunjukan. "Baiklah kalau dirimu masih tak bisa, tapi bolehkah aku tetap jadi kakak yang menyayangi mu."
Sang gadis malah mengajukan pertanyaan "Kenapa sih kak, kamu cinta banget sama aku, sedangkan orang lain itu benci sama aku."
" Kepribadian mu yang membuat ku jatuh hati, dan aku nggak tau siapa orang yang kamu maksud.” tanpa si gadis sadar kata orang itu sangat menyakiti hatinya.
Lalu ia bertanya kembali dengan maksud yang berbeda sang gadis "Dek apa kamu sayang sama aku walau bukan sebagai pacar?"
Sang gadis menjawab "Maaf kak aku masih tak bisa sayang sama kakak"
"Ya udah dek makasih atas semua jawabannya, dan berarti nggak ada yang harus ku pertahankan." Ia pun berlalu meninggalkan sang gadis pujaan.
Dari tempatnya duduk sang gadis menjawab "Kak!!, mean kan tetap jadi kakakku kok!"
Ia memalingkan muka serta mengangguk " Iya, dek aku ngerti." Senyum tipis menghiasi bibirnya.
***
Setelah hari itu dia sadar dia harus pergi, karena sudah tak ada yang memberatkan untuk meninggalkan semuanya. sebelum pergi dia coba bahagiakan gadis yang sangat dicintainya, sampai luka sang gadis berkurang.
Berapa bulan setelah itu, dia berpamitan pada seorang sahabat yang selalu jadi tempat curhatannya. "Meg aku pergi, tolong jaga dia."
Mega bertanya "Kenapa masih mikirin tentang dia, belum tentu dia mikirin kamu saat ini?"
Dia hanya menjawab "Dia adalah orang yang selalu hadir saat aku benar-benar tak punya semangat untuk hidup, dia adalah gadis pertama, mungkin yang terakhir, yang bisa getarkan hatiku, membuat jantung ku berdebar lebih cepat saat dia tatap mataku."
Mega hanya terdiam tak berani berkata apa pun.
"Aku berangkat, sampaikan salamku pada teman-teman." Kalimat terakhirnya.
Mega menjawab "Oke, semoga sukses." Seulas senyum dari Mega mengantarkan pergi naik bus.
Segaris senyum tergembar pada wajahnya menanggapi ucapan sahabatnya. Dengan berat hati, ia tinggalkan kota yang disayangi, tuk lupakan luka, untuk pergi berpindah ke suasana baru, untuk pergi dari masa lalu. Mungkin itu tindakan pengecut, tapi tak pernah ada orang pengecut yang berani mengambil resiko besar sebelum pergi, dan ia melakukan itu, mengakui cintanya.
SELESAI
Sismaku@
Jember, 24 April 2012
0 Komentar