Mengundang Tanya
Sebuah ruang kelas dipenuhi oleh mahasiswa nganggur karena ditinggal oleh dosennya. Hari ini kelas kosong, sebab yang ditunggu kedatangannya sedang ada urusan, entah itu urusan penting atau sekedar alasan. Yang jelas saat ini kelas diliburkan, karena dosen matakuliah tidak bisa hadir. Dan hal itu sangat mengecewakan bagi mereka yang sudah datang jauh-jauh dari rumah hanya untuk hadir pada jam kuliah tunggal di hari ini.
Mungkin bagi mereka yang rumahnya dekat atau kos di sekitar kampus, tak akan jadi masalah. Tapi tidak untuk Anggun, ia harus melewati 33 kilometer hanya untuk memenuhi tanggung jawabnya untuk hadir dalam kelas. Dan sekarang ia harus melewati 33 kilometer lagi untuk kembali ke rumah dengan tangan hampa. Memang kadang-kadang dosen tak pernah memikirkan mahasiswanya, tak punya rasa kasihan dan seenaknya sendiri mengambil keputusan. Hal itu yang sedang digumamkan oleh Anggun saat ini, di bangku tempat duduknya.
Tapi Anggun tetap tak beranjak dari tempat ia duduk, tetap di sana, melihat keluar melalui jendela kaca. Tampak jelas saat itu, gumpalan awan mulai menghitam, berkumpul menjadi satu, dan akan menurunkan titik-titik airnya. Ia menghela nafas dalam-dalam, mencoba untuk tenang, sembari menghembuskan nafas perlahan. Jika aku nekat pulang saat ini, sudah pasti besok aku demam, pikirnya dalam hati. Ia tak mau mengambil resiko hanya untuk pulang, sementara hari sudah mulai gelap.
Cewek berhijab dan berkaca mata ini mulai ragu dengan pilihannya, entah harus melawan hujan karena hari sudah gelap, atau tidak pulang sampai besok. Kenapa saat dosen yang menyebalkan ini tak hadir, ada pula mendung yang menghalangi ku untuk pulang, gerutu Anggun dalam hati. Tiba-tiba gerimis pun mulai turun membawa rintik air hujan yang membasahi bumi. Anggun menutup mukanya dengan kedua tangan, ia sangat kecewa sembari berucap lirih “Ah, turun pula hujan ini.”
Ruang kelas sudah hampir kosong, hampir semua mahasiswa sudah pulang sebelum rintik hujan menyapa bumi. Hanya beberapa orang yang masih ada dalam kelas, mungkin mereka punya beberapa urusan yang harus diselesaikan. Tapi orang-orang ini tak seperti Anggun, mereka hanya menyelesaikan urusan dan bisa pulang kapan saja. Mereka tak khawatir dengan datangnya hujan karena tempat tinggal mereka di sekitar kampus. Berbeda dengan Anggun yang harus melewati 33 kilometer untuk menikmati kehangatan rumah.
Ketika gerimis kecil mulai bertambah, semua orang mulai hilir mudik menuju pintu keluar. Mereka meninggalkan kelas, menuju tempat tinggal masing-masing. Tapi tidak dengan Anggun, ia tetap berada di bangkunya, menekuni buku mata kuliah yang ia bawa, sembari melihat jarum jam di tangan yang terus berdetak. Entah sebenarnya apa yang Anggun tunggu, apakah itu sebuah keajaiban, atau sesuatu yang akan membantunya keluar dari masalah.
Tiba-tiba dari pintu ada seseorang yang memperhatikan Anggun. Ia sedikit bingung, kenapa Anggun tidak meninggalkan tempatnya dari tadi padahal teman-teman yang lain sudah pulang ke rumah masing-masing. Ia pun bertanya “Anggun, nggak pulang??”.
“Nggak bisa kayaknya, bentar lagi hujan, dan aku nggak bawa mantel untuk pulang.” Anggun tersenyum manis di akhir kata.
“Hah??!, terus kamu mau tidur di mana malam ini??” masih dari tempat yang sama ia mengajukan pertanyaan.
“Entahlah, mungkin di ruang senat.” Jawabnya ragu. “Aku bawa kunci ruangannya kok.”
“Baiklah, nggakpapa kamu tidur sendirian di sana??” Rio terdengar mengkhawatirkan Anggun.
Anggun beranjak dari tempat duduk, menganggukkan kepala, ia memberi isyarat pada Rio bahwa tak perlu ada yang dikhawatirkan. Anggun berjalan keluar ruangan, melewati sosok Rio yang masih terpaku di ambang pintu. Ia berjalan dengan santai, menekuni dari setiap jengkal lantai yang membawanya ke ruang senat. Sedangkan Rio hanya memandangnya di ambang pintu, memastikan Anggun benar-benar pergi ke ruang senat.
Hujan pun mulai turun membasahi permukaan bumi saat Rio mencoba pulang. Ia sudah hampir sampai ke kosnya, saat hujan mulai turun dengan lebat. Sang surya telah kembali meninggalkan bumi ini, menyisakan petang yang sunyi ditemani oleh hujan. Keadaan pun bertambah dingin dengan derasnya air hujan yang turun dari langit. Lampu penerang jalan satu demi satu menyala, untuk menggantikan matahari yang telah tenggelam. Malam pun berjalan, dengan derasnya rintik hujan yang semakin membuat kesunyian di jalanan.
Rio sedang berada di depan sebuah rumah tak berpenghuni, berteduh dari derasnya hujan yang mengguyur bumi tercintanya. Bajunya sedikit basah, terkena air hujan yang mengguyurnya sebelum menemukan tempat untuk berteduh. Hawa dingin mulai merasuk dalam tubuhnya, Rio mulai menggigil kedinginan. Ia melipat tangan di depan dada, selaras mencoba untuk menahan hawa dingin yang menerpa.
Dalam hening malam yang diiringi derasnya air hujan, ia mulai teringat sosok Anggun di kampus yang berteman sepi. Rio terus terbayang wajah Anggun, seprti ada rasa bersalah dalam dirinya meninggalkan Anggun sendiri di kampus. Ia juga mulai berpikiran yang tidak-tidak, seperti akan terjadi sesuatu pada diri Anggun. Rio mulai merasa harus segera kembali ke kampus, setidaknya ia bisa memeriksa keadaan Anggun di sana.
Tapi hujan semakin lebat, jangankan ke kampus, untuk melanjutkan langkahnya ke kos saja ia tak bisa. Akhirnya Rio hanya bisa terdiam, menunggu hujan reda, dan membiara kan waktu berjalan menyisakan rasa penasaran. Rio kini diselimuti dengan bayak dugaan, ia tak bisa tenang memikirkan Anggun yang berada di kampus sendirian. Mungkin hanya sebuah doa yang ia bisa panjatkan, agar Anggun baik-baik saja.
***
Sementara di ruangan senat, Anggun hanya bisa terdiam, memandang keluar jendela, menyaksikan ribuan tetes air langit jatuh ke permukaan bumi. Ditemani oleh hawa dingin yang merayap ke tubuhnya, Anggun merasakan kesunyian dalam dirinya. Ia sadar, hari sudah mulai petang, matahari pun tak lagi nampak dari tempat biasa ia bersemayam. Kegelapan pun mulai datang merayap ke setiap penjuru ruangan, di mana Anggun sedang duduk sendirian.
Anggun pun bangkit dari tempatnya duduk, mencoba mencari saklar lampu untuk menghidupkannya. Setelah menyalakan lampu, Anggun kembali duduk di tempatnya masih dengan tatapan yang sama dan raut muka yang tak berubah pula. Ia masih menyimpan kecemasan, tak tau harus berbuat apa, meski ia sudah memberi kabar pada keluarga bahwa tidak bisa pulang. Tapi kampus ini sepi, tak ada siapa pun yang bersamanya saat ini, dan banyak hal yang bisa terjadi kepadanya. Lamunannya pun terpecah ketika adzan isya’ berkumandang.
***
Hujan belum sepenuhnya reda, masih ada titik-titik air yang jatuh dari langit. Tapi Rio tak pedulikan hal itu, ia terobos hujan dan menuju kampus dengan cepat. Ia mendekap sebuah bungkusan, dan berlari cepat, semampunya untuk menghindar dari hujan. Rio tak memikirkan keadaannya yang basah terkena hujan, ia hanya berfikir untuk secepatnya sampai ke tempat tujuan. Dan sampailah Rio di depan gedung Fakultasnya, ia masuk ke dalam dengan tenang, sedikit merasa kedinginan sebab jaketnya terkena air hujan, tapi yang penting ia telah sampai.
Rio berjalan menuju ruang senat, mencoba bersikap tenang saat berpapasan dengan beberapa petugas kebersihan. Ia pun melewati beberapa lorong, bertemu dengan pintu-pintu tertutup dari deretan ruangan. Sehingga akhirnya ia menemukan ruangan yang ia cari, ruang senat. Rio coba untuk mengetok pintu ruangan, dengan sabar ia menunggu jawaban, tapi yang ditunggu tak pernah datang.
Walau tak ada jawaban, ia tetap mengetuk pintu dengan sabar, ia terus menunggu dan berharap Anggun menjawabnya. Waktu pun berlalu bersama detik demi detik yang terus menghilang. Rio tetap menunggu, terus menunggu, sembari tetap berdiri mengetuk pintu. Hingga ia bosan, dan berfikir mungkin Anggun nekat pulang menerobos hujan di luar sana. Tapi batinnya menolak semua asumsi itu, ia terus mengetuk pintu, sembari berharap Anggun membukakannya.
Tiba-tiba ada suara dari belakang tubuhnya, suara yang sudah tak asing di telinga Rio. “Assalamualaikum!!!”, terdengar suara yang ketus dengan nada menyuruh.
“Dari tadi aku sudah mengucapkan salam, tapi tak ada jawaban.” Sanggah Rio menjawab suara itu.
Ternyata Anggun sudah berada di belakang Rio dengan muka ketus, seolah tak mengharap Rio datang kepadanya malam itu. “Kalau udah tau nggak ada orangnya kenapa masih di sini??, kalau udah mengetuk pintu tiga kali dan tak ada jawaban, seharusnya kan kamu pulang, bukankah itu peraturannya??”.
“Iya sih, tapi apakah membiarkan orang yang sedang kesusahan itu juga dilarang??” Sanggah Rio.
“Ah, terserah kamu deh Yo, aku cuma mengingatkan. Terus kamu ke sini mau ngapain?” tanya Anggun mengalihkan pembicaraan.
“Hanya ingin menengok seseorang teman yang dirundung kesusahan karena tak bisa pulang ke rumahnya, hehe.” Sembari tersenyum nakal, Rio coba menghibur Anggun.
“Nggak usah ngejek deh. Udah mau apa, dan cepet pergi dari sini, aku mau tidur.” Anggun memberi tanggapan ketus pada Rio.
“Oke, aku hanya mau kasih ini ke kamu,” Rio menyerahkankan bungkusan yang dari tadi ia bawa, “itu makanan, aku cuma kepikiran kalau kamu belum makan, jadi aku belikan nasi untuk makan malam.” Rio menyerahkan bungkusan itu kepada Anggun.
Lalu Rio pun pergi, berjalan melewati Anggun yang terdiam dengan perasaan bersalah. Mungkin Anggun sedikit menyesali perkataannya, yang tanpa sadar telah membuat Rio kecewa. Padahal Rio masih sudi mengantarkan makanan, walaupun harus diguyur rintik hujan di malam itu. Rio dengan lunglai berjalan, ia seperti tak punya energi, tapi tetap ia paksakan untuk menjauh dari Anggun.
Anggun pun mulai sadar, sikapnya mungkin sudah keterlaluan untuk meminta Rio pergi. Ia pun sadar, Rio hanya bermaksud untuk memastikan keadaannya baik-baik saja. Ia pun sadar seharusnya tidak seperti ini sikap yang ia tunjukkan pada orang yang memberinya perhatian. Lantas ia pun memangil Rio yang berjalan menjauhinya. “Yo tunggu, bisa temani aku sebentar??” Entahalah apa yang baru saja terucap, Anggun sendiri juga tak sadar mengucapkan kata-kata itu. Ia tak sadar telah meminta Rio untuk masuk bersama dengannya di ruangan yang kosong.
Anggun pun sudah tak bisa menarik kembali perkataannya, ia pun hanya bisa menyesalinya. Akhirnya Anggun dan Rio pun sama-sama masuk ke dalam ruangan, hanya mereka berdua, tanpa penghalang dan dalam keadaan hening pula. Hening menjadi semakin sunyi, tanpa sepatah kata terucap dari kedua manusia yang masih menghembuskan nafas. Tak terlintas dalam pikiran mereka untuk saling menyapa, mencoba untuk memulai pembicaraan, yang mungkin nanti akan menjadi perbincangan yang menarik.
Mungkin karena Anggun sedang menikmati makannya, atau mungkin Rio sedang menghayati suasana ini, sampai ia lupa cara untuk berbicara. Tak ada kata yang terucap dari kedua insan ini, semua masih dalam penghayatan atas pikirannya sendiri. Tak ada yang ingin memulai, atau tak ada yang bersedia untuk memulai, mereka sesekali bertatap muka dan mengarahkan ke lain arah lagi.
Mungkin jika aku ada di antara mereka, aku akan berkata, “Kalian ini patung atau manusia??, disebut patung tapi bernafas, disebut manusia tapi tak saling menyapa. Apa perlu aku yang mulai berbicara dulu, agar kalian bisa meneruskannya?”
Sepertinya harus ada orang yang memulai pembicaraan, agar kebisuan mereka pecah. Mereka tetap membisu, dan tak ada yang ingin memulai pembicaraan dahulu. Diam dalam beribu bahasa, tak berhenti menggumam dalam hati untuk merangkai kata. Kata demi kata coba disusun, untuk membuat teguran belaka. Kadang mata mereka saling bertemu, namun sekejap saja, dua pasang mata itu beralih pandang.
***
“Yo, makasih ya.” Anggun mulai pembicaraan.
“Makasih untuk??” Rio bertanya tentang maksud dari Anggun.
“Ya, makasih untuk ini, untuk makanannya, untuk semunya. Terima kasih juga, bersedia menemani ku di sini.”
“Tak peduli kau seorang babu atau ratu. Kau akan aman selama bersamaku, bahkan dari hujan yang menyerbu.” Kata Rio mantap.
“Nggak usah lebay, aku cuma bilang maksih, nggak minta dilindungi.” Timpal Anggun meremehkan.
Gelak tawa pun pecah dari mereka berdua, memenuhi ruangan yang diterangi oleh cahaya redup dari lampu. Entah apa yang mereka tertawakan, entah sikap Rio yang terlalu berlebihan, atau jawaban Anggun yang menjatuhkan, yang jelas suasana mulai cair. Suasana yang tadinya beku oleh sikap diam dari keduanya, kini bisa sedikit dicairkan.
“Yo aku mau tanya,” sergap Anggun tiba-tiba. “aku hanya penasaran, seberapa penasarannya dirimu dengan cerita hidupku??, sampai setiap kali di kelas, aku selalu menemukan mu memperhatikan ku.” “Apa rasa penasaran mu padaku, sama dengan rasa penasaran ku padamu??” Anggun mengungkapkan pertanyaan yang selama ini ia pendam pada Rio.
Rio sempat berfikir sejenak, mencoba mencari jawaban yang pas untuk pertanyaan Anggun barusan.
“Sebenarnya aku hanya penasaran, bagaimana kau dipandang begitu baik oleh orang lain?, hanya itu rasa penasaran yang tak pernah terpuaskan.” Jawab Rio tanggap.
“Kalau kamu begitu penasaran dengan cerita hidupku, kenapa tak kau tanyakan langsung padaku sejak dulu?” Tanggapan Anggun, menyudutkan Rio.
Sebenarnya Rio mengharap jawaban dari Anggun, tapi ia malah mendapat pertanyaan kembali dari Anggun. Ia juga menanyakan hal itu pada dirinya, tapi jawaban tak pernah ditemui karena ia tak ingin mendapatkan jawaban, ia lebih mengharapkan matanya sendiri yang mendapatkan jawaban. Rio tak pernah percaya dengan ucapan, ia lebih percaya pada matanya dibanding telinganya.
“Mungkin, karena tak pernah ada kesempatan, atau mungkin aku terlalu takut untuk menanyakannya langsung padamu.” Jawab Rio ragu.
“Mungkin??,” Anggun merasa ragu, “kalau hanya kemungkinan yang jadi jawabanmu, kenapa kemungkinan itu tak kau perjelas saja??.” Anggun semakin menyudutkan Rio dengan pertanyaan itu.
“Kamu tau sendiri kita tak pernah bisa dekat. Pandanganku dan pandangan mu kadang berbeda. Aku tak pernah bisa dekat dengan mu, layaknya teman-temanmu yang selalu ada di samping mu. Dan karena itulah, aku tak pernah bisa mengenal mu lebih dekat.” Sanggah Rio membela diri.
“Oh.” Anggun semakin meremehkan, seolah tak percaya dengan Rio.
“Ayolah, siapa yang nggak tau Anggun?, orang paling suci di kelas, tak pernah mau bersentuhan dengan lelaki tak dikenal, bahkan orang yang menaruh rasa padanya.” Rio coba membela dirinya. “Dan siapa yang bisa mendekatinya, dia bagaikan gunung es jauh di tengah samudra, begitu jauh dan dingin. Siapa orang yang tak tau itu??.” sambung Rio.
Anggun hanya terdiam, menatap tajam kepada Rio yang dianggapnya sudah keterlaluan, sepatah kata pun tak terucap olehnya.
***
“Anggun, pernahkah kau berfikir bahwa kita hidup di dunia tanpa kepastian?” Kata Rio memulai kembali, “tak ada yang pasti di dunia ini yang pasti, semua selalu berubah, bersama dengan waktu yang terus berjalan. Semua berubah dengan pasti.”
“Maksudnya??” Anggun tak mengerti.
“Tak ada yang pernah pasti di dunia ini, ketidakpastian adalah kepastian itu sendiri.” Jawab Rio. “Lalu mengapa dirimu tetap berada di tempat yang sama?”
“Aku tau, semua bisa berubah bersama waktu, tapi apakah kita harus termakan oleh perubahan itu?” Anggun balik bertanya pada Rio. “ Tidak Yo, harus ada satu hal yang tetap pada diri kita. Ada hal yang harus tetap kita jaga, kita pertahankan, dari diri kita sendiri.” Anggun menjawab pertanyaannya sendiri.
Rio hanya bisa diam, ia termenung mendengar jawaban dari Anggun. Ia setuju dengan hal itu, tapi ia tak sepenuhnya mengiyakan, Rio masih mempertahankan pendapatnya. “Bukankah itu yang disebut keras kepala?” Rio menanggapi. “Kita boleh saja meyakini apa yang menjadi pendapat kita, tapi kadang terlalu membela pendapat kita, akan menjadi boomerang di saat yang lain untuk diri kita? Setiap hal berubah, dan membiarkannya berubah adalah sebuah keharusan.”
Mereka kembali terdiam, suasana hening kembali merasuk, membayangi kembali dua orang tersebut. Pada diam yang ganjil ini, Anggun sempat berfikir, apakah Rio mencoba menggoyahkan keyakinannya. Sedang dalam diri Rio sempat terbesit, apakah ia tak punya keyakinan dalam dirinya. Tapi pikiran-pikiran itu mereka tepis, mereka tetap yakin dengan pendapatnya masing-masing.
***
“Oke Yo,” Anggun menarik nafas panjang. “Jika kamu tak suka dengan orang keras kepala seperti ku, kenapa kau mau mengenal orang keras kepala ini?” Sambungnya.
“Aku bukannya tak suka dengan orang keras kepala, tapi orang keras kepala, juga harus punya batasan dalam sifat keras kepalanya.” Jawab Rio ringan.
“Tapi kalimat mu menunjukkan, bahwa kamu nggak suka dengan orang keras kepala.” Tegas Anggun.
“Ya…, tapi tidak semua tentang sifat keras kepala, aku nggak suka. Ada hal dari sifat keras kepala yang aku sukai.” Jawab Rio.
“Kamu plin-plan Yo,” Jawab Anggun, ketus. “kamu abu-abu.”
“Tak apa menjadi abu-abu, bukankah warna abu-abu cocok untuk semuanya.” Jawab Rio ngawur.
“Tapi kau terlalu abu-abu, akan sulit untuk membedakan antar jaket atau kulitmu!” Tegas Anggun.
“Haa..??” Rio tak bisa menalar, ia menunjukkan ekspresi wajah yang aneh saat ia kebingungan.
“Dasar kera!!” Celetuk Anggun.
“Oh…” Rio baru faham. “Heeee??!!” Rio terkejut saat menyadari bahwa Anggun sedang mengejeknya.
Anggun tak bisa menahan tawa, ia tak mampu menahan cekikik-nya ketika melihat wajah Rio yang sedikit marah dan kebingungan saat sadar dipanggil ‘kera’.
“Apa aku sejelek itu??” Tanya Rio sedikit mengiba.
“Bukan sejelek itu sih, tapi lebih jelek.” Kelakar Anggun.
***
Mereka pun tertawa bersama, seperti tak ada sekat di antaranya. Keakraban mulai terjalin. Tak ada yang membatasi pembicaraan mereka. Seiring dengan tawa yang lepas, pembicaraan pun menjadi lebih hangat. Hingga bulan mulai naik lebih tinggi, Rio pun berfikir untuk segera pulang. Rio tak mau membuat masalah, ia ingin Anggun beristirahat dengan nyaman.
“Anggun, udah malam, aku harus pulang.” Kata Rio mengakhiri.
Anggun hanya mengangguk setuju, ia tak menjawab iya atau melarangnya. Anggun hanya mengangguk, lalu mengantar Rio keluar dari ruangan senat. Ia mengantar Rio, berdiri lama di depan pintu, memandangi Rio yang menjauh darinya.
“Rio!!,” Panggil Anggun sebelum Rio menghilang. “mungkin kini kita saling terdiam, dihantui rasa ingin tau akan kehidupan masing-masing dari kita. Tapi pasti ada saatnya, tanpa ada kata tanya, kita akan tau sifat dari masing-masing diri kita, antara satu dengan yang lainnya.” Anggun tersenyum, setelah mengakhiri kalimatnya.
Sekian.
Sismaku@
Malang, 12 Januari 2019
0 Komentar