Resensi
Novel Dead Poets Society
(Sismaku)
Novel Dead Post Sosayeti adalah
saduran dari filem dengan judul yang sama, yang tayang pada tahun 1979. Filemini
menceritakan tentang sebuah perjalanan seklompok anak muda di akademi Walton
yang merasa jenuh dengan rutinitas pembelajaran. Neil Perry, Knox Overstreet,
Charlie Dalton, Todd Anderson, Ricahard Cameron,Steven Meeks, dan Pitts, adalah
beberapa anak yang merasakan kekangan dari pihak sekolah mauapun keluarga
meraka sendiri. Hingga mereka bertemu dengan guru baru mereka John Keting, lalu
meraka diperkenalkan dengan klompok rahasia bernama Dead Poets Society. Dari
situ mereka mulai pertualangan kebebasan jauh dari lingkungan sekolah dan
keluarga yang selama ini membelenggu mereka. Mereka menerima tantangan dari
guru bahasa ingris merakayang baru, John Keting, untuk membuata hidup mereka
menjadi luar bisa.
Setelah mereka menghidupkan kembali
Dead Post Society, kehidupan mereka pun berubah total. Mereka menjalani hidup
penuh dengan kebebasan diluar dari bayangan mereka masing-masing. Terbebas dari
tekanan dan harapan pihak sekolah sekaligus orang tua yang selama ini
membayangi hidup mereka. mereka melepaskan gairahnya dengan liar tak terkekang.
KetikaKeting membawa meraka dalam syair-syair
indah karya Byron, Shelley, dan Keats, mereka tidak hanya larut dalam
keindahan bahasa, tapi juga memwujudkan makna syair tersebut dalam kehidupan
mereka. Mereka menjalani kehidupan yang liar penuh dengan makan, seperti burung
yang terbebas dari sangakarnya.
Tapi setiapa tindakan pasti ada
akibatnya, begitu pula kebebasan instan yang mereka alami. Semua kebebasan yang
telah meraka alami membawa kepada hal tragis, baik kepada diri mereka sendiri,
teman-temannya, dan para oaring tua mereka masing-masing. Mereka dihadapakan
pada kematian Neil Perry yang bunuh diri, akibat ditentang oleh ayahnya saat
ingin menunjukan kecintaannya pada dunia acting. Setelah itu mereka juga
menelan pil pahit atas penghiatan Cameron, yang mengadukan setiap kegiatan Dead
Post Society pada pihak sekolah. Tentu hal ini mengundang kegaduhan pihak
sekolah. Disamping perkumpulan itu tidak diketahui oleh pihak sekolah, hal itu
juga anggap sebagai penyebab kematian Neil.
Maka dari itu, pihak sekolah segera
melakukan tindakan kepada seluruh anggota Dead Post beserta yang terlibat di
dalamnya. Alhasil, semua anggota Dead Post dipakasa untuk menandatangani petisi
yang menyatakan bahwa John Keting lah yang berselah atas kematain Neil Perry.
Keting dituduh sebagai dalang dari semuanya, dia dianggap memprofokasi
anak-anak tersebuat untuk membuat kelompok Dead Post Society dan bereksperimen
dalam hal itu. Dengan bukti tersebut, pihak sekoah bisa mengeluarkan Keting
dari sekolah.
Setiap Anggota Dead Post dipaksa
untuk mendatangani petisi tersebut, dengan tekanan dan ancaman dari pihak
sekolah serta masing-masing orang tua. Hanya dua orang yang bisa bertahan
dengan keteguhan hatinya untuk tidak menandatangani petisi tersebut. Diantara
dua orang tersebut adalah, Charlie Dalton dan Todd Anderson, Charlie lebih
memilih dikeluarkan dari pada menandatangani petisi tersebut. Sedangakan Todd
memilih untuk menjalani hukuman yang telah disiapkan oleh pihak sekolah.
Sementara anggota Dead Post yang lain, lebih memilih untuk menyerah dan
menandatangani petisi tersebut.
Akhirnya Keting dikeluarkan dari
sekolah dan dilarang untuk mengajar lagi. Ia sempat merenung dalam kamarnya
sebelum meninggalkan area sekolah yang sudah banyak mengukr kenangan dalam
hatinya. Keting mengemas barang-barangnya dengan rasa enggan untuk beranjak
pergi. Ia membersekan buku-buku miliknya, hingga ia menemukan buku kumpulan
puisi yang diserahakan kepada Neil saat akan menghidupkan kembali kelompok Dead
Post Society. Kenangan tentang Neil kembali menghantui pikirannya, dan ia
merasakan kembali kesedihan kehilangan murid kesayangannya.
Di akhair cerita, Keting memasuki
kelas dimana para mantan anggota Dead Post sedang melangsungkan pembelajaran.
keting bermaksut untuk mengambil barang-barang pribadinya yang masih tertinggal
dalam kelas itu. Ia kembali berhadapan dengan para mantan anggota Dead Post
yang tertunduk malu untuk berhadapan dengannya, kecuali Cameron. Dan ia juga
harus berhadapan dengan kepala sekolah yang menggantikannya untuk mengajar
kelas bahasa Inggris. Ironi memang, harus berhadapan dengan para anak-anak yang
pernah akrab dengannya,sejaligus orang yang telah mengeluarkannya dari sekolah.
Para mantan anggota Dead Post hanya
bisa diam dan tertunduk malu, tak berani untuk menegur Keting. Sementara itu,
pelajaran bahasa inggris yang dikawal oleh kepala sekolah tetap berjalan,
tantpa mempedulikan Keting di belakang kelas sedang membereskan barang-barangnya.
Setelah Keting selesai dengan kegiatannya ia pun beranjak keluar dari ruangan.
Disaat itulah Todd mengutarakan semua prihal pemaksaan untuk menandatangani
petisi dari kepala sekolah. Kepala sekolah pun geram dengan prilaku Todd, serta
menyuruhnya untuk diam. Tapi Todd tidak mempedulikannya, ia terus mengutarakan
apa yang ada dalam hatainya, samapai membuat kepala sekolah mengancamnya.
Sementara Keting terus diam dan
melanjutkan langkah kakinya. Hingga akhirnya Todd memerikan penghormatan terakhir
pada Keting dengan ciri khas saat Keting mengajar. Hal itu lantas memancing
kemarahan kepala sekolah, hingga ia mendatangi Todd dan menyuruhnya menghetikan
perbuatannya. Tapi setelah Todd berhenti, gilran mantan anggota Dead Post yang
lain melakukan penghormatan yang sama kepada Keting. Lalu hal itu diikuti oleh
satu persatu dari siswa yang ada di kelas itu, kecuali Cameron. Keting sangat
kagum meliahat para muridnya melakukan penghormatan kepadanya. Ia sangat
terharau dan tak bisa berkata apa-apa lagi, kecuali ucapan terimakasih. Dan
kepala sekolah hanya terdiam, memandang takjub terhadap pengormatan yang
melimpah kepada Keting.
Tak jauh beda dari filemnya, novel
Dead Post Society juga memuat keseluaruh garis besar dari alur cerita. Tetapi
dalam novel ini terdapat beberapa bagaian yang ditambahakan, sehingga cerita
dalam novel ini menjadi lebih hidup. Jujur ketika saya melihat filemnya,
suasana yang saya tangkap dari novel tersebut hilang. Ada perbedaan anatara
filem yang masih terasa hambar, dan novel yang lebih menyajikan cerita yang
lebih lengkap. Mungkin ketika saya membaca novelnya, saya bermain dengan
imajinasi saya, jadi cerita dari novel tersebuat terasa lebih hidup. Tapi
ketika melihat filemnya saya dipaksa untuk mengikuti alur yang sudah ada, serta
mengacaukan apa yang telah saya bayangkan dari novel tersebut. Jadi karya dari
imajinasi fikiran saya tidak tercermin pada filem yang telah dibuat.
Tapi tak masalah sebenarnya, karena
menurut saya pakem dari cerita tersebut tetaplah sama. Alurnya tetap
menceritakan tentang sekelompk anak yang ingin bebasa dari rutinitasnya dalam
lingkungan sekolah. Merka yang mencoba mencari kebebasan dan terhindar dari
kekakuan peraturan sekolah serta harapan yang terlalu tinggi dari para orang tua.
Merka yang coba untuk bebas dari kurikulum, yang terus mengikat mereka pada
patokan-patokan yang telah ditentukan. Sehingga pembelajaran yang meraka dapat
menjadi sangat membosankan sebab hanya nilai sempurna yang mereka kejar.
Tapi dibalik itu semua kebabasan
juga mengandung resiko berbaaya, yang tidak bisa
dihindari oleh mereka. Mereka yang telalu bebas juga dapat berakhir tragis
seperti Neil dengan keputusaannya membunuh dirinya sendiri. Terlalu bebas juga
dapat mendatangkan bahaya yang tidak bisa disangka-sangka sebelumnya. Oeh sebab
itu harus selalu ada pengawasan dalam kebebasan itu sendiri, sebagai penegndali
dari kebebasan. Mungkin kata-kata yang tepat adalah, kekuarangan dalam satu hal
itu tidak baik, tapi terlalu berlebihan dalam satu hal juga dapat mendatangkan
bahaya yang menegrikan.
0 Komentar