Meremuk


Meremuk
            Besok sudah awal puasa, terhitung sudah dua puasa, hari pertama aku tak bersama dengan keluarga. Pilu memang kedengarannya, tak bisa merayakan hari besar ini dengan keluarga di rumah. Sementara orang lain bisa dengan leluasa pulang tanpa harus memikirkan biaya untuk akomodasi. Aku yang hanya bisa hidup sendiri disini tak bisa merasakan kebahagiaan yang didapat ketika hari pertama puasa dengan keluarga. Jujur aku sangat rindu dengan rumah, setiap saat terkenang di ingatan  ku. Aku juga rindu akan masakan ibu yang selalu membuat rasa lapar ku hilang seketika. Bahkan aku mencium aromanya ketika di sini, mungkin karena rindu, atau mungkin karena aku yang kelaparan. Entahlah yang jelas saat ini aku sangat merindukan rumah, dan segala tentangnya.
Aku baru sadar ternyata hidup di rantau tak semudah apa yang aku bayangkan. Dulu aku selalu ingin keluar dari rumah, berharap menjauh dari kedua orang tau dan keluarga, serta hidup mandiri dengan tanganku sendiri. Semua  itu, memang sangat mudah ketika dibayangkan, tapi tak semudah itu dilakukan. Aku harus menghadapi beribu masalah, termasuk rasa lapar dan orang-orang menjengkelkan. Aku masih saja tak bisa berdamai dengan perut yang terus merasa lapar, seolah hanya rasa lapar yang harus ku taklukkan.
Aku pun juga mulai merindukan rumah, merindukan semua orang yang ada dalam rumah. Aku merindukan ayah yang sangat menyayangi ku, aku merindukan ibu yang selalu berjuang untukku, dan aku merindukan saudara-saudaraku yang kadang membuat ku kesal. Aku merindukan mereka, yang sekarang tak lagi bisa ku tatap dengan mata. Aku hanya ingin berada di samping mereka, merasakan kehangatan keluarga, sebagai seorang yang masih memiliki keluarga. Tapi aku hanya bisa memandang foto mereka, membayangkan kehangatan itu memeluk ku dalam dingin malam di perantauan. Aku rindu akan kehangatan itu, aku merindukannya sama dengan aku merindukan pertengkaran diantara kami bersaudara.
Aku merindukan pertengkaran kami, pertengkaran kecil yang selalu terjadi pada setiap keluarga. Pertengkaran kecil yang mewarnai cerita keluarga kecil dalam kehidupan. Walaupun pertengkaran itu memberikan dampak besar ketika ada yang merasa terganggu. Tapi hal itu yang semakin membuat ku rindu dengan keluarga kecil ku, keluarga yang terus ada ketika aku berdiri maupun saat aku jatuh. Keluargaku yang sangat ku rindukan, berada jauh dari tempatku berdiri menghadapi dunia. Saat ini, aku seperti orang sendiri, tak punya siapapun untuk ku ajak bicara, bahkan aku tak sanggup untuk menentukan jalan ku sendiri.
Di sini aku memang sendiri, sudah tak ada lagi yang peduli, apakah aku sudah makan atau belum. Mereka tak pernah peduli dengan keadaan ku yang berteman dengan sepi. Sepi merayap pada setiap sudut kamar, menghantui ku, bagai malam yang kelam tanpa bintang, tak bersinar. Dan aku hanya duduk sendiri memandang dinding kosong yang hitam menunggu keajaiban.
Harapan yang dulu sangat ku banggakan, bersinar bagi surya mata dari kehidupan, telah hilang ditelan malam kelam. Siapa pun tak ada yang bisa ku tatap, semua hanya tinggal siluet hitam dalam barisan sepi yang mencekam. Aku dirundung kekhawatiran, dirundung ketakutan, akan kesendirian yang terus saja hinggap sepanjang malam. Berdiri menantang kelam, sendirian dengan rasa takut yang mencekam tanpa seorang teman.
Dan semua itu harus ku hadapi sendiri, sendirian, seorang diri, dengan perut kosong tanpa makanan. Tak ada tenaga, tak ada kekuatan untuk terbangun dari mimpi buruk yang telah berjalan. Sepi pun merajam, menyisakan luka seperti sebelumnya, mengores kenangan pahit yang getir tak terayal. Terhimpit suara tangis, tergerus keputus asaan, merana, sendiri tanpa seorang yang ku sebut sahabat.
Mataku sulit terpejam, memperlihatkan semua luka yang harus ku tanggung dengan keikhlasan. Aku tak bisa tidur dengan nyenyak, setidaknya memastikan ini hanya mimpi buruk saja, aku tak bisa. Mataku terus saja menatap, merekam setiap kejadian yang membuat luka oleh semua penghiantan. Mataku terus terbelalak, seakan ingin aku terus menyaksikan, kejadian-kejadian pahit yang hanya mencabik-cabik hati yang tengah sengsara.
Aku ingin marah, mengumpat sekencang-kencangnya, menghancurkan segala apa yang telah ada, untuk memuaskan hati yang tengah dirundung duka. Ingin ku pecahkan segala hal yang ku temui dalam dunia, membinasakan orang-orang yang tak ku suka, melihat mereka mati bersimbah darah. Menghancurkan semua hal yang ku hancurkan, meremukkan kepala setiap manusia. Aku ingin meremas kesombongan mereka, menginjak setiap kecongkakan dari hati mereka, agar semua sama, agar semua tak terlalu besar.
Tapi apalah daya ku sebagai seorang manusia, hanya diberi dua tangan, dua kaki dan satu kepala. Aku hanya bisa merenungkannya tanpa bisa berbuat apa-apa, seolah aku yang bersalah dan keadaan tak pernah memihak. Kembali aku hanya bisa pasrah, menelan pil pahit bernama kegagalan, yang ku buat dari sampah-sampah kehidupan ku sendiri, dan tak ada yang peduli, tak ada yang mengetahui. Aku tetap saja aku sebagai seorang anak rantau yang ditelan sepi malam ini.
Lintang malam menuju pagi, petang menjelang berganti dini hari, dan aku tetap sendiri berteman sepi yang hakiki. Aku tetap sendiri merenungi nasib di titian malam sunyi yang berganti, merndahkan setiap ego dalam diri. Getir pahit tetap terus meresap hingga tubuh ini serasa mati, menjadi bangkai yang dikuliti. Aku tak bisa lari, tak bisa menepi, tak bisa menghindari sunyi yang tetap terekam dalam hati.
Panjiku tak dapat ku angkat lagi, stiap jam aku hanya bisa meratap sepi, tak bertenaga, tak kuasa. Hari yang pernah ku rindu tak pernah bisa datang lagi, hari yang itu, hari yang sahdu. Aku tak bis menggapi dengan tanganku, aku tak dapat merumuskan dalam waktu. Yang ku bisa sekarang hanya berdiri, meratap semua hal yang telah terjadi, melawan luka ini, sendiri, sendiri. bergulat dengan sepi yang tak pernah menampakkan diri.
Pada dini hari yang sunyi ini, aku berselimut dingin merangkul diri, tak pernah mau pergi, dan aku tak bisa lepaskan diri. Aku hanya bocah ingusan dengan nama yang belum tentu ada. Aku tak lebih baik dari pencuri di malam gelap gulita. Aku, yang kelaparan bersama dengan beribu kenangan, mencoba meremas sekat yang hanya bisa ku tatap. Rindu pun hinggap entah dari mana, meremas sekali lagi hati yang telah terluka, tak indah, tak bernyawa. Hanya menyisakan ruang kosong belaka, dengan kehampaan, serta ketidak beraturan yang memusnahkan.
Dan aku berakhir, tergores sepi yang terus mengukir. Aku berbalut kain putih pengap menutup diri, bersama sepi, bersama matahari yang tak bersinar lagi. Aku berhenti pada titian panjang malam pada dini hari. Memaksa lupa pada kenangan yang telah terajut rapi, hanya karena diriku telah mati. Aku mati ditelan samudera bernama sepi.
Sekian

Sismaku@
Malang, 04 Mei 2017

Posting Komentar

0 Komentar