Pada Bulan Ku Gambarkan Wajahmu




Pada Bulan Ku Gambarkan Wajahmu

Bulan purnama malam ini sungguh indah. Pantulan cahayanya menyejukkan hatiku yang hampa. Aku serasa berada dalam sebuah kemilau cemerlang dari cahaya surga. Mungkin ini yang dinamakan kedamaian, sebuah waktu yang hanya aku dan ketenangan bersama. Aku hanya coba untuk menikmati cahaya bulan, mencoba untuk selama mungkin menatap tanpa henti agar ku tak kehilangan kedamaian itu kembali. Mungkin wajah bulan yang pucat akan mendamaikan hati ku di penghujung malam gelap ini.
Pada titian malam yang selalu ku rindukan, sebuah senyum selalu menghiasi malam itu dengan begitu manisnya. Mata dari setiap mata manusia tak pernah mampu membohongi jiwa-jiwa mereka sendiri. Pada setiap saat mereka akan tetap mabuk akan keanggunan bulan purnama tercantik di dunia. Demikian pula aku, yang tak pernah bisa lari dari cahaya bulan di sudut dunia ini.
Jika cahaya itu nyata, mampu menyentuh kulit ku yang fana, kenapa hanya rasa sejuk terasa dalam kulit ku. Aku berupaya keras memahaminya, kenapa rembulan hanya bisa menatap tanpa dapat ku sentuh wujudnya. Hingga rasa tanya itu hilang, hanya berganti dengan kekaguman paras cahaya sang rembulan. Keindahan yang tak bisa ku rebut dari seorang anak kecil ketika diberi permen kapas berisi racun glukosa.
Tiba-tiba angin berhembus melalui ku tanpa mengucap salam. Ia berbisik lirih di telingaku dengan rasa hati-hati seperti tak mau yang lain mendengar. Ia berbisik "Hai pemuda jalanan, yang jauh dari tilam empuk pangkuan bunda, apa yang sedang kau pikirkan???". Apa maksudnya angin ini, aku tak bisa menerka maksudnya dengan jelas. Dia yang dari awal kehidupan selalu ada di tempat ini, seharusnya ia lebih tau apa yang sedang ku pikirkan. Aku sudah berada di sini sejak lama, dan ia juga tau persis apa yang ku pandang, maka harusnya ia tau yang aku pikirkan.
"Sedangkal itukah pikiranmu??, hingga kau yang lebih dulu berada di tempat ini tak tau apa yang sedang ku pikirkan". Ucap ku merendahkannya. "Apa ini hasil dari umur panjang yang diberikan Tuhan padamu??. Aku semakin meremehkan.
"Ah, Aku hanya memastikan saja, apakah yang ku pikirkan sama dengan yang kau pikirkan juga." Balasnya menanggapi ejekan ku. "Pada dasarnya aku bukan Tuhan yang tau segalanya. Dan hatimu itu lebih dalam dari lautan yang biasa ku sapa, jadi mana ku bisa menerka." Tegasnya padaku.
"Ah, alasan. Bukannya setiap laut itu ada dasarnya, dan setiap hati punya sebuah mata sebagai jendela?"
"Bukannya aku tak bisa, hanya saja kesalahan dalam penafsiran hanya akan membuat ku salah bertindak." Angin tetap tak mau disalahkan, dan ia tak ingin ikut campur terhadap sebuah masalah.
Mungkin ia tak ingin terlibat dengan masalah ku, sebab ia tak mau terkena masalah karena diriku. Ah biarlah, si pengecut ini pasti tak akan pernah bisa  membantu ku. Sifatnya yang selalu berjalan ke kanan dan ke kiri hanya akan membuat ku semakin was-was, jika ku minta bantuan. Jangankan untuk setia pada janjinya, diam di satu tempat saja tak pernah bisa. Maka dari itu tak ku ungkapkan apa yang ku pendam dalam hati.
Bulan yang indah nan anggun tetap berada ditempat. Ia tak berpindah walau aku selalu menatapnya sekian ribu kali. Aku tak tau, apakah ia merasa, atau ia tak bisa merasakan apa yang menjadi dalam hati ku. Ia tetap dengan wajahnya yang pucat, cahaya keanggunan yang tak pernah berubah dalam kurun waktu beribu-ribu tahun. Dan aku hanya terdiam, memandang sisi bulan sempurna dari bumi ku tercinta. Mencoba berharap semua yang ku rasakan tersampaikan kepadanya.
Kini giliran sebersik ombak datang melepaskan suara kerasya kepada diriku. Aku yang terkejut dengan hadirnya, tak mengerti apa yang coba ia utarakan dengan suara itu. Di hadapan malam sunyi ini ombak samudera memandangi ku, seperti menyampaikan pesan dari laut lepas nan jauh di sana. Pesan yang tak pernah terbahasakan isinya, dan hanya hati ini yang bisa mengerti apa maksud tersiratnya. Aku tak bisa mengerti kenapa tak pernah ada bahasa di dalamnya, semua hanya terasa seperti sebuah firasat yang mengandung banyak penafsiran.
Dan aku hanya menemukan kebisuan dalam diriku, mencoba menafsirkan pesan dari samudera yang disampaikan melalui ombak. Berapa pesan bisa ku telan mentah-mentah, tapi beberapa yang lain begitu sulit untuk ku tafsirkan. Aku tak punya kemampuan seperti para nabi untuk menafsirkan semua pesan itu dengan sempurna. Walaupun sebenarnya itu hanya pesan remeh untuk kehidupan ku yang tak begitu istimewa. Hidupku yang terlalu remeh, tak pernah bisa menangkap pesan begitu besar yang sering diinginkan manusia. Dan aku pun tak pernah berharap, bisa mendapat yang lebih besar dari apa yang bisa ku genggam.
Diriku yang kini hanya ingin merasakan damai dalam peran, dalam dunia yang tak pernah bisa tenang. Aku tak ingin terusik lagi dengan kehidupan yang selalu, dan selalu mengejar, tanpa tau apakah yang dituju itu ada, atau hanya sebuah khayalan. Saat tak pernah bisa ku gabungkan semua asa ku, baru aku sadar tak pernah ada kedamaian yang dihasilkan dari pelarian berkepanjangan. Aku harus menghadapi semuanya tanpa sebuah keluhan, dengan keberanian dan memperoleh ketenangan yang mungkin itu hal terakhir yang ku rasakan.
Pada sebuah batu besar diriku ku rebahkan, mencoba memandang sekali lagi sang rembulan malam tanpa berkedip. Cahayanya tetap sama, menenangkan hatiku seperti sebelumnya. Tak pernah berubah, seolah bulan purnama terus menyiramiku dengan cucuran kedamaian. Hingga ku terlelap, berselimut awan-awan langit yang coba untuk memejamkan mata. Kehangatan pun ku dapat dari api unggun yang tadi telah ku nyalakan. Mengusir hawa dingin menusuk tulang, sembari menjadi penerang dalam gelap malam dunia.
Sebelum tertidur, ku lihat bintang-bintang di langit memancarkan keindahan dari setiap dirinya. Bintang-bintang itu membentuk sebuah pola, pola yang sungguh indah, menentramkan jiwa-jiwa gundah di dunia. Cahayanya begitu gemerlap, menyentuh sudut-sudut langit dalam kegelapan. Bintang-bintang itu bersanding dengan bulan purnamaku yang anggun. Bagiku, hal itu semakin membuat rembulanku tampak lebih indah dan sangat anggun bagai ratu bidadari surga.
Aku pun mulai terlelap, memejamkan mata, menuju mimpi abadi dalam duniaku sendiri. Semua cahaya dari seribu bintang dan satu rembulanku mengantar ku pada mimpi indah malam ini.  Hal itu makin menambah semangatku untuk bermimpi, seolah semua sedang mendukung ku untuk terus bermimpi. Kini dengan batu sebagai sandaran tidur ku, api unggun sebagai penghangat, dan cahaya dari bintang-bintang serta rembulanku, aku terlelap dalam buaian kasih sayang, di tepi samudera ganas yang melemparkan ombak. Aku sedikit takut dengan ombak-ombak yang menabrak batu karang. Tapi apa gunanya ketakutan, semua yang ada malam itu menyuruh ku untuk tidur dengan nyaman. Aku pun merasa aman, biarlah ombak terus saja menghantam, hatiku tetap tenang dalam mimpi indah membuai diriku dengan kenikmatan.
Sekian
Malang, 17 April 2018

Posting Komentar

0 Komentar