Awan
Hitam di Senjaku
(Sismaku)
Hari menjelang sore, aku terpaku di kamar tidur ku, memandang langit-langit rumah, membiarkan semua khayalan masuk dalam diri sebelum malam menampakkan sang ratu. Aku terdiam menekuni semua lamunan yang terlintas dalam benak seorang anak rantau yang jauh dari kampung halaman. Betapa rindu hati ini pada rumah, gumamku dalam hati. Tapi gumam hanya tinggal kebungkaman, ratap hanya tinggal keraguan, semua hanya tinggal sesal jika ku mengingatnya. Meski kerinduan terus meremas-remas hati, meski aku harus menahan rasa sakit atas kerinduan ku sendiri, tapi harus ku singkirkan semuanya agar orang tua ku tetap tenang memikirkan ku di sini.
Tiba-tiba lamunan ku terpecah oleh sebuah bunyi, hilang sudah apa yang ku lamunkan seketika itu. Fokus ku berganti pada asal suara yang memecah lamunan ku. Suara itu berasal dari handphon ku sendiri, ada sebuah pesan untuk ku, dari seorang teman. Terlupa oleh ku, jika sekarang ada janji bersama teman-teman mengerjakan tugas. Aku benar-benar lupa, bahkan tak tau jika ada janji untuk mengerjakan. Dan akhirnya aku terkena omelan atas kecerobohan ku sendiri.
Dengan tergesa-gesa, aku pilih baju yang terlintas di depan mata, tak peduli cocok atau tidak, semua yang ku butuhkan aku masukkan dalam tas, dan aku pun berangkat. Sebelum menutup pintu kamar, aku melihat ke dalam, mengira-ngira tak ada yang terlupa. Ku lihat betapa kacaunya kamar ku, seperti biasa kamar anak laki-laki selalu tak karuan. Dan setelah yakin tak ada yang terlewat, aku pun berangkat.
Kami berjanji berkumpul di kampus, untuk mengerjakan tugas. Kebetulan jarak rumah dengan kampus cukup dekat, jadi aku lebih memilih jalan kaki dibanding membawa kendaraan. Ku berjalan secepat mungkin, berusaha untuk tidak membuat teman-temanku lama menunggu. Dalam perjalanan itu, perhatian ku terpaku pada gumpalan-gumpalan awan hitam menutup matahari. Firasat ku mengatakan, akan turun hujan yang lama, sebab gumpalan awan itu bertumpuk begitu banyak. Sebenarnya tak apa hujan akan turun berapa lama, tapi aku sudah ada di pertengahan jalan menuju kampus, jika hujan berlangsung lama, bagaimana aku bisa pulang. Aku malas terjebak hujan di kampus sampai malam tiba. Tapi sudahlah, semoga saja hal yang aku pikirkan tidak terjadi.
Sesampainya di kampus, aku langsung diserang oleh beberapa pertanyaan. Semua menetap sinis ke arah ku, seperti sedang berkata “Dasar tidak bertanggung jawab!!!”. Tapi mungkin itu hanya pemikiran ku sendiri, sebab tak ada kata yang terucap kecuali pertanyaan “Dari mana saja??”. Setidaknya tak ada makian atas keterlambatan ku, jadi aku masa bodoh dengan kata hati mereka. Tak ada untungnya juga aku memikirkan, toh mereka juga tak memikirkan diriku. Yang terpenting sekarang, mengerjakan tugas dan membayar kesalahan atas keterlambatan ku pada mereka.
Hari sudah mulai petang, sang surya pun sudah tak terlihat oleh mata kami sejak tadi, karena tertutup oleh gumpalan awan hitam. Awan hitam memang terus saja menaungi bumi sedari tadi, mulai dari aku berangkat hingga kami sudah selesai dengan pekerjaan kami. Satu per satu teman yang bersama ku undur diri, meninggalkan tempat ini agar tak terjebak hujan di jalan. Tinggal aku dan salah seorang teman lelaki ku yang masih sibuk mengatur susunan dari tugas kami yang tak kunjung usai. Kadang membuat daftar isi lebih sulit dari mengatur segerombolan itik berbaris di sawah. Tapi pekerjaan itu harus kami selesaikan sekarang, agar tak telat mengumpulkan tugas. Membuat makalah memang membingungkan, jika hanya dikerjakan dua orang saja.
Dan setelah bergulat dengan beribu argument dari aku dan temanku, kami pun bisa menyelesaikannya. Tugas ini sudah siap untuk diserahkan, biar dosen kami yang tak punya perasaan itu, tidak bisa berkomentar lagi. Tapi, walau tugas kami sudah siap, aku enggan untuk kembali ke rumah. Aku dipaku oleh rasa malas, mungkin karena rintik air dari langit sudah datang menyapa, atau hal lainnya. Akhirnya kami berdua menunggu hujan reda di tempat kami mengerjakan tugas tadi. Mungkin kami akan tidur di tempat ini jika hujan tak kunjung berhenti. Untungnya tempat yang kami pilih ada atapnya, sehingga kami bisa berteduh dan menunggu rembulan muncul menyapa.
Beribu air jatuh dari langit, aku dan temanku hanya sibuk memandangi setiap tetesan, seraya berharap untuk segera berhenti. Tapi kiranya hujan tak bisa mendengar keluhan hati kami. Hujan terus berlangsung, dan kami tetap tak beranjak dari tempat tadi. Tetap di sisi layaknya patung yang terus menunggu perubahan. Bosan, pasti!, ingin pulang, mungkin tidak secepat itu. Aku hanya ingin hujan ini cepat berhenti, setelah itu aku bisa pergi ke mana pun terserah ingin ku.
Masih dalam keadaan terdiam, entah itu merenung atau melamun, yang jelas tak ada obrolan di antara kami. Mungkin karena hujan, atau memang tak ada yang bisa dibahas atas keadaan kami sekarang. Tapi keadaan berubah seketika, aku terpaku pada sesosok gadis melintas di depanku. Ia menyeberangi hujan dengan tudung payung china, khas dengan hiasan bunga pada tudungnya dan pegangan kayu seperti biasa. Aku kenal betul akan hal itu, karena di kampung halaman ku, aku sering bahkan selalu menggunakannya. Yang jadi pertanyaan ku, kenapa masih ada yang menggunakan model payung seperti itu di zaman sekarang. Dan ini kota besar, jarang orang menggunakan barang yang mudah rusak. Orang akan lebih memilih barang yang tahan lama untuk digunakan.
Aku jadi mulai penasaran, siapa gadis ini. ia berperawakan tinggi sesuai dengan tinggi rata-rata mahasiswa biasanya, memakai kerudung panjang berjubah dan berkaca mata, serta berwajah anggun seperti rembulan malam. Aku masih tak bisa mengira-ngira siapakah dia, aku tetap saja memperhatikannya tanpa mengedipkan mata. Aku benar-benar penasaran, karena payung itu mengingatkan ku atas sebuah kenangan dikampung halaman. Sangking bergejolaknya rasa keingintahuan ku, aku pun nekat, menerjang deras hujan untuk mengikutinya. Sudah tak ku pedulikan, baju yang basah, rasa dingin air hujan, dan temanku yang entah berkata apa dari kejauhan. Aku sudah tak peduli dengan semuanya, hanya rasa penasaran sebagai penuntun ku saat ini.
Sebentar sebenarnya aku bergulat dengan hujan, tapi tak bisa ku singkirkan basah pada bajuku. Tak sadar, aku sudah ada di serambi masjid ketika berusaha mengikuti gadis itu. Aku sedikit terkejut, kenapa aku bisa sampai di sini dengan tiba-tiba?, dan aku juga kehilangan sosok dari gadis itu sekarang. Yang terlihat hanya payung china yang digunakan berada di depan serambi masjid kampus. Sedangkan sosok pemiliknya sendiri tak kelihatan di sekitarnya. Setelah itu terdengar lantunan suara adzan yang memecah renungan ku. Magrib telah menjelang, aku harus menunaikan kewajibanku sebagai seorang hamba.
Tamat.
Malang, 17 Januari 2018
0 Komentar