Indah dan Wafa
“Kapan sampainya sih???.” Seorang cewek mengerutu kepada teman-temannya dalam mobil.
“Sabar dong putri cantik…, kalau masih rewel, silakan turun dan pulang.” Tegas seorang teman laki-lakinya.
“Bentar lagi kok Nin, sabar aja.” Sanggah yang lain.
“Tapi kapan???, aku udah capek banget.” Keluh Nina.
“Sabar aja Nin, entar juga nyampek.” Seorang cewek di sebelah kiri Nina, mencoba menenangkan.
“Bim, abis ini belok kiri.” Wafa memberi arahan kepada Bima yang mengemudikan mobil.
“Siap Fa. Eh Lang kau tak ngomong dari tadi, lagi sakit gigi ya???.” Canda Bima kepada seorang cowok di samping Nina.
“Iya yank, kamu kok diem aja dari tadi??.” Nina bertanya kepada Gilang pacarnya.
“Nggak papa kok, aku cuma capek, pengen istirahat.” Alasan Gilang
“Enak aja pengen istirahat, abis ini yang cowok dirikan tenda buat tidur.” Bima menyanggah.
“Udah lah, kan itu bisa dibahas nanti.” Anggun menengahi.
“Tapi kan yank …”
Belum sempat Bima melanjutkan ucapannya, Anggun sudah memberi isyarat untuk diam.
***
Akhirnya mereka sampai di pantai Payangan. Mereka melepas penat dengan menikmati angin dari pantai yang menyegarkan pikiran. Para gadis memandang indahnya matahari senja yang turun perlahan ke barat. Sementara Gilang, Bima dan Wafa menyiapkan tenda untuk tempat mereka tidur nanti. Sambil bersenda gurau mereka menyelesaikan pekerjaannya untuk dapat beristirahat nanti malam.
Bima yang ada di dekat Wafa, berkali-kali menggodanya untuk memecah suasana sepi yang ada. Bima membicarakan mulai dari masalah kuliah sampai asmara Wafa, saat Wafa sedang serius membenarkan tenda. Wafa hanya sedikit tersenyum kadang juga tertawa saat Bima menggodanya, Wafa tak membalas, hanya senyum dan tawa yang ada.
Bima berhenti dengan candannya ketika melihat rombongan lain datang mengunjungi pantai itu. Ia menanyakan prihal rombongan yang baru saja sampai pada Wafa, “Fa, mereka siapa???”
“Mereka yang mana???.” Wafa menoleh ke arah ke mobil wisatawan yang datang setelah mereka.
“Itu Fa” Bima menunjuk.
“Nggak tau, mungkin wisatawan juga”, imbuh Wafa. “Biar aja, toh ini tempat umum, jadi siapa pun boleh datang”.
Mereka kembali menyiapkan tenda, membangunnya dengan benar untuk ditempati secara nyaman. Sampai mereka tak sadar ada seorang laki-laki asing berjalan ke arah mereka bertiga. Mungkin laki-laki itu salah satu orang dari mobil asing, yang baru mereka bicarakan. Laki-laki itu dengan sopan memperkenalkan diri kepada mereka bertiga.
“Maaf mas, saya Miko boleh tanya sesuatu mas??” Miko memperkenalkan diri kepada Bima, Wafa, dan Gilang.
“Boleh, tanya apa ya mas?.” Gilang membalas dengan ramah.
“Mas-mas ini tendanya bawa dari rumah??, soalnya saya ingin menginap, tapi teman-teman saya tak ada yang membawa tenda.” Miko bermaksud untuk menginap di tempat itu juga.
“Kami bawa sendiri dari rumah mas, memang nggak di persiapkan mas??”. Gilang balik bertanya.
“Nggak ada sih mas, saya tadi kan dari kota, habis jalan-jalan sama teman-teman. Lalu salah seorang dari kami usul ke sini, jadi kami lanjut ke tempat ini.” Miko menjelaskan apa yang membuat ia datang ke tempat ini.
“Emang ada berapa orang mas?” Bima menyerobot pembicaraan.
“Ada enam mas, sama saya., cowoknya empat, ceweknya dua.” Miko menjelaskan.
“Gini aja mas, daripada bingung cari tempat, mending mas sama teman-teman mas, gabung sama kita. Tempat kami masih cukup kok untuk beberapa orang. Gimana??” Bima memberi solusi pada Miko. “ Sekarang, masnya bilang sama teman-teman mas, mau apa nggak gabung sama kita??” imbuh Bima.
“Iya mas, tapi teman-teman masnya keberatan apa tidak kalau kita tumpangin??” Miko merasa tidak enak hati dengan tawaran Bima, yang seolah mengambil keputusan sendiri.
“Oh, gampang itu mas”. Bima tak mau ambil pusing dengan pendapat teman-temannya. “ Kami malah senang kok, makin banyak temen, makin asik.” Imbuhnya
“Oke lah kalau gitu, saya bicarakan sama teman-teman dulu.” Miko pun pergi ke teman-temannya yang sudah menunggu.
Sementara itu Gilang berbalik ke arah Bima, “Beneran nih, kita mau ngajak mereka gabung??” Gilang seakan tak setuju dengan keputusan Bima.
“Udah lah Gil, santai aja. Itung-itung tolong orang sekali-kali.” Jawab Bima.
“Iya Gil, aku juga percaya, mereka kelihatannya orang baik.” Wafa menambahkan.
“Oke, terserah kalian aja. Tapi soal cewek-cewek, jangan libatkan aku ya!.” Gilang khawatir pada tanggapan dari teman-teman ceweknya.
“Kalau masalah Anggun, aku masih bisa ngatasin. Tapi kalau masalah Nina, serahin aja sama Wafa.” Celetuk Bima
“Loh kok aku yang kena?!, aku bukan siap-siapnya Nina kan. Seharusnya yang lebih punya tanggung jawab kan kamu Gil.” Protes Wafa.
“Ah…” Gilang mengeluh, “Aku juga nggak berani, kalian tau kan gimana egoisnya dia!!” Gilang mengungkapkan perasaannya.
Bima dan Wafa hanya mengangguk, terdiam dengan mata terpejam mengasihani keadaan sahabatnya. Lalu Bima menepuk bahu Gilang dan berkata “Sabar ya nak, ini ujian.”
“Apaan sih Bim!!” Protes Gilang, menyingkirkan tangan Bima dari pundaknya. “Emang aku anakmu?!!” Protesnya marah.
Gelak tawa keluar dari Wafa dan Bima yang melihat ekspresi Gilang saat diejek mereka. Tawa mereka tak berhenti dengan candan-candaan yang terus dilontarkan oleh Bima. Wafa pun ikut tertawa sampai tak sadar siapa yang turun dari mobil Miko.
Ketika seorang cewek turun dari mobil Miko, tiba-tiba raut wajah Wafa berubah. Ia terkejut setengah mati dengan sosok cewek cantik yang terakhir keluar dari mobil Miko. Seorang dari masa lalunya datang kembali, di saat Wafa sudah mulai bisa melupakan hal itu.
“Indah” gumamnya lirih. Wafa sekan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Kenapa Waf, kenal??” Tanya Bima keheranan.
“Lebih dari kenal, aku tau benar siapa dia.” Jawabnya mantap.
“Oh, jadi dia.” Bima paham dengan maksud Wafa.
“Siapa sih??” Gilang penasaran dengan yang teman-temannya bicarakan.
“Udah diam aja, ini terlalu berat untuk dipahami.” Jawab Bima ketus.
Lalu rombongan Miko mendekat ke arah Bima dan kawan-kawannya. Indah belum menyadari siapa yang akan ditemuinya. Ia hanya berjalan sambil memandang keindahan alam melukiskan senja. Ia tak tau ada Wafa, orang lewat dalam hidupnya sebagai seorang sahabat serta kenangan pahit. Dan pertemuan ini tak pernah ia rencanakan sebelumnya.
Bagi Indah semua kenangan itu sudah dikubur dan tak ingin dibuka lagi sebagai hal nyata. Tapi takdir berkata lain, ia harus bertemu lagi dengan kenangan pahit yang pernah menyesakkan hatinya. Kembali terasa getirnya kenangan itu Indah menatap wajah Wafa yang tetap sama. Semua rasa pahit kembali tercipta, terasa kembali dalam dada yang kembali sesak oleh luka.
Ketika semua bercengkerama dalam keakraban, suasana canggung tergambar pada Wafa dan Indah yang sama-sama mengenang. Tapi keduanya bersikap biasa, mencoba menepis setiap kenangan pahit yang datang dan bersikap seperti teman lama yang baru berjumpa. Indah menjelaskan kepada teman-temannya tentang pertemanannya dengan Wafa. Wafa pun juga menjelaskan hal yang sama, tapi Anggun dan Bima tak percaya sandiwara Wafa, karena mereka tau semuanya.
Senja pun lenyap, menghadirkan malam yang sunyi dengan suasana malam yang aneh seperti keadaan Wafa dan Indah. Seperti sama dengan alam, suasana anatara Wafa dan Indah hanya menyisakan kegelapan serta kekosongan. Tak ada keakraban bagai dua orang sahabat lama yang dipertemukan kembali oleh waktu. Semua hanya menyisakan kejanggalan yang menyelimuti malam paling seram.
***
Di depan api unggun Indah dan Wafa sedang asik memandang langit penuh bintang yang bertaburan di atas sana. Mereka duduk bersebelahan menghangatkan tubuh mereka di suasana malam yang dingin di tepi pantai berhawa dingin. Wafa dan kawan-kawan sedang menghabiskan malam memenuhi hasrat untuk mengisi liburan tahun baru. Tapi tinggal mereka berdua yang tidak tidur di malam yang dingin ini. Yang lain sedang tidur di tenda untuk melepas leleh setelah perjalanan jauh menuju pantai tadi siang.
Indah memandang ke arah langit melihat keanggunan yang diperlihatkan Tuhan dengan semua pernak-pernik malam. Menyodorkan tangannya ke depan untuk meraih kehangatan api unggun yang dibuat, seraya mengusir dinginnya malam. Sementara Wafa terus mengawasi sekitar karena mendapat tugas jaga dari teman-temannya. Sebenarnya Wafa sangat gembira karena ditemani oleh wanita pujaannya. Tapi kenangan pahit itu mengingatkannya dan menyudutkannya sebagai tersangka.
Memang Wafa dulu memendam rasa kepada Indah, dan berharap perasaannya akan terbalas. Indah tau itu, tapi entah kenapa dia selalu menolak dan tak mau menjalin hubungan dengan Wafa. Ia tau benar akan perasaan Wafa terhadapnya, tapi tak pernah ingin melanjutkan hubungan yang lebih, dengan Wafa. Ia hanya ingin berteman dengan Wafa yang sudah dianggap seperti kakaknya sendiri.
Akibatnya Wafa nekat dan mengganggu setiap orang yang berhubungan dengan Indah saat itu. Wafa tau hal itu menyakiti hati Indah, tapi ia tetap seorang lelaki egois yang ingin mewujudkan keinginannya. Dan hasilnya hanya luka, luka yang di peroleh keduanya. Baik Wafa atau pun Indah hanya mendapat luka, tak ada yang bahagia, tak ada yang mewujudkan keinginannya.
Sekarang waktu untuk Wafa menjelaskan semuanya, memperjelas semua kejadian pada masa lalu. Ia ingin kembali bersahabat dengan Indah, tak peduli perasaan yang dulu pernah ada dalam dirinya. Ia tak peduli dengan rasa yang mencoba masuk kembali dalam sanubari, ia hanya ingin dimaafkan, ia hanya ingin mengembalikan semuanya.
“In, semua sudah berlalu, aku sadar kamu terluka, aku juga terluka karenanya.” Wafa memulai dahulu.
“Iya dan kamu tetap saja melakukannya, tanpa tau perasaan ku.” Jawab Indah ketus.
“Andai aku bisa kembali ke masa itu In, aku tak akan melakukannya.” Sanggah Wafa.
“Andai…, ya seperti itulah dirimu, salalu berandai-andai tanpa memikirkan akibatnya. Berusaha mewujudkan keinginanmu sendiri, tanpa sadar orang lain terluka.” Jawab Indah lebih ketus dari sebelumnya.
“Baiklah aku minta maaf, aku yang salah, aku yang berdosa.” Wafa mengiba.
“Maaf. Cuma kata itu yang kamu bisa. Bagaimana kamu menyembuhkan luka di hatiku hanya dengan kata maaf ?.”
“Memang hanya kata maaf yang bisa ku ucapkan. Dan kalau kata itu tak bisa menyembuhkan luka dalam hatimu, maaf, karena hanya kata maaf yang bisa ku gunakan.” Jawab Wafa.
“Sadarkah kau, betapa caramu itu menghancurkan seluruh duniaku?, dan kau masih bisa minta maaf! Sadarkah kau betapa lamanya aku harus menyembuhkan luka?, dan kau masih bisa minta maaf! Sadarkah dirimu, tuan paling egois di dunia ini, sebab keegoisan mu itu, aku menjadi menjangan yang tertusuk panah tanpa bisa melepaskannya!” Tegas Indah.
“Baiklah, aku terima kemarahan mu. Sekarang silakan hukum aku sesuka hatimu.” Jawab Wafa pasrah.
Indah berajank pergi dari tempat itu menuju tendanya, sebelum sempat masuk ke tendanya Indah berkata. “Aku memaafkanmu, tapi jangan pernah hadir dalam hidupku lagi! Jangan pernah datang ke dalam hidupku dengan alasan apapun!, kita akhiri semua ini!. Anggap saja itu syarat dariku untuk permintaan maaf mu.” Kemudian Indah masuk ke dalam tenda dan menghilang.
Wafa hanya tertunduk lemas, ia tak berdaya seolah dunia sedang dalam batas kiamat yang menghancurkan. Kata-kata akhir dari Indah membaut dia sangat terpukul, seolah ia sedang berada dalam siksaan paling kejam di dunia. Wafa telah dipenggal kepalanya, ia dieksekusi oleh kata-kata Indah yang membinasakannya. Wafa telah mati, Wafa telah tiada, sekarang yang ada hanya kekosongan yang baru saja lahir dari darah-darah bekas eksekusi Wafa.
Sementara itu, dalam tenda, Indah menangis tersedu-sedu, ia tak habis pikir kenapa ia bisa setega itu. Indah hanya menuruti emosinya, membiarkan semuanya keluar mengungkap rasa sakit hati masa lalu. Tapi dengan hal itu pula ia merasa tersakiti, Indah mendapati keadaan yang sama seperti Wafa, terpancung oleh kata-katanya sendiri. Kini hanya tinggal penyesalan, Indah juga merasakan sakit dan ia juga telah mati. Yang ada hanya sisa-sisa dari darah eksekusi yang melahirkan kekosongan baru dari diri Indah.
Semua terekam dalam benak Anggun, Anggun menjadi saksi atas eksekusi yang dilakukan oleh Indah kepada Wafa, serta Indah pada dirinya sendiri. Anggun tak bisa berbuat apa-apa, ia hanya terbujur kaku dalam pembaringannya seraya menjadi saksi dalam kekejaman yang telah dilakukan oleh dua orang yang kembali dipertemukan, setelah terpisah oleh masa lalu. Anggun hanya bisa terdiam, tak mampu mencegah serta menghentikan keduanya. Ia tatap diam, hingga kisah dua anak muda ini berakhir.
Sekian.
Sismaku@
Malang 17 Februari 2019
0 Komentar