Kapan Saya Sekripsi
(Kak Cantik)
Setiap mahasiswa, atau orang yang pernah duduk di bangku kuliah pasti mempunyai pertanyaan yang sama. Pertanyaan yang selalu mengganggu dalam hatinya sampai kadang sulit untuk tidur dan jarang makan. Setiap mahasiswa pasti memimpikan tentang kelulusannya dan mendapat gelar sarjana di belakang namanya. Tapi semua itu pastilah melewati tantangan dan prosedur-prosedur yang begitu banyak untuk mencapai tujuan akhirnya.
Contohnya saya sendiri, saya sendiri mempunyai pertanyaan yang sama seperti para mahasiswa di luar sana. Punya cita-cita untuk mendapat nilai yang baik dan bisa lulus sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Mungkin juga ada yang berharap lulus lebih cepat dengan nilai sempurna agar dapat di banggakan.
Tapi seperti yang saya tulis sebelumnya, ada prosedur-prosedur yang harus dilalui seorang mahasiswa sebelum mencapai kelulusan. Prosedur itu di antaranya adalah memulai kuliah, mengerjakan tugas-tugas yang kadang membuat otak hampir pecah, dan menyusun skripsi sebagai tugas akhir. Semua itu harus di lewati seorang mahasiswa sebagai syarat untuk lulus dari perguruan tinggi.
Tapi semua tidak lah semudah yang dibayangkan, karena kenyataan kadang sangat bertolak belakang dengan teori. Banyak mahasiswa yang harus mengulang, agar sks yang ditempuh mencukupi sebelum mengerjakan tugas akhir. Dan semua itu sangatlah mengganggu kehidupan mahasiswa, semau mahasiswa mengakui itu. Tapi apa boleh buat, mereka hanya pasrah menerima semunya dan coba untuk melakukan yang terbaik semampu mereka.
Karena di balik semua tuntutan itu selalu ada pertanyaan dari orang lain yang cukup mengganggu benak para mahasiswa. Pertanyaan yang serupa dengan petir menyambar dirinya. Pertanyaan yang membuat dirinya serasa orang paling aneh di dunia, hanya karena satu hal dan itu sebenarnya butuh proses serta biaya yang besar. Pertanyaan yang sering diungkapkan orang tak berperasaan, tak pernah merasakan kerumitan kuliah, dan pertanyaan dari orang-orang yang memandang sebelah mata. Pertanyaan yang sering membuat seorang mahasiswa menjadi keci hati, minder, dan tak percaya diri. Pertanyaan yang membuat seorang mahasiswa harus berlomba dengan waktu, merasa tertekan, dan sering kali teledor dalam mengerjakan tugas akhirnya.
Pertanyaan itu adalah momok terbesar dalam kehidupan seorang mahasiswa, dan semua mahasiswa selalu menghadapi pertanyaan itu berulang kali. Pertanyaan kapan wisuda?, kapan skripsi mu jadi??, kapan menikah??. Pertanyaan itu selalu diulang-ulang seperti kami selalu diperingatkan bahwa tugas kami hanya menyelesaikan kuliah dengan cepat. Seperti kami para mahasiswa tidak diberikan ruang sedikit pun untuk menikmati semua waktu bersama teman satu angkatan, waktu dimana kami liburan menikmati masa-masa kosong dari tugas, waktu di mana kami berangkat kuliah dengan senyum lebar ingin meraih sebuah cita-cita. Tapi semua orang seperti menuntut kami untuk segera menyelesaikan kuliah, dan memulai hal lain.
Ya sabarlah…, itu semua butuh proses yang panjang dan tidak secepat yang kalian pikirkan. Semua hal di dunia ini butuh proses sebelum mencapai kematangan sempurna, mie instan saja butuh dimasak sebelum memakannya. Memang kadang ada orang yang tak butuh proses dalam mendapat gelar sarjana, tapi pengorbanan mereka juga besar dalam hal itu. Contoh saja membeli ijazah, itu ada, tapi dilarang dan tidak sah. Itu cara orang curang mencurangi kehidupannya sendiri, cara penipu, menipu dirinya sendiri, dan cara seorang yang licik mempermainkan dirinya sendiri.
Tapi semuanya tetap sama, menganggap kami tidak mampu dan terus menekan kami dengan alasan usia, kecerdasan, dan sebagian hal yang kadang tak penting untuk dijadikan alasan. Ayolah, kami bukan sapi perah yang ketika ditekan putingnya setiap pagi akan mengeluarkan susu murni. Kami bukan kuda pacuan yang harus dicambuk untuk bertandingkan dengan kuda lain. Kami punya cara sendiri untuk menyelesaikan apa yang telah kami mulai, dan itu butuh proses yang panjang.
Kami selalu dipaksa untuk berlomba, siapa yang menyelesaikan paling cepat ialah yang menang. Kehidupan tidak seperti itu!, pendidikan bukan seperti itu!, cara belajar yang benar bukan memperoleh hasil dengan waktu yang singkat. Tapi, belajar yang benar adalah mampu mengerti, memahami, dan menerapkan apa yang sudah dipelajari. Atau biasa dikatakan bahwa belajar adalah memasukkan materi yang sudah dipelajari ke dalam diri dan menjadikan itu sebagai karakter pribadi seseorang. Maka dari itu belajar itu butuh proses dan pemahaman, bukan sekedar menumpuk buku lalu menyalinnya. Kalau semudah itu cara belajar, lebih baik pergi ke toko buku merangkum semuanya, dengan kata lain kita sudah belajar.
Maka dari itu pendidikan tidak segampang apa yang mereka pikirkan. Kadang nilai yang kita dapat waktu masih sekolah tidak akan berpengaruh pada masalah yang terjadi ketika sudah bekerja. Kadang. malah apa yang kita pelajari dalam dunia pendidikan sekarang, sudah tidak berlaku dalam dunia kerja kita nanti.tak ada jaminan pasti akan nilai yang kita peroleh bisa menolong kita dalam menghadapi masalah yang kita hadapi saat bekerja. Tapi terkadang malah pengalaman yang menuntun kita menuju tangga kesuksesan, di balik semua teori-teori yang kita dapat saat kuliah.
Lalu apa gunanya skripsi jika hanya akan jadi hiasan di rak-rak perpustakaan kampus??. Entah skripsiku nanti akan dibaca oleh seseorang dan mengambi pelajaran dari hasil kerja keras ku saat menyusunnya, atau tidak. Mungkin tak akan ada yang peduli dengan skripsiku nanti, yang tergeletak di barisan skripsi lain dalam rak perpustakaan. Jadi apa pentingnya aku membuat skripsi jika tak ada yang mempergunakannya sama sekali. Ini seharusnya menjadi sebuah pertanyaan pada setiap benak mahasiswa yang ada, apakah skripsi yang mereka buat mati-matian digunakan oleh orang lain?.
Tak ada yang bisa menjawab dengan pasti pertanyaan itu, jadi lebih baik dilupakan saja karena tak ada kepastian dari pertanyaan itu. Mari kita kembali pada persoalan penyusunan skripsi bagi setiap mahasiswa. Mahasiswa selalu dituntut untuk membuat judul bahkan ketika kami para mahasiswa masih duduk di semester awal. Sepertinya semua sepakat ingin memaksa kita untuk fokus dengan satu permasalahan saja, yaitu kuliah. Padahal masih banyak yang harus kita lakukan selain kuliah, kuliah, dan kuliah. Kita sebagai mahasiswa juga punya kegiatan lain untuk menyalurkan hobi dan bakat kami sebagai individu. Tapi semua seperti menyuruh kami para mahasiswa untuk selalu fokus dengan masalah hasil akhir dari pendidikan kami.
skripsi selalu menuntut kami untuk menyelesaikannya tepat waktu, tanpa perpanjangan, dan tanpa kekurangan sedikit pun. Mungkin skripsi membuat kami seperti robot yang terus bekerja dan terus saja bekerja tanpa adanya istirahat. Selalu menuntut dan hanya menuntut untuk sebuah pencapaian sempurna. Tanpa pernah ada istirahat untuk otak kami yang dipenuhi dengan tugas-tugas serta tekanan dari berbagai pihak.
Kami hanyalah manusia, tidak semua kami bisa lakukan dalam satu waktu secara bersamaan. Tapi tak pernah ada yang peduli dengan apa yang kami perbuat, seolah perjuangan kami tak berguna, yang mereka lihat hanya hasil dan prosesnya.
Lalu apa arti sebuah pengorbanan yang terus kami lakukan setiap saat. Semua yang kami lakukan selama menjalani rutinitas kuliah. Berangkat pagi pulang larut malam, menjelang subuh baru kami bisa menutup mata karena tugas yang tak kunjug usai, dan hal-hal yang kadang para dosen dan orang tua di rumah tak tau. Bagi anak rantau seperti ku, kadang kala malam kami seperti merasa sendirian, rindu dengan masakan ibu yang mengenyangkan. Rindu dengan hangatnya tempat tidur di rumah dengan segala perasaan aman dan nyaman yang menyelimuti.
Tapi di kota perantauan tidak. Di tempat kami melanjutkan pendidikan tak ada yang namanya kenyamanan dan kebahagiaan. Sering kali para anak perantau menelan air matanya sendiri demi menunjukkan dirinya kuat. Tak ingin terlihat kekacauan pikirannya demi melihat orang tua tetap tersenyum bahagia. Bagi kami anak perantau, tangisan orang tua adalah sebuah tombak tajam yang menembus dada. Sakitnya bukan kepalang, rasanya tak bisa dibayangkan.
Maka dari itu kami banyak sekali berbohong kepada orang tua di rumah. Terkadang masalah makanan, tempat tinggal, kasur yang hanya setipis kain sutra, bantal yang sekeras batu nisan, sampai kadang teman yang tak tau diri sudah ditolong. Kami berbohong tentang semua itu, kami poles kata-kata kami dengan kebohongan agar tak jatuh air dari kedua bola mata indah milik orang tua kami. Kami jaga hal itu dengan sangat hati-hati, meski kadang diri kami jadi korban, atau perut kami jadi korban, kadang malah hubungan pertemanan yang jadi korban. Semua hanya untuk sebuah senyum tulus yang kami harapkan dari wajah kedua orang tua kami.
Seorang dengan kecukupan materi tak akan pernah merasakan apa yang kami anak rantau rasakan. Tapi kadang kami juga sangat muak dengan kelakuan mereka, mereka yang dengan gampang bisa masuk ke perguruan tinggi. Mereka kadang menghabiskan seluruh waktunya, hanya untuk memuaskan hasrat duniawi mereka. Mereka yang tak pernah serius dengan kuliah dan semua tugas yang dikerjakan. Tapi nilai mereka tetap setabil, mereka mendapat nilai yang sama dengan kami yang mati-matian mengerjakan tugas dan juga masalah perut yang sering sekali mengacaukan konsentrasi. Dan itu tetap salah kami sebagai mahasiswa yang tak mampu membagai waktu.
Di mana keadilan untuk kami para pejuang dari tanah jauh untuk membahagiakan orang tua dan mencari ilmu yang bermanfaat. Seolah itu semua tak pernah ada harganya di mata mereka yang berdiri di panggung penilaian. Saya tidak mengatakan semua yang ada di sana seperti itu, tapi ada dari sebagian orang dengan penilaian mutlak tanpa melihat perjuangan kami.
Maka dari itu kadang seorang anak perantauan memilih sebuah cara untuk melampiaskan semua kekesalannya pada dunia. Mereka kadang mencoba hobi baru untuk dilakukan, membebaskan dirinya dari urusan tugas yang tak kunjung selesai, tak peduli tugas itu dikumpulkan besok. Kegiatan yang kami jalani, kadang sangat berbahaya, di luar batas, dan berantakan. Tapi juga ada kegiatan yang membangun jati diri lebih kuat, tanpa tekanan, dan bisa dipertanggungjawabkan. Apa pun bisa dilakukan oleh orang yang ingin keluar dari tekanan.
Banyak dari kami, mahasiswa perantauan, melarikan diri dari semua tanggung jawab kami dan mencari kegiatan lain untuk sekedar melupakan tugas untuk sesaat. Banyak dari kami melampiaskan kekesalan itu pada minuman keras, untuk sekedar menghilangkan setres yang melanda. Atau sebagian yang lain megeluti hobinya dengan ikut UKM yang kadang menyita seluruh waktunya. Dan ada sebagain dari kami yang mengisi hari-harinya dengan pergi ke tempat-tempat wisata untuk merifrees otak.
Semua itu untuk pelarian yang hanya bersifat sementara, sedangkan tekanan terus saja menghimpit kepala kami tiap harinya. Seolah tak ada celah untuk meloloskan diri dari dua tembok raksasa bernama TUGAS dan TANGGUNGJAWAB. Kedua tembok itu terus menghimpit tanpa memberi kami celah untuk keluar. Tak ada dari kami yang bisa keluar dengan tetap mempertahankan idiologi kami sebagai seorang pemuda. Pemuda yang penuh dengan impian-impian dan cita-cita tinggi tanpa ada kecacatan. Kami dipaksa untuk menyerah dengan peraturan serta semua yang berhubungan dengannya sehingga kami kehilangan idiologi kami sendiri.
Ketika idiologi kami tertinggal di antara dua dinding itu, kami berubah menjadi diri yang tidak kami kenal. Kami tak mengenal watak kami sendiri, kami tak mengenal jati diri kami, dan kami tak mengenal hidup kami sendiri. Semua sudah dirubah, dengan tanggung jawab dan tugas yang membentuk karakter kami tak menentu. Mimpi dan cita-cita terkubur seiring dengan perjalanan kami menempuh gelar sarjana kami.
Lebih lanjut lagi, ketika seorang mahasiswa sudah lulus dari perguruan tinggi, pasti ada pertanyaan yang dia sendiri tak pernah bisa menjawab. Pertanyaan itu seolah menelanjangi seorang mahasiswa yang telah lulus meski pun dengan nilai yang baik. Pertanyaan yang sulit sekali dijawab, karena jawabnya tergantung waktu dan usaha yang keras.
Pertanyaan itu perlahan-lahan membunuh kami sebagai seorang yang sudah menuntaskan pendidikan. Pertanyaan, kapan kerja?, mau kerja apa?, dia yang tidak sekolah saja bisa kerja, kenapa kamu tidak kerja?. Pertanyaan itu sungguh membuat kami pusing memikirkan masa depan. Kami yang seharusnya berfikir dengan tenang atas persoalan kami sendiri, harus tertekan dengan pertanyaan yang terus menguras tenaga dan otak kami. Kami punya kehidupan kami sendiri, mencari kerja dengan kemampuan kami sendiri, kenapa harus kalian yang menentukan kami harus bekerja apa.
Persoalan hidup ini bukan hanya soal bekerja dan mendapatkan uang. Kalau kami para mahasiswa hanya ingin mendapatkan uang dari ijazahnya, kenapa harus kuliah tinggi-tinggi, tak kuliah pun bisa dapat pekerjaan, dengan ijazah SMA atau SMP. Ijazah itu juga laku untuk memperoleh pekerjaan. Kenapa harus ada pengklasifikasian bahwa pekerjaan bergaji tinggi selalu didapatkan oleh para mahasiswa. Padahal banyak orang yang tak pernah kuliah, bahkan tidak sekolah bisa mendapat penghasilan luar biasa.
Lalu kenapa tekanan itu tetap saja ditujukan pada kami, yang hanya ingin mencari ilmu. Kami yang selalu dibanding-bandingkan dengan orang-orang yang tak pernah kami temui sebelumnya. Kami ditekan seperti sapi pembajak sawah serta ditakut-takuti dengan cemeti petani. Kadang tekanan itu menjadikan kami sangat nekat dan mempu melakukan semua hal yang tak bisa dibayangkan. Sebenarnya kami takut melakukan hal-hal nekat yang bisa saja merugikan diri kami, tapi kami lebih takut pada tekanan dari luar yang terus saja meremas-remas otak kami.
Maka dari itu dalam tekanan yang tak pernah bisa kami hadapi sendiri, kami bisa menggunakan segala cara sebagai pelampiasan kemarahan kami. Pelampiasan kami lebih mengarah pada hal-hal yang negative dan berbahaya, meski pun ada juga yang bersifat positif. Kami sangat berbahaya ketika dalam keadaan tertekan seperti itu, dan kami bisa saja melakukan langkah-langkah tak terduga yang merugikan diri kami sendiri atau pun orang lain.
Kenapa selalu ada pertanyaan tentang pekerjaan untuk kami yang sudah menuntaskan pendidikan?. Kenapa setiap orang yang punya titel tinggi atau setrata pendidikan yang tinggi, harus mendapat pekerjaan di ruangan ber-AC, punya mobil mewah, gaji yang melimpah?. Kenapa setrata pendidikan selalu dikait-kaitkan dengan pekerjaan yang harus ia terima?. Kenapa pekerjaan yang kami lakukan harus sesuai dengan jurusan yang kami ambil pada saat kuliah?.
Kami masuk ke perguruan tinggi bukan semata-mata untuk mendapat pekerjaan setelah mendapat ijazah. Kami masuk ke perguruan tinggi, tidak hanya untuk mendapat pekerjaan yang layak, gaji melimpah, ruang kerja ber-AC. Kami tidak kuliah hanya untuk mendapat uang. Jika kami hanya ingin mendapat uang dari ijazah kami, lebih baik kami bekerja atau menciptakan peluang usaha untuk dapat uang lebih banyak.
Kami masuk perguruan tinggi ingin mendapat ilmu untuk mengembangkan pikiran kami. Kami menempuh pendidikan yang lama tidak hanya ingin mendapat selembar kertas sebagai syarat pekerjaan. Kami pergi ke perguruan tinggi setiap pagi sampai sore hari, untuk mendapat pandangan-pandangan baru sebagai bekal menghadapi masalah kami sendiri, atau masalah dalam masyarakat. Kami hanya ingin mendapat ilmu yang lebih tinggi sebagai jembatan untuk dapat berguna bagi orang lain.
Tapi kenapa kami tetap saja dihadang oleh pertanyaan tak berguna, memperkosa otak kami, mengubah pandangan kami, membuat kami tak tau mana yang benar dan salah. Tekanan-tekanan itu selalu saja membuat kami tak bisa memutuskan dengan hati yang benar. Membuat kami melakukan apa saja demi membungkam mulut yang selalu bertanya, ‘kapan kerja’?.
Lalu apa yang kami dapatkan jika kami hanya kuliah demi mendapat pekerjaan?. Tak ada yang menjamin jika kami lulus dari perguruan tinggi langsung bisa memperoleh pekerjaan. Tak pernah ada yang menyebutkan dengan nilai-nilai kami, kami bisa mendapat pekerjaan yang pasti. Lalu apa yang harus kami jawab ketika kami dihadapkan oleh pertanyaan itu?. Semua hanya berpaku pada setiap sarjana haruslah selalu mempunyai pekerjaan yang sesuai dengan jurusannya setelah lulus dari perguruan tinggi. Satu jawaban yang bisa saya berikan, ‘saya tidak bisa menjamin setelah lulus dari perguruan tinggi, saya bisa mendapat pekerjaan!!’.
Tak pernah ada yang bisa menjamin apa yang kami pelajari di bangku perguruan tinggi akan bisa kami terapkan langsung pada masyarakat. Bahkan ada dari sebagian sarjana yang mendapat penghasilan dari bidang lain, jauh dari apa yang ia pelajari di bangku kuliah. Tapi ilmu yang kami dapat dari bangku kuliah pasti bisa kami terapkan di bidang lain selain pekerjaan kami. Tak pernah ada kerugian dari mengambil keputusan untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Tapi jangan salahkan kami bila kami tak bisa mewujudkan apa yang ada dalam pikiran anda semua. Kami bukan anda, dan anda bukan kami!
Jujur saja semua orang pasti tersiksa dengan pertanyaan yang tak pernah bisa kami jawab tentang hidup kami. Pertanyaan-pertanyaan yang terus saja menghantui setiap langkah dalam hidup kami yang sudah tertekan dengan beribu masalah. Tak bisa dipungkiri setiap orang bisa melakukan hal-hal nekat karena tekanan tak langsung dari masyarakat. Kami hanya manusia yang bisa putus asa dan kehilangan harapan tanpa adanya mental yang kuat. Meski pun putus asa hanya dilakukan oleh orang bodoh, tapi kami juga mempunyai sisi kebodohan dalam diri kami.
Bukan kami tak menghargai apa yang kalian pikirkan tentang kami tapi setiap saat kami selalu diserang pertanyaan-pertanyaan yang selalu tak bisa kami jawab. Lalu apakah kalian akan bertanggung jawab ketika kami melakukan hal bodoh dan menyalahkan kalian?, saya rasa tidak. Kalian terus saja menyalahkan kami dengan menganggap mental kami lemah, jika melakukan hal yang tak semestinya. Tapi tetap saja pertanyaan pada kami terus kalian buat demi memuaskan hasrat kalian untuk bertanya. Tanpa memperhatikan perasaan kami, kalian membuat pertanyaan-pertanyaan yang membuat kami ciut.
Contoh pertanyaan yang sangat membuat kami menderita adalah ‘kapan nikah??’. Adakah dari kalian yang memikirkan perasaan kami yang menghadapi pertanyaan itu, saya rasa tidak. Tidak ada dari kalian yang memikirkan bagaimana kami menghadapi pertanyaan dari mulut kalian. Kami sebenarnya juga ingin membina rumah tangga, tapi hanya waktu yang belum bersepakat dengan kami. Lalu kami harus menjawab apa kepada kalian yang bertanya?, apa kami harus menjawab ‘biar Tuhan yang menunjukkan semuanya!’. Hidup ini bukan saja tentang menikah dan membina keluarga.
Jujur saja kami juga ingin menikah dengan cepat, menemukan belahan jiwa yang entah ada di mana sekarang, serta memiliki buah hati sebagai penyemangat hidup kami. Tapi apa daya kami hanya seorang makhluk Tuhan yang tak diberi petunjuk pasti tentang siapa jodoh kami. Jodoh kami masih dirahasiakan oleh-Nya di dalam kerahasiaan masa depan. Bahkan orang yang mempunyai kelebihan dalam meramal masa depan pun, tak tau kapan menemukan jodoh dan tentang kematiannya sendiri.
Lalu apa daya kami yang hanya dikarunia kelebihan materi untuk bisa masuk ke perguruan tinggi. Apa daya kami yang hanya bisa berdoa untuk dapat segera dipertemukan dengan insan yang mau dengan kami. Kami tak mengerti kenapa pertanyaan itu selalu kalian tanyakan setiap kesempatan. Tak adakah dari kalian yang berfikir apa dampak yang terjadi kepada kami setelah pertanyaan itu terucap? Kami terus saja merenung, tertekan oleh pertanyaan yang tak bisa kami jawab dari kalian.
Menikah memang sebuah keharusan bagi setiap manusia yang hidup dan ingin melanjutkan keturunannya. Tapi kami tak bisa dengan gampang memutuskan hal itu, karena banyak tanggung jawab yang harus kami penuhi setelah pernikahan. Selama kami belum bisa memenuhi kebutuhan kami sendiri, kami tak berani mengambil keputusan besar, yang secara langsung melibatkan dua keluarga dan dua hati yang terikat. Kami hanya ingin memastikan, seseorang yang kami ajak untuk hidup bersama bisa merasakan kenyamanan dan kebahagiaan yang utuh setelah bersama kami.
Lalu apakah kami salah mengambil keputusan untuk hidup dalam kesendirian terlebih dahulu, demi mempersiapkan bekal yang cukup?. Kami ingin mengejar sukses dulu baru setelah itu menata keluarga. Apa ada yang salah dengan dalam pemikiran kami, tentang bagaimana menata hidup kami sendiri. Kami yang tau tentang diri kami sendiri, tentang bagaimana mengatur semua yang ada pada diri kami sendiri, dan kapan kami siap untuk sebuah hal.
Kami para mahasiswa yang tak hanya ingin punya gelar, tapi otak tetap kosong tak berisi, kami ingin dianggap sebagai seorang manusia yang butuh proses dalam melakukan sesuatu. Kami yang kadang bekerja sampai malam dengan otak kami sendiri mengerjakan tugas tanpa peduli malam sudah menjelang pagi, ingin dihargai sebagai manusia yang mampu berfikir sendiri. Kami tak ingin menyakiti hati kalian, tapi kami juga tak tahan untuk selalu mendengar ucap yang menusuk hati kami. Semua akan selesai, tapi tidak secepat yang kalian pikirkan. Ada proses rumit, di mana kami harus menjalani serangkaian sistem dalam menempuh semua mata kuliah, dalam program pendidikan.
Kami tak bisa dibanding-bandingkan dengan orang lain yang bisa lulus dengan cepat dari sebuah perguruan tinggi. Kami mempunyai proses dan jalan kami sendiri dalam menentukan masa depan kami. Kami bisa menjalankan apa yang pernah kami pelajari di perguruan tinggi. Kami tak lupa itu, kami hanya butuh sebuah modal untuk menjalankan rencana-rencana besar kami. Dan tentunya juga dukungan dari orang-orang terdekat kami sebagai semangat kami.
Terlepas dari itu semua kami selalu ingin cepat menyelesaikan skripsi. Kami para mahasiswa rantau hanya mencoba untuk lulus lebih cepat dan mengakhiri penderitaan orang tua kami yang bersusah payah mencari uang, untuk memastikan kami bisa kuliah dengan kenyang. Tapi apa daya, kami selalu dipersulit dengan perut yang meronta ingin diisi, dan tugas yang menumpuk setinggi gunung. Belum lagi dengan kebutuhan-kebutuhan lain, yang terus saja mendesak pikiran kami untuk mencari uang sendiri. Tapi tak semudah itu, karena profesi utama kami sebagai mahasiswa, kadang membuat para bos besar pemilik perusahaan kelas teri tak mau menerima kesibukan kami. Dan inilah kami, orang yang tak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, serta selalu menyusahkan orang tua kami di kampung halaman.
Maka dari itu kami mencoba untuk belajar lebih giat, untuk memastikan senyum bangga dari orang tua kami terlukis. Kami mencoba sekuat tenaga untuk tekun belajar agar tak sia-sia kami datang ke tanah rantau. Kami bersungguh-sungguh dengan apa yang kami jalani, agar orang tua tak merasa rugi telah memberangkatkan kami ke sini. Meski kami tak tau, akan jadi apa kami nanti. Yang pasti, hanya wajah kedua orang tua kami sebagai penyemangat dalam menjalani rutinitas sebagai mahasiswa.
Hanya kedua wajah itu yang kami ingat ketika tugas menumpuk di depan mata, dosen yang tak pernah bisa diajak kompromi, dan masalah-masalah datang kepada kami secara bersamaan. Hanya wajah itu yang kami ingat sebagai api penyemangat ketika lelah, putus asa, dan masalah datang kepada kami. Hanya wajah-wajah itu, dan terus saja wajah-wajah itu yang ingin kami bahagiakan dengan pencapaian kami. Semua hal akan kami lakukan untuk sebuah senyum yang terlukis dari wajah ayah dan ibu kami.
sekian.
0 Komentar