Bungaku Dicuri Kumbang
Hanya senyum keikhlasan yang bisa ku gambar dalam wajahku, setelah tau semua yang telah terjadi. Aku sadar wanita secantik dia pasti sudah ada yang memiliki, karena tak mungkin sebuah mawar yang harum semerbak tak dihinggapi kumbang. Semua yang menarik pasti selalu dikerumuni banyak orang. Dan akhirnya aku harus tahu diri, memang aku siapa, hanya orang yang baru datang dalam kehidupannya.
Mungkin terlambat, aku didahului oleh orang yang jauh mengenalnya sebelum aku tiba. Memang mungkin nasibku, selalu harus mengalah, karena terlambat mengenal seseorang. Dan itu adalah kebiasaan ku dari dulu, selalu terlambat dalam setiap hal yang ingin ku dapatkan. Waktu yang tepat pun hanya terbuang sia-sia, tanpa pernah bisa ku manfaatkan. Dan aku selalu terjebak dalam suasana keterbatasan gerak antara megikhlaskan dan masih menyimpan rasa.
Memang sebuah kekacauan, terlebih lagi pada batinku yang terlalu rapuh akan besarnya sebuah rasa. Aku yang terus saja harus mengalah karena terlambat, mengukir senyum indah di wajah untuk menyamarkan kesedihan. Berat, selalu berat untuk tersenyum dalam rasa kecewa. Tapi apa boleh buat, hanya hal itu yang bisa ku lakukan setiap saat, menerima dan mengikhlaskan. Andaikan dua hal itu bisa ku lakukan dengan mudah, kekecewaan tak akan hinggap dalam hatiku sekarang.
Tapi apa gunanaya menyesali semuanya, toh semua tak akan ada hasilnya, semua yang telah hilang, ya akan hilang saja tanpa bekas. Aku memang tak ditakdir untuk memiliki senyum itu, dan mungkin senyumku sendiri adalah sebuah senyum yang melihat senyum orang lain. Kebahagiaanku adalah melihat orang-orang di sekitar ku tersenyum bahagia. Mungkin memang aku yang harus selalu mengalah, untuk membuat mereka yang ku cintai bahagia.
Maka dari itu senyum adalah cara terakhir yang ku lakukan untuk mengikhlaskan semua yang telah berlalu. Mungkin luka juga ada, tapi tak perlu ku tunjukkan itu semua pada dunia kan? Tak perlu ku bawa papan besar di depan dada, dan ku tuliskan “AKU SEDANG SAKIT HATI”. Tak ada rasa sakit yang harus ku tunjukkan pada dunia, dunia hanya butuh diriku tersenyum agar mereka tak khawatir dalam perjalanan. Maka dari itu aku harus selalu tersenyum, walau semua terasa berat dalam perjalanan ini.
Aku baru mengetahuinya beberapa hari yang lalu, mawar cantik ku adalah kepunyaan orang. Saat itu aku sedang berjalan di lorong menuju kelas pagi, masih sepagi seperti biasa ku jalani hari. Bersama Dimas seorang yang selalu setia mendengarkan keluh kesahku terhadap duniaku yang hampir hancur. Saat aku sedang asik bercanda dengan Dimas, tiba-tiba Abi datang, “Fir, Fir, kamu harus tau tentag ini.” Aku bertanya-tanya, apa yang membuat Abi seperti dikejar hantu. Kenapa ia seperti membawa kabar buruk yang akan menghancurkan hidupku.
“Fir, Lail Fir, Lail..,” suaranya terputus, nafasnya habis seperti berlari dari tempat yang jauh.
“Sebentar, atur nafasmu dulu!, tenang, baru bicara!” Kataku pada Abi.
Abi pun mengatur nafas, mencoba untuk lebih tenang agar apa yang disampaikan bermakna. Ia menarik nafas panjang, sebelum memulai kembali. “Lail akan menikah,” Kabar itu langsung saja menghancurkan duniaku. “ini undangannya.” Abi menyerahkan secarik undangan pernikahan, bertulis kan namaku di sampulnya. “Aku baru saja mendapatkannya, teman sekelas sudah mendapatkannya. Dan ini untukmu.” Pungkas Abi.
Aku hanya terdiam, merasakan betapa hancurnya hatiku remuk redam tak karuan. Luka kembali ku rasakan, kembali lagi aku harus terluka karena sebuah rasa yang tak pernah ku harapkan. Tak bisa ku salahkan, aku tak dapat menyalahkan Lail yang lebih memilih orang lain, ataupun Abi yang membawa kabar ini. Aku pun tak bisa menyalahkan seseorang yang dipilih Lail untuk mendampingi hidupnya. Aku tak bisa, aku tak bisa.
Aku pulang, membawa kekecewaan yang menghancurkan, berjalan menuju kamar kos di seberang jalan, dan kelas yang harus ku hadiri, ku tinggalkan. Aku berjalan keluar dari area kampus menuju jalan raya yang penuh kendaraan, tanpa teman, tanpa Dimas, tanpa Abi, tanpa Lail, dan tanpa harapan. Aku seperti mayat hidup yang kehilangan jiwa, sedang berjalan menuju liang lahatnya.
Dimas dan Abi telah ku tinggalkan di belakang, tak ku biarkan mereka menjadi saksi tangisku. Aku berjalan sendiri meniti jalan menuju kamar kosku, atau sekarang ku sebut sebagai liang lahat ku sekarang. Aku ingin berbaring disana, tak akan ku biarkan siapapun mengganggu kesedihanku, aku ingin belajar menerima kenyataan dengan kematian. Di liang lahatku sendiri, aku tak akan keluar, entah sampai kapan, entah berapa lama, aku hanya ingin sendiri sekarang.
Otak yang selama ini ku banggakan tak bisa berfungis dengan benar, otak yang penuh dengan kata bijak, tak bisa mendamaikan ku dengan petuahnya. Ia seperti mati seperti aku yang telah mati, ia juga ikut mati ditikam oleh perasaan. Tak ada kata bijak kali ini, yang ada hanya kehancuran rasa, kehancuran yang tak bisa terbendung oleh kata-kata. Maaf aku telah mati dalam pembaringan terakhir di sudut rasa sepi oleh kekecewaan ini.
***
“Gimana kau Bi, nggak mikir perasaan Firman apa?!!” Bentak Dimas pada Abi.
“Mana ku tau Dim, aku nggak tau kalau Firman akan seperti ini!” Sanggah Abi atas tuduhan Dimas.
“Ya kalau kamu tau, kamu nggak akan kasih kabar itu Bi.” Sikap Dimas acuh.
“Oke gini, memang kenapa dengan Firman. Kenapa dia sampai seperti tak terima dengan pernikahan Lail?.” Abi tak bisa membaca keadaan.
“Aduh…” keluh Dimas sia-sia. “Bi, kau tau tidak, Firman sudah menyatakan komitmen pada Lail. Sekarang Lail mau menikah, dan kau masih tanya kenapa!!, bisa baca keadaan nggak sih??.” Sergap Dimas.
“Lho sudah sampai sejauh itu??!,” tanggap Abi. “lalu gimana??, Lail jawab apa?.”
“Sebenarnya belum ada jawaban dari Lail. Lail juga tak pernah bilang kalau ia mau menikah. Bahakan ia tak pernah bilang pada Firman kalau ada orang lain.” ungkap Dimas menceritakan apa yang ia tau.
“Aku juga kaget sebenarnya, tiba-tiba ada undangan dari Lail. Yang aku tau Firman memang memendam rasa pada Lail. Tapi aku tak tau sampai sejauh itu.” Tanggap Abi mengomentari permasalahan Firman.
“Sebentar,” Sergap Abi mengungkapkan pikiran yang terlintas dalam benaknya. “kalau Firman sudah mengungkapkan perasaanya, dan Lail tak menjawab, lalu kenapa Firman begitu kecewa. Seharusnya Firman tau dengan kebungkaman Lail, sudah menjadi tanda bahwa Lail tak membalas rasanya.”
“Kamu seperti tak tau saja. Firman itu orang jawa, dan Lail juga orang jawa. Bagi orang jawa, diam berarti ada kesempatan.” Jawab Dimas.
“Dim, kita hidup di zaman moderen, diam bukan lagi berarti ‘iya’, meskipun mereka berdua sama-sama orang jawa.” Sangkal Abi.
“Nah, itu juga yang ku pikirkan. Mungkin Lail bukan lagi orang jawa asli yang mengiyakan tawaran dengan diam, mungkin Lail sudah jadi orang lain.” Dimas menyetujui pemikiran Abi. “Tapi Firman tak memikirkan itu, ia tetap mempertahankan kejawaannya.” Pungkas Dimas.
“Lalu sekarang gimana Dim?” tanya Abi.
“Gimana apanya??.” Tanya Dimas kembali.
“Soal Firman, sekarang bagaimana cara menenangkan Firman. Aku takut Firman nekat.” Ungkap Abi khawatir pada keadaan Firman.
“Huusst, jangan berfikir macam-macam.” Larang Dimas. “Seputusasanya Firman, dia nggak akan melakukan hal yang membahayakan dirinya sendiri. Aku percaya itu.” Sangkal Dimas menguatkan.
“Aku cuma khawatir.” Jelas Abi.
***
“Hai Dim, Bi, ngapain di sini??” seorang perempuan menyapa Dimas dan Abi di meja kantin tempat mereka duduk dari tadi. “mana Firman?, biasanya dia selalu sama kalian??.”
“Hai Rin, ini aku sama Dimas sedang bicara masalah Firman.” Abi menanggapi. Dimas menutup mukanya, merasa kecewa atas jawaban Abi yang tak bisa menutup rahasia.
“Lho, Firman ada masalah apa??.” Tanya Rini sembari bergabung duduk di tempat mereka.
Abi terdiam, Dimas pun juga ikut terdiam, mereka tak bisa menjawab pertanyaan dari Rini. “Lho, kok pada diem, Firman kenapa?.” Rini semakin memburu jawaban.
“Emmmm, Firman…, Firman gapapa.” Jawab Dimas tergagap. “Dia tadi merasa pusing, lalu pulang duluan.” Jawab Dimas ngarang.
“Oh gitu, kiranin ada apa-apa sama Firman.” Rini lega. “Ya sudah, aku ke kos Firman aja, mau lihat keadaanya.” Rini bergegas pergi meninggalkan Dimas dan Abi.
“Rin!!, nggak minum dulu?!!” Teriak Dimas mencoba menahan Rini.
Dimas mengarahkan pandanganya pada Abi, ia menatap Abi tajam tanpa sepatah kata pun. Tatapan kecewa campur amarah yang hampir membunuh Abi dalam duduknya. Tatapan itu tak diikuti dengan kata-kata, tapi sudah cukup membuat Abi terbujur kaku seperti orang mati. Abi merasa bersalah, apalagi dengan tatapan itu, seolah ia menjadi seorang tersangka dalam kasus pembunuhan.
“Dim, sorry Dim, sorry, sorry Dim. Aku benar-benar lupa Dim.” Pembelaan Abi.
“Kau tau sendiri perasaan Rini pada Firman, lalu masih saja kau keceplosan. Kau tak punya otak ya?!!.” Kata Dimas menghardik.
“Bener Dim, aku lupa.” Abi masih membela dirinya.
“Kau tau tidak, bagaimana marahnya Firman kalau rahasianya terbongkar.” Jawab Dimas.
“Sumpah Dim aku lupa.” Sanggah Abi.
“Udah lah Bi, emang susah kalau ngomong sama orang yang nggak bisa jaga rahasia.” Dimas pergi meninggalkan Abi yang menyesal.
“Dim, mau ke mana??, maaf Dim!!” Abi tetap membela diri, meski Dimas sudah jauh meninggalkannya.
Abi masih tak terima dengan sikap Dima yang mengacuhkan dirinya. Sebenarnya Abi merasa tak bersalah dengan apa yang ia ungkapkan, toh itu hanya rahasia kecil, dan setiap manusia punya rahasia. Walaupun sebenarnya rahasia tetaplah rahasia, baik kecil atau pun besar, itu tetap rahasia. Tapi Abi tak memikirkan hal itu, bagainya rahasia adalah hal yang patut diungkapkan bukan hanya dipendam. Apalagi rahasia itu tentang perasaan, perasaan itu harus diungkapkan, kalau tak diungkapkan, mana bisa orang lain mengerti.
Menurutnya Firman juga salah, kenapa ia hanya ingin merahasiakan semua perasaannya. Apa gunanya perasaan yang terus dipendam, semua orang harus tau apa yang Firman lakukan, hingga dunia juga membantunya dalam mencapai tujuan. Setidaknya dia akan mendapat peringatan tentang bagaimana Lail, serta apa yang sedang terjadi kepadanya. Melalui hal itu Firman mampu mengatasi apa yang akan ia hadapi, jika perasaannya terlanjur tertancap dalam.
Menurut Abi, Firman salah, Firman tak pernah mau mendengarkan nasehat orang lain. Firman adalah orang yang tak pernah mau mengumpulkan informasi, tapi membuat asumsi sendiri tentang apa yang ia hadapai. Firman adalah orang yang grasa-grusu dalam bertindak, tanpa memperhatikan situasi di sekitarnya. Jadi wajar kalau Firman selalu mendapat kekecewaan pada harapannya. Firman tak pernah mendapatkan apa yang ia harapkan dengan sempurna.
Tapi Abi juga merasa, Firman adalah satu-satunya teman yang mengerti dirinya. Abi banyak berhutang kepada Firman, baik dalam hal kuliah, maupun hal lain. Firman adalah anak pintar yang mampu menjadi pendengar yang baik bagi orang lain, serta memberikan solusi. Kalau dipikir lagi, Lail sangat rugi tidak menerima Firman sebagai kekasihnya. Abi yakin, Lail sudah salah memilih orang untuk mengenal Firman. Sebab tak semua orang mengenal Firman dengan baik, semua orang hanya mengenal Firman sekilas, dengan sifat pendiam dan acuhnya. Padahal dibalik itu, Firman adalah orang dengan penuh kehangatan yang bisa menjadi tempat berkeluh kesah serta meminta saran.
Tapi semua sudah terlanjur, waktu tak bisa kembali mundur, undangan pun sudah menyebar, serta tenda biru siap dipasang. Tak ada kesempatan bagi Firman untuk menjelaskan, termasuk Dimas dan Abi sendiri. Meskipun kecewa, semua harus diterima dengan lapang dada, walau masih ada sedikit celah untuk memperbaikinya. Hanya saja semua celah itu tak bisa ditembus dengan cara biasa, ada taruhan besar yang harus dibayar.
Abi hanya bisa menelan nafas percuma, ia merasakan benar apa yang tengah dirasakan sahabatnya. Abi pun tak bisa berbuat apa-apa untuk membantu sahabatnya memperjuangkan keinginan. Yang bisa dia lakukan hanya datang pada Firman, menghiburnya, membuatnya kuat melewati ini semua. Abi akan menjadi Firman untuk Firman yang sedang menjadi Abi sekarang. Dan Abi sudah siap dengan semua hal yang akan diterima.
Sekian.
Sismaku@
Malang, 17 Februari 2019
0 Komentar