Siang ini aku berjalan tanpa tujuan jelas, entah ingin pergi ke kelas atau ke mana, aku tak tau jelasnya. Ingin aku pergi ke kelas, tetapi kelas belum dimulai, dan kini aku tak tau harus pergi ke mana. Langkah ku tetap terayun, walaupun tanpa tujuan, aku pun larut pada langkah yang tak ada ujungnya. Hingga ku bulatkan tekad untuk pergi ke kantin, mungkin aku bertemu seorang teman untuk diajak bicara di sana.
Setapak demi setapak langkah, ku arahkan pada kantin yang penuh dengan kepulan asap putih memenuhi ruangan. Bau sedap makanan juga bercampur dengan kepulan asap rokok di seluruh penjuru ruangan. Aku terus melanjutkan langkah, melihat sekeliling tempat yang tak pernah asing bagiku. Tempat pertama ku pijak kan kaki saat awal masuk ke kampus. Tempat ini yang selalu menjadi tujuanku ketika aku ingin duduk melingkar bersama karib-karibku. Dan tak terasa sudah hampir tiga tahun aku berada di kantin yang sama, untuk sekedar menunggu waktu kuliah.
Aku berjalan dengan perlahan, mencoba mengawasi sekitar, mungkin bisa ku temukan salah seorang sahabat yang bisa ku ajak bicara. Memang, kebanyakan sahabatku tak sekalas dengan ku, banyak dari mereka ayang berbeda kelas, malah berbeda jurusan. Kami bertemu di organisasi yang sama, menjadi satu keluarga, serta menemukan rumah untuk tinggal. Mungkin karena kami sama-sama cocok dalam beberapa bidang, menyukai beberapa falsafah, atau sekedar suka berjalan bersama, yang jelas inilah yang kami sebut keluarga.
Sebenarnya, tak pernah ada kegiatan yang terlalu berat, kami bukan seperti anak-anak yang selalu membawa buku ke mana-mana dan membedahnya bersama, atau seperti kumpulan anak dengan gaya yang sama. Kami berlatar belakang berbeda, membawa kekhasan masing-masing dalam setiap pembahasan, dan menanggapi semua permasalahan secara ringan. Tak ada otopsi untuk sebuah buku, memotong hingga kecil-kecil dan terasa hambar untuk dinikmati. Kami hanya sering duduk melingkar, bersama dengan gelak tawa untuk sebuah perubahan yang terus bergerak.
Langkah kaki tetap tak mau berhenti, seperti roda sepeda yang terus berputar saat dikayuh oleh pengendaranya. Aku memang tak berniat untuk duduk sebelum ku temukan mereka, teman-teman yang sama gilanya dengan diriku. Tapi ketika mata memandang sampai ke ujung ruangan, tak ku lihat, sepucuk rambut pun dari mereka. hingga akhirnya aku memutuskan untuk duduk sendiri, bersama meja-meja kosong dengan tempat duduknya masing-masing.
Ku coba untuk memeriksa phonselku, barangkali ada pesan dari mereka yang ku tunggu di kantin itu. Tapi percuma, tak ada satu pesan pun masuk dari para sahabatku. Dan situasi pun tetap sama, aku berada dalam kesendirian yang tak pernah bisa ku jelaskan maknanya.
Saat ku duduk sendiri, entah apa yang ku pandang, dan entah apa yang ku dengarkan. Semua berlawanan, saling bertabrakan, saling bersinggungan, seperti dua arus dalam satu lautan, beda warna, beda pula unsurnya. Antara mata dan telingaku tidak bergerak dalam satu pemikiran. Mereka lebih memilih pada fokus mereka masing-masing, dibanding dengan mendengarkan kata dari otakku. Mungkin, antara mata dan telingaku mempunyai otak mereka sendiri.
Aku dalam keadaan antara sadar dan tidak, seperti orang yang tak tau bedanya utara dan selatan. Mungkin karena tak ada seorang pun yang menemani ku, mereka yang ku harapkan ada, ternyata memilih melanjutkan kesibukan masing-masing. Sekarang aku hanya bisa menunggu, menunggu kelas yang mungkin tak tentu, akan masuk atau tidaknya. Aku hanya terus menunggu hingga aku bosan dengan kesabaran itu sendiri.
Sampai aku terpaku pada sebuah titik, pada titik itu perhatian ku terrenggut. Aku hanya memandangi dia dengan seksama, seolah aku terbawa ke dalamnya sampai aku tak bisa kembali ke dunia nyata. Pada sudut itu ada seorang gadis, seorang gadis yang tak pernah ku kenali namanya. Gadis yang selalu ku temukan di ruang samping tempatku mengerjakan tugas. Dan gadis itu yang selalu mencuri perhatianku, ia selalu ada dalam tempatku menafsirkan segala perasaan.
Gadis itu sedang berjalan, membawa sepiring makanan beserta minuman yang baru ia pesan. Ia berjalan bersama beberapa temannya yang juga sama, membawa sepiring makanan. Mereka bersama-sama, berjalan menyusuri ruang kantin yang penuh dengan bau makanan dan asap rokok di setiap sudut ruangan. Hingga mereka berhenti di meja kosong tepat di depan tempatku duduk saat ini.
Aku tak berani menatap ke arah gadis itu, aku hanya menahan pandanganku untuk tetap berada pada tempatnya agar mereka tak merasa terganggu. Aku yang termenung kaku, mencoba menyibukkan diri bersama dengan phonselku yang sepi pengunjung. Phonselku hanya ku jadikan alasan, agar tatap mempunyai kesibukan bagi diriku yang tengah salah tingkah. Bagai orang kebinggungan, aku hanya bisa menatap layar phonselku yang terus menghitam.
Phonsel yang tak tau apa-apa itu mungkin kebingungan, kenapa aku hanya memandanginya tanpa sekali pun menggunakannya. Phonsel itu pun mungkin juga bosan, tanpa menghidupkan layarnya, aku terus menatapnya dengan seksama. Dan akhirnya pun ia sadar, ia hanya menjadi pengalih perhatian, agar aku bisa menatap puas seorang gadis di depanku. Jahatnya diriku, mengorbankan phonsel yang tidak bersalah hanya untuk memenuhi keinginanku. Tapi apa boleh buat, hanya itu yang bisa ku lakukan untuk menghindar dari kesalahan.
Beberapa kali aku berhasil mencuri pandangan, saat gadis itu tak memperhatikan, aku bisa leluasa memandangnya dengan seksama. Dua sampai tiga kali hal itu terus berhasil, aku bisa memandangnya tanpa ia sadari. Dari situ aku bisa menerka wajahnya yang ayu bagai bulan purnama, garis muka yang tegas, dan bibirnya yang merekah merah bagai bunga mawar. Ia terlihat sangat anggun, menggunakan gaun panjang berwarna hitam berrenda putih pada bagian lengan, serta kerudung berwarna coklat cerem.
Dan untuk kesekian kalinya aku bisa memperhatikan dirinya dengan lebih leluasa. Ia memang tak secantik artis korea, bahakan tak bisa dibandingkan dengan teman-temannya. Tapi ia mempunyai keelokannya sendiri, ia memiliki keanggunan yang tidak dimiliki oleh orang lain, dan hal itu bisa ku lihat dari sorot matanya.
“Astaga!, aku melihat sorat matanya, aku ketahuan memperhatikannya barusan. Ah!! sial, hal bodoh apa yang baru ku lakukan”, gumamku dalam hati. “bisa-bisanya aku tak menghindar sebelum ia menatap ku!!”. Mungkin bukan tidak menghindar, hanya saja tak sempat memalingkan pandangan sebelum ia menyadari aku memperhatikannya. “Ah tidak!!, bodohnya diriku.” Sesalku dalam hati.
Bakilah, sekarang aku sudah ketahuan olehnya. Aku terlihat salah tingkah di hadapannya, dan aku pun hanya bisa menundukkan kepala, mencoba mengalihkan pandangan agar ia tak begitu curiga. Tapi aku terlanjur terlihat olehnya, terlanjur sudah tatap mata kami saling bertemu dalam beberapa saat. Aku yakin, dia pasti tahu kalau aku tengah memperhatikannya. Mungkin ia merasa terganggu dengan tatapan ku, mungkin dia tak ingin melihat ku lagi, mungkin, mungkin, dan hanya kemungkinan yang bisa aku terka.
Tapi tak bisa ku pungkiri, aku merasa kagum pada gadis ini, entah ini rasa suka atau…, entahlah aku tak bisa mendefinisikannya dengan kata-kata. Ada rasa kekaguman pada sosok gadis ini yang selalu membuat ku merasa bahwa keindahan alam semesta berada pada wajahnya. Dalam tatap itu, aku seperti menerima sebuah pesan, yang hanya mata dengan mata, rasa dengan rasa, hati dengan hati, yang tau. Dan aku menangkap sebuah tatap, tatap yang menenagkan bagai bunga mawar merekah merah di musim semi. Sorot mata yang teduh bagai bulan purnama, serta sangat anggun bagai matahari senja tenggelam di balik cakrawala.
Dalam tatap itu, aku merasa, ia ingin mengatakan, “Hai, apa kabar??”, “bolehkah aku mengenal kamu??, aku ingin mengenal mu lebih jauh, lehib dari seorang teman yang selalu bertemu tanpa bertegur sapa. Aku tak hanya ingin bertemu tatap denganmu, lalu berlalu tanpa meninggalkan kesan.”
Aku pun setuju dengan itu, aku tak hanya ingin terus memandang mu dibalik tabir ketidak tahuan. Aku ingin sekali puas memandang wajahmu tanpa ada sekat, tanpa ada penghalang diriku untuk bertemu. Aku tak hanya ingin berdiri mematung di depanmu ketika kau lewat, seraya hanya bungkam oleh keanggunan dirimu. Aku ingin sekali bicara berdua denganmu, berbicara tentang waktu, tentang kita, tentang semua yang ingin ku lakukan dalam kehidupan ku.
Aku pun ingin menyampaikan pesan yang sama, aku ingin mengenal mu lebih jauh, lebih dari orang lain mengenal mu, lebih dari orang-orang yang kini dekat denganmu. Aku ingin berada di samping mu, menjaga mu, memperhatikan mu setiap saat, seperti matahari yang selalu ada untuk buminya, seperti kumbang yang selalu ada untuk bunganya.
Dengan tatap ini, yang menyimpan beribu pesan tak terbahasakan, aku caba menyampaikan maksudku, yang selalu terpendam dalam hati. Aku mencoba menyampaikan pesan melalui cermin hati ini, “Aku tak ingin hanya mengenal mu secara wajar. Aku ingin mengenal mu lebih dari orang yang berpapasan dan melupakan pertemuannya. Aku ingin lebih dari itu, lebih dari sekedar itu.”
Tapi pesan dalam hati ini, tetap dalam tatap, tetap dalam sebuah makna yang tak bisa terbahasakan. Pesan itu tetap dalam lautan hati yang dalam, tetap mengendap di sana dalam sudut yang tak terjangkau oleh manusia. Pesan ini pun hanya tertinggal, bersama dengan kepalsuan yang ku tampakkan dari wajah ku. Dan akhirnya aku kehilangan dirinya, kehilangan dalam kabut hitam bernama batasan, batas yang terbentuk dari ketidaktahuan dan ketidak mampuan.
Aku pun terdiam, berfikir sejenak untuk melakukan hal yang tidak kuinginkan. Tapi keadaan memaksa, keadaan menuntut ku untuk segera pergi, meninggalkan saat, di mana aku bisa memandang seorang gadis yang ku kagumi. Aku berdiri dari tempat duduk ku, meninggalkan tempatku, meninggalkan dia yang masih duduk di tempatnya, serta meninggalkan tatapnya padaku. Aku berjalan keluar, mencoba melupakan semuanya, dan menuju kehidupan nyata yang harus kujalani.
Aku kembali pada kenyataan yang telah lama ku tinggalkan, karena sebuah tatap yang terus memaksa ku berdiri di sana.
Akhir dari semua ini, aku hanya mendapatkan rasa penasaran, semua yang ada pun menjadi membingungkan. Aku hanya mendapatkan ribuan pertanyaan, pertanyaan yang menyerang ku setiap saat. Pertanyaan tentang dirinya yang tak pernah bisa ku jawab, hingga aku berada dalam kelas. Pertanyaan yang membuat ku hanya memikirkan dirinya, sepanjanag jalannya perkuliahan. Dan kenyataannya, mungkin hanya aku yang memikirkannya separah itu.
Sekian
Malang, 27 Oktober 2018
0 Komentar