Aku dan Perjuangan




DERITA MENGGAPI KEINGINANKU
(Sismaku)
Ini adalah pengalaman ku waktu berada di perantauan, saat ingin meneruskan pendidikan yang sudah tertunda dua tahun. Aku tinggal di sebuah desa kecil bernama Bagorejo yang berada di pesisir pantai selatan Jember. Desa ku masih asri, jauh dari peradaban modern dengan kesibukan kota yang tak mengenal waktu. Teknologi sudah masuk ke daerah ku, tapi hanya orang-orang beruntung yang mampu duduk di bangku kuliah tanpa memikirkan harga yang harus dibayar untuk menempatinya. Dan untukku yang kekurangan biaya, aku harus bersusah payah untuk menggapainya.
Orang-orang di desaku lebih senang mencari kerja setelah lulus dari SMA, dibanding meneruskan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Mereka lebih berminat mencari uang dan pergi keluar daerah untuk mencari kekayaan, tanpa berfikir jauh ke depan. Bagi mereka pendidikan di perguruan tinggi terlalu mahal untuk mereka bayar. Dan memang ku akui pendidikan di perguruan tinggi memerlukan banyak biaya besar sebagai gantinya. Tapi aku ingin mengubah pola pikir mereka, melangkah lebih jauh, sejauh yang ku bisa.
Akibatnya aku harus menunggu dua tahun setelah kelulusan ku untuk dapat melanjutkan pendidikan ku. Aku mengumpulkan sedikit demi sedikit uang yang ku terima dari mengajar pramuka untuk sekedar membayar biaya pendaftaran masuk kuliah. Tapi seperti semua sia-sia, sesaat sebelum pendaftaran uangku selalu terkuras habis untuk kebutuhan yang lain. Dan aku pun harus menelan pil pahit selama setahun saat mengubur cita-cita ku kembali.
Tahun setelahnya aku berusaha lagi mengumpulkan uang untuk biaya pendaftaran masuk kuliah. Aku sudah bertekat dalam hati, tahun ini aku harus bisa mewujudkan apa yang jadi keinginanku. Di akhir tahun 2015, ada sebuah harapan baru yang mendatangi ku seraya membawa titik terang dalam kehidupan ku. Ada seorang yang baik hati ingin memberi kesempatan kuliah untukku dan memberi pekerjaan pula. Tapi aku harus pergi meninggalkan rumah dan kampung halaman ku pergi ke tanah pertarungan buaya dan ikan hiu.
Berat hati ku meninggalkan tanah di mana aku dibesarkan, menerima petuah-petuah dari orang tua. Tapi diriku juga ingin melanjutkan pendidikan sekaligus mewujudkan keinginan ku untuk duduk di bangku perguruan tinggi. Sebenarnya orang tua sangat setuju dengan hal itu, mereka mendukung ku tanpa rasa khawatir akan diriku. Lantas aku pun menyetujuinya tanpa berfikir akan jadi apa aku di kota besar Surabaya.
Masih teringat benar di benakku, aku berangkat hari jumat setelah asar diantara oleh ibu dan nenekku yang merekomendasikan tempat itu, serta seseorang dari Surabaya. Kami menaiki bus menuju Surabaya petang hari dan tiba di Surabaya pada tengah malam. Tak ada jemputan untuk kami, jadi kami naik taxi menuju tempat di mana aku akan bekerja. Dalam hati aku tak sabar melihat bagai mana rupa tempat tinggal ku yang baru, meskipun tampak dari luar aku kelihatan tenang-tenang saja. Anganku mulai terbang membayangkan tempat tinggal ku yang baru, seraya bertanya dalam hati apakah aku akan nyaman tinggal di sana.
Perjalanan hampir memakan waktu satu jam hingga sampai di tempat tujuan akhir kami. Ternyata aku akan ditinggal di sebuah yayasan dengan bangunan berlantai tiga, yang di dalamnya terdapat sekolah SD, SMP, pondok pesantren, dan yayasan itu sendiri. Gerbang sudah dikunci saat itu, dan tak ada seorang yang mendengar panggilan kami dari luar. Kami menunggu lama di luar dengan berteman hawa dingin serta perut yang mulai lapar. Tiba-tiba ada tukang bakso lewat dengan mendorong gerobaknya yang setengah kosong habis dibeli. Seorang dari kami memanggilnya dan memesan empat porsi bakso untuk sekedar mengganjal perut yang lapar. Untung saja masih ada sisa-sisa bakso untuk kami, jika tidak aku tak tau harus mengganjal perutku dengan apa.
Sesaat sebelum bakso siap untuk dihidangkan, ada orang dari dalam bangunan itu keluar membawa kunci dengan raut muka masih mengantuk. Dalam hati ku bergumam, untung saja cepat dibukakan, jika tidak aku sudah kedinginan di luar sini sampai pagi. Aku pun masuk membawa tas berat berisi baju-baju dan peralatan lain untuk tinggal di sini. Setelah menghabiskan bakso ku, aku tidur pulas melepas lelah dari perjalanan yang memakan waktu hampir tujuh jam.
Hari-hari pertama di sana, aku hanya seperti orang mati tak bergerak sama sekali dan hanya berbaring memainkan hendphon serta menulis dalam buku. Aku sempat berfikir, apakah semua yang dijanjikan akan menjadi kenyataan??. Tapi jika melihat orang yang sudah berhasil di sini, berhasil bertahan, bahkan bisa kuliah serta mencukupi kebutuhannya sendiri, sepertinya janji itu benar. Lalu aku harus berbuat apa untuk mencapai semua itu?, sedangkan yang ku kerjakan hanya duduk diam di kamar tanpa berbuat sesuatu. Aku jadi ragu tentang semua yang mereka ucapkan kepadaku.
Sampai aku dipanggil untuk menghadap pemilik yayasan dan ketua yayasan di sebuah siang. Katanya ada sesuatu yang penting ingin mereka bicarakan padaku di hari itu. Aku coba meringankan langkah ku agar mampu menghadapinya dengan perasaan tenang. Ku ketuk pintu seraya masuk ke dalam ruangan yang sudah ada dua orang menunggu ku, yaitu pemilik dan ketua yayasan tempat aku tinggal. Semula mereka menanyakan perihal keinginanku untuk kuliah, dan memberikan wejangan-wejangan untukku agar aku betah tinggal di situ. Setelah itu ketua yayasan memberitahu tentang pekerjaan yang harus aku lakukan. Ketua yayasan menjelaskan tentang pekerjaan ku dan berapa upah yang akan ku dapat dari pekerjaan ku.
Aku pun menyanggupinya tanpa pertanyaan lebih lanjut, dan segera pergi dari ruangan itu. Aku kembali dengan pikiran melayang-layang memikirkan bagaimana melakukan tugas sebanyak itu serta mencari tempat kuliah yang cocok. Karena mereka tak mau mencarikan tempat kuliah, mereka hanya memberi ku uang untuk membayar kuliah ku dari hasil kerjaku. Lalu bisik dalam hati muncul, mengatakan semua akan sesuai denag apa yang aku inginkan. Dan bisik itu pula yang menenangkan ku dari rumitnya pertanyaan dalam otak tentang kuliah.
Bulan pertama ku lalui dengan gampang. Aku mulai terbiasa dengan kebiasaan mereka dan peraturan-peraturan dalam lingkungan bernafaskan religi yang mereka bangun. Aku sudah bisa menyesuaikan kehidupan ku dengan lingkungan mereka. Dalam hal pekerjaan pun aku mulai terbiasa mengerjakan dengan sepenuh hati. Tak ada yang ku keluhkan tentang pekerjaanku sebagai tukang bersih-bersih di tempat itu. Ditambah lagi ada orang baru yang datang dan mempunyai tujuan yang sama denganku.
Tapi ketika bulan kedua berjalan, mulai ada teguran untukku. Salah seorang guru di tempat ku bekerja mempertanyakan kinerja ku, yang menurutnya kurang bagus. Entahlah apa yang kurang dari kinerja ku, aku sudah memenuhi tanggung jawabku sesuai dengan yang diperintahkan, tapi masih ada saja yang tak puas dengan kerjaku. Katanya aku kurang bersih saat membersihkan lingkungan sekolah, katanya aku tak pernah muncul di hadapan mereka saat membersihkan lingkungan sekolah. Terang sajalah aku tak pernah muncul, aku selalu membersihkannya pagi-pagi buta saat mereka belum masuk dan terkadang saat malam ketika tak ada orang. Aku melakukannya karena ingin istirahat pada pagi hari setelah kegiatan malam di pesantren yang menguras tenagaku.
Saat itu, kadang aku terlalu lelah untuk mengerjakannya di pagi hari, dan aku putuskan melakukannya di malam hari. Aku bisa melakukannya kapan saja karena yayasan itu jadi satu, aku pun tidur di sana, jadi setiap ada waktu luang aku bersihkan saja. tapi kenapa masih kotor?, karena hampir semua siswa membuang sampah sembarangan, di sembarang tempat. Tapi alasan ku tak diterima, malah aku dijahili dengan membuang air di tempat sampah yang setiap sore ku buang. Jadi tempat sampah itu menjadi berat dan hampir aku tak kuat untuk mengangkat. Rasa jengkel memenuhi hati ku saat itu, tapi tak bisa ku ungkapkan karena tak ada yang mau mendengar.
Akhirnya aku hanya menghela nafas saja dan mengisyaratkan diriku untuk bersabar dalam ujian pekerjaan ini. tapi jujur saja saat itu tangan punggung dan pinggang ku merasakan nyeri yang amat menyakitkan. Sampai ketua yayasan memangilku dan ku ceritakan hal yang ku alami. Aku ceritakan tempat sampah penuh air yang ku bawa dari lantai tiga ke pembuangan sampah di depan sekolah. Dan ketua yayasan mengambil keputusan untuk memindahkan ku ke rumah pemilik yayasan, sedang posisi ku di sekolah digantikan oleh orang yang tadinya bekerja di sana.
Aku sedikit merasa puas karena tak lagi berurusan dengan guru-guru yang memprotes ku. Tapi ada sedikit perasaan masih mengganjal di benakku. Aku belum memilih tempat kuliah untuk melanjutkan pendidikan ku. Sebenrnya saat aku bekerja di rumah pemilik yayasan, aku diberi kelulusan untuk mencari tempat kuliah. Tapi walau aku sudah mendatangi beberapa perguruan tinggi di Surabaya, tak ada satu perguruan tinggi pun yang cocok untuk ku. Hujan panas pun ku lewati demi mewujudkan keinginanku, sampai pernah saat hujan aku sedang dalam perjalanan mencari perguruan tinggi, aku terguyur genangan air saat disalip oleh truk besar. Akhirnya aku mandi dalam keadaan berkendara sepeda motor dan mengenakan baju. Basah kuyup seluruh badan ku terguyur genangan air itu, dan rasanya sangat tidak nyaman.
To be continu….

SURABAYA ke MALANG
(Sismaku)
Masalah ku tak selesai di situ, banyak pekerja di tempat pemilik yayasan yang tak suka kepadaku. Mereka menganggap aku dianak emaskan oleh pemilik yayasan, mereka tak terima dengan pekerjaan ku yang terlalu ringan, mereka seperti tak ingin aku di sana. Pekerjaanku tetap sama sebagai tukang bersih-bersih, cuma berpindah dari sekolah ke rumah tangga. Orang-orang yang iri kepadaku sebenarnya malah mendapat pekerjaan lebih baik dan upah yang lumayan. Mereka bekerja di percetakan pemilik yayasan, dengan jam kerja yang sesuai dan lebih pendek dariku. Tapi entah kenapa mereka iri denganku, seperti aku mendapat apa yang tidak mereka dapat dari tuannya. Dan sekali lagi aku harus mengelus dada seraya menenangkan diriku untuk kesekian kalinya.
Banyak pengalaman pahit saat itu, mulai dari dipalak oleh polisi, kebingungan mencari perguruan tinggi karena biaya yang terlalu mahal, sampai ikut ujian mandiri di PTN. Aku  lolos ujian tulis, tapi tak ku masuki karena biaya yang tak sanggup ku bayar. Banyak saran yang ku terima sekaligus ku lakukan, tapi hasilnya sia-sia. Malah aku merasa seperti dipermainkan dan dibuat semacam guyonan penghibur lara. Sampai aku menyerah dan rasanya ingin pulang meninggalkan kota pahlawan.
Tapi dalam benakku terlintas sebuah pertanyaan besar, yang aku sendiri tak bisa menjawab dengan pasti. Hati kecil ku bertanya, apakah aku harus kembali mengubur impianku dan menunggu kesempatan lain?. Setelah apa yang aku lakukan selama hampir delapan bulan ini?, apakah aku harus pulang dengan tangan hampa?. Sekarang ketika ada biaya untuk mendaftar, apakah aku harus melupakan keinginanku untuk melanjutkan pendidikan?. Lalu apa arti dari semua yang telah ku lakukan selama ini, apakah ini tak ada artinya sama sekali.
Aku dirundung kebingungan saat itu. Aku sungguh merasa menjadi orang yang paling gagal dalam peradaban manusia. Seolah semua yang ku inginkan tak bisa ku wujudkan. Aku pun sempat menangis dalam gelapnya malam mengharap keajaiban dari sebuah doa.
Sampai seorang teman memberitahu ku untuk pergi ke Malang dan melanjutkan perjuangan ku ke sana. Harapan yang semula hilang kembali muncul di depan mata. Aku pun merasa semua ini belum berakhir, dan apa yang kulakukan tidak sia-sia. Aku langsung meminta izin pada orang tua ku untuk pergi ke sana, sekaligus berpamitan pada pemilik yayasan. Semula mereka sempat melarang, tapi akhirnya mereka luluh dengan keinginanku.
Aku pergi ke Malang, disana aku tinggal bersama teman satu organisasi kepramukaan ku di Jember dulu. Mereka berdua sudah lama tinggal di Malang. Dan mereka berjanji mencarikan pekerjaan untuk ku. Sementara uang hasil ku tabung selama bekerja, ku pakai untuk mendaftar kuliah, tentu saja dengan bantuan uang dari orang tua juga. Dan akhirnya aku pun sampai di depan pintu gerbang perguruan tinggi yang dari dulu sangat ingin ku rasakan.
Aku di sini, di kota Malang yang berhawa dingin dan memulai langkah pertama ku dalam mengapai setumpuk impian dalam otak ku. Aku ditemani sepasang kekasih, yang keduanya adalah sahabat karibku sewaktu SMP dulu. Aku merasa sangat beruntung mempunyai mereka dalam perjalanan hidupku saat ini, dan berkata dalam hati akan menolong mereka semampuku.
Kami layaknya saudara yang membatu satu sama lain dalam menghadapi setiap kesulitan. Satu kata-kata yang masih ku ingat dalam benakku saat ini dari temanku, “Apa yang aku makan, kau juga akan memakannya.” Aku pun tak bisa menjawab apa pun saat itu, hanya berucap dalam hati untuk selalu membantunya dalam hal apa pun. Dan ku buktikan denagan membantu mereka  sebisa ku dalam hal apapun.
Aku bantu mereka dalam hal keuangan  saat mereka tak punya biaya untuk memenuhi perut mereka. Aku bayarkan uang sewa kamar temanku selama lima bulan berturut-turut dan berbohong kepada orang tua. Aku pinjamkan uang kebutuhan kuliah ku hanya untuk menutupi kebutuhan tak penting mereka. Dan diriku yang harus kesulitan menghadapi kehidupan sendirian serta terus berbohong kepada orang tua soal kebutuhan yang membengkak. Semua ku lakukan demi mereka, mereka yang tak pernah tau betapa tersiksanya menanggung derita berbohong kepada orang tua yang mengorbankan semuanya demi diriku.
Aku masih tetap berada di samping mereka saat itu, janji mereka tak pernah nyata. Aku tetap membela mereka saat orang lain mengatakan hal buruk tentang kelakuan mereka yang tak disukai banyak orang. Dan aku tetap menyembunyikan kebenaran dari orang tuaku saat mereka tak pernah membayar hutang mereka. Banyak yang ku lakukan dalam diam di depan mereka, dan sampai saat ini tetap ku simpan dalam kotak kecil di hatiku.
Aku tak mendapat pekerjaan seperti apa yang dulu mereka janjikan. Kesulitan yang kualami dalam hal kuliah pun tak pernah mereka tau dan tak ingin mengeti. Mereka hanya peduli dengan kehidupan mereka sendiri serta uang bulan yang terus dikirim oleh orang tuaku. Mereka tak tau betapa sulitnya aku menghadapi para dosen yang hampir membuat ku putus asa, bahkan jika ku ceritakan tak ada respon baik diutarakan dari mulut mereka. Jadi aku lebih memilih diam dan menelan pil pahit ku sendiri.
Mereka tak peduli dengan aku yang berjalan kaki sejauh lima kilometer untuk datang ke kampus. Mereka tak peduli dengan saranku untuk mencari tempat yang lebih murah untuk tinggal, demi menghemat pengeluaran bulanan. Malah mereka berfikir, aku hanya ingin diantar ketika pergi ke kampus. Ku hela nafas, dan ku tahan emosi ku yang bergejolak dalam dada saat mendengar kata-kata itu keluar dari mulut mereka.
Di masa akhir-akhir semester dua, dan mungkin hampir setahun aku hidup bersama, mereka berubah seketika. Pertama, aku dan temanku diusir dari rumah kos dua kali, karena pasangan kekasih ini tak tau tempat dan waktu saat berpacaran. Berpindah dari satu teman ke teman lain untuk mendapat tempat menginap. Pernah ku rasakan dinginnya rintik-rintik hujan bercampur angin malam saat tak dapat tempat menginap. Tak dapat uang bulanan dari orang tua karena di rumah sudah tak ada lagi yang bisa dikirimkan. Serta kelaparan dalam dinginnya malam menanti keajaiban Tuhan memberi ku pekerjaan.
Mereka sudah tak mempedulikan ku makan apa, bagi mereka yang penting perutnya kenyang serta dapat tempat tinggal. Sementara aku yang sudah kekurangan uang hanya bisa berutang dan makan dua lembar roti tawar campur susu selam tiga hari, sebelum ku isi kembali perutku dengan nasi.
Sejak menemukan kos baru, mereka seolah tak peduli lagi prihal diriku. Mereka seperti menjauhkan diri dariku yang sudah tak punya apa-apa lagi untuk bertahan hidup. Aku seperti hidup dalam kesendirian tanpa teman dan kerabat di kota besar Malang raya. Hanya teman-teman kampus yang sedikit peduli atas ketidak mampuan ku dalam hal ekonomi. Banyak dari mereka yang kadang memberiku bantuan demi menghilangkan rasa lapar ku.
Dalam kesendirian ku setiap malam, tak jarang air mata menetes ungkapkan semua perasaan dalam hati. Menangis renungi nasib pilu yang sedang aku jalani seraya berharap pada Tuhan untuk diberikan jalan keluar. Dalam kesendirian ku akupun merenung, tentang perilaku temanku yang sudah di luar batas. Mereka yang hanya diam mengacuhkan diriku, apakah bisa disebut sahabat? Dan dalam diam itu pula, aku mencapai suatu keputusan untuk pergi meninggalkan mereka. Aku sudah tak tahan dengan kelakuan dan cara hidup mereka berdua, jika ku lanjutkan entah jadi apa diriku ke depan.
Aku pun pergi meninggalkan mereka, tanpa berpamitan dan kabar kepada mereka. Ku ikhlaskan juga utang yang tak terbayarkan agar tak ada lagi sangkutan kepada mereka serta almamater ku yang tak tau ke mana larinya. Aku pergi meninggalkan mereka dan tidak ingin bertemu dengan mereka lagi. Satu hal yang paling ku ingat sebelum aku pergi, aku sempat menagih utang untuk memperbaiki handphon ku yang rusak. Aku tak menagih semunya, hanya tiga ratus rubu yang ku minta, tapi mereka bilang mereka bukan orang kaya yang punya banyak uang. Dalam hati ku merasa sangat jengkel dengan ucapan itu. Pikir ku, aku juga bukan orang kaya tapi setiap mereka membutuhkan aku rela berbohong kepada orang tuaku.
Dari situ aku sadar, mereka tak pernah berniat mengembalikan apa yang pernah mereka pinjam dariku. Dari semua kejadian itu pula aku sadar, tak pernah ada orang yang tulus membantu tanpa mengharapkan imbalan. Dan sejak itu aku pun pergi mencoba melihat dunia yang lebih luas, tanpa pengahalang, dari sudut pandang mana pun yang terjangkau oleh mataku. Yang ku pahami adalah tak pernah ada orang setulus dan sejujur waktu, dalam ungkapkan kenyataan dan maksudnya.
SEKIAN
(atau cerita ini masih berlanjut dalam kisah hidupku?, biar waktu yang menjawab.)

Posting Komentar

0 Komentar