Terimakasih untuk Penghianatan Kalian
Aku tak tidur malam tadi, teringat akan kos ku yang belum ku bayar. Apa lagi setelah pemilik kos menagih uang sewa, dengan menyebar sms ke seluruh anak kos. Orang itu tak tau anak-anak kosnya tak punya uang untuk membayar, bahkan tetangga kamar ku juga tak bisa membayar untuk bulan ini. Pikiran kami pun sama, pasrah, apa pun yang terjadi terima saja dengan lapang dada.
Aku memang sudah tak punya uang sama sekali, dan tak ada yang peduli dengan keadaan ku yang membutuhkan bantuan dari mereka. Mereka seperti patung berwujud manusia yang tak bisa melihat, tak bisa mendengar dan tak punya perasaan seperti manusia. Yang ku maksud dengan mereka adalah dua teman ku, punya utang kepada ku, tapi tak merasa harus membayar. Mereka beranggapan sudah berkorban banyak untuk ku, dan tak perlu membayar utangnya. Ya sudahlah biarkan hidup mereka tetap pada keadaan yang dikehendaki Tuhan.
Otak ku berputar hebat mencari solusi yang bisa ku gunakan, untuk sekedar membayar kos, atau mengisi perut yang memainkan musik keroncong hari ini. Hingga hanya sebuah jawaban yang harus ku terima, membuat ku tak bisa mengelak lagi, pasrah dan sabar atas keadaan. Tak ada yang bisa ku harapkan selain diriku sendiri yang harus bergerak maju menantang masalah-masalah itu dalam sebuah pertarungan.
Persetan dengan seluruh masalah yang ada, semua orang tetap menuntut ku untuk jadi yang mereka inginkan. Aku tak dibiarkan bebas sesuai dengan yang ku inginkan. Mereka selalu mencoba memberi ku tali kekang yang mengikat leher ku, hingga aku tercekik kesakitan, dan mereka tak pernah peduli dengan kesakitan itu. Mereka malah tertawa dengan yang terjadi kepada ku atas tingkah mereka.
Pagi ini aku tak tidur karena memikirkan apa yang harus kulakukan, jika sampai aku diusir dari kos, karena tak bisa membayar uang sewa. Aku tak punya orang lagi yang dapat dipercaya kesetiakawannya menolong seseorang. Semua tekanan ini membuat ku serasa ingin mencongkel kedua bola mata ku, lalu menjualnya di pasar. Mungkin jika aku beruntung akan ada orang yang menawarnya dan memberi ku uang untuk membayar semua kebutuhan ku. Atau paling tidak aku bisa membeli sebungkus nasi untuk perutku yang kelaparan.
Dan hati ku berkat, “Sabarlah, semua pasti ada jalan dari yang Esa untuk dirimu. Tuhan tak pernah tidur”.
Sungguh nasehat yang bagus untuk membangkitkan semangat orang yang sudah putus asa. Tapi bukan nasehat yang dibutuhkan untuk mengisi perut yang sedang kelaparan. Sekarang sejuta kata mutiara ataupun ratusan kata motivasi tak akan mempan jika diri ini sudah kelaparan. Rasa lapar itu seperti candu yang selalu meminta lebih dan lebih, untuk memuaskannya. Banyak orang yang tak bisa menahan rasa laparnya hingga bisa berbuat nekat dalam banyak hal. Aku sadar benar akan hal itu, entahlah sampai kapan aku bisa menahan rasa laparku, dan mengendalikannya agar tak membuatku gila dan gelap mata.
Entah hidup ini serasa seperti tak bisa ku perhitung kan lagi, semuanya tak seperti bayangan ku. Semua berputar secara acak sampai aku ingin kembali ke rumah dan beristirahat untuk sejenak saja. Tapi aku juga takut mengecewakan teman-teman satu kelompok ku ketika aku pulang tak berpamitan. Kami punya tugas yang harus diselesaikan dan semua berharap padaku, aku tak bisa mengecewakan harapan mereka. Tapi aku juga tak bisa terus-terusan hidup seperti ini, sebab aku seperti sudah kehilangan kekuatan untuk bertahan. Aku rasanya ingin menyerah dan kembali ke pangkuan ibunda untuk tidur dan berharap akan kasihsayangnya dalam setiap suapan nasi yang kurindukan.
Sebenarnya pagi ini aku sedikit tenang karena akan mendapat uang dari tempat ku mengajar pramuka. Ya walaupun kecil, bisa ku gunakan untuk makan ku beberapa hari dan juga kebutuhan ku yang lain. Tapi ketika selesai mengajar dan ingin meminta hak ku sebagai seorang yang sudah bekerja, si guru menjengkelkan dengan enteng bilang, “Honornya digabung dengan bulan depan kakak-kakak, agar lebih mudah. Kan tinggal satu pertemuan lagi.”
Dengan gampangnya orang itu berkata, seolah aku tak butuh uang yang menjadi hakku. Aku sudah melaksanakan tugas, dan ketika ku tagih mereka seakan lupa dengan kewajibannya memberi honor padaku. Mereka seenaknya mengubah dan menunda hak yang harus kami terima secara nyata. Kami sudah maksimal memberikan yang terbaik kepada murid mereka, bersikap sabar saat murid mereka tidak menghargai kami, dan tetap mengajar sesuai dengan apa yang sudah diprogramkan. Tapi mereka seenaknya saja menunda pembayaran, seperti kami tak butuh uang.
Aku sanggat butuh uang itu, tapi mereka dengan seenaknya menunda tanpa berfikir, betapa berharganya satu rupiah untuk ku sekarang. Aku sangat membutuhkannya, tapi mereka dengan tega menghancurkan semua yang telah ku bayangkan. Semua gagal total, tak ada yang tersisa dari harapan yang terlanjur ku percaya. Sementara perut ku masih tetap saja kelaparan, karena tak ada yang bisa untuk membeli makanan. Hanya air mentah yang terus ku teguk, untuk sekedar menghilangkan sedikit rasa lapar yang melanda.
Lalu aku berfikir, walau dengan perut yang masih kosong dan hanya terisi air. Kenapa semua ini begitu sulit ku lalui, padahal walau seringkali aku gagal, aku selalu bangkit dan tak pernah putus asa. Tapi entah kenapa semakin ku rasakan, cobaan yang menimpa ku semakin berat dan semakin sulit saja. Setiap kali aku menemkan jalan keluar, aku malah semakin tersesat pada cobaan baru yang terus menyudutkan ku. Seakan-akan Tuhan tak pernah merestui jika aku bisa lepas dengan cara yang memudahkan ku.
Aku sungguh tak habis pikir dengan apa yang terjadi kepadaku saat ini. Sungguh semua sudah di luar nalar ku sebagai manusia biasa. Semua seperti aneh dalam pandanganku, sebagai manusia awam yang mencoba untuk memahami tanda-tanda alam pemberian Tuhan. Aku selalu percaya akan kekuasaan-Nya, aku selalu tau Dia akan menolong hambanya yang dilanda kemalangan. Tapi untuk diriku, Dia seperti mempermainkan kehidupan ku dengan tangan takdirnya. Aku dilempar kesana-kemari, diberikan harapan kosong oleh manusia ciptaannya, dan yang terakhir, semua pintu rizki ku ditutup tanpa sisa. Mungkin tidak seluruhnya, tapi sebagian besar, dan itu menyangkut dengan masalah keuangan.
Jujur saja, aku merasa dibuat mainan oleh Tuhan, membuatku beberapa kali menangis mengiba. Mungkin Tuhan tertawa melihatku menagis sendiri, ketika meminta bantuan atas masalah ku. Mungkin Dia juga tak ingin memberikan kebahagiaan, dalam waktu dekat ini. Karena jika itu terjadi maka Tuhan akan kehilangan mainannya yang mengemaskan. Entahlah apa yang ku pikirkan, aku malah menyalahkan Tuhan yang sudah memberikan ku hidup sebagai manusia. Mungkin karena aku tak tau lagi harus berbuat apa, dan yang ku bisa hanya berkometar tentang pemberian-Nya
Hari ini aku penuh dengan pikiran-pikiran aneh yang memenuhi otakku. Pikiran tentang Tuhan yang menjadikan ku boneka mainannya, pikiran tentang hidup ku yang kacau dan berantakan. Rencana ku juga tak berjalan dengan lancar, sebab terus menemui rintangan setiap persimpangan jalan. Sekarang aku malah berpikir jika nanti aku diusir dari kos aku harus pergi ke mana untuk melabuhkan badan. Terbesit dalam benak untuk menginap di kontrakan teman. Tapi apa dia mau menerima ku, dan aku pasti akan merepotkannya nanti. Aku masih punya rasa malu untuk melakukan hal ini. semua itu hanya menguntungkan bagi diriku sendiri. Entahlah aku harus berbuat apa, aku sudah tak bisa berpikir dengan jernih saat ini. semua pikiran mengarahkan ku pada satu titik, dan itu adalah jalan buntu dari masalah ku.
Tiba-tiba dari pintu masuklah teman ku ke dalam kamar, ia menceritakan kejadian yang baru ia lihat. Ia menceritakan tentang pencurian yang terjadi di jalan menuju kampus , dan pelakunya adalah anak-anak. Aku hanya diam tak memberi tanggapan dan respon apapun untuk menanggapinya. Aku tak menanggapinya karena masih ada perasaan kesal yang terus ku rasakan jika melihat wajahnya yang tak merasa bersalah. Ku biarkan dia terus bicara tanpa henti, sampai ia merasa lelah bicara lagi.
Setelah itu dia bicara soal mesin penanak nasi yang masih tertinggal di rumah seorang teman. Mesin itu miliknya dan seharusnya jika ia butuh ia mengambil sendiri semuanya, dan seharusnya ada rasa malu menitipkan barang tanpa kepastian untuk diambil. Lalu dengan nada sedikit emosi ia menyuruh ku untuk mengambilnya, alasannya agar lebih mudah jika aku ingin makan. Ia dengan gaya sok tua menasehati ku tentang apa yang harus ku lakukan, agar lebih hemat membelanjakan uang. Sementara dia sendiri tak sadar, betapa borosnya ia menggunakan uang. Gaya hidupnya lebih parah dari orang yang kelebihan uang. Dan dengan perilaku seperti itu dia berani mengomentari gaya hidupku yang lebih hemat darinya.
Dia memarahi ku seolah dia adalah orangtua ku, yang harus ku turuti dan ku patuhi semua omongannya. Dia dengan gampang menilai bahwa yang ku lakuakan adalah pemborosan, dan karena hal itu aku kekuarangan uang. Tapi ia tak berfikir siapa yang dari dulu menghabiskan uang kiriman dari orangtua ku. Dia tak ingat sudah berapa banyak hutangnya kepadaku, sampai untuk makan pun aku harus menjual kain pemberian orangtua ku yang sebenarnya akan dijadikan baju. Dia tak sadar, karena kelakuannya hidup ku menjadi seperti ini, serba kekurangan dan tak bisa mencukupi kebutuhanku sendiri.
Bodohnya aku, ketika dulu mempercayainya sebagai teman baik, dan menganggapnya sebagai saudara. Aku menyadari betapa gobloknya aku sekarang, kenapa aku mau-maunya selalu dibodohi oleh dia, sejak pertama kali aku menginjakan kaki di Malang. Mungkin itu kebodohan ku dulu saat aku masih tak tau dia hanya akan memanfaatkan ku, untuk hidup di kota ini. Tapi semua sudah berubah, dia yang menginginkan hidup sendiri-sendiri. Dia tak mau lagi berbagi atas biaya hidup, ia ingin menaggungnya sendiri, walau tak diungkapkan secara langsung, aku sudah paham saat pertama kali aku harus membayar kos dan makan ku sendiri. Aku sudah bisa menduganya, dan aku menyanggupi itu, dengan caraku sendiri bertahan hidup di sini. Aku hidup dengan uang ku sendiri, tanpa menggantungkan diri kepadanya lagi.
Tapi sekarang dia ingin menyuruhku untuk mangambil penanak nasi, dan memasak lagi untuknya. Memang tak ada kata suruhan darinya kepadaku. Tapi hal itu menjelaskan dia ingin memanfaatkan ku lagi untuk mempermudah hidupnya. Dia ingin aku memasak, agar dia tak perlu membeli makan lagi dan tak perlu repot memasak makanan sendiri. Aku tak mau menjadi sapi perahannya lagi, yang terus-terusan diambil manfaatnya dan dibuang ketika tak dibutuhkan. Aku sekarang tak bisa lagi dibodohi, dan aku juga tak ingin menjadi budaknya.
Biar ku jalani hidupku sendiri tanpa orang-orang yang ingin terus memanfaatkan ku. Aku sudah muak untuk dimanfaatkan orang lain, dengan mengaku ingin menolong ku. Aku ingin hidup sendiri jauh dari semua yang mau memanfaatkan diriku sebagai orang suruhan. Mereka anggap aku tak tau akan usaha mereka menjadikan ku budak suruhan, aku tau dan sudah dari dulu aku mengetahui itu. Bukan karena aku diam, aku terus bisa dibodohi oleh kalian, aku juga punya otak untuk membalas kelicikan kalian. Dan karena sekarang kita menanggung biaya hidup sendiri-sendiri, maka silakan berusaha untuk memenuhinya sendiri. Aku tak mau ikut campur urusanmu lagi, dan aku sudah punya kehidupan ku sendiri
Aku tak marah pada kalian, hati ku cuma terlalu sakit karena terus-terusan dimanfaatkan, saat ini menjadi hari di mana aku ingin lepas dari perbudakan itu. Aku tak punya utang apapun karena aku sudah hidup dengan semua usaha ku sendiri. Toh, selama ini kalian tidak membantu ku untuk mendapatkan pekerjaan yang sebelumnya kalian dijanjikan. Omongan dari mulut itu tak pernah bisa dipercaya, mulut itu hanya terisi oleh sampah busuk dari minuman keras yang dulu kau teguk. Moga saja mulut itu masih dapat ampunan dari Yang Maha Kuasa.
Tapi aku hanya terdiam sekarang, tak mau membuat suasana menjadi semakin memanas. Aku tak ingin ada masalah yang terjadi. Aku lebih baik pergi dan menghindar jauh untuk menengkan emosiku, yang bergejolak panas. Kubiarkan dia, serta tak ku anggap bahkan sebagai manusia sekali pun. Aku memilih untuk pergi dan menikmati kehidupan ku sendiri. Aku beranjak keluar hingga larut malam hanya untuk menenangkan diri. Mungkin dengan dinginya malam mampu memadamkan api amarah dalam dadaku. Walau ucapku tak bersuara, tapi hatiku terus saja mengumpat mereka semua yang memperlakukan ku dalam hina.
Hingga dini hari menjelang, lentera mata ku tetap terjaga oleh api kemarahan yang terus terbakar. Aku terus merasakan kemarahan yang terus membuat sakit dalam dada. Aku terus saja mengumpat, mengutuk, dan menghina perbuatan mereka. Aku sungguh sudah muak dengan apa yang dilakukan kepadaku dan orang lain. Ingin ku pergi, pindah menjauh darinya yang sudah tak bisa ku percaya lagi. Hati ku benar-benar sakit saat ini, sakit sekali hingga aku tak bisa menahannya.
Dalam kekalutan itu aku juga teringat akan masalah yang lain dalam hidup ku. Aku juga teringat akan orang tua ku di rumah, menungguku serta mengharapkan hasil baik dari perjuangan ku. Aku tak bisa mengecewakan mereka saat ini, aku harus terus berjuang hingga aku bisa meraih apa yang menjadi tujuan ku datang kemari. Hidupku harus tetap maju meski rintangan tetap berada di depan mataku. Aku harus tetap maju demi cita-cita yang ku perjuangkan, dengan atau tanpa bantuan dari mereka yang licik.
Akhirnya aku putuskan untuk meminta uang dari rumah, walau sebenarnya aku sangat ragu akan hal itu. Bukan aku ragu dengan orang tua ku, tapi aku sudah tak tega melihat mereka berjuang keras untuk diriku di sini. Tapi perutku sungguh sudah lapar, dan aku sudah tak punya apa-apa lagi sebagai harapan. Aku hanya punya Tuhan yang selalu mendengar doa ku, mungkin hal ini yang menjadi jalanku untuk tetap hidup. Mungkin Tuhan menyuruhku untuk menghubungi orang tua agar tetap bisa hidup di sini. Walau aku benar-benar ragu dengan hal itu, aku tetap melakukannya, ku lakukan walau aku kembali menyusahakan orangtua. Dan hari ini menjadi sebuah hari, untuk ku ingat selamanya. Aku akan mengingat penghianatan demi penghianatan sebgai sebuah cara untuk ku tumbuh. Dan aku berterimakasih pada kalian yang pernah menghianatiku, terima kasih telah memberikan pelajaran berharga padaku. Dan untuk semua yang kalian lakukan kepadaku, semoga kalian lebih bahagia setelah merampas semua milikku.
Sekian
Malang, 13 April 2017
0 Komentar