Bunga Mawar



Bunga Mawar
Hari yang kemarin belum sanggup ku lupakan, sekarang sudah berganti hari yang baru, di depan mata. Aku saja tak tau harus berbuat apa, hari-hari terus berlalu tanpa henti. Masih tak bisa ku lupa senyum manis seorang gadis, tambah sekarang aku terjebak oleh paras cantik seorang perempuan. Aku sendiri tak tau, haruskah aku melupakan dia yang ada di masa lalu, atau berganti mengejar dia yang belum pasti. yang ku rasakan hanya sebuah kekaguman, semua tentang kekaguman, dan tak ada hal lain selain kekaguman.
Kini aku terjebak dalam kekaguman, sebuah paras cantik ciptaan Tuhan. Setiap hari ku terngiang-ngiang wajah itu, bahkan sering kali ku terjebak khayal rindu padanya. Pasang surut perasaan, kebimbangan yang sama dirasakan ombak laut menghantam pantai. Hatiku tak bisa mengelak, ku terjatuh dalam lembah cinta, oleh sebuah keanggunan seorang perempuan. Aku tersesat dalam perasaan yang entah itu sebuah cinta atau hanya kasmaran.
Dia yang ku bicarakan, adalah orang cantik jelita, berakhlak mulia, berparas bak bidadari surga. Dia yang hampir setiap hari ku lihat wajahnya, selalu menghiasi lamunan siang dan malam, berharap balasan serupa. Semula aku memang sudah tertarik dengannya, dengan kepribadian yang dimiliki, dan paras cantiknya. Aku yang hanya seorang manusia, tentu tak kuasa memandang keanggunan dari wajah cantik penghuni surga. Dia yang ku ceritakan, punya semua keanggunan bidadari surga yang ternama.
Mungkin terlalu jauh ku khayal kan semua rasa, sebuah rasa yang tak sebanding dengan diriku. Diriku yang terlalu kecil dalam dunia, mencoba untuk memiliki dia yang terlalu tinggi akhlaknya. Aku yang mencoba memberi nafas dalam kehidupanya, sedang aku sendiri masih sangat kurang dalam bernafas. Dan pertanyaan menyerbu ku, salah kah aku jika ingin memilikinya?, salah kah keinginan ini untuk menjadikannya ratu dalam duniaku?. Pertayaan-pertanyaan pun masih tak bisa ku jawab, dan aku masih terdiam dalam jeda.
Sebenarnya aku tak pernah peduli dengan ucapan orang lain, tapi sebuah cermin memang memantulkan bayangannya. Hanya saja cermin memantulkan secara terbalik, tapi itu kenyataan, warna asli dari sebuah benda. Aku yang sudah tak bisa berhenti, sekarang masih tetap saja meyakini, bahwa aku pantas untuknya. Entahlah itu sebuah kesalahan, atau hanya sebuah hayal yang tak bisa ku wujudkan. Tapi aku meyakini bahwa semua yang ku rasakan pasti mempunyai sebuah makna terdalam.
Setiap malam, aku masih saja tak bisa melepas sebuah bayang dari seorang gadis cantik. Ia yang berjalan dalam cahaya suci, berbalut kain dari surga, membuat ku sangat kagum akan keyakinannya. Terbesit dalam anganku, ingin ku miliki dia, tapi tak bisa ku pungkiri, jarak terlalu jauh untuk ku ungkapkan rasa. Dia yang sudah setinggi langit, sedang aku masih baru berjalan menapak di atas bumi. Dan yang bisa ku lakukan hanya memandang dia yang tak pernah bisa ku gapai dengan tangan.
Tapi beberapa hari ini, aku selalu melihat wajahnya yang ayu. Ia yang selalu lewat di depan ku, memandang ke arah ku dengan santun, tak pernah ingin berlama-lama dalam pandangan. Dan aku semakin ingin tau tentang dirinya, ia yang sangat rahasia, menutup diri dengan begitu sempurna, menghias diri secukupnya, dan aku jadi jatuh cinta. Mungkin sebagian dari diriku merasa teretarik pada kecantikannya, sebagian yang lain tertarik akan keanggunannya, dan selebihnya karena kau merasa dia pas untuk ku hadiahkan kepada ibuku sebagai menantu.
Ah apa yang ku pikirkan, terlalu jauh khayalan yang ku buat, untuk sesuatu di luar kehendak. Tapi apa salahnya orang punya impian, toh semua yang ku impikan tak mengganggu orang. Dan yang ku khayalkan juga tak pernah ku ungkapkan pada siapa pun. Yah, itu hanya sebatas khayalan, hanya akan ku simpan seperti khayalan-khayalan lain yang telah bertumpuk di gudang penyimpanan.
Masih ku ingat betapa anggunnya dia ketika pertama kali ku berjumpa. Dia yang menjaga tangannya, membuat ku kagum akan prinsip sebagai seorang perempuan salekhah. Sebenarnya hampir tak bisa ku percaya, masih ada seorang seperti dia di zaman ini. sebenarnya aku juga kesal, sebab ia terlalu menjaga, seakan-akan aku seperti orang yang tak boleh disentuh sama-sekali. Aku merasa sekujur tubuhku penuh racun, dan ketika tersentuh akan lagsung membuat orang lain sekarat. Aku merasa, diriku sebagai orang aneh yang tak boleh disentuh oleh orang lain. Tapi hal itu yang membuat ku semakin tertarik dengan dirinya, dengan sikap sangat menjaga, ia luluh kan hatiku.
Entah ini harapan semu atau hanya rasa cinta yang suci, aku tak ingin membahasnya sekarang. Aku hanya tau sekarang aku merasakan sebuah rasa yang dulu pernah singgah. Mungkin itu perasaan yang sama seperti saat aku jatuh hati kepada seorang gadis, enam tahun yang lalu. Perasaan yang sama kini datang kembali dalam hati ku, dan aku tak tau harus bagaimana. Semua terasa begitu cepat, seperti hari yang terus berganti dari siang menuju malamnya.
Kini perasaan itu kembali muncul, seperti aku yang telah terlahir dengan harapan baru. Aku yang tak pernah bisa lari dari perasaan tertarik pada perempuan, hanya bisa terdiam memandang gadis cantik dalam lamunan. Bila saja aku mampu mengatakan semuanya, akan ku ungkapkan meski pun itu harus menjerumuskan ku dalam masalah. Tak peduli apa bahaya yang akan ku dapat, yang ku ingin hanya mengungkap semua yang ada dalam hati kecil ku. Aku berada dalam keyakinan yang pantas untuk ku perjuangkan sendiri.
Duduk di serambi masjid sambil melamunkannya, sama halnya seperti mengadu pada Tuhan kala berdoa. Mungkin memang tak sekhusuk saat berdoa, tapi ada hal yang hanya aku dan Tuhan yang tau, tentang apa yang ku maksudkan. Aku memang sengaja duduk di sini dari tadi, dengan harapan bisa melihatnya lagi untuk beberapa kali. Tak perlu banyak, hanya dua sampai tiga kali sudah cukup membuatku tenang untuk hari ini.
Tiba-tiba temanku sudah ada di samping ku, ia memandang ku dengan tatapan aneh, tanpa ku tau maksudnya. Dan tak ku pedulikan dia, biaralah dia tetap seperti itu, mungkin jika ada yang ingin dibicarakan, ia akan ungkapkan sendiri nanti.
“Fir, sibuk nggak??”, sudah ku duga. “Ada waktu buat diskusi bentar??”.
Sebenarnya aku tak mau berpikiran jelek, tapi untuk orang yang satu ini, tak ada bahan lain untuk diskusi selain, perempuan, makanan, dan cinta. Tapi baiklah, akan ku dengarkan sebisa ku, agar dia tak mengganggu ku dalam hal lain. “Diskusi tentang??”, walau sudah tau, aku tetap coba untuk bertanya.
“Tentang hidupku.”
Sepertinya aku sudah salah menduga, mungkin dia benar-benar ingin meminta saran dariku. Baru kali ini aku melihatnya serius, wajahnya menggambarkan, ada hal yang penting untuk disampaikan. Entah apa itu, tetapi sepertinya ia sangat terganggu dengan masalah tersebut. Mungkin masalah dengan keluarganya, atau tentang kuliahnya, aku tak tau persisi apa yang ingin dia bicarakan. “Oke, kenapa hidupmu??”
“Aku pengen punya pacar, yang solehah, bisa menjaga dirinya, menutup auratnya, dan akhlaknya baik. Kira-kira ada nggak yang kayak gitu?” Ungkapnya.
“Nggak ada??” Uacap ku datar.
“Maksutnya??” ia terheran-heran dengan jawabanku, “maksudnya nggak ada perempuan yang kayak gitu?, atau perempuan yang ku sebutkan tadi nggak ada di dunia ini??” tambah penesaran.
“Ada banyak alasan untuk jawabanku.” Aku berhenti sejenak. “Pertama, nggak ada perempuan solehah yang mau pacaran, karena dalam pacaran banyak perbuatan zina, dan perempuan solehah tak mau berbuat zina.” Jawabku ringan. “Kedua, perempuan seperti itu, langka di dunia ini, perbandingannya sangat jauh, dan jelas kamu tak akan mendapatkannya.” Ungkap ku menambahkan. “Dan yang terakhir, kalau kamu memang ingin serius sama seseorang, lebih baik ajak di menikah.” Ku coba buat ia mengerti. “Jelas?!!”.
Ia merenung sejenak, mencoba memahami apa yang ku katakan. Mungkin aku sedikit keras padanya, dan memang aku tak pernah bisa bermanis-manis ketika mengungkapkan pendapat. Aku hanya ingin membuatnya sadar, kenyataan memang penuh degan kepahitan. Tetapi dibalik itu semua, selalu ada hal manis yang diberikan oleh kenyataan. Tak ada kenyataan yang menunjukkan kebahagiaan. Kebahagiaan dalam kenyataan hanya akan tersembunyi dalam secarik senyum ketika menatap puas masa lalu yang kelam. Dan itulah sebuah kenyataan dari dunia fana, selalu menunjukkan kabut ilusi yang penuh dengan racun mematikan. Siapa tergoda dengan kefanaan, akan selalu menyesal di akhir waktu saat ia berhasil keluar.
Beberapa menit ia merenung memikirkan perkataanku, seolah ia benar-benar menghayati apa yang ku sampaikan. Mungkin ia sadar, apa yang ditanyakan adalah sia-sia. Tak ada jawaban yang pas sesuai dengan kemauannya. Biarkanlah ia berfikir, mempelajari setiap nilai dunia yang tak pernah bisa sesuai dengan keinginannya. Adil, tak pernah ada yang namanya sama dalam dunia ini.
Sembari aku membiarkan Dimas melamun sendiri, atau bisa dibilang merenung, tiba-tiba seseorang melewati kami berdua. Tatap matanya begitu lembut, menatap sayu ke arah ku, sangat dalam. Aku pun hanya bisa mematung, menatap kembali pada pandang itu dengan kekaguman. Inilah gadisnya,  gadis yang baru saja ku bicarakan di hadapan Tuhan, untuk ku minta hatinya. Inilah gadis itu, gadis cantik berparas bidadari yang sekarang turun ke dunia ku. Inilah si gadis, gadis perengut hatiku dari diriku sendiri.
Lama aku terpaku, menatapnya yang juga menatap ku, tanpa sekat, tanpa penghalang, di serambi masjid yang suci. Di sini aku terpaku menatap indah paras bidadari surga yang masih belum bisa ku sentuh. Aku hanya terpaku, memandang keanggunan yang begitu indah hingga ku tak sadarkan diri. Dalam keadaan itu aku seperti melayang, jauh tinggi menembus langit terakhir yang dibicarakan kitab suci.
“Siapa Fir??,” pertanyaan Dimas mengembalikan ku pada kenyataan. “sampai segitunya kau terpaku.”
“Lail.” Jawabku singkat.
“Firman.., Firman…, baru saja kau ceritakan dunia dan perempuan kepadaku. Kau sendiri juga tenggelam dalam lamunan tentang itu semua.” Gelak tawa Dimas mengakhiri kalimatnya.
Aku hanya diam, tak bergeming dengan ejekan yang baru dilontarkan. Aku hanya terpaku, karena tak ada yang harus ku jawab atas kalimat Dimas. Sebab Dimas tak pernah mengerti apa yang tengah ku rasakan, Dimas tak pernah mengerti, dan tak akan pernah bisa mengerti. Dan ku akhiri cerita ini, bersama dengan lamunan serta semua yang aku rasakan. Kembali pada dunia nyata yang penuh akan kebosanan, kegiatan monoton yang membelenggu, mengurung dalam keterbatasan.
Sekian.


Sismaku@
Malang, 15 Februari 2019

Posting Komentar

0 Komentar