Sepeda Motor Tua


Sepeda Motor Tua
         Terpancang kaku pada sebuah pagi yang sunyi tanpa ada seorang pun menatap ku. Pagi itu aku sendirian, tak ada yang menemani ku ketika hidupku sedang merasa sangat kesepian. Aku hanya seorang diri, menatap matahari merambat naik mencoba menunjukkan wajahnya pada dunia. Aku hadir dalam setiap pagi dan senja, ketika ia mencoba menampakkan dirinya. Saat tak ada orang yang peduli tentang ku, mungkin surya peduli pada diriku ketika memperhatikannya. Walau hanya perhatian dingin yang terasa seperti batu hitam dalam goa, atau layaknya sebuah roti gandum tanpa susu.
Aku akui, kehidupan ku memang begitu hambar, tak seperti kehidupan teman-teman kampus ku yang lain. Mereka bisa pergi ke mana saja ketika akhir pekan tiba. Mereka juga bisa berkumpul bersama, melakukan hal yang tidak ada gunanya, mengukir masa muda yang sia-sia. Sedangkan aku, mungkin harus puas dengan hidupku yang seperti ini. Entah itu akhir pekan, atau awal pekan sekali pun, aku hanya bisa menatap mentari pagi untuk sekedar tahu, bahwa pagi masih ada. Dan seperti yang seharusnya aku lakukan, semua rutinitas harus ku kerjakan, sebagai seorang yang masih bernafas.
Terhitung dua tahun sudah aku berada di kota ini, menjalani rutinitas sebagai mahasiswa setrata satu, dengan keseharian disibukkan oleh tugas. Tak tau kenapa dosen-dosen ku selalu memberi tugas setiap minggu. Hampir setiap hari diriku berurusan dengan makalah, presentasi dan tugas-tugas yang mencekik leher ku. Aku seperti seorang narapidana, selalu dijejali makanan, meski pun perutku sudah kenyang dengan daging mentah setiap harinya. Ah, sudahlah, mungkin ini yang dinamakan kehidupan seorang mahasiswa, bertumpuk tugas harus dikerjakan untuk memuaskan dosen-dosen sebagai bahan penilaan. Tak ada alasan untuk menghindar, tak ada jalan pintas untuk sebuah kesuksesan. Dan semua rutinitas mahasiswa harus ku jalani, sebagai sebuah jalan untuk mendapat hadiah yang akan ku persembahakan bagi kedua orang tuaku.
Sebenarnya jenuh menjalani rutinitas yang sama setiap pagi, pergi kuliah, bertemu dosen, mengerjakan tugas, dan pulang larut malam. Tapi apa boleh buat, semua itu sudah menjadi tugas dan tanggung jawabku sebagai seorang mahasiswa. Mungkin hiburan ku hanya sebatas berkumpul dengan teman-teman, atau sekedar memandang matahari pagi, jika akhir pekan telah tiba. Tak ada yang istimewa dari kehidupan mahasiswa ku. Bahkan mungkin kehidupan mahasiswa ku jauh dari kata layak, tak ada satu pun yang patut untuk dibanggakan.
Pagi ini, di akhir pekan yang menyisakan kesepian seperti hari-hari sebelumnya, aku hanya terdiam. Aku duduk sendirian, menatap surya untuk yang kesekian kalinya dan mencoba merasakan kehangatannya. Saat itu aku mulai mencoba, mereka kehidupan masa lalu ku yang penuh dengan sahabat di sekitar ku dan orang-orang yang aku sayangi. Sebuah masa yang tak mungkin terulang kembali, sebuah masa penuh kenangan yang ingin ku abadikan dalam sebuah bingkai. Dan mungkin bingkai itu akan ku sisipi sebuah bunga, agar harum semerbak wangi.
Jika ku ingat lagi sebuah kenangan yang telah jauh melangkah pergi dari ku. Aku teringat sepeda motor tua ayah yang selalu mengantar ku ke sekolah dulu. Aku akui, aku anak yang manja dulu, selalu minta diantar untuk pergi ke sekolah walau pun sudah berumur 13 tahun. Aku bisa berangkat sendiri waktu itu, tapi kadang rasa malas menghampiri ku saat ingin mengayuh pedal sepeda ku. Dan kebiasaan ku pun berlanjut seiring berjalannya waktu. Ayah selalu mengantar ku ke sekolah mengendarai sepeda motor tua yang memberikan banyak kenangan.
Saat aku duduk di belakang ayah, menuju sekolahku, ayah selalu berpesan, “Nak, mungkin cuma ini yang bisa ayah lakukan, mengantar mu, menuju tempat mu belajar.” Kata ayah dalam perjalanan. “Jangan sia-siakan apa yang sudah kamu dapat, belajarlah dengan baik, jadi anak yang pintar.” Ayah melanjutkan pesannya.
Aku kadang tak mengerti apa yang disampaikan ayah, aku pun hanya mengangguk setuju dan bilang “Iya” setiap ayah menasehatiku. Mungkin waktu itu aku masih belum cukup untuk mengerti pesan kehidupan yang disampaikan ayah padaku. Entah karena usia ku yang masih remaja, atau karena pengetahuanku yang belum sempurna, jadi aku tak bisa mengerti pesan yang disampaikan ayah. Aku yang masih polos, hanya terus mendengar, dan terus saja mendengar pesan dari ayah, serta berharap suatu hari nanti bisa mengerti pesan-pesan dari ayah.
Kadang ayah juga berpesan, “Nak, jangan sakiti hati teman-temanmu, tolonglah semampu mu ketika mereka membutuhkan, jangan bertengkar dengan mereka.” Pesan itu yang selalu ku ingat sampai sekarang, sampai-sampai aku jadi anak yang terlalu peduli dengan perasaan orang lain. Kadang ketika malam telah larut, aku terbangun dalam keadaan haus, dan mendengar ayah mengigau “Bagus nak, nilai mu baik semua.”, ayah mengulang perkataan itu berkali-kali. Aku sempat tak memikirkannya dan menganggap itu hanya hal wajar dari seorang ayah. Tapi beberapa tahun ini, aku baru menyadari sebuah harapan besar dari ayah kepadaku. Harapan yang selalu menghantui ku agar diriku mendapat nilai terbaik. Sekarang aku tau jelas, bagaimana ayah menaruh harapan besar, kepada anak laki-laki pertamanya dalam keluarga.
Aku memang anak kedua dalam keluarga, tapi anak lelaki pertama yang sangat diharapkan oleh ayah. Aku yang terlalu diberikan perhatian lebih, sampai semua saudaraku iri tentang perhatian yang ku dapatkan. Padahal aku tak pernah merasa diriku diunggulkan, aku malah merasa diriku sering dibanding-bandingkan. Bahkan ketika nilai ku baik pun, aku tetap dibandingkan dengan orang-orang yang lebih baik nilainya. Tapi semua itu coba ku singkirkan, aku tak ingin terpengaruh dengan semuanya, aku mempunyai pendirian dan jalan pikiran ku sendiri, dan aku punyai impian yang tak bisa dipahami orang lain.
Aku menjalani hari-hari dengan pemikiran ku sendiri, melakukan usaha untuk meraih cita-cita ku dengan jalan ku sendiri. Sebelum aku kuliah, bahkan saat aku masih duduk di bangku SMA, aku bisa mencari uang jajan ku sendiri. Sepeda motor tua itu yang menemani ku ketika berusaha mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Mesinnya yang sudah usang, kadang masih ku paksa untuk berjalan, sekedar untuk mengantar ku ke tempat tujuan. Kadang aku merasa kasihan dengan mesin usang yang mengeluarkan suara tak sehat. Tapi apa boleh buat, aku hanya bisa mengandalkan motor tua itu untuk bepergian.
Entah bagaimana kabar motor tua itu sekarang, terakhir yang ku dengar, mesinnya yang usang sudah tak mampu berjalan. Jujur aku rindu sekali dengan motor itu, beserta dengan kenangan yang terlalu banyak dalam pikiran ku. Kenangan itu memaku ku pagi ini, membuat ku mengenang sekali lagi semua yang telah ku lewati, menumbuhkan rindu tentang rumahku. Dan karena itulah aku sangat-sangat ingin pulang sekarang.
Sekian.
Malang, 18 April 2018

Posting Komentar

0 Komentar