Gus Andi
Hari ini aku pulang lebih awal dari biasanya, entah kenapa, katanya ada rapat guru, jadi semua murid dipulangkan lebih awal. Entah apa hubungannya antara guru yang sedang rapat, dengan pulang lebih awal. Sepertinya itu hanya alasan untuk para guru saat merasa bosan ketika setiap hari harus berada di sekolah. Maksudku, tak ada hal yang harus dikhawatirkan ketika tidak bisa mengajar karena sebuah rapat. Bisa saja para guru itu memberikan tugas untuk siswa, atau meminta siswa untuk berdiskusi tentang satu hal. Jadi tak perlu memulangkan murid hanya karena alasan menghadiri rapat.
Maksudku begini, kami para murid selalu membayar uang bulanan yang ditetapkan oleh sekolah. Para murid juga mematuhi seluruh peraturan yang telah ditetapkan oleh sekolah sebagai tata tertib. Tapi ketika pembelajaran yang didapatkan siswa, seharusnya diperoleh secara penuh, kini malah terganggu oleh rapat. Dan semuanya seolah tidak peduli akan hal itu, guru tidak pernah merasa bersalah, siswa pun tak mau menuntut haknya untuk belajar.
Ah sudahlah, tak ada yang peduli juga tentang apa yang aku pikirkan, memang aku siapa, hanya seorang anak ingusan yang tak mempunyai pengaruh. Tak akan ada yang mendengarkan ucapan anak SMA, yang hanya tau tantang harga pulsa sekarang. Oh iya, harga pulsa sekarang mulai naik, entah kenapa bisa naik, apa karena pengaruh dari nilai rupiah yang mulai turun ya??, atau karena terlalu banyaknya pengguna phonsel hingga profider ingin menaikkan keuntungannya. Kenapa harga pulsa harus naik, lalu bagaimana aku bisa menyisihkan uang saku untuk mengatasinya?, masak aku harus meminta tambahan uang jajan, atau pengeluaran ku yang harus harus ku kurangi. Pusing juga memikirkan harga pulsa yang naik.
Lebih baik aku ke sungai dulu, toh di rumah tak ada yang bisa ku kerjakan untuk mengisi waktu luang. Mungkin di sungai aku bisa bertemu dengan beberapa teman untuk diajak bicara. Tapi siapa ya?, karena seingat ku tak ada temanku yang pernah pergi ke sungai lagi setelah mereka melewati aqil baliq. Ah entah lah, yang aku pergi ke sungai saja dulu, semoga suntuk ku hilang di sana.
Seperti biasa, jalan ke sungai tak pernah berubah, dari aku kecil hingga sekarang suasana jalan setapak itu tetap sama. Suasana yang mengingatkan ku akan keseruan kami saat masih kecil, aku dan teman-temanku sering sekali menghabiskan waktu di sana. Bermain tanpa kenal waktu, hingga kami pun sama-sama kena marah oleh orangtua masing-masing. Masa itu, di mana kami pernah berjanji untuk selalu bersama, masa di mana aku pernah mempunyai teman-teman yang sangat dekat, masa yang kini hanya bisa ku ingat dalam kenangan.
Entah sekarang mereka di mana, mereka sibuk mengejar tempat paling baik untuk melanjutkan pendidikan. Mungkin mereka ingin mendapat pengalaman baru atau semacamnya, minimal mereka mendapatkan teman baru. Sedangkan aku hanya bisa puas dengan melanjutkan sekolah di sekitar rumah saja. Bisa dibilang hanya aku yang tak pernah keluar dari desa ku. Sebab aku seperti ditahan untuk tetap tinggal dan mengawasi setiap perubahan yang terjadi.
Dan tak pernah kulihat teman-temanku datang ke sungai lagi, sejak mereka memutuskan untuk pergi, sejak pergi dariku. Sudah terlalu lama, bahkan aku tak ingat terakhir kali aku duduk bergurau bersama mereka. Sampai aku sendiri lupa, apakah aku pernah menghabiskan waktu hanya bersama mereka. Aku sampai tak pernah merasakan, betapa hangatnya dulu canda kami tentang seseorang, atau betapa akrabnya kami dulu. Semua kini sudah berubah dan aku tak tau cara untuk mengembalikan kebersamaan pada waktu itu.
Hanya aku yang sampai sekarang bertahan dengan kesendirian, di tempat yang semua sudutnya aku kenali. Sendiri dan sendirian, di tepi sungai dalam rerimbunan pohon bambu, menutupi setiap sudut sungai, hingga sinar matahari tak begitu menyilaukan tempat itu. Sedemikian teduhnya tempat itu, hingga kadang, aku merasa kantuk datang menyapa dibalik pintu kesadaranku. Tempat itu sungguh teduh, seperti sebuah rumah yang menghadirkan kenyamanan, keteduhan, dan kehangatan sempurna.Tempat yang nyaman, tempat yang tak pernah bisa ku lupakan hingga nanti.
Kini aku berada di pinggiran sungai, semilir angin berhembus tenang menerpa ku menyingkirkan gundah. Air sungai mengalir tenang, perlahan-lahan, tanpa ada yang tau dalam aliran yang tenang pada dasar sungai ada beberapa eokor buaya bersarang. Memang ada cerita di masyarakat bahwa sungai itu penuh dengan buaya, pernah ada pelepasan puluhan ekor anak buaya oleh para tentara. Entah dalam rangka apa mereka melakukannya, tapi jelas itu hanya sebagai alat untuk mengancam masyarakat.
Aku kadang tak percaya dengan cerita itu, tapi apa boleh dikata, rumor sudah menyebar di masyarakat. Tapi yang jelas aku juga pernah menyaksikan beberapa ekor buaya sedang berenang di sungai itu, jadi, mau tak mau, aku harus percaya dengan cerita itu.
Tapi, ya sudahlah, selama buaya-buaya itu tak mengganggu ku, kenapa aku harus pusing. Walaupun terkadang aku juga sedikit khawatir, bila tiba-tiba seekor buaya naik ke darat dan menerkam kakiku. Jadi setiap kali aku berada di pinggir sungai, aku selalu pastikan tak ada pergerakan aneh di sekitar ku. Kalau hal itu ada, aku segera melompat untuk melarikan diri.
“Gus!!, ngapin di situ? Jangan ngelamun di pinggir sungai, nanti kejegur!!.” Seorang lelaki paruh baya memperingatkan ku dari seberang sungai, agak jauh dari tempatku berada.
“Oh iya lek, lagi cari wangsit buat ujian minggu depan!!” kelakar ku ngacok. “Lek Ran ngapain di situ??!!!” setengah berteriak
“Cari ikan Gus, untuk makan anak-anak.” Jawabnya dari seberang sungai sedikit tersenyum. Lalu ia pergi, kembali mencari kian dengan alat yang selalu dibawa pada punggungnya.
“Semoga dapat ikan yang banyak Lek!!” tanggapku.
“Amiin!!” lanjutnya dari jauh.
***
Suasana hening merambat pada benakku. Aku masuk dalam lamunan tentang pembicaraan ku dengan umi beberapa waktu lalu. Aku ingat bagaimana umi memulai pembicaraan itu, saat aku sedang makan di dapur, seperti kebiasaan ku sejak kecil. Sedangkan umi berada tak jauh dariku, mungkin sekitar empat sampai lima meter. Umi berada pinggir dipan yang biasa ku pakai tidur selepas pulang sekolah. Umi sedang membersihkan beras yang akan dimasak untuk malam nanti.
Tiba-tiba umi bertanya padaku, “Le, habis lulus sekolah, kamu mau meneruskan ke mana.”
“Masih belum kepikiran Mi’. masih bingung mau ambil kuliah jurusan sastra atau ilmu sejarah.” Jawabku polos.
“Nggak pengen mondok??, meneruskan perjuangan abah, bangun pesantren?” Kata umi padaku.
“Andi pengen kuliah Mi’, pengen nambah ilmu.” Jawabku.
“Lho, menurutmu di pondok itu tidak ada ilmunya?, terus kamu mau melanjutkan ke sekolah formal?” Kelakar umi padaku.
“Bukan begitu mi, Andi pengen belajar sastra atau sejarah, Andi pengen nambah ilmu tentang sastra. Di pondok kan nggak ada ilmu tentang sastra.” Balasku.
“Turus, kalau kamu nggak mondok, bagaimana kamu meneruskan pondok milik kakek mu ini Le?. Apa kamu nggak pengen neruskan pondok milik kakek mu??” tiba-tiba nada bicara umi berubah derastis. “Abah pengennya kamu yang meneruskan pondok ini.” umi seperti menaruh harap padaku.
“Ya nggak tau Mi’, Andi pun ngerasa nggak pantas jadi penerus abah.”
“Boleh jadi kamu merasa nggak pantas, tapi sebenarnya kamu sudah mampu melanjukannya.” Tegas umi menasehati.
“Andi bukan anak yang bisa diandalkan Mi’, Andi hanya anak yang pengen seperti anak-anak lain, bisa melakukan apa saja sesuai kehendak hatinya.” Pembicaraan jadi makin serius.
“Tapi hal itu sudah jadi takdir mu Le, semua sudah ada dalam darahmu, darah keturunan ulama besar di daerah ini.” Umi mencoba meyakinkan ku.
“Tapi andi pengen keluar dari semua itu Mi’, Andi pengen belajar hal lain. Andi pengen keluar dan menimba ilmu yang Andi suka seperti teman-teman Andi yang lain.” Aku masih kekah dengan pendirianku.
“Kalau umi boleh tanya, kenapa kamu nggak mau menggantikan abah Le?” umi mencoba mengerti perasaanku.
“Sebenarnya Andi nggak pengen seperti abah, dipandang banyak orang, punya saingan di mana-mana, dan jika berbuat kesalahan dikritik habis-habisan.” Ungkap ku mencoba membuat umi mengerti. “Andi pengen keluar dari itu semua, belajar ilmu baru sebagai Andi sendiri. Andi nggak pengen berurusan dengan dakwah dan masalah-masalah yang menyelimutinya. Andi penegen bebas dari tanggungjawab dan doktrin masyarakat tentang prilaku kiyai.”
“Tapi apa kamu nggak kasihan sama abah, sama kakek mu, yang sudah membangun pesantren sampai seperti sekarang?” pertanyaan itu sungguh menggetarkan hatiku.
“Sebenarnya kasihan, tapi Andi nggak siap kalau menggantikan abah sekarang.” Jawabku setengah ragu.
“Kalau nunggu siapnya kamu, sampai kapan Le?. Tidak ada orang yang pernah benar-benar siap saat menghadapi hidupnya.” Lanjut umi memberi petuah.
Aku hanya bisa diam, tak sanggup ku jawab lagi pertanyaan umi yang dibumbui petuah seorang ibu. Mulutku seperti terbungkam dengan kalimat yang baru saja dilontarkan oleh umi. Aku termenung, berfikir dalam diam ku yang sunyi, menimbang-nimbang lagi keputusan yang telah menjadi ketetapan hatiku. Aku mulai memikirkan dampak yang akan terjadi jika salah mengambil keputusan.
Lalu kalimat umi kembali terngiang di benakku. Tak ada baiknya jika aku mencoba menentang tradisi lama yang sudah menjadi budaya. Seorang anak harus melanjutkan apa yang telah dimulai oleh ayahnya. Tak ada keberhasilan jika seorang anak keluar dari lingkaran tradisi tanpa mendapat restu dari orang tua. Kasta brahmana, akan selamanya menjadi brahmana, tak mungkin menjelma jadi sudra.
Tapi apakah aku siap untuk semua itu. Selama ini aku tak pernah sekali pun bersiap untuk hal itu. Sedari kecil, aku hanya terpaku pada keinginanku yang tak pernah bisa terpuaskan. Aku tak pernah bersiap bahkan untuk sebuah hal yang memang dikhususkan untuk ku. Lalu apa yang menjadi bekal ku?
Setelah menandaskan makan, pikir ku melayang, mencoba menerka jauh ke dalam hatiku. Apakah pendirian yang selama ini ku pertahankan telah benar, atau sebaliknya?, sungguh aku sangat bimbang. Ku ganyang tempe yang masih tersisa, ku kunyah dengan perasaan hampa tanpa apa. Saat itu lamunan ku sedang tinggi-tingginya, seperti di atas awan, sangat tinggi, melayang sendiri, tanpa pijakkan, dan takut terjatuh ke bawah. Dan aku membenci keadaan seperti itu, saat aku harus menentukan berpijak agar tak jatuh ke bawah.
Masih duduk di kursi meja makan, ku ambil lagi tempe yang masih ada di tempat lauk. Ku ganyang tempe itu tanpa nasi, masih utuh, tak peduli umi akan marah atau tidak, yang jelas aku menginginkannya. Biasanya umi akan marah jika aku atau saudaraku mengganyang tempe tanpa nasi. Tapi hal itu tak berlaku untuk abah yang sering mengganyang tempe tanpa nasi.
Ketika aku dalam lamunan serius, tiba-tiba berkata. “Apa kamu mau dinikahkan dulu, biar siap?” umi mengakhiri kalimatnya dengan senyum tipis di wajahnya.
“Ah.., Umi ini ada-ada aja.” Jawabku kesal. “Andi masih belum pengen nikah, Andi pengen cari ilmu dulu.”
“Makannya umi suruh kamu menikah, supaya kamu tetap di sini, meneruskan perjuangan abah.” Sanggah umi padaku.
“Andi masih belum pengen nikah Mi’.” Tegasku.
“Ada gadis cantik, anak seorang yang pernah nyantri di sini, santrinya abahmu. Pasti dia mau kalau dilamar sama kamu.” Seperti tak mendengarku, umi malah menjodohkan ku dengan seseorang. “Atau anak temen umi ngaji dulu. Anaknya juga cantik, baik, sopan, serta solehah.”
“Mi’, Andi udah besar, andi bisa cari sendiri.” Jawabku singkat.
“Memang sudah ada ta, Le?,” umi balik bertanya, “Siapa Le?, umi pengen tau.”
“Nurul.”
“Lho, Nurul itu bukannya gadis yang biasnya ke sini. Dia adek kelas kamu kan Le?” Umi mengingat lagi gadis bernama Nurul yang sering datang ke rumah.
“Iya”
“Anak yang manis itu kan?, yang suaranya agak berat itu?” tanya umi lebih sepesifik.
“Iya Umi…” jawabku sedikit jengkel karena terus diburu pertannyaan.
“Memang sudah sejauh mana hubungan dengan dia, Le.” Malah lebih gencar umi memburu ku dengan pertanyaan.
“Ya belum jauh, kami nggak lari. kami cuma duduk, aku duduk di sini, Nuril duduk di rumahnya, kalau nggak salah.” Jawabku ngawur.
“Kamu ini, ditanya serius, malah guyon.” Protes umi menanggapi jawaban ku yang ngelantur ke mana-mana.
“Umi kan tanya, udah sejauh mana. Ya nggak jauh, aku masih duduk disini, nggak ke mana-mana.” Jawabku lebih ngelantur lagi.
“Percuma ngomong sama kamu Le, kamu itu sama kayak abahmu, kalau ditanya, malah buat bingung orang yang tanya, mbulet.” Kata umi menyamakan aku dengan abah.
“Andi kan anaknya abah, jadi wajar kalau Andi mirip dengan abah.” Kemudian ku susul dengan tawa nakal seorang anak.
“Terserah kamu wis Le, Umi kesel.” Jawab umi acuh.
“Mi’, Andi itu pengen bebas, Andi pengen punya hal yang asli dari diri Andi sendiri. Bagi Andi, Andi tak bisa memilih lahir di mana, tapi setidaknya andi pengen memilih jalan hidup Andi sendiri. Andi juga nggak pernah berharap lahir menjadi gus, anak dari seorang kiyai besar seperti abah. Tapi Andi pengen punya kehidupan Andi sendiri, sebelum melanjutkan amanah abah. Andi tau cara pulang ke rumah abah sama umi, Andi cuma minta kepercayaan umi sama abah pada pilihan Andi. Sekarang Andi hanya ingin melakuakan apa yang Andi inginkan.” Kalimat itu menjadi penutup dari pembicaraanku.
Umi terdiam, sesekali wajahnya terlihat gusar sembari matanya menatap keluar pintu yang terbuka. Aku tau beliau mengkhwatirkan sesuatu, tapi pendirianku tak pernah bisa tergoyahkan. Sekali lagi wajah umi terlihat muram, sembari membersihkan beras yang ada di genggamannya.
***
Bayangan itu kembali datang padaku, aku yang termenung di tepi sungai mulai terganggu dengan pembicaraan beberapa waktu silam. Pembicaraan ku dengan umi yang menyangkut begitu banyak pilihan tentang masa depan. Jujur pendirianku mulai goyah, aku mulai merasa kebebasan yang ku kejar tak pernah ada. Aku memang tidak ditakdirkan lepas dari segala ikatan yang dibuat oleh tradisi. Semua hal yang terbesit dalam benakku, hilang seiring dengan waktu yang bergulir.
Dan tak terasa waktu hampir menjelang sore. Sinar matahari sudah tak begitu menyengat seperti saat pertama aku datang tadi. Tempat ini menjadi sedikit sejuk, dengan semilir angin berhembus perlahan dari arah selatan. Mungkin senja akan datang setelah ini, senja yang menenangkan, berhawa kedamaian yang ia bersama angin dan sinar jingga kemerah-merahan.
Aku pun beranjak meninggalkan tempatku berada. Berjalan pulang menuju rumah dengan perasaan campur, antara keinginan dan kewajiban. Sepertinya aku harus memilih salah satu, atau mungkin aku akan dapat keduanya. Jujur, sekarang aku dibuat pusing dengan kemungkinan-kemungkinan yang memenuhi kepalaku.
Aku berjalan, menyusuri jalan setapak menuju tempat yang ku sebut rumah. Bersama dengan segudang pemikiran yang tak habis-habisnya walau sudah beberapa kali ku urai. Aku melangkah pulang, di antara rerimbunan pohon salak yang banyak sekali durinya, tetapi daunya dapat melindungi ku dari sinar matahari. Suasana jadi begitu hening ketika aku melangkah pulang, di sore yang penuh dengan keheningan. Sore yang mengantar ku pada gelapnya malam. Petang akan datang setelah senja menyapa, dan kemudian hanya ada kegelapan malam yang menjadi teman.
Tak terasa perjalanan itu cepat berlalu. Aku sudah bisa melihat rumah yang ku tuju. Rumah yang menjadi tempatku beristirahat, rumah yang menjadi tempat untuk pulang. Rumah itu sekaligus akan menjadi tempatku menunaikan tanggung jawab. Dan rumah itu pula yang akan menjadi tempatku bertanggung jawab. Hal yang telah disematkan padaku, sejak aku masih berumur tiga bulan.
Sekian.
Sismaku@
Malang, 5 Januari 2019
0 Komentar