Perahu Kertas untuk Mu
Aku pernah berfikir tentang mu, tentang indahnya duduk berdua denganmu, membayangkan sebuah masa di mana aku bisa menggoda dirimu sepuas nya. Aku ingin mengajak ibuku menggodamu pula, agar bisa ku lihat rona merah di wajah mu yang ayu. Bukan maksudku untuk mengejek mu, aku hanya ingin menunjukkan rasa kasihku untuk dirimu. Rasa yang tak pernah bisa ku ungkap dengan kata-kata, rasa yang hanya bisa kumaksudkan dalam doa.
Aku juga ingin menuliskan sebuah sajak tentang mu, tentang keanggunan dari seorang perempuan, yang berhasil mencuri hatiku. Ia yang dengan sengaja melempar tatap, hingga aku terjerat tak bisa lari dari bayang-bayangnya. Pada sajak itu juga ingin ku tuliskan, bagaimana sebuah sekat mengghalangi ku mengenal mu lebih jauh. Dan di akhir sajak akan ku tuliskan, bagaimana rangkaian doa yang ku susun, agar dirimu melihat ke arah ku.
Dari sekian banyak doa yang bisa ku ucapkan, hanya namamu yang selalu hadir di dalamnya. Entah kenapa, di setiap aku mencoba untuk memanjatkan doa, namamu selalu terselip di dalamnya sebagai yang terakhir. Aku benar-benar tidak tau, tidak pernah ingin tau, kenapa selalu namamu yang terucap dalam doa-doaku. Hanya satu hal yang ku tau, ada sebuah rasa yang sulit untuk ku jelaskan pada dirimu.
Berapa kali pun ku coba untuk mengungkapkan rasa, menafsirkannya menjadi kata-kata, menjadikannya makna yang dimengerti oleh orang, selalu saja, dan terus berulang, hal itu hanya menjadi makna. Perasaan ini tetap menjadi makan, menjadi sebuah konsep yang tak pernah bisa ku jelaskan dengan kata-kata. Perasaan ini tetap berwujud abstrak, tak bisa diungkapkan, dan aku semakin terjatuh ke dalamnya. Jauh, sangat jauh, hingga aku hampir tak bisa kembali ke permukaan dunia nyata. Aku terjatuh ke dalam bayang-bayang mu yang selalu saja hadir setiap lamunan ku.
Dan beberapa hari ini pun aku merasa aneh, ada sesuatu yang mengganjal dalam benakku. Semua tentang mu, tentang dirimu yang tiba-tiba hadir dan terus saja berulang hingga aku bosan mengartikannya. Kadang ku temui kau di akhir malam menjelang subuh tiba, kadang aku melihat mu dalam bayang-bayang di tengah malam gulita, kadang wajah mu menyapa dalam dinginnya pagi yang sendu nan mesra. Entahlah, aku ini sedang mabuk cinta atau semacamnya, yang ku tau hanya, dirimu dibalik semua lamunan dan serta perenungan ku.
Mungkin karena, telah lama tak pernah ku lihat indah wajah mu, telah lama memang, tak ku dengar kabar tentang mu. Entah karena engkau yang menghilang, atau aku yang coba untuk menghindar agar tak terlihat. Tapi yang jelas, beberapa waktu ini kita tak pernah saling bertatap muka. Jadi memang ada kerinduan dariku, untuk bisa menatap wajah mu yang ayu. Dan mungkin mimpi itu menjadi sebuah jalan untukku kembali bisa menatap puas paras mu.
Tapi tak apa, kemarin pun aku sudah puas, mendengar suara lembut dari dirimu, dan setelah itu bisa melihat kembali wajah indah itu. Aku sungguh sangat bersyukur pada Sang Maha Kuasa, bisa bertemu dengan salah satu bidadari-Nya. Syukur yang tak pernah bisa ku ucap dengan kata, hanya bisa ku ungkap pada sujud ku pada-Nya.
Kau yang mirip sekali dengan ibuku, mengingatkan ku akan beliau yang di sana, bundaku yang tengah ku rindukan dalam perjalanan siang yang menyengat ini. Bukan maksudku untuk membandingkan mu dengan beliau, beliau tetaplah beliau, dan dirimu tetaplah dirimu. Tapi itu yang aku lihat, kau benar-benar seperti ibunda ku terkasih.
Mungkin karena aku lelaki jawa, lelaki jawa yang selalu membandingkan perempuan yang ia suka dengan bundanya. Dan menurut ku, itulah sifat lelaki, selalu mengharap orang yang ia cintai bisa seperti ibunya. Karena dibalik kerasnya seorang lelaki menatap dunia, ia juga seorang bayi mungil yang ingin dimanja. Seorang lelaki memang tak pernah bisa menujukan perasaannya dengan tepat, ia tak punya banyak kosakata seperti seorang perempuan. Seorang laki-laki juga tak bisa menangis di depan dunia, kecuali orang yang sangat ia percaya. Lelaki adalah makhluk yang tak pernah bisa mengungkapkan melalui sebuah ucap. Ia tak pernah berkata banyak, dan ia memang tak membutuhkannya.
Lelaki tak pernah ingin mengungkapkan apa pun perihal perasaannya, ia juga tak ingin didengarkan oleh siapa pun. Ia hanya butuh seseorang untuk memeluknya. Lelaki hanya butuh tangan yang menggenggamnya ketika ia menghadapi dunia. Memang dia bisa menghadapi dunia sendiri, menjadi batu paling keras dalam hitungan detik, dengan tekat tak terpatahkan. Tapi ketika ia tak melihat siapa pun menopang tubuhnya dari belakang, ia akan langsung terjatuh dalam sekejap mata.
Bila ada sebuah ungkapan bahwa, “Di balik seorang laki-laki sukses, ada perempuan luar biasa”. Aku setuju dengan hal itu, dalam artian, seorang laki-laki memang butuh perempuan untuk menemaninya. Tetapi bukan berarti, seorang lelaki tak bisa hidup tanpa seorang perempuan di sampingnya. Seorang lelaki bisa hidup tanpa perempuan, tapi hidupnya tak akan pernah terarah sebagai seorang manusia. Ia hanya akan menjadi sebutir debu tak berguna yang akan selalu terombang-ambing oleh angin dingin menyesatkan.
Dan seorang lelaki pasti lebih memilih bisa bersama dengan ibunya selamanya. Ia ingin selalu mendapati sosok ibu yang melahirkannya, dalam setiap langkah hidupnya, entah itu dari sosok ibunya sendiri atau dari sosok ibu yang ia buat sendiri. Intinya seorang laki-laki tak pernah bisa jauh dari bayang-bayang bundanya. Ia yang memilih mu, pasti melihat bayangan seorang perempuan pertama di hidupnya.
Tapi sekali lagi ku tekankan, tak pernah ada maksudku untuk membandingkan dirimu dengan beliau. Kamu, tetaplah kamu, wanita yang hadir dengan keanggunan mu sendiri, dan kecantikan ratu bidadari. Engkau terlahir dengan dirimu sendiri, dan selamanya tak akan pernah sama dengan bundaku. Tak ada yang lebih baik atau lebih sempurna, semua itu hanya soal diriku yang ingin selalu di manja, merasakan hangat kasih sayang dari dinginnya dunia seperti kutub utara.
Pada dirimu ingin ku labuhkan, sejumlah rasa, yang kian lama terpendam, bertumpuk hingga aku tak kuat menahan. Aku hanya ingin engkau tau, bahwa engkau bukan sekedar kecintaan ku. Aku begitu berharap engkau mau menjadi seorang yang ku cintai. Seperti itulah cintaku padamu, seluas hati ini, sebesar ruang kosong dalam hati ku. Cintaku memang tak lebih baik dari orang-orang di dekat mu, bahkan mungkin tak begitu baik. Tapi aku yakinkan padamu, cintaku tak pernah palsu seperti senyum mereka.
Cinta. Cinta adalah kata paling sederhana yang ku temui dalam kehidupan ku. Cinta adalah sajak hidup dari sebuah kata yang aku percaya. Entah bagaimana Tuhan menciptakan rasa cinta, sepertinya Tuhan ingin menciptakan dasar dari kehidupan. Kata yang membuat dunia ini ada, kata yang pertama kali diucapkan oleh Zat paling suci pada para hamba-Nya. Kata yang bersarang dalam hatiku, kata yang begitu berarti dalam kehidupan ku.
Kata itu ingin ku pinjam, mungkin juga dengan rasa dan pengungkapannya. Aku ingin meminjamnya, semoga Tuhan membolehkannya, doakan saja!. Tapi ternyata tak semudah itu meminjam kata cinta kepada Tuhan, hal itu sungguh sulit, Tuhan mempersulit ku, sejak awal saat aku berniat meminjam kata cinta. Kadang aku harus pergi ke rumahnya, berdiri mengetuk pintu, hingga aku mulai bosan dan merasa sangat penat. Kadang aku harus merelakan mataku, Tuhan meminta mataku dalam usaha ku meminjam kata cinta. Belum lagi tanganku juga harus ku potong sebagai jaminan untuk pinjaman.
Ah, aku hampir tak habis pikir atas semua kejadian itu, hal-hal aneh terus saja diminta kepadaku, hanya untuk meminjam sebuah kata. Apalah daya ku ini, hanya seorang hamba yang tak bisa memberi apa pun pada Tuhannya. Aku akui semua hal itu sangat sulit untuk ku lakukan. Tapi aku kembali pada keyakinan ku, apa gunanya mengeluh, jika semua hal yang ku lakukan hanya untukmu. Bahkan jika Tuhan meminta semu anggota badan ku, termasuk hati dan jiwaku, aku akan memberikannya sukarela.
Sebab tujuanku hanya satu, aku ingin meminjam kata itu, untuk ku hadiahkan padamu. Aku ingin mengucap kata itu kepadamu, untuk sekali saja, untuk sesaat saja, ku ingin engkau mendengarnya langsung dariku. Ingin ku ucapkan kata itu padamu, langsung di depanmu, disaksikan beribu atau berjuta pasang mata. Aku ingin berkata “Aku mencintaimu”. Maka dari itu, mati-matian ku pinjam kata itu dari Tuhan, untuk sekejap saja, untuk beberapa saat saja.
Tapi sepertinya perjuangan ku tak menemukan titik temu. Kata ‘Cinta’ mungkin tengah dipinjamkan pada orang lain. Yap, seperti biasanya, aku selalu terlambat, selalu kalah cepat dari orang-orang di sekitar ku. Ya itulah penyakit fatal yang ku derita dari dulu, ‘terlambat’, dan keterlambatan yang membuat semuanya pergi meninggalkanku satu per satu. Terlebih lagi saat dihadapkan dengan yang namanya kompetisi. Hal yang berkaitan dengan persaingan diantara manusia, aku selalu menjadi yang terakhir dan merayakan kemenanganku sendiri.
Ya, memang aku sering merayakan kemenanganku sendirian, baik itu dalam hal kecil, atau dalam hal besar sekali pun. Aku selalu sendiri merayakan kemenanganku atas sebuah pencapaian. Maka dari itu aku ingin mengajak mu. Tapi sepertinya engkau enggan untuk ku ajak. Dan siapa aku?, tiba-tiba mengajak mu, aku hanya anak yang dibesarkan oleh kepedihan. Tak mungkin aku tega melihat mu menderita denganku, yang hanya akan menyeret mu dalam kepedihan, saat menemani ku.
Aku tak inginkan itu, aku tak ingin engkau masuk dalam kepedihan hidupku. Aku lebih ingin melihat mu tersenyum, melihat dirimu tau akan arti dari kebahagiaan itu sendiri. Daripada, aku harus menyaksikan engkau menangis dihantam kepedihan hidupku. Aku lebih suka melihat senyum manis mu. Senyum yang indah bagi haribaan kalbu ku. Senyum penawar seribu racun kedukaan dalam hatiku, senyum yang mengubah warna hidupku.
Terlepas dari itu semua, tentang dirimu yang mengingatkan ku pada ibu, tentang kata ‘cinta’, serta tentang senyum manis mu, aku mengagumi mu. Diriku telah terjerat dalam kekaguman akan sifatmu. Taukah engkau, hatiku tersenyum kepada dirimu yang membuat ku kagum. Senyum itu pun masih terlukis ketika malam tiba, membawa sunyi bersama kedinginan malam dalam maya.
ØِÙŠْÙ†َ اَرَا Ùƒ ,Ù‚َÙ„ْبِÙŠْ ÙŠَبْتَسِÙ…ُ
Mungkin hanya kalimat itu yang bisa ku berikan padamu, kaliamt yang bisa ku ucapkan untuk menggambarkan perasaan ku. Kalimat sederhan yang ku pinjam entah dari siapa, yang jelas kalimat itu mewakili perasaan ku.
Tau kah engkau bagaimana gejolak yang ada dalam hasrat ku?, hasrat ku lebih teguh dari karang di pinggir pantai. Hasrat ku pun lebih hangat dibanding api unggun di tengah dingin malam. Hasrat ku adalah rasa, rasa cinta yang tak tertandingi oleh apapun, hasrat ku lebih dari itu semua.
Mungkin hal itu terlalu semu, sebuah khayal yang tak bisa terjangkau oleh tatap fisik semata. Tapi cobalah melihat dengan hati, dengan sedikit bumbu imajinasi, semua akan bisa engkau rasakan. Jangan ragu dengan khayalan yang ada di hati, semua khayalan itu suci, sebuah perasaan yang dibentuk oleh perasaanmu sendiri. Khayalan tak pernah bersalah, tak pernah ternoda, karena ia sangat jauh dari kehidupan yang tercemar.
***
Melalui surat ini aku ingin menyampaikan perasaan ku, perasaan yang terbentuk oleh tatap indah mu. Aku benar-benar tak tau lagi harus bagaimana mengungkapkannya. Karena kata “cinta” belum bisa ku pinjam, karena Tuhan belum meminjamkannya. Sedang khayalan dalam benak ku belum sampai kepadamu, hingga saat ini. Engkau punya hati, aku pun juga punya hati, aku tak ingin memaksakan khayalan ku padamu, sebab hatiku sendiri tak ingin dipaksa. Tak ada yang bisa aku paksakan, atas khayal yang dan rasa ku padamu.
Mungkin selembar surat ini bisa menjelaskan, melalui selembar surat ini aku ingin mengungkapkan rasa ku. Surat ini akan ku kirimkan bersama setitik harap serta rasa yang ku pendam lama. Semua ini hanya sebatas surat, surat yang kutulis dengan kata, dengan harap, dengan keinginanku atas dirimu. Ini hanya sebatas surat, dan tak kan berdampak pada kehidupan mu yang indah. Ini hanya selembar surat, hanya selembar surat…
Surat ini hanya untukmu, hanya untukmu yang sangat jauh, lebih jauh dari masa lalu ku, lebih jauh dari dunia ku, dan mungkin lebih jauh dari awal bumi ini tercipta. Engkau yang terlalu jauh dariku, sepucuk surat ini ku tuliskan untukmu, dengan kata dan kertas paling sederhana di dunia, dengan cinta serta rinduku mengikutinya.
Ah… sudah, ku cukupkan surat ini. aku pun telah kehabisan kata untuk menuliskannya. Aku tak tau lagi harus menulis apa untuk melukiskan rasa dan dirimu. Aku telah kehabisan kata-kata, aku telah kehabisan kata untuk disusun menjadi kalimat. Mungkin itu penting bagimu, tapi aku tak mampu lagi, semua sudah ku berikan semuanya, kata yang sebenarnya tak pernah cukup untuk menggambarkan dirimu. Aku telah memberikannya, telah ku serahkan semua pada dirimu yang tak pernah hilang dari mata.
Jika saja aku punya lebih banyak kata lagi, akan ku berikan semua untukmu. Jika saja, jika saja.., mungkin aku akan lebih mudah menyampaikannya padamu. Aku yakin, jika aku bisa menjelaskan lebih sederhana, aku bisa menggambarkan lebih jelas lagi. Jika aku punya lebih banyak kata.
Tapi semoga saja, engkau mengerti dengan semua yang ku rasakan. Aku percaya makna dari surat ini akan sampai padamu, di mana hati akan menuntun mu memaknainya. Semoga arti dari bahasa yang terbatas ini bisa engkau pahami dengan mudah, lalu kau akan tau bagaimana kata ini bekerja. Semua yang ku tulis dengan kata, akan menjadi suatu yang indah saat kau menemukan maknanya.
***
Sekarang akan ku masukan surat ini dalam botol, ku tutup rapat agar tak ada yang bisa mencampurinya. Botol ini akan ku larung kan di sungai yang tenang arusnya. Arus yang begitu tenang, walau banyak yang dibawa dari hulu ke hilir sana. Mungkin sungai itu bercampur dengan banyak sampah dan bangkai-bangkai binatang binasa. Surat ini pun mungkin akan dikira sebagai sampah dan bangkai seperti di sekitarnya. Tapi tak apalah, semua akan baik-baik saja, aku percaya sungai ini akan mengantarnya di depan rumahmu, di saat yang tepat.
Ku larungkan surat dalam botol, semoga saja ia sampai tepat waktu. Dengan ini pula ku ucapkan salam untukmu, dariku yang merindukan mu. Semoga engkau dapat membaca semua yang ku titipkan dalam suratku. Semoga pesannya tetap utuh, beserta salam dan rindu yang ku ukir di dalamnya.
Sekian.
Sismaku@
Malang, 7 Januari 2019
0 Komentar