Aku, Kau di Bus Kota

Aku, Kau, di Bus Kota
 (Sismaku)
       Di minggu pagi cerah yang datang dalam hidupku kali ini. Aku berdiri di pinggir jalan raya menunggu bus untuk menuju ke sebuah kota tempat ku melanjutkan pendidikan. Hari ini adalah hari kepulangan ku ke tempat perantauan, yaitu kota Malang. Sebenarnya berat dalam sanubari ku untuk berangkat lagi, ke kota di mana aku kehilangan kepercayaan ku pada manusia. Dan berat langkah ku meninggalkan kota kelahiranku untuk waktu yang lama. Kota yang biasanya ku berdiri sebagai seorang pemuda penuh dengan idealisme untuk menaklukan dunia. Tapi memang harus aku akui, tanpa sebah pengalaman idealisme itu hanya akan menjadi mimpi belaka dalam benakku. Jadi harus ku tinggalkan kota Jember ku tercinta, untuk sebuah ilmu yang ingin ku dapat di perantauan.
Teringat lagi dalam sanubari ku, berpuluh-puluh penderitaan telah ku lewati, sampai aku di titik aku tak kuasa menahan amarah. Dalam dada ini sudah bergejolak emosi kepada orang-orang yang hanya diam, saat aku benar-benar membutuhkan mereka. Mereka yang sangat ku percaya, melebihi keluargaku sendiri, berani menghianati kepercayaan ku, hanya karena uang dan keberuntungan sudah tak menempel pada ku. Dan dari situ pun aku baru menyadari betapa bodohnya aku, sudah percaya pada orang yang lebih buruk dari binatang.
Mulai saat itu hilang sudah kepercayaan ku kepada teman-teman dekat ku. Karena aku berfikir, jika orang yang ku anggap saudara saja bisa mengkhianati ku sampai aku tak bisa menelan sesuap nasi dalam sehari, apalagi teman-teman yang lain. Hanya ada kata-kata kutukan untuk mereka, hanya ada kutukan, dan hanya ada kata-kata kotor untuk perbuatan mereka. mungkin tak pernah ada kata maaf untuk mereka, yang dengan sadar telah membuat hati ku sakit atas sebuah penghianatan. Sekarang aku melangkah sendiri, dalam sebuah perjalanan untuk mencapai apa yang ku inginkan, tanpa mereka dan tanpa bantuan mereka. Aku terlalu kecewa atas selusin kepercayaan yang telah ku berikan selama ini, dikhianati dengan begitu mudahnya.
Dalam diam ku menunggu bus kota, aku pun merasa sedikit takut akan masalah yang sudah menanti ku di tempat perantauan. Tak bisa ku pungkiri, aku kehilangan sosok teman untuk berbagi suka dan duka, di tempat yang jauh dari rumah. Aku merasa sangat sendirian, tanpa teman dan kerabat dalam perjuangan ku ditempat itu. Dan hal-hal buruk mulai terlintas satu per satu dalam benakku, menggoyahkan keyakinan hati untuk melangkah. Aku merasa akan sangat sulit jika diriku terus saja terbungkus dalam kesendirian tanpa akhir.
Ku tunduk kan kepalaku, menjalari setiap jengkal dari tubuhku dengan kedua bola mata penuh akan sebuah pertanyaan. Sebuah pertanyaan yang terus saja tak bisa ku hentikan, menggerogoti sedikit demi sedikit keyakinan ku untuk melanjutkan tekat. Seakan keyakinan ku untuk melanjutkan lagi pendidikan mulai memudar hingga tak tersisa. Tapi segera ku yakinkan dalam hati, ku kuatkan lagi tekat ku untuk melangkah, dan ku paksa keberanian untuk melangkah maju. Ku bakar lagi semangat yang hampir padam dengan kayu bakar pengorbanan dari diri dan keluargaku. Aku tak ingin menyerah semudah itu dengan keadaan, biar pun maut yang akan ku hadapi, tapi semangat ini tak boleh padam dan menghilang.
Akhirnya yang ku tunggu datang, bus kota yang sudah hampir setengah jam ku tunggu datang menghampiri ku. Kendaraan ini yang akan membawa ku selama kurang lebih tiga jam ke Probolinggo sebelum ku temukan bus untuk menuju ke Malang. Bus yang cukup lumayan untuk ditumpangi dalam tiga jam kedepan, walau pun banyak karat di sana-sini serta penampilan yang kurang meyakinkan. Tapi bus ini cukup lumayan terawat dibanding bus-bus lain yang sering ku tumpangi. Saat bus sudah berhenti, ku gendong tas ranselku dan ku tuntun langkah kaki ini memasuki bus dari pintu bagian belakang. Ku jalari setiap tempat duduk, dan akhirnya ku temukan kursi yang sesuai dengan hati ku.
Tempatnya sebelah kiri nomor dua dari kursi paling belakang, dan ada seorang wanita yang duduk di sebelah jendela. Ku bawa ransel beratku, untuk menuju kursi tersebut, dan melepas lelah setelah berdiri selama setengah jam lebih di tempat tadi. Di sana ada seorang wanita muda mengenakan kerudung kuning, berjaket ungu dan mengenakan masker. Aku memilih tempat duduk itu dengan harapan tujuan wanita ini dekat, sehingga aku bisa duduk di tempatnya nanti, supaya dekat dengan jendela. Aku lebih suka duduk di pinggir jendela supaya bisa melihat apa yang ku lalui dan mengucapkan selamat tinggal pada kota kelahiranku.
Tapi tak bisa ku lakukan sekarang, karena aku tak berada di samping jendela. Alhasil aku hanya terdiam, menatap ke depan tanpa berbuat apa pun, sambil menjepit ransel berat ku disela-sela paha. Sesekali ku melirik wanita yang ada di samping ku, ku merasa mengenal sosok gadis bertubuh tinggi kurus ini. Tapi aku benar-benar lupa  siapa dia, seolah-olah dia orang yang begitu dekat dengan ku, tapi aku benar-benar tak tau siapa dirinya. Mungkin jika ku bisa melihat wajahnya, akan lebih gampang untuk ku mengenalinya.
Saat ku coba menengok ke kiri untuk sekali lagi, dia coba untuk membalas tatapan ku. Mungkin ia merasa risih dengan pandangan ku, yang sedari tadi terus menatapnya tanpa henti. Segera saja ku palingkan wajahku ke depan, dan coba meredam godaan dalam hati untuk membalas tatapnya. Perasaan ku berdebar kencang, seolah seperti seorang pencuri yang ketahuan. Tapi ku coba untuk menenangkan diri, bersikap seperti biasanya, agar aku tak terlihat bersalah.
“Mas…. Fa…iq??!!” suaranya ragu mengucap nama ku.
Aku bingung, dari mana ia tahu nama ku. Sepertinya ku tak pernah meperkenalkan diri pada wanita ini. “Iya, siap ya.” Ku tatap wajahnya untuk memastikan.
Ia buka masker yang menempel pada wajahnya, “Aku Riry.” Jawabnya singkat.
Betapa terkejutnya diriku, melihat wajah gadis di samping ku ini. Dia adalah Riry, seorang gadis yang selama ini ku kejar, untuk ku dapatkan hatinya. Suasana sedikit menjadi aneh saat itu, karena ku tak menyangka, orang yang selama ini ku kejar dan selama ini ku buat sakit hatinya berada dalam satu bus, di tempat duduk yang sama pula. Aku tak menduga kejadian ini datang menghampiri hidupku, seakan ini mimpi, sebab tak pernah terpikir olehku, bisa bertemu dengannya lagi setelah sekian lamanya. Semua serasa tak mungkin bahkan dalam mimpi ku sekalipun, aku tak pernah merasa akan bertemu dengannya lagi.
“Oh hai, gimana kabarnya??” ku coba bersikap biasa terhadapnya.
“Baik, mas Faiq sendiri??” ia membalas lembut.
“Aku baik juga, mau ke mana?” ku coba untuk memperpanjang percakapaan ini.
“Lumajang.” Jawbnya singkat.
“Ngapain??” tanyaku heran, sebab ia bukan orang Lumajan. Entah kalau dia punya saudara disana, aku tak tau
“Kerja, udah setahun aku di Lumajang.”
“Oh” hanya itu yang keluar dari mulut ku.
Tak mampu lagi ku rangkai kata untuk melanjutkan percakapan, otak ku serasa membeku tak dialiri oleh air kata-kata. Dan sampailah aku dalam diam seribu bahasa melewatkan kesempatan tuk bicara dengan sang gadis impian. Mungkin terlalu banyak kata yang ingin kukatakan padanya, hingga bibirku yang tak bisa mengucapnya. Aku sudah mirip dengan patung selamat datang yang hanya diam di dekat banyak orang.
Dari wajahnya, juga terlukis kekakuan yang amat besar, seakan mengungkapkan bahwa ia tak mengharap pertemuan ini terjadi. Aku tau benar akan hal itu, jelas ia tak inginkan pertemuan ini, karena ia yang paling merasakan sakit atas yang ku lakukan. Aku yang sudah menganggap dirinya seperti adikku, harus terjebak dalam luka atas ungkapan cinta yang tak semestinya. Aku sadar akan kesalahan ku, aku pun sadar akulah tersangka dalam kasus ini. Tapi berapa kali pun ku coba untuk memperbaiki kesalahan, hasilnya tetap sama, aku semakin membuat dirinya terluka dengan menambah deretan luka yang lain.
Masih teringat benar dalam kepalaku, bagaimana ku menggores luka perih yang sulit dihilangkan itu. Tiga kali ku hancurkan hubungannya dengan orang  yang ia sayangi, sudah tak terhitung lagi luka yang ku buat pada hatinya yang suci atas perkataan ku, dan banyak sekali hal yang ku buat hingga dia meneteskan air mata. Sampai aku membuat keputusan, untuk pergi sejauh mungkin agar tak membuat ia terluka kembali.
Tapi pertemuan ini seolah menghancurkan semua usahaku, untuk  membuatnya tak melihat ku lagi. Pastilah pertemuan ini mengingatkannya akan luka dalam hatinya, dan pada setiap kenangan pahit itu. Aku pun hanya terdiam, agar tak menambah luka yang terbuka kembali.
Sebenarnya aku ingin bicara banyak dengannya, memperbaiki apa yang pernah terjadi, membuatnya kembali dekat dengan ku. Tapi aku tak punya kekuatan, hati ku tak bernyali memulai pembicaraan. Aku takut diriku salah bicara, serta menyinggung perasaannya kembali.

“Kerja apa di Malang mas??” setelah jeda cukup lama, ia memulai pembicaraan.
“Nggak kerja, aku kuliah di sana” jawabku.
“Wih, jadi anak kuliahan dong!!!.” Girangnya, ia menggoda ku.
“He’em.” Jawabku singkat membalas senyumnya.
Ingin rasanya ku ungkapkan apa yang selama ini ada di hatiku, tapi aku tak pernah bisa memulainya. Entah apa yang membungkam mulutku, aku seperti tak bisa mengutarakan apa yang seharusnya sudah ku ungkapkan dari tadi. Maksudku ini adalah moment yang sangat ku inginkan dari dulu. Moment yang dari dulu ku bayangkan bersamanya, moment yang selalu ku tunggu dalam hidup untuk menjelaskan semua yang ku pendam dalam hati. Aku ingin jelaskan semuanya, serta menyudahi kesalahpahaman dalam hubungan ku dengan dia.
Tapi aku takut dengan lidahku sendiri. Lidah yang pernah membuat hatinya terluka dengan kata-kata tajam ku. Aku takut dengan lidah ini, jika ia mengulang kesalahan yang sama dan lebih menambah jarak pada kami. Tak ada alasan untuk menyudahi semua yang sudah ada, dengan mengungkapkan apa yang ada dalam hatiku.
Sejujurnya aku sangat rindu dekat dengannya. Aku merindukan dia tanpa pernah peduli dengan berapa lama waktu yang ku lewatkan selama ini. Aku benar-benar merindukan dia dari  sejak hari terakhir aku duduk bersamanya bermain gitar. Aku kangen dengan aura ketenangan yang ia pancar kan, yang selama ini tetap membuat aku selalu tenang. Aku rindu berlama-lama memandang wajahnya yang ayu, sebagai pelepas penat dari kejamnya dunia. Kerinduan yang hanya bisa ku redakan dengan melihat potret wajah, sebagai pengganti dirinya selama ini.
Potret wajahnya selalu ku pandang dalam layar hendphon usang yang selalu menemani kesendirian ku saat malam-malam sepi yang ku lewati. Kadang terpikir untuk mengungkapkan semua yang kurasakan dalam hati. Tapi yang ku bisa hanya bicara dengan sebuah foto dalam hendphon sebagai pengganti dirinya. Aku sudah seperti orang gila saat potretnya menemani ku melewati dinginnya malam.
Tak bisa ku pungkiri aku tetap saja merasakan hal yang sama setiap saat bertemu dengannya. Entah itu dulu, kala baru ku sadari aku jatuh hati kepadanya, atau pun sekarang, saat dia sedang duduk di samping ku. Rasa itu tetap sama, rasa yang sama mengetarkan hatiku ketika dekat dengannya. Perasaan yang sama hingga membuat jantungku berdetak kencang, bergetar tiga kali dengan keras. Entah kenapa aku selalu merasakan hal yang sama, saat aku bertemu dengannya. Detak jantung yang sama, perasaan yang tak pernah berubah, kekaguman tanpa henti, dan waktu yang berjalan lambat seketika.
Aku seperti tak bisa lari dari hal ini. semua seperti apa yang telah terjadi sebelumnya, dan aku hanya bisa diam tanpa kata. Aku sungguh tak sanggup membiarkan moment ini direnggut oleh waktu serta kebodohanku seperti dulu. Meski pun ku tau benar dalam hatinya, ia ingin segera pergi dan tak pernah ingin berada di samping ku.
Berharap dalam kemungkinan yang tak pasti, dan berharap kepada kata-kataku yang selalu membuatnya sakit, seperti tak ada gunanya. Dari semuanya yang pernah ku lakukan, aku pun sadar bahwa diriku sebenarnya bersalah. Jadi aku putuskan untuk diam, serta hanya menikmati semuanya berjalan semestinya. Berjalannya waktu juga akan membuatnya sampai pada tempat tujuan, dan semuanya akan hilang meninggalkan diriku. Moment itu akan menghilang dan hanya akan menjadi satu kenangan indah dalam hati. Aku hanya bisa melakukan hal ini, setidaknya moment itu tak hilang begitu saja untuk ku menikmati kebahagiaan, walau tak sepenuhnya sebuah kebahagiaan.
Dalam diam, sebenarnya ku terka apa yang sedang dia pikirkan tentang kejadian ini. Apakah ia merasa tidak senang dengan apa yang sedang terjadi?, atau dia biasa saja dengan ini semua?. Yang jelas tak akan ada perasaan senang dalam hatinya saat bertemu denganku. Aku sadar itu, dan aku pun paham kenapa aku tak bisa bautnya bahagia saat ini.

Berada di antara diam ku dan dia, menimbulkan kejanggalan besar dan juga pertanyaan dalam diri kami berdua. Aku sendiri mengakui, sedang memikirkan dia, dan mungkin dia juga sedang menebak apa yang sedang aku pikirkan. Tapi menebak fikran orang lain tak semudah menatap matanya. Banyak yang tersimpan dalam mata, tapi perasaan seseorang tak pernah bisa dilihat dengan jelas. Hanya rasa penasaran dariku dan dirinya, yang terus terlihat dari kedua bola mata paling jujur di dunia.
Entah keberanian itu datang dari mana, entah dari darah ku, atau dari rasa ketakutan ku sendiri. Tiba-tiba aku angkat bicara, “Dik, aku mau ngomong sesuatu.” kata-kata itu keluar begitu saja meluncur dari mulutku tanpa sadar.
Riry menghadapkan wajahnya padaku. Begitu cantiknya dia, ketika paras cantik itu menghadap dengan penuh perhatian. Wajah yang penuh dengan tanda tanya itu, membuat ku terpesona seakan terperosok jatuh ke dalam keindahan ilahi. Aku yang terus berangan untuk memiliki dirinya menjadi tak kuasa menahan gejolak dalam dada untuk ungkapkan rasa ini. Keadaan itu seperti memaksa ku, untuk mengungkapkan apa yang ku pendam selama enam tahun ini.
“Aku, mau ngomong tentang kita.” Entah kenapa kalimat itu yang keluar dari mulutku, aku seperti tak bisa merangkai kata lain yang tepat.
“Kita??” ia terheran-heran kepada pernyataanku. “Kita kan nggak pernah ada apa-apa mas.” Sanggahnya.
“Iya, aku tau nggak pernah ada hubungan apa-apa diantara kita.” Jeda ku berfikir sejenak. “Tapi bukan masalah itu yang ingin aku bicarakan, aku pengen bicara tentang kesalahpahaman yang terus saja terjadi diantara kita.” Jelasku.
“Udah lah mas, masa lalu itu biar jadi kenangan yang dilupakan.” Tampiknya tak ingin melanjutkan. “Aku udah lupa sama semua itu.” Jelasnya.
“Aku tau, kamu nggak pernah bisa lupakan hal itu, dan aku tau kamu masih marah pada ku.” Sanggah ku padanya.
“Tau dari mana??, uadah lah mas jangan bahas itu lagi.” protesnya.
“Kalau kamu udah lupain semua itu, kamu nggak akan diam kayak gini.” Ungkapku mengkritik. “Kamu juga nggak ada masalah, jika aku ungkit masa lalu tentang kita.” Jelas ku lebih rinci. “Semua tentang ku, pasti mengingatkan mu dengan rasa sakit yang pernah ku buat.” Kata-kata terus meluncur keluar dari mulutku tanpa henti. “Aku tau, aku yang salah, dan aku juga tau, kata ‘maaf’ nggak akan bisa mengembalikan semuanya seperti semula.” Aku sudah tak bisa dihentikan.
“Tapi mungkin dengan ini kamu bisa ngerti kenapa aku senekat itu.” Lanjutku tetap pada pembahasan yang sama. “Aku sebenarnya juga tak tau kenapa aku senekat itu, tapi semua yang kulakukan karena aku sayang sama kamu. Aku….” Tak sempat ku teruskan penjelasanku, karena Riry menatap ku tajam seolah menginginkan aku untuk berhenti.
“Sayang??!!” nada bicaranya seperti tak suka atas ucapan ku. “Rasa sayang seperti apa itu??” ia meninggikan nada suaranya.  “Aku tau!, rasa sayang seperti orang egois yang ingin semua kemauannya terwujud!!.” Kata-katanya tajam padaku. “ Itu bukan rasa sayang, itu egoisme!!”
Aku diam, tak berani berkata lagi seperti rumput liar yang terinjak, tak bisa berbuat apa-apa. “Ayo ngomong, katanya mau nggomong!!” perintahnya dengan nada sinis. Tetapi aku tetap saja dengan kebisuan ku yang panjang. Dalam diam, aku juga berfikir keras untuk menjawab pertanyaan Riry, tapi aku seperti tak menemukan apa-apa. Hanya kata yang menunjukkan, bahwasanya aku memang benar-benar orang egois seperti yang dikatakannya. Mungkin itu adalah kesalahanku sebagai orang yang tak bisa menerima kenyataan. Tapi aku sudah menyesali semuanya sejak ku tau ia sangat terluka atas perbuatanku
Akhirnya terucap olehku. “Iya, aku memang egois, aku memang orang paling egois yang ada di dunia ini.” Ucapku menyetujui perkataannya. “Tapi apa kamu pernah tanyakan alasannya??, kamu menilai dari sudut pandang mu sendiri, tanpa coba memahami posisi ku.” Eantah kata-kata itu datang dari mana, aku tak ingat pernah menyusun kalimat itu. “Kamu, yang terus saja menyalahkan ku tanpa pernah mau mendengar penjelasan ku.” Ungkap ku sepenuhnya, mengungkap masa lalu. “Kamu yang hanya peduli dengan pacarmu saja, tanpa coba untuk mendengar ku.” Lanjut ku mantap. “Tapi aku yang terus saja disalahkan, aku yang terus saja menerima kemarahan mu.”
“Kamu terus saja diam, ketika pacarmu menghina ku. Tapi saat aku angkat bicara, menyinggung perasaan pacarmu, kamu mulai menyudutkan ku dengan kata-kata pahit.” Aku mengungkapkan semua hal yang selama ini terpendam dalam hati. “Dan aku tak bisa berkata apa-apa, karena  kamu yang ku hadapi.” kenang ku saat itu. “Aku tak bisa berdebat denganmu, satu hal yang tak pernah ingin kulakukan adalah menyakiti hatimu dengan kata-kata ku. Tapi semua yang ku lakukan menurut mu selalu salah. Tak ada dari kata-kataku yang menurut mu baik. Kamu menyalahkan semuanya!.” Ucap ku tegas.
“Lalu salah kah aku, ketika mencoba membela harga diriku?” Lanjut ku, mencoba membuat dia mengerti akan perasaan ku.
“Tapi, apakah membela harga diri itu harus menjauhkan orang-orang yang dekat dengan ku?” ungkapnya kesal. “Apa karena kakak merasa sakit hati, maka aku juga harus ikut menanggung rasa sakitnya?” ia tak mau kalah. “Aku juga punya perasaan kak, aku juga pengen bahagia.” Ratapnya, seraya mata indah itu mulai berkaca-kaca.
Saat ini kami sedang diperhatikan oleh semua orang yang ada dalam bus. Mungkin mereka merasa, ada yang tengah terjadi di antara kami, sepasang muda-mudi yang tak tau tempat untuk bertengkar. Tatapan tajam terus saja menusuk ke arah kami berdua, mungkin karena curiga atau semacamnya. Tapi mereka tak pernah tau apa sebenarnya yang sedang kami ributkan. Bagi mereka, kami hanyalah anak kecil yang coba untuk menyelesaikan persoalan dengan ego masing-masing.
Tapi apa peduliku tentang pendapat mereka, toh pendapat mereka juga tak ada hubungannya dengan masalah ini. Tak ada yang bisa menjadi penengah bagi kami, karena kami sama-sama keras kepala. Memang dari dulu tak pernah ada yang mau mengalah anatara kami berdua. Sejak kami masih berteman akrab, hingga cinta dan masalah, datang dalam persahabatan kami.
“Kak, aku mau tanya, saat kamu berbuat seperti itu padaku, apa yang ada dalam pikiran kamu?”.
Aku tak tau apa yang dimaksudkan. Pertanyaan itu sungguh tak terduga, aku hanya dibuat kaku tak berdaya ketika mendengar pertanyaan itu. Jujur saja, tak pernah terlintas dalam benakku jika dia akan bertanya hal tersebut. Dan jujur aku tak punya maksud apa-apa padanya saat itu. Aku hanya caba untuk mengungkapkan perasaan ku sendiri, tanpa bermaksud menyakiti siapapun, termasuk laki-laki yang sedang dekat dengan dia. Mungkin aku hanya mencoba mengungkapkan perasaan ku kala itu, perasaan cemburu yang menusuk-nusuk dalam hati. Tapi tak pernah ku maksudkan untuk membaut hatinya kecewa, bahakan marah seperti sekarang.
Dalam hati tak pernah ku maksudkan untuk melukai hatinya. Aku hanya ingin menujukan, bagaimana hati ku remuk melihatnya dengan orang lain. Walaupun alasan itu juga tak tepat untuk ku gunakan, sama seperti prasangka yang diungkapkannya, semua tak jauh berbeda. Mungkin aku hanya melihat dari sudut pandang ku selama ini, tanpa pernah peduli akan perasaannya. Hanya ada diriku yang harus dimengerti, tanpa aku sadari semua orang juga butuh dimengerti. Aku baru sadar, ternyata yang ku lakukan selama ini adalah sebuah kesalahan besar tak termaafkan. Mungkin aku harus mulai mengkoreksi diriku, sebelum menilai orang lain.
“Aku tak pernah tau apa yang ku pikirkan, aku hanya mencoba mengungkapkan apa yang sedang aku rasakan.” Ucap ku ragu.
“Itulah kamu, selalu berbuat sesuka hatimu sendiri, tanpa peduli perasaan orang lain.” Tandasnya menghakimi.
Kata-kata itu begitu menusuk jantung ku, seolah, semua yang ku rasakan sekarang dipertegas dengan penghakiman tersebut. Serasa remuk jantung ku mendengar perkataan itu, aku tak bisa berucap menanggapi kalimat yang terlontar darinya. Kini aku kaku bagai patung, tak bisa bicara, tak dapat membela diriku sendiri. Semua penghakiman darinya ku terima, tanpa ada pembelaan, tanpa ada sangkalan seperti saat aku yakin dengan diriku. Mungkin benar apa yang dikatakannya, aku hanya manusia egois dalam dunia, yang menginginkan semua seperti kehendakku. Aku tak bisa mengendalikan diriku saat ini, kata-kata darinya membuat ku sadar akan semuanya.
“Aku yang salah, aku yang minta maaf, aku memang egois dan tak pantas untuk dimaafkan.” Pembelaan terakhir keluar dari mulutku. “Tapi, jika hati itu masih bisa memaafkan manusia egois ini, aku akan coba untuk tidak mengganggu mu lagi.” lanjut ku meyakinkan.
“Beri aku kesempatan, untuk melupakan rasa ini. Aku akan coba kubur rasa itu dalam-dalam hingga tak bisa ku ingat lagi.” Ku turunkan semua ego yang ada, agar dia mau mendengar ku. Dia pun hanya diam, enatah apa yang dipikirkan, aku tak bisa membaca sorot matanya.
Setelah terdiam cukup lama, ia pun angkat bicara “Jangan berjanji jika nanti hanya akan jadi omong kosong belaka. Aku tak pernah menuntut untuk menhilangkan perasaan itu, hanya aku tak ingin terjebak masalah lagi karena persoalan ini. Simpan saja perasaan itu hingga dirimu puas, tak ada yang melarang kamu punya rasa itu, tapi harus kamu sadari akibatnya.” Ucapnya tegas.
“Maaf aku harus pergi lebih dulu,” Lanjutnya. “Aku hampir tiba di tempat tujuanku, dan maaf untuk semua yang pernah kamu alami karena ku.” Tandasnya mengakhiri pertemuan kami.
Dia pun melangkah pergi menjauh menuju pintu bagian depan bus kota tersebut. Ia turun dan tak sekali pun memandang ke arah ku, mungkin masih merasa jengkel, atau memang dia tak mau melihat ku lagi. Sedangkan diriku terus saja memandangi dia tanpa henti, sembari merenungi setiap kata yang terucap olehnya. Ku pandang wajah yang sering ku rindukan, dan kini aku merasa wajah itu tak bisa ku pandang lagi. Aku terus memandangnya, hingga samar-samar tak terlihat lagi dari pelupuk mataku seiring dengan laju bus kota meninggalkannya. Entah perasaan apa yang ku rasakan, mungkin ini terakhir kalinya aku bisa memandang wajah cantik itu. Dan aku hanya bisa diam, membiara kan semua berlalu begitu saja, tanpa sanggup membuatnya mengerti, betapa aku mencintai dirinya.
Berat memang, harus ku lepas semua perasaan yang ku rangkai selama enam tahun terakhir ini. Tapi apa mau dikata, kenyataan tak pernah sama dengan harapanku, ia tak pernah mau memahamai perasaan ku. Hadir ku selama ini hanya dianggap sebagai bayangan tak nyata dalam hidupnya. Aku juga bukan orang yang bisa melengkapi sayapnya untuk terbang mengarungi luasnya samudra. Mungkin keputusan untuk mundur dan meninggalkan semua perasaan ini, adalah keputusan tepat bagi diriku sendiri. Walaupun berat, akan ku coba semampu ku, agar dia tak merasa terganggu dengan tingkah ku.
Bus pun tetap melaju dengan cepat, menuju kota tujuanku untuk melanjutkan segala yang ku tinggalkan. Enatah apa yang akan terjadi dengan ku nanti disana, semua sudah tak bisa ku pikirkan dalam nalar. Segalanya telah menggumpal menjadi satu, menghantam keras pada dadaku yang rapuh. Semua masalah yang telah ku hadapi, membuat ku ragu menapak kembali pada kota yang terus mengingatkan ku dengan luka serta pengkhianatan. Ditambah dengan hal ini, aku jadi semakin rapuh, tak ada lagi semangat untuk melanjutkan apa yang telah ku mulai dulu. Semua hal yang menumbuhkan semangatku satu per satu menghilang dari dalam diriku. Tungku api semangatku telah padam, tak ada bahan bakar untuk mengisinya kembali.
Aku kini telah tumbang, diterjang waktu dan kejadian-kejadian menyurutkan tekat ku. Aku pun hilang dalam kabut malam kesunyian, sebab cahaya yang menerangi ku dalam gelap, telah sirna menjadi abu. Perasaan putus asa pun menghantui pikiran ku, menjadi sesosok hantu menakutkan menemani perjalanan ini. Telah hilang sudah semua semangat, tekat yang kuat, serta khayalan-khayalan tentang masa depan. Semua telah sirna, menjadi abu dalam malam gelap tanpa cahaya, terbungkus dalam ketakutan.
Tamat.
Malang, 9 Januari 2018

Posting Komentar

0 Komentar