Siapa Aku di Negeri ini
Tahun politk telah tiba, pesta
demokrasi akan segera diselengarakan. Pesta lima tahunan yang penuh dengan tipu
muslihat, pesta yang katanya kebebasan demokrasi rakyat yang sudah
dimanipulasi. Mungkin tak ada yang berperang secara fisik, tapi bisa memecah
rakyat menjadi dua kubu yang bersebrangan. Ah sudah lah, aku tak bisa
membayangkan hal itu.
Sebut saja seseorang sedang ada di
satu kubu, lalu orang lain berada di
kubu yang berbeda, apa yang terjadi?, pastilah persaingan. Yang pasti akan ada
strategi saling serang, lau apa untungnya?, jelas tidak ada. Indonseia akan
semakin kacau dan semakin tidak karuan.
Saya tak habis pikir dengan hal itu,
hanya karena sebuah jabatan, seorang rela tak tidur. Padahal masih banyak mimpi
yang bisa mereka raih, masih banyak usaha yang harus mereka lakukan. Tak perlu
ada ketergantungan pada satu orang, yang sebenrnya tak bisa meraih mimpinya
sendiri. lalu kenapa harus menggantungkan hidup pada ornag yang tak punya
tanggan untuk berpegangan?
Mungkin pendapat saya akan dibilang
ekstrim, oleh orang orang yang katanya nasionalis. Tapi akan saya ungkapkan
walau akan banyak pertentangan. Menurut saya Indonesia tak akan pernah
sejahtera. Indonesia akan terus seperti ini, kalau semua orang hanya bergantung
pada satu ornag saja. Memang harus saya akui, pemimpin adalah orang yang
berkuasa, tapi untuk mengubah Indonesia, diperlukan banyak tangan. Tak ada
perubahan besar jika semua orang hanya menyarungkan tangan pada sakunya dan
berharap dengan mulutnya. Mulut memang sedikit membantu, tapi apa gunanya, jika
tangan yang bekerja hanya dari satu orang saja. Sedangkan masalah yang dihadapi
terus saja bertumbuh setiap waktu.
Mungkin karena pemerintahan yang
terlalu berpusat pada satu tempat. Mungkin kita sabagi rakyat yang terlalu
menuntut untuk kesempurnaan. Apa arti dari kemandirian yang kita dapatkan, jika
kenyataannya semua orang masih terpusat pada satu tempat saja. Sebuah tempat
yang menjadi tolak ukur semuanya, sebuah tempat yang hanya memiliki kapasitas
tak sebanding dengan Indonesia. apa tempat kecil itu yang harus kita contoh
untuk kemerdekaan Indonesia?. lalu apa arti kemandirian kita sebagai sebuah
bangsa?.
Saya rasa tidak, Indonesia lebih
besar, Indonesia punya kapasitas lebih baik dari semua tempat yang dijadikan
contoh oleh dunia. Tapi kita yang menuntut punya figure, kita yang ingin
dikatakan sama dengan yang lain. Padahal bangsa Indonesia mempunyai kualitas
lebih tinggi dan lebih bijak. Pertanyaannya, apa sebenarnya yang menjadi fokus kita
dalam membangun negeri ini?, untuk sama dengan bangsa lain, atau mengembangkan
bangsa kita sendiri?
Sebelumnya, mari kita sepakati
bahawa pemimpin itu penting, pemimpin memang harus ada, kempemipinan memang
wajib adanya. Tapi bukankan sebagi
bangsa kita tetap harus berusaha membangungun kemakmuran untuk diri kita
sendiri. haruskah kita tetap berdiam diri setelah semua kegagalan dari harapan
kita sendiri. Haruskah kita tetap berharap dan terus berharap pada satu orang
yang tak bisa mewujudkan keinginan bangsa ini. kita adalah bangsa yang mandiri,
bergerak dengan kemauan kita sendiri, lalu apa gunanya punya orang yang hanya
duduk di kursi.
Kalau ada yang menyadari,
sesunguhnya tak ada manfaat dari sebuah perdebatan. Kenapa harus ada debat
menunjukan diri sebagi yang terbaik. Kenapa tidak ada yang berinisiatif untuk
melakukan hal yang lebih bermanfaat dibanding hanya memperdebatkan soal siapa
yang akan duduk di kursi. Kenapa tak ada yang mau untuk melakukan falsafah
hidup bangsa Indonesia yang tercantum dalam Pancasila. Kenapa lebih
mementingkan debat dari pada musyawarah untuk menemukan solusi tepat bagi
bangsa Indonesia. Apakah Indonesia sudah menjadi bereapa klompok kecil? dan,
musyawarah hanya diperuntuhkan untuk kelompok tertentu saja?. Lalu apa gunanya
di Pncasila dirumuskan, sedangkan kita malah lebih suka berdebat dan melihat
orang berdebat. Pertanyaannya adalah, apa keuntungannya menyaksikan orang lain
dijatuhkan di depan umum?, aku masih tak menemukannya.
Satu hal yang ku temukan tentang hal
itu, hasil debat yang disaksikan akan menjadi bahan perdebatan bagi orang lain.
Cita-cita serta janji-janji yang tidak pernah berguna bagi bangsa, serta
kekecewaan pada akhirnya. Tak ada jaminan ketentraman yang akan kita dapatkan
dari pembicaraan mereka yang menginginkan kekuasaan. Ketentaraman kita hanya
bisa kita dapatkan dengan tekad dan usaha kita sendiri. Orang-orang di panggung
tertinggi itu tak ada yang peduli apakah kita merasa damai atau tidak, karena
kedamian setiap orang sangatlah berbeda. Sedangkan mereka hanya mengukur kedamain
semua orang dengan ukuran dari kedamian diri mereka sendiri, bukan
masing-masing ornag yang tinggal di negara ini. Mungkin malah kedamian pada
lingkungan sekitar meraka juga tidak dipedulikan.
Dari semua hal di atas, lalu apa
hasil dari pesta demokrasi yang akan diselenggarakan?, mungkin tidak ada,
mungkin malah merugikan. Saya kira pesta politik itu hanya sebagai jalan untuk
menghabiskan anggaran negara saja. Mungkin juga hanya sebagai adat kebiasaan
yang entah meniru dari mana sumbernya. Toh semua sudah diatur, seperti papan
catur yang setiap bidaknya telah ditentukan cara berjalannya. Tinggal tunggu
bagaimana bidak-bidak itu mengatur strategi untuk menggulingkan bidak raja dari
masing-masing lawan.
Darul
Muhajirin
Malang,
18 Januari 2019
0 Komentar