Saya dan Anti
“Maaf terlambat.” Seorang gadis, mengenakan kerudung panjang, berusaha mengatur nafas, setelah berlari menghampiri seorang pemuda di bangku taman alun-alun kota. “Udah lama nunggu ya?, maaf, maaf banget, soalnya tadi masih ada urusan sama temen, dan nggak mungkin ana ajak ke sini.”
Dalam keadaan duduk, pemuda itu tersenyum, ia tak keberatan dengan keterlambatan gadis itu. “ Gapapa, saya juga baru datang kok,” ia pun berdiri, menatap langsung sang gadis, lalu bertanya, “lalu mau ke mana kita??”.
“Terserah, emang mau ke mana??” si gadis balik bertanya.
“Maksudnya, tetap di sini, atau sambil jalan??, katanya ada yang mau dibicarakan dengan saya.” Jelas si pemuda.
“Ya terserah gimana enaknya.” Tandas si gadis.
“Ini yang ngajak jalan siapa, yang diajak jalan siapa??,” gerutu si pemuda.
“Bukan tentang siapa yang ngajak dan siapa yang diajak, tapi terserah anta, nyamannya gimana.” Sang gadis membela diri. “Iiiih, anta itu selalu membuat saya kesal, selalu menyebalkan seperti biasanya.” Protes si gadis.
Segaris senyum tergambar pada wajah sang pemuda, dan ia menjawab, “Baiklah, gimana kalau sambil jalan?, sembari menikmati pemandangan sekitar.” Ajak si pemuda.
Pemuda itu pun berjalan, diikuti sang gadis di sampingnya, mereka mulai menapaki jalan di sekitar taman alun-alun kota. Langkah beriring dari kedua anak muda itu, memecah perhatian dari beberapa orang di sekitarnya. Memang hanya sekilas, beribu tatapan terlempar mengarah pada kedua muda-mudi yang sedang berjalan bersama. Tatap mereka hampir sama seperti hakim di pengadilan, seperti mereka punya hak untuk menghakimi sebuah masa.
Tapi biarlah, tatap itu hanya sementara, pendapat yang tak pernah pasti dari mereka yang menjadi hakim cadangan. Tak perlu risau dengan keputusan yang mereka ambil, hal itu tak pernah punya arti untuk kehidupan. Keputusan itu hanya akan jadi opini, menghilang, dan akan sirna pada masa-masa setelahnya. Tak perlu ada yang dikhawatirkan, hidup akan terus berjalan walau tak ada pendapat dari mereka.
Jadi apa gunanya memikirkan hal itu, keduanya pun tak mengenal mereka secara pribadi. Mereka pun terus melangkah tanpa berfikir lebih panjang, melanjutkan langkah berkeliling melihat keanggunan buatan manusia. Keduanya sedang menikmati pemandangan di waktu sore menjelma senja, saat matahari menjelmakan warna jingga menenangkan. Warna jingga keemasan yang membawa kedamaian suasana sendu sebelum malam mencekam datang.
Mereka hampir terlena dengan ketenangan yang dibawa oleh senja, serta mulai lupa alasan mengapa mereka bertemu. Atau mungkin, karena tak ada yang memulai pembicaraan, mungkin dalam hati, mereka saling menuntut satu sama lain untuk memulai pembicaraan. Mereka sama-sama merasa tidak berhak untuk memulai, mereka saling berharap pada masing-masing untuk memulai pembicaraan tersebut. Bagi mereka tak ada yang berhak memulai, yang berhak memulai adalah orang yang punya hak untuk mengawali. Sang gadis tak berani untuk mengawalinya, sebab ia gadis. Sedang sang pemuda pun tak mau untuk mengawalinya, sebab bukan dia yang meminta perjumpaan. Lalu siapa yang berhak memulai?, yang berhak memulai hanya orang yang punya hati besar untuk mengungkapkan masalahnya.
Sang gadis pun mulai gusar, ia mulai tak mampu menahan rasa yang ingin diungkapkan sejak lama. Tapi ia hanya seorang gadis, ia masih terbelenggu dalam hijabnya, hijab panjang yang menutupi setiap jengkal tubuhnya. Sambil berjalan, ia menatap dalam-dalam si pemuda dengan penuh pengharapan, mungkin. Mungkin, apa yang bisa diharapkan dari kemungkinan, kemungkinan hanya akan tinggal di sudut kehidupan sunyi bernama masa lalu. Tak pernah ada yang bisa terwujud tanpa percobaan, harapan hanya akan tinggal saat masa depan telah datang. Percobaan seaneh apa pun akan menghasilkan sesuatu, dibanding hanya diam seraya menatap harapan.
Akhirnya sang gadis mengalah, ia mulai bicara. “Akh, ada yang ingin ana tanyakan pada anta, inilah alasan ana mengajak anta bertemu di tempat ini.” sang gadis lega, ia bisa memulai dengan lancar pembicaraan.
Si pemuda hanya diam, mengangguk setuju seperti kebanyakan pria yang telah tunduk pada perempuannya. Mereka terus berjalan, dan memulai percakapan. “Apa maksud anta memberikan jam tangan pada ana?, dan apa tujuan anta pada ana?, di satu sisi anta sering sekali berdebat dengan ana, bahkan tentang hal kecil sekali pun. Di sisi lain, anta memberikan perhatian pada ana, dan anta sangat tahu hari penting dalam hidup ana.” Sang gadis berhenti sejenak, mencoba mencari kata yang pas untuk mengungkapkan perasaannya. “Maksudnya anta itu sangat menyebalkan di depan banyak orang, tapi di balik itu semua anta juga punya perhatian pada ana.” Sang pemuda hanya tersenyum tipis sambil mendengarkan sang gadis. “nah kan, anta cuma tersenyum, ana ingin dengar jawaban Akh, bukan ingin melihat senyuman anta.” Protes sang gadis. “Maksudnya…” ia tak sanggup melanjutkan.
Belum sempat melanjutkan, sang pemuda menyanggah. “Maksudnya saya ini orang yang menyebalkan?” ia tersenyum.
“Bukan gitu!!” Protes si gadis.
“Tapi??”, si pemuda mencecar, “saya adalah orang paling menyebalkan dan juga punya perhatian pada jenengan??.”
Wajah sang gadis mulai memerah, rona merah tampak di pipi sang gadis menujukan perasaan malu yang ia rasakan. Sang gadis memalingkan wajah, mencoba menutupi perasaannya, berharap rasa itu hilang dari sanubarinya. Ia tak mampu menatap sang pemuda, perasaannya tak bisa ditutupi jika ia menatap sang pemuda.
“Dari semua yang jenengan rasakan, apa jenengan juga merasa, saya menyimpan rasa pada jenengan?.” Kini sang pemuda mencoba mengungkap perasaannya. Dengan nada tenang, ia mencoba mengurai semua rasa dengan kata-kata.
Sang gadis menatap tajam, ia menatap aneh pada orang di sampingnya. Ia tak sepenuhnya mengerti dengan apa yang diucapkan oleh sang pemuda. Sang gadis hanya terdiam mencoba menggali lebih banyak makna dari ucapan pemuda di sampingnya. Sembari terus melangkah, sang gadis mendengarkan dengan seksama apa yang diucapkan sang pemuda.
“Semua bermula pada saat saya, untuk pertama kalinya, berjumpa dengan anti.” Kata sang pemuda mengenang. “Waktu itu, untuk pertama kalinya, mata kita saling berjumpa, dan anti menutup senyum anti dengan tangan.” Lanjutnya. “Saya tak mengerti, mengapa anti melakukan itu, tapi hal itu yang terus mengingatkan saya pada anti di waktu malam-malam berikutnya.” Keduanya pun saling tersenyum.
Mereka pun terus berjalan, menyisir setiap tepi taman, sembari melanjutkan pembicaraan. “Jujur saya akui, anti begitu cantik, dan kecantikan anti itu berbeda dengan gadis lain yang pernah saya temui. Anti punya satu hal, entah itu apa, sampai sekarang pun saya tak bisa merumuskannya dalam kata, yang membuat kecantikan anti berbeda dengan gadis lain.” Sang gadis pun tersipu mendengar hal itu.
Sang gadis pun menanggapi. “Kalau anta, menaruh hati pada ana, kenapa selama ini anta seperti memusuhi ana saat dalam forum diskusi?”, sang gadis bertanya sinis, “Mengapa anta begitu memusuhi ana? Sedangkan baru saja anta bilang, anta sudah memendam rasa itu sejak pertama kali berjumpa dengan ana.” Sang gadis merasa kebingungan dengan apa yang di ungkapkan si pemuda. “Akh, anta itu sangat menyebalkan, sikap anta kepada ana sangat bertolak belakang dengan apa yang anta katakan barusan.” Dengusnya kesal.
Lagi-lagi dengan senyum ringan sang pemuda menjawab. “Itulah saya, saya adalah orang yang tak mau berurusan dengan perasaan saat terlibat dalam forum. Saya tidak ingin perasaan saya mengganggu keputusan saya, ketika saya harus mengambil keputusan. Dan saya akui, anti adalah orang yang paling sulit untuk saya hadapi dalam forum. Saya pun pernah jengkel dengan hal itu, tapi karena hal itu pula rasa kagum saya semakin membesar pada anti.”
Sembari berjalan, mereka terus mengungkap rasa, mengungkap semua hal yang pernah mereka lewati dalam pertentangan mereka. Aneh memang, ada orang yang begitu mengagumi, tapi sekaligus memusuhi, seolah perasaan kagum itu tersimpan dalam perlawanan. Mungkin dibalik rasa benci selalu ada rasa kagum yang tersimpan rapi. Dan mungkin dibalik rasa kagum yang berlebihan, ada rasa benci yang menyusup diam-diam tanpa diketahui.
Kedua insan ini tetap berjalan, menyusuri taman, dipayungi rerimbunan daun pohon dari terik matahari. Mereka berjalan perlahan, menyusuri jalan setapak yang membawa mereka pada kolam air mancur di tengah-tengah taman. Sang pemuda menatap sendu pada gadis yang berjalan di sampingnya, ia merasakan sesuatu yang tak pernah ia rasakan. Seperti semua yang ia inginkan telah tertulis dalam gurat wajah sang gadis. Sang gadis yang tau tengah diperhatikan mulai memerah wajahnya, ia memalingkan parasnya mencoba menyingkirkan perasaan aneh saat dirinya diperhatikan.
Tapi ada perasaan aneh dalam dirinya, sang gadis merasa bingung dengan pernyataan si pemuda. “Kalau anta jengkel pada ana, kenapa anta masih merasa kagum pada ana?, seharusnya seorang yang sudah merasa jengkel pasti memilih untuk mengabaikan rasa itu.”
Sang pemuda hanya diam, lalu ia berkata “Duduk yuk!” pintanya pada sang gadis.
Mereka pun duduk, berhadapan dengan air mancur di depan mereka yang menyemburkan air ke atas. Mereka duduk bersebelahan, memandang lurus ke arah air mancur di tengah taman, mengagumi keindahan yang ditimbulkan dari semburan airnya. Lalu kedua tatap itu bertemu, kedua tatap itu saling bertatapan, semakin dalam, dan semakin dalam kedua tatap itu, hingga sampai bagian terdalam kedua pasang mata masing-masing.
Senyum pun tergambar dari kedua bibir mereka, menggambarkan perasaan yang sama pada diri mereka. Rasa yang tak pernah, dan tak akan pernah bisa ditafsirkan dalam kata-kata, perasaan yang hanya bisa ditafsirkan oleh dua hati insan ini. Perasaan yang pernah hadir pada adam dan hawa ketika untuk pertama kalinya mereka dipertemukan. Perasan yang hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang sedang dalam ketenangan.
Lalu mereka sadar, tak seharusnya tatap itu merasuk terlalu dalam, hingga mereka sulit untuk keluar. Sempat dalam keheningan itu, mereka tak dapat keluar, menuju dunia yang sebenarnya. Dan tiba-tiba mereka memalingkan wajah, memaksa tatap mereka untuk keluar dari apa yang dijelajahinya. Mereka hanya tak mau tersesat lebih dalam hingga tak mampu lagi untuk keluar dari tempat yang paling menyesatkan. Kedalaman tatap yang begitu menjerat dan menyesatkan beribu manusia di dalamnya.
“Kembali pada pertanyaan anti sebelumnya,” si pemuda mengulang pembicaraan. “Memang saya akui, saya sempat jengkel pada anti, tapi ada hal lain yang lebih besar dari rasa jengkel itu. Saya menjadi tertarik dengan sifat keras kepala anti yang begitu sengit menyaingi saya,” si pemuda berhenti sejenak. “Saya suka dengan sikap anti yang seperti itu, dan tentu saja saya juga suka sifat keras kepala anti.” Lanjutnya mengakhiri kalimat.
“Kenapa sifat keras kepala ana yang anta suka?, bukankah itu sifat yang selalu dihindari banyak kaum laki-laki dari seorang wanita?”. Si gadis memprotes. “Apa hal positif yang anta lihat dari sifat keras kepala ana?, anta aneh?”. pungkasnya.
Sang pemuda hanya tersenyum tipis, menetap dengan penuh perhatian pada wajah masam di sampingnya. Lalu ia jawab, “Ada hal yang tak bisa saya terangkan melalui bahasa, tentang sifat keras kepala anti. Hal itu berisi tentang kekaguman saya pada anti.” Jawab sang pemuda tenang.
“Ukh, anti bisa lihat kolam air di sebelah sana.” Si pemuda menujuk kolam air mancur di depannya. “Anti bisa lihat dasar kolam?” sang gadis mengangguk pelan, mencoba memahami apa yang dimaksudkan. “Kalau anti bisa melihat dasar kolam itu, anti tak perlu menceburkan diri ke dalamnya untuk tau seberapa dalamnya.” kata si pemuda.
“Apa hubungannya tentang dasar kolam dengan hal yang kita bicarakan ini?” tanya sang gadis masih tak mengerti.
“Itu cuma analogi awal. Selanjutnya, bayangkan jika berada di pinggir pantai, berhadapan dengan samudera yang tak ingin menujukan dasarnya. Apakah anti bisa langsung melihat dasarnya tanpa menyelaminya?”, si gadis menggelengkan kepala. “Hati manusia hampir mirip dengan samudra yang anti tatap ukh, apa yang terlihat di permukaan, tidak sama dengan apa yang berada di dalamnya. Bahkan mungkin, lebih banyak yang tersimpan di dalam hati dari pada yang tampak oleh mata.” Tandasnya. “Dan saya ingin menyelami samudera hati anti.” Tegasnya meyakinkan.
“Maksud anta??”. Sang gadis masih menerka.
“Saya ingin lebih mengenal anti lagi.” jawabnya mantap.
“Kalau maksud anta ingin menjadi pacar ana, maaf ana tidak bisa, Ana nggak suka pacaran, ana nggak mau berurusan dengan hal semacam itu. Ana punya prinsip dalam hidup ana.” Tegasnya.
“Saya ingin serius dengan anti, bukan dalam hubungan main-main. Saya benar-benar ingin menjalin hubungan serius dengan anti. Membina hubungan yang halal, sesuai dengan agama kita.” Mata sang pemuda menatap tajam, sayu tapi cukup kuat untuk membulatkan tekadnya.
Sang gadis tercengang dengan perkataan sang pemuda, ia tak mampu berkata seketika. Ia hanya diam, masih tak bisa berkata setelah apa yang baru ia alami. Dia sungguh terkejut, orang yang selama ini ia anggap tak punya keberanian, orang yang selama ini hanya terkenal keegoisannya, orang yang sangat ia benci dalam segala hal, mampu mengucapkan kalimat yang paling ditunggu olehnya, dirindukan seorang perempuan. Ia tak sanggup menjawab, dirinya seperti patung yang tercengang dengan perasaan takjub dan bimbang bercampur menjadi satu.
“Saya memang bukan siapa-siapa, mungkin hanya orang yang baru anti kenal,” si pemuda melanjutkan. “Mungkin bila dibandingkan dengan dengan Arya atau Fatih, saya tidak ada apa-apanya.” ucapnya menyebut dua nama. “Dibandingkan saya, salah satu dari mereka lebih mampu membahagiakan anti, mereka pun sudah bernama, tidak seperti saya, yang belum sepenuhnya anti kenal.”
“Tapi ukh, ketika setiap hari saya berjumpa dengan anti, saya semakin yakin dengan perasaan ini.” kata si pemuda tulus. “Saat saya melihat anti, saya seperti melihat ibu saya sendiri. Mulai dari situ saya yakin, anti mampu menggantikan ibu saya sebagai bu nyai.” Tegasnya.
Sang gadis tetap saja diam. Tetap terpaku dalam guncangan dahsyat dalam dirinya, dibumbui banyak pemikiran yang tak pernah terpuaskan. Dia tetap melihat ke bawah, mencari jawaban atas pertanyaan yang disodorkan oleh pikirannya, hampir tak berani menatap sang pemuda.
Mungkin masih terkejut dengan apa yang baru saja ia alami. Ia baru menerima lamaran tiba-tiba, dari seseorang yang cukup baru di hidupnya. Seorang pemuda yang ia anggap sebagai pengecut, tak punya keberanian sama sekali dalam hidupnya, baru saja melamarnya, tanpa pemberitahuan, tanpa isyarat. Ia tak menyangka, sosok pemuda yang dianggap tak pernah peduli akan perasaan orang lain, ternyata menyimpan begitu banyak rahasia dalam hatinya.
“Baiklah, mungkin anti butuh lebih banyak waktu untuk berfikir. Mengingat ini bukan hal mudah untuk diputuskan seketika.” Ucap si pemuda sedikit menenangkan. “Simpan saja pertanyaan itu dalam hati anti. Sekarang, mari kita pulang dulu ukh, saya tak ingin anti kena masalah karena saya. Biar nama saya tetap buruk, nama anti jangan.” Tandasnya mengakhiri pembicaraan, lalu berjalan menjauh dari tempat itu terlebih dahulu.
“Akh tunggu!!,” sang gadis menghentikan langkahnya. “lalu apa maksud anta, mengirim jam tangan pada ana?”
“Tentang jam tangan itu,” sahut si pemuda sambil menatap gadis yang masih duduk di belakangnya. “jam itu hanya sebuah penunjuk waktu ukh, hanya penunjuk masa yang telah, sedang, dan akan dilewati. Jam itu hanya sebagai penunjuk masa lalu, sekarang, dan yang akan anti lewati setelahnya. Tak ada hal istimewa di dalamnya, hanya sebuah penunjuk bagi anti saat melewati sebuah masa.” Sang pemuda tersenyum tipis mengakhiri kalimatnya, senyum tipis yang begitu ikhlas, tanpa kebohongan. Lalu ia kembali melangkahkan kakinya.
Sang gadis pun bangkit mengikuti si pemuda, ia beranjak pergi, menjauh dari tempat duduknya. Walaupun masih dirundung banyak pertanyaan, yang pasti ada hal yang ia dapat dari pembicaraan barusan. Mungkin tentang perasaan sang pemuda, atau mungkin tentang jam tangan yang ia terima. Walaupun masih menyisakan banyak pertanyaan, yang jelas ada sedikit perasaan lega dalam hati sang gadis.
Keduanya pun menghilang di ujung jalan taman. Masing-masing mengambil jalan berbeda meninggalkan titik pertemuan. Mereka tak ingin kelihatan bersama, mungkin tak ingin mengambil resiko atas pandangan orang, atau mungkin jalan mereka yang memang tak sama. Tapi yang jelas pertemuan ini telah berakhir, walau dalam waktu dekat, mereka pasti bertemu kembali dengan atau tanpa keadaan yang sama.
Sekian.
Sismaku@
Malang, 2 Januari 2019
0 Komentar