Jika Ku Temukan Ini di Duniaku



Jika Ku Temukan Ini di Duniaku

            Aku berada di sebuah negeri yang amat asing dalam benak ku sendiri. Semua terasa asing dan tak bisa aku ingat bagaiman aku bisa berada di tempat ini. Tempat itu gelap, terasa mencekam dan hanya cahaya rembualan yang menerangi langakah kaki perjalananku. Dengan rasa bingung membayang-bayangi, aku tetap berjalan, mencoba  menggendong ransel berat di pundak seraya menjaga langkah kakiku. Aku berharap bisa menemukan jalan keluar dari tempat penuh dengan rerimbunan pohon yang semakin membuatku takut.
            Langkah demi langkah ku ayunkan, sembari mencoba mengingat beberapa saat yang lalu bagaimana aku tiba di tempat ini. Tapi sepanjang lajur ingatanku, aku bener-benar tak menemukan alasan mengapa aku berada di tempat ini sekarang. Aku pun juga tak ingat bagaimana caranya, yang ku ingat hanya tentang diriku sedang bersiap-siap untuk berlibur ke luar negeri. Tapi bukan ini negeri yang ku tuju, aku bahakan tak pernah sadar bagaimana aku mendarat ke tempat ini. Seandainya ada buku petunjuk yang ku bawa, pastilah aku tak akan tersesat dalam hutan yang tak berpenghuni seperti ini.
            Ku lanjutkan langkah dalam kegelapan malam di hutan tak berpenghuni dalam kesunyian. Seluruh rasa takut coba ku singkirkan dari angan, agar langkah yang ku ambil tetap mantap. Tak ku pedulikan long-longan anjing hutan yang terus saja memnuhi telingaku. Meski kadang, suara itu membuatku takut, serta memberatkan kaki ini untuk melangkah lebih jauh. Bagiku kini, aku hanya ingin keluar dan menemukan peradapan manusia untuk mengistirahatakan diriku yang terlanjur lelah mengendong pakaianku sendiri.
            Saat ku hampir putus asa, penat sudah diriku mencari jalan untuk menuju peradapan, aku mendengar suara di balik rerimbuanan semak penuh dengan cahaya kuang-kunang. Ragu, perasaan itu yang terus menghantuiku, saat ingin mendekat pada gundukan semak besar di depan mata. Tapi rasa penasaran terus saja menghantui ketika ku ingin meangkah pergi. Akhirnya ku coba untuk memberanikan diri, menyibakkan semak belukar yang menghalangi, mencoba mencari tahu apa yang ada di balik semak-semak ini.
            Dan betapa terkejutnya hatiku, setelah masuk dalam rerimbunan semak itu, aku dihadapkan oleh sebuah pesta, sebuah keakraban yang luar biasa. Tak pernah ku temuakan hal ini di sudut manapun dari setiap jengkal dunia yang terhampar luas. Banyak orang di tempat itu, semua berbaur menjadi satu, menghilangkan segala batasan yang dibuat manusia. Semua orang membaur, dari orang kuit putih, hitam, sawo matang, kuning langsat dan kulit-kulit lain yang menjadi identitas dari setiap bangsa. Tak ada batasan antara mereka, hanya ada sebuah keakraban membaur dalam pesta malam ini.
            Sebuah lagu dilantunkan, semua alat musik dimainkan, tak ada perbedaan, semua menyatu dalam lantunan musik pemecah malam. Pesta digelar, semua menari dengan tarian ciri khas dari daerah mereka tinggal. Tak ada kesamaan dari gerakan mereka, tapi semua bisa menyatu dalam rangkaian gerakan indah penuh makna. Aku merasakan kekaguaman dengan apa yang terlihat oleh kedua mata ini. Tak ku sangaka masih ada tempat yang seperti ini dalam dunia yang penuh akan kerusakan. Bagaimana bisa tempat ini tertutup dari dunia yang sudah kaya akan teknologi pencari lokasi?. Bagaiman temapat seperti ini bisa hidup di tenga-tengah dunia yang rusak penuh akan kebencian?. Hatiku pun bergumam, apakah bisa ku wujudkan tempat ini di duniaku?.
            Di tempatku sekarang berdiri, hanya da rasa kekaguman yang memenuhi sekujur tubuh. Tak bisa ku pungkiri, hal ini yang ku rindukan dari duniaku yang penuh dengan kebencian. Batasan yang dibuat oleh duniaku, tak berlaku di tempat ini, dan hal itu yang ingin ku bawa. Batasan itu yang ingin ku hilangkan dari dunia yang kini hanya menyisakan kebencian. Aku ingin duniaku bersatu seperti ini, tak ada batasan, tak ada penghakiman, semua bersatu dalam alunan nada merdu sebuah lagu.
            Masih dipenuhi dengn rasa kekaguman, aku tetap berdiri tanpa bergerak melihat susana itu. Hingga ada seseorang gadis menerik tanganku, ia tak terlalu tinggi, kulitnya putih, berambut ikal, serta berparas cantik. Dia menarik tanganku dengan lembut sambil bekata, “Ayo, nikmati pestanya bersama kami.” Ucapnya lembut. Aku hanya bisa membisu, mengikuti langkah kakinya, tak sedikitpun menolak tarikannya.
Sebenarnya aku sedikit merasa bingung atas kekaraban yang ditunjukan oleh gadis ini. Kalu dicerna secara akal sehat, dia tak mengenalku, tapi ia sudah sekarab itu saat mengajakku. Perasaan aneh sekaligus bingung memenuhi sekujur tubuhku, tapi aku tetap mengikuti langkah dari gadis ini. dengan sedikit rasa peneasaran, ku coba sesekali melihat wajahnya yang membelakangiku. Dia yang tau akan hal itu, mencoba menahan tawa agar tak menyinggung perasaanku. Aku jadi sedikit heran, kenapa ia begitu akrab menyambutku, yang jelas-jelas orang asing di tempat ini?.
Rasa heran semkain menjadi ketika aku sudah berada di tengah-tengah pesta, semua orang menyambutku dengan ramah, mereka menyapaku, “Hai Fian, ayo seneng-seneng bersama.” Tak ragu. Aku sedikit binggun dengan sapaan akrab mereka, fikirku, bagaimana bisa mereka tau namaku, sedang aku tak pernah memperkenalkan diri. Aku pun juga tak mengenal mereka, semua terasa asing olehku, tapi keakraban itu, tidak.
Saat aku berada di tengah-tengah pesta, aku benr-benar meraskan kebebasan yang tak pernah ku rasakan. Semua serasa dekat denganku, aku pun bisa bebas seperti apa yang selama ini ku inginkan, menjadi diriku sendiri ditengah perbedaan tanpa batasan. Kami bergembira sepanjang malam, terbebas dari semua batasan yang selama ini dibuat oeleh manusia. Menyanyi dan menari bersama, seperti orang yang sudah lama saling mengenal satu sama lain. Dunia yang sungguh indah, dibanding dengan duniaku sekarang.
Setelah aku puas dengan segala kegembiraan dalam pesta, aku pun merasa ingin beristirahat sejenak, melemaskan badan yang lelah akibat menari bersama mereka. Aku pun memilih untuk duduk bersandari di sebuah pohon rindang agak jauh dari tempat pesta. Dari tempat itu aku bisa memandang, betapa asiknya para penikmat pesta malam yang sangat bebas. Ketika aku berada dalam pesta aku larut dalam suasana kemeriahannya, dan saat ini aku pun masih asik terpaku akan suasana yang sama.
Dalam pandanganku tergambar, bagaiman merek bergembira, tertawa, menari bersama, hingar-bingar yang tak pernah sekarab ini di duniaku, tak pernah ku rasakan yang seperti ini dalam dunia yang ku jalani. Tempat ini seperi tak punya kesedihan untuk diungkapkan, tak punya rasa marah untuk dilontarkan, dan tak ada pembatas sebagai tali pengekang. Semu bebes menunjukan dirinya masing-masing, tanpa topeng kemunafikan yang harus diperlihatkan agar dapat diterima. Tak masalah baju mereka berbeda, yang pasti mereka tetap memakai baju sebagai pakaian, dan itu yang ku inginkan.
Pemandangan yang paling menarik perhatianku adalah mereka mau, meminum dari wadah yang sama, tanpa khuwatir apa yang mereka minum. Mereka tak peduli, apakah itu madu ataukah racun, yang masuk mengalir ke perut mereka masing-masing. Mereka terus saja meminumnya tanpa bertanya, tanpa merasa curiga, atas apa yang mereka teguk. Tak ada kecurigaan, tak ada penghianatan dari yang telah mereka terima. Tak ada senyum munafik untuk sebuah gelas yang dihidangkan, dan begitulah seharusnya dunia ini berjalan.
Mereka yang berbeda, mampu menerima pemberian dari orang lain tanpa rasa curiga. Tak pernah ada prasangka dalam hati mereka akan pisau yang disembunyikan di balik badan. Tanpa rasa ragu mereka meminum seteguk demi seteguk air yang dihidangakan, deangan tawa serta kehangatan.
“Hai, boleh duduk??” seorang gadis menyapaku seraya duduk disampingku.
Aku hanya menganguk setuju, tanpa sepatah kata, ku biarkan saja ia duduk menemani ku di bawah rindangnya pohon. Tak ku perahtikan wajah gadis itu, aku lebih tertarik pada keakraban yang ada di depan ku. Aku hanya ingin menikmati bagaiaman semua ini berlangsung, tanpa ingin terganggu oleh semua yang ada di sekitarku. Mungkin semua ini bisa ku bawa dalam kehidupan di dunia yang ku jalani nanti.
“Gimana menurutmu, apa semua ini menyenangkan??”. Tiba-tiba gadis di sampingku angkat bicara.
“Sangat menyenagkan, tak bisa ku temukan hal ini di tempat lain.” Jawabku antusias.
“Disiniah tempat orang berkumpul, menyingkirkan batasan, berharap semua akan lebih baik, dan semua keinginan mereka akan kebebasan terwujud.” Jelasnya padaku. “Memang semua terliah tak sama, tapi semua berpadu pada satu simfoni kehidupan, hakekat penciptaan, yang mengatakan bahwa tak pernah ada benda yang persisi sama di dunia ini.” Ia berfalsafah seperti orang-orang bijak, tapi benar juga apa yang ia katakan, ‘tak pernah ada yang sama di dunia’.
Sambil memandang langit aku berucap, “Benar, semua memiliki perbedaan. Bintang yang jauh itu juga mempunyai perbedaan, walau semua punya zat yang sama. Demikian pula dengan pohon, meski mereka punya fungsi yang sama, tetapi bentuk mereka tak ada yang serupa. Semua berawal dari perbedaan masing-masing, lalu membentk sebuah kelompok untuk menyamakan misi, bukan menyamakan bentuk mereka.”
“Yap, itulah kehidupan. dan kehidupan selalu menyisakan pertanyaan tentang perbedaan.” Jawabnya membinggungkan.
Aku jadi binggung dengan perkataan itu, ia seperti membicarakan bahasan yang berbeda, tetapi masih dalam topik yang sama. Jujur aku tak tau harus menjawab apa, petanyaan tentang kehidupan apa yang ia maksut. Aku jadi sangat ingin tau, bagaimana pertanyaan orang lain tentang kehidupan ini. Apakah mereka mempertanyakan hal yang sama, seperti pertanyaan yang selalu ku tanyakan pada dunia?, atau ada hal lain yang mereka tanyakan?.
Aku tak bisa bicara lagi, ucapan dari gadis itu seraya membuatku membisu. dan terus menghayati dalam hati tentang kehidupan. Semua kehidupan yang aku jalani selama ini, kurenungkan dan coba ku jawab sendiri, tetang semua pertanyaan yang terintas di fikiranku. Apalagi setelah melihat pesta yang seperti ini, diriku serasa tak pernah melakukan apapun untuk sekedar berdamai dengan perbedaan. Apa yang ku lakukan selama ini hanya mencari perbedaan-perbedaan dari setiapa jiwa yang hidup dan tinggal di dunia ini. hanya perbedaan, dan hanya tentang perbedaan yang tak pernah akan berakhir. Dan aku baru sadar, tak pernah ada gunanya untuk memperdebatkan perbedaan dunia ini, memperdebatkan perbedaan hanya akan menyiayiakan waktu yang bermanfaat.
“Indahnya keakraban ini.” gumamku dalam kekaguman. “Andaikan seluruh dunia punya tempat seperti ini, semua perayaan bisa mencontoh kekaraban yang ku lihat saat ini, mungkin dunia tak perlu lagi pabrik senjata.”
“Andai, andaikan?, bisakah?, pertanyaan macam apa yang kamu lontarkan pada dunia??.” Ucapnya meremehkan. “Tak ada dunia seperti itu, sebuah dunia mempunyai keseimbangannya sendiri-sendiri. Dan dunia tak bisa berputar jika salah satu dari dua kubu terus unggul. Semua harus selalu pada titik tengah, bisa mewakli dari kedua belah pihak, contoh ketika ada perdamaian harus ada juga kerusuhan, ketika ada perbedan harus ada pula persamaan. Maka dari itu, ketika ada sebuah perdebatan yang berlangsung, pasti ada pula persatuan yang dibangun. Itulah duniamu, tak ada yang bisa menggubah itu, walaupun kamu  akan hidup beribu tahun lamanya.” Jelasnya kepadaku.
Dan ku fikir itu benar, tak pernah ada yang bisa menyatukan perdebatan tentang perbedaan karena semua orang selalu ingin membentuk satu komunitas. Menyatuakan visi misi bersama, mencoba menjatuhkan orang lain yang berpandangan berbeda, dan mencoba menguasai dunia ini, dengan persamaan yang mereka usung. Tapi ketika jalan fikiran mereka sudah sedikit berbeda, terulang lagi hal yang sama, perpecahan, saling menyingkirkan, dan menganggap dirinya paling benar.
Semua hal itu mengingatkanku ada duniaku yang kacau. Semua tentang duniaku kini menyelimuti fikiranku, dengan seluruh masalah dan pertentangan yang ada bersamanya. Diriku jadi ingin sekali menghapuskan semua itu, iangin ku bawa keakraban ini dalam duniaku. Tapi hatiku bimbangang, apakah bisa ku bawa ini semua dengan kedua tanganku sendiri?. Aku ragu, sebab tak ada kekuatan yang ku bawa dalam kedua tangan ini, aku tak punya apa-apa untuk didengarkan oleh semua orang. Aku hanya punya sepuluh ruas jari yang bisa ku gerakan untuk ku sendiri.
Ketika ku ingat pada duniaku, aku baru tersadar ini bukan duniaku. Aku pun kembali pada pertanyaan awal ketika aku ke sini. Diaman aku??, aku tak pernah merasa ini sebagai duniaku, semua terasa asing walau keakraban terjadi di sekitarku. Pertanyaan itu kembali, aku pun terus saja memikirkan, sedang di mana aku sebenranya?. Kenapa aku tak ingat, bagaimana aku bisa sampai kemari?. Kalau dilihat dari keseluruhan kejadian ini, pastilah ada proses bagaiman aku sampai kemari. Setidaknya ada ingatan yang tersimpan dalam kepalaku bagaiman aku datang ke tempat ini.
Sempat terfikir dalam benakku untuk bertanya pada gadis ini, tentang bagaiman aku bisa berada di tempat ini. Tapi keberanianku tak muncul, aku terdiam dalam sunyi, mencoba mencari sendiri alasan kenapa aku disini?. Dinginya malam tak membantuku, beribu bintang hanya memandangku yang berkutat dalam kebinggungan, dan aku tetap saja dalam satu pertanyaan. Saat tak ada lagi yang bisa membantuku keluar dari kebinggungan, tiba-tiba gadis itu angakat bicara. “Sudah puas dengan rumitnya fikiranmu??, atau kau ingin mengakhirinya dengang bertanya padaku?.” Ungkapanya ringan. Aku pun hanya mengangguk tanpa bisa menjawab.
“Baru sadar kah kau jika ini bukan dunimau, atau kau baru tersadar dari hayalan tentang duniamu?.” Lanjutnya semakin membuatku binggung. “Kau ingin kembai atau tetap disini menjalani kehidupan penuh kedamaian buatanmu?.” Aku semkin tak tau maksutnya. “Baiklah, jika kau tak ingin menjawabnya, maka bangunlah sekarang.” Perintahnya samabil menepuk bahuku.
Seketika itu juga tubuhku bergetar, seolah gempa bumi sedang terjadi hanya pada diriku. Kemudian aku serasa tertarik oleh sebuah kekuatan besar yang tak dapat ku lawan, aku pun hanya bisa pasrah ikut larut dalam aliran dasyat yang menyertku. Hanya tersisa teriakan yang tak terdengar ketika aku terbawa oleh aliaran kekuatan besar menyeretku ke dalam kegelapan. Semuanya menjadi gelap, tak bisa ku lihat apa yang ada di sekelilingku, aku seperti terbawa dalam ruang hampa. Ku coba melawan, tapi hasilnya percuma, aku terlalu lemah untuk melawan kekuatan besar yang menyertku, dan kegelapan memenuhi pandanganku. Kini aku tak bisa melihat apa-apa, karena hanya ada hitam yang tergambar di mataku.
Tiba-tiba aku merasakan tepukan di pundak, dan karena tepukan itu pula aku tersadar seraya bisa melihat lagi cahaya terang. Aku coba mengatur nafas, memastikan keberadaanku sekarang, seraya mengembalikan kesadarnku yang sempat hilang. Ketika aku sudah sadar sepenuhnya, aku pun bisa memastikan dimana aku sekarang. Aku terduduk dalam kursi pesawat terbang yang sudah mengudara. Sekali lagi ku arahkan pandanganku mengelilingi seluruh sudut pesawat, seraya memastikan kebenarannya. Dan benarlah firasatku, aku sedang berada di sekrumunan orang, sedang menaiki pesawat terbang.
Setelah kebingungan yang ku rasakan, tiba-tiba seorang pramugari berdiri di sampingku lalu bertanya, “Ada apa pak, ada yang bisa saya bantu?”. Sempat ku terkejut, tapi bisa ku kendalikan diriku seketika itu juga, “Apa saya sedang berada di pesawat terbang?” ucapku masih dalam kebinggungan.
“Iya pak, memang bapak pikir sedang ada dimana?” Ucapnya ramah. “Mungkin bapak tadi bermimpi sudah sampai ketempat tujuan, dan melakukan semua rencana liburan bapak ya?”, ia mencoba menahan tawa. “Kita masih baru Teke off, masih panjang perjalanan menuju tempat tujuan.”. Lalu ia pun berlalu, meninggalkanku dengan rasa kebinggungan tentang semua yang telah ku alami.
Sekarang aku baru sadar, semua yang ku alami hanya sebuah mimpi belaka. Aku baru sadar, aku belum mendarta, menjajakkan kakiku di tanah yang ingin ku tuju. Dan kini aku sadar, kenapa begitu sempurna semua yang telah kulihat tadi, ternyata semua hanya mimpi dari diriku, yang merindukan keadaan seperti itu. Tapi aku masih binggung denga semuanya, kenapa ku rasa semua bengitu nyata, seloah semua itu memang ada di satu tempat. Aku merasa bahwa apa yang telah ku alami, memang benar-benar terjadi. Hatiku pun dalam kebimbangan, benarkah ada tempat seperti itu dalam dunia ini?, masihkah ada kekraban seperti itu dalam duniaku.
Tapi setidaknya kini aku tau, semua yang telah ku alami hanya mimpi belaka. Semua yang telah ku alami, hanyalah bunga yang dikirimkan Tuhan untuk menghiburku dari rusaknya duniaku. Hal itu memang hanya sebuah mimpi, tapi setidaknya, aku pernah merasakan sebuah kedamian yang ku impikan. Dan mungkin seuatu saat aku bisa mewujudkan pesta yang sama dalam duniaku.
(Sismaku)

Malang, 11 februari 2018
 

Posting Komentar

0 Komentar