Dia yang Selalu
Hari ini aku terbayang oleh wajahnya kembali, entah kenapa hati ini terus saja mengingat dirinya. Gadis yang menyita perhatian hati ku baru-baru ini, membuat ku tersenyum-senyum sendiri. Aku tak tau apakah ini cinta yang coba untuk tumbuh dalam sanubari, atau hanya perasaan kasmaran yang berlalu begitu saja. Dan semua itu hanya menyisakan kerinduan pada seseorang, entah itu siapa.
Masih dalam lamunan di malam penuh kedinginan serta pengharapan ku tentang sebuah kemungkinan. Sosok itu terus ada dalam pelupuk mata kiri dan kanan ku, hingga ku tak sadar malam ini hampir berlalu. Tak kunjung ku temui apa yang sebenarnya ku cari dalam lamunan yang terus menyiksa diri. Sosoknya sungguh rumit untuk dimengerti, seperti ada sesuatu yang membuatnya selalu membuat ku rindu akan hadirnya.
Lamunan selalu hanya tentang dirinya, selalu tentangnya dan aku tak bisa melupakannya sampai sekarang. Indah parasnya selalu menghantui setiap langkah hidupku, dan tak bisa ku hilangkan begitu saja. Dia yang baru-baru ini datang dalam lamunan ku. Entah ia siapa, aku pun baru mengenalnya sebagai seorang teman. Tapi tak dapat ku pungkiri perasaan itu berubah menjadi suatu hal yang lain. Aku tak bisa menolak perasaan itu, jangankan untuk menolaknya, mengabaikannya saja aku tak mampu.
Sebenarnya aku baru mengenalnya, belum lama, bahkan aku belum mampu menuliskan namanya dengan benar. Aku belum bisa mengeja namanya dengan tepat, ya seperti kebanyakan orang yang baru mengenal seseorang. Tapi ada hal lain yang aku rasakan, aku merasakan hal lain dari sebuah nama, selalu seperti itu, dan akan tetap seperti itu.
Di saat yang sama aku juga terrenggut oleh oleh seseorang, ia yang biasa ku sebut ratu dalam hatiku. Seorang yang telah bertahta begitu lama di hatiku, tapi tak pernah bisa ku genggam tangannya. Memang ia sudah menjadi ratu di hatiku sejak lama, ia tak pernah memilih ku sebagai raja di hatinya.
Dan sekarang ada gadis lain yang hadir dalam khayalku. Gadis ini memang belum masuk dalam hatiku, tapi ia sudah berada dan selalu saja berada di ruang kosong mataku setiap pagi. Tatap tajam itu menembus masuk, seperti anak panah yang lepas dari busurnya. Dan panah itu sekarang tertancap, bersarang tepat pada cermin hatiku. Anak panah itu tetap di sana, tertancap kuat, dan tetap ku biarkan bersarang. Mungkin suatu saat nanti anak panah itu akan jatuh, entah jatuh ke mana, entah keluar dari sarangnya atau jatuh dalam lautan hati yang dalam. Aku hanya berharap panah itu tak melukai hatiku yang sudah terlalu banyak menyimpan goresan.
Ah.., apa yang aku pikirkan, aku tak tau apa pun tentang gadis ini, aku baru saja mengenalnya. Aku belum tau apa pun tentang dirinya, bahkan aku juga tak berusaha untuk tau bagaimana kepribadiannya. Ku biarkan semua berjalan dengan semestinya. Tak mampu ku mengusik semuanya, sebab diriku bukanlah siapa-siapa. Apa yang bisa diharap dari laki-laki seperti ku, laki-laki yang tak ingin tau apa-apa. Tak ada yang bisa diharapkan dariku, aku hanyalah aku, orang yang tak pantas mengecap manisnya rindu.
Jika ku ingat lagi tentang masa lalu, atau lebih tepatnya aku kembali mengingat masa itu. Kejadian yang terus berulang tentang perasaan yang hanya menimbulkan sesak pada dadaku. Aku pasti menemukannya di sana, seseorang yang telah lama bertahta di hatiku. Memang tak ada hubungannya dengan gadis yang ku temukan saat ini. Tapi tetap serupa, semua kejadiannya tetap sama, berawal dari sebuah tatap, lalu masuk dalam samudera cinta. Semua tetap sama, tak ada yang berbeda, dan kejadian itu selalu berulang, mengantar ku pada sebuah luka.
Aku yakin, aku pasti akan kembali terluka, merasakan sebak di dada, dan tak kunjung sembuh hingga ku muak dengannya. Tapi apa boleh dikata, ketika rasa telah bersarang, aku tak bisa berpaling dari jalan menuju luka. Mengulang proses yang sama, terjatuh lagi dalam lembah cinta, yang membuat ku melayang di udara sekaligus menghempaskan ku ke daratan. Harus terulang lagi kejadian yang sama, mengawali dari saling tatap, kemudian jatuh cinta. Kembali memperjuangkan rasa dan jatuh pada keputusasaan, mengirim berbagai perhatian dan sampai pada kejenuhan. Kejenuhan yang sama, bersifat mengikat, hampa dan kosong, akan kembali menjelma. Semua akan terulang, terus terulang dan akan senantiasa terulang seperti biasanya, tanpa mengurangi prosesnya.
Sebenarnya aku bosan, aku merasa sangat bosan dengan semua proses yang melelahkan ini. Proses yang terus saja berulang antara pertemuan, jatuh cinta, berjuang dan patah hati kembali. Kenapa harus ada semua proses itu, kenapa proses yang sama selalu terulang seperti siklus hidup manusia. Apakah aku harus menerimanya, apakah tidak ada proses lain yang bisa ku jalani, tepatnya apakah hanya itu proses dalam hidupku?.
Sekali lagi ku tegaskan, aku telah bosan dengan semua proses itu. Maksudku apa yang bisa ku ambil sebagai pembelajaran jika proses itu tak pernah berganti dengan hal yang lain. Semua proses dalam hal ini selalu saja menyeret ku pada perasaan yang sama, perasaan yang menyisakan luka. Kadang diriku protes padaku sendiri “kenapa kau tak mengakhirinya saja?, toh hasilnya akan selalu sama. Tapi hal itu tak di hiraukan, ia malah berkata “Mungkin yang ini berbeda, pasti akan berubah hasilnya”. “Ah sial,” gumam ku, percuma bicara dengan orang yang sedang jatuh cinta. Sama saja aku sedang bicara dengan orang gila. Tapi kenapa masih ku lakukan?” sesal ku percuma.
Perdebatan antara diriku dan diriku tak pernah bisa terelakkan. Semua saling menjatuhkan seperti pendapat mereka paling benar. perasaan dan logika selalu saja berseteru tentang apa yang mereka lakukan. Mereka memiliki argument kuat untuk mempertahankan pendapat mereka masing-masing. Tak ada yang mau kalah, tak ada yang mau mengalah, seolah tak ada jalan tengah untuk mendamaikan hati dan pikiran.
Sementara aku hanya jadi penengah yang mematung, tak dapat berbuat apa-apa, selalu terdiam dalam kebimbangan antara argument-argument mereka. Aku seperti berada di puncak bukit yang bisa melihat dari berbagai sudut pandang, melihat semua kebenaran yang sedang diperdebatkan. Lalu apa arti diriku?, bukan sebagai penengah, bukan pula sebagai pengambil keputusan. Sehina itukah aku dipandang sebagai diri yang mampu menentukan keputusan.
Semua terjadi karena perasaan cinta, perasaan yang terus saja membelenggu ku dalam harap yang percuma. Perasaan cinta adalah perasaan yang hadir tanpa undangan, ia masuk begitu saja tanpa pamit pada pemilik rumah. Menerobos masuk pada ruang kosong yang disisakan oleh hati yang ditinggalkan.
Perasaan itu sungguh sangat merepotkan, tak pernah sejalan dengan logika yang ada. Berusaha menujukan dirinya sebagai satu hal yang pasti dan bermakna, seolah tak ada hal lain yang harus diperhatikan. Perasaan adalah mesin perusak logika, perusak segala yang telah dirumuskan dalam sistem pemikiran. Lalu tanpa rasa bersalah, ia pergi meninggalkan seseorang tanpa kata dengan meninggalkan goresan luka.
Luka yang menganga selalu teringat dan tercatat dalam arsip pikiran. Terukir dalam prasasti ingatan yang menentukan langkah hidup manusia. Tapi sekali lagi ketika perasaan cinta datang, hati akan senantiasa menghapus semua catatan, bagai gelombang tsunami yang meluluhlantakan peradaban. Menyapu semua kenangan pahit dalam ingatan, menggantinya dengan sebuah rasa bahagia tak terkira.
Demikianlah rasa cinta, selalu berhasil mengalahkan logika yang telah dibentuk sejak lama. Kembali membuat manusia bahagia, tetapi ketika pergi selalu menyisakan luka. Lalu siapakah yang pantas untuk disalahkan?, tidak ada, semua hal yang telah tercatat hanya akan terbuang percuma. Semua yang menjadi dasar pemikiran akan hilang seketika, ketika rasa cinta datang dan bertahta dalam hati manusia.
Sekian.
Sismaku@
Malang, 18 Januari 2019
0 Komentar