CERITA DIBALIK NAMA GUMUKMAS




CERITA DIBALIK NAMA GUMUKMAS
(Sismaku)
       Seiring dengan perkembangan zaman, kadang anak-anak atau bahkan orang tua sudah lupa dengan asal mula nama tempat tinggalnya sendiri. Mungkin karena tak adanya catatan tentang asal mula sebuah nama daerah, atau karena asal mula daerah hanya bersifat floklore. Jadi ketika banyak orang yang tidak mengetahui tentang cerita asal mula daerahnya sendiri, perlahan-lahan cerita itu akan hilang dengan sendirinya. Tak ada yang bisa disalahkan jika suatu saat memang tak ada yang mengenal lagi asal mula nama daerahnya sebagai sebuah khasanah kebudayaan. Dan mungkin inilah alasannya di masa yang akan datang anak-anak akan lebih hafal dengan cerita-cerita Cinderella, putri salju, atau kisah 1001 malam.
Maka dari itu, saya coba untuk menulis kisah asal usul daerah tempat saya tinggal sebagai sebuah cerita yang nanti akan diturunkan pada anak cucu di daerah saya. Walaupun saya tidak yakin apakah itu kisah yang sesungguhnya atau hanya cerita karangan semata. Karena banyak sekali cerita yang beredar di daerah saya, tentang asal usul nama daerah tempat tinggal saya. Ada yang mengatakan pernah ada bukit emas di daerah itu, ada juga yang bilang daerah saya dulu adalah sebuah kedatuan yang kaya, dan ada cerita-cerita lain yang beredar di masyarakat. Tapi yang paling lengkap dari semua cerita yang pernah saya dengar adalah kisah seorang putri yang jatuh cinta pada pemuda desa biasa.
Tapi sebelum saya bercerita, saya sampai lupa mengenakan diri saya dan daerah tempat tinggal yang akan saya ceritakan. Saya adalah orang yang suka mendengar dan menulis cerita, umur saya 22 tahun, dan saya lahir di Jember, tepatnya  Kec. Wuluhan, Desa Lojejer. Saya masih bersetatus sebagai mahsisiwa di salah satu PTS di Kota Malang. Iya, saya sekarang tinggal di Malang karena harus menyelesaikan pendidikan. Tapi tempat yang akan saya ceritakan bukan Kota Malang, saya akan bercerita tentang tempat tinggal saya di Jember. Daerah saya dibesarkan dan tau akan artinya sebuah persahabatan.
Nama daerah ini adalah Gumukmas, salah satu kecamatan diderah Jember, tepatnya Jember bagian selatan di pesisir pantai selatan. Cerita ini saya dapat dari pembina pramuka saya ketika kami sedang berkumpul, setelah kegiatan pramuka. Karena beliau lebih tua, maka dari itu beliau lebih tau cerita asal mula daerah tempat kami tinggal.
Jadi asal mula dari nama daerah saya dimulai dengan tokoh seorang putri dari pemimpin daerah, atau pada saat itu disebut adipati. Tak disebutkan dengan jelas siapa nama putri tersebut, tapi yang jelas dia adalah anggota dari sebuah keraton dengan beribu aturan ketat yang mengikat. Layaknya seorang yang di penjara, seorang putri harus selalu dikawal jika keluar dari lingkungan keraton, menjaga sopan santun serta sikapnya dalam lingkungan keraton, dan aturan-aturan lain agar tetap terlihat anggun di mata masyarakat. Ya seperti peraturan dalam keraton kebanyakan yang penuh dengan aturan-aturan mutlak tak boleh dilanggar oleh penghuninya.
Maka dari itu selayaknya putri dan seperti halnya putri-putri lain di seluruh dunia, putri ini juga dilarang berhubungan dengan dunia luar. Ia tak bisa bebas saat seperti orang kebanyakan yang bisa pergi ke mana-mana sesuka hatinya tanpa pengawalan. Selalu ada pengawal yang mendampingi ke mana pun sang putri pergi.
Sebenarnya sang putri merasa di tempatkan dalam sebuah kandang emas dengan peraturan-peraturan keraton. Tapi walaupun kandang itu terbuat dari emas, seorang takkan betah jika keinginannya dibatasi. Dan itulah sebabnya sang putri merasa muak dengan keraton tempatnya tinggal saat ini. ia ingin bebas seperti burung liar yang sering ia lihat di atas kamarnya. Burung-burung itu bisa bebas pergi ke mana saja, bertemu dengan siapa saja, dan menjalin hubungan dengan siapa pun. Sang putri ingin seperti burung-burung liar itu, bukan burung yang ada dalam keraton yang dikandangkan dan hanya menjadi pajangan tuannya.
Ia pun berencana untuk pergi dan sesekali ingin merasakan kehidupan rakyat jelata di luar keraton. Tapi ia tak ingin ada yang tau tentang kepergiannya dari keraton, ia tak ingin dikejar-kejar oleh prajurit atau orang-orang dari keraton. Ia hanya ingin melihat bagaimana kehidupan di luar keraton tanpa adanya pengawalan. Soalnya ia pernah mendengar bahwa kehidupan di luar keraton adalah kehidupan yang penuh dengan kekerasan, dari seorang emban. Maka dari itu, ia ingin membuktikan langsung dengan matanya sendiri.
Di lain hari seperti yang sudah ia rencanakan, sang putri nekat keluar dari keraton tanpa pengawalan dan tidak diketahui oleh siapa pun. Ia sudah mengganti pakaiannya seperti orang di luar keraton pada umumnya, tak menggunakan perhiasan, atau pun kain sutra khas kerajaan. Ia hanya menutupi tubuhnya dengan kain lusuh, pakaian dari seorang emban, sebelum ia keluar dari keraton. Si emban tidak atau jika pakaiannya digunakan putri, ia pun tidak bertanya kenapa sang putri menginginkan pakaiannya. Ya seperti yang kita tau tak ada kata ‘tidak’ untuk perintah atau keinginan dari penguasa dan keturunannya.

Seperti yang telah kita tau tadi, sekarang sang putri sudah ada di luar istana dan berbaur dengan masyarakat di luar keraton. Ia pergi ke berbagai tempat tanpa khawatir seorang akan mengenali dirinya dan membawanya kembali ke keraton. Tak ada perasaan takut, karena ia merasa tak akan ada yang mengenalnya sebagai seorang putri, dengan pakaian lusuh seperti layaknya rakyat jelata. Maka dari itu sang putri sangat tenang saat bertemu dengan siapa pun di dalam pasar saat ia lewat.
Banyak tempat yang ia sudah kunjungi dalam perjalanan sehari keluar dari tembok keraton yang membelenggu. Lalu ia lanjut berjalan hingga tak sadar sudah berapa jauh ia meninggalkan keraton. Karena panas yang terik, ia memutuskan beristirahat di bawah pohon rindang di tengah hutan.
Setelah dirasa cukup beristirahat, sang putri kembali berjalan untuk kembali pulang. Sang putri sudah lupa dengan jalan pulang, karena masuk jauh ke dalam hutan. Ia seperti lupa dengan jalan yang baru ia lewati ketika masuk dalam hutan. Berkali-kali ia coba untuk keluar dari dalam hutan, tapi malah semakin tersesat ke dalamnya. Sampai senja datang, ia tetap tak menemukan jalan untuk pulang.
Hingga petang datang, sang putri tidak kunjung menemukan jalan untuk pulang. Ia terus mengitari hutan hingga kakinya sudah tak sanggup lagi untuk berjalan. Sampai seorang pemuda lewat di depannya, membawa kayu bakar, hasil mencari dari hutan. Tanpa pikir panjang sang putri menghampiri dan bertanya ke mana arah untuk pulang. Si pemuda bernama Jaka Kelana, ia pun menunjukkan jalan pulang pada putri karena sudah hafal daerah hutan. Ia juga menawarkan untuk mengantar sang putri ke tempat tujuannya.
Singkat cerita tibalah mereka di depan keraton yang sesuai dengan arahan dari sang putri. Jaka Kelana tak menaruh curiga pada putri, ia pikir sang putri yang baru diantarkan ke keraton adalah seorang emban dari keraton tersebut. Ia tak punya prasangka sedikit pun kalau wanita yang diantarkan adalah seorang putri. Dan setelah itu, mulailah muncul benih-benih asmara diantar kedua muda-mudi ini, mereka saling jatuh cinta dan sering bertemu di kala malam tiba. Tapi karena sang putri takut ketahuan, maka ia selalu berpakaian biasa saat bertemu dengan Jaka Kelana.
Jaka Kelana pun belum tau tentang jati diri sang putri, karena sang putri mengaku namanya adalah Sumirah dan bekerja sebagai emban di keraton. Jaka Kelana tidak pernah tau persis siapa yang sedang menjalin kasih bersamanya. Dan ia juga tak pernah mencoba mencari tau tentang wanita yang dicintainya itu.

Mereka bertemu beberapa hari sekali, menghabiskan waktu bersama layaknya sepasang kekasih sedang dimabuk asmara. Mereka sering bertemu di sebuah candi, yang bernama candi Deres secara sembunyi-sembunyi. Mereka bertemu di kegelapan malam yang dingin ditemani suara-suara burung hantu. Mereka duduk berdampingan mencurahkan seluruh rasa cinta meski pun tak tau rupa masing-masing karena kegelapan malam. Hanya saja sang putri takut kalau-kalau ada prajurit kerajaan mengetahui keberadaan mereka.
Maka dari itu mereka selalu bersembunyi di balik pohon besar sekitar bangunan candi untuk menyembunyikan diri. Tapi di situ sangat gelap bahkan lebih gelap dari gua penuh kelelawar bergelantungan, jadi tak ada yang tau apa yang mereka pegang. Dan karena itu pula Jaka kelana tak bisa mengenali wanitanya dalam kegelapan. Ia mencoba meraba-raba dari ujung rambut sampai ke bawah untuk mengetahui bentuk tubuh wanitanya. Dia berpesan jika ia bertanya sedang memegang apa sang putri harus menjawab. Mula-mula ia memegang telinga sang putri, seraya bertanya apa yang ia pegang. Dan sang putri pun menjawab “Kuping mas.” Lalu ia memegang yang lebih ke bawah lagi, dan sang putri menjawab, “gulu mas”, yang artinya Jaka Kelana sedang memgang lehernya. Kemudian Jaka Kelana meraba lagi lebih ke bawah, dan sang putri menjawab “gumuk mas”.
Itulah asal mula dari nama Gumukmas, yang terdiri dari dua suku kata dalam bahas jawa yaitu ‘gumuk’ bukit kecil atau gundukan kecil, dan ‘mas’ yang artinya kakak laki-laki. Itulah yang saya ketahui dari asal mula nama daerah saya. Terlepas itu benar atau tidak, sebuah floklor selalu ditafsirka sebagai mitos atau karangan dari pujangga-pujangga istana.
Malang, 29 November 2017

Posting Komentar

2 Komentar

  1. oalah mas...kok yo di posting...sesuatu tanpa bukti otetik...

    BalasHapus
  2. lho mas itu cuma karya sastra, dongeng yang belum tentu kejelasannya. semua orang kan bebas mengarang karya sastra mas

    BalasHapus